"Apa kau harus sampai repot-repot mengambilnya sendiri?""Mau bagaimana lagi? Aku harus mengambil semua barangku."Luciana menutup pintu mobil dengan sedikit keras. Tatapannya lurus ke depan, menatap rumah yang dulu dia tempati bersama Felix. Rumah yang dulunya terasa hangat, kini hanya menyisakan bayang-bayang luka. Dia menghela napas dan melirik Matthias sekilas sebelum bergegas menuju pintu.Felix harusnya belum pulang dan Luciana tak ingin membuang waktu."Aku bisa menyuruh orang untuk mengambil semua barangmu," ucap Matthias pelan saat menyusul langkahnya."Dan memberinya alasan untuk ribut karena rumahnya dimasuki orang asing?" Luciana berhenti sejenak, menoleh. "Tidak, terima kasih. Ini lebih aman."Dia menatap kunci di tangannya, lalu memutar dan membukakan pintu. Saat pintu terbuka, aroma rumah yang familiar menyapa hidungnya. Namun kini terasa asing. Hampa."Kalau kamu tidak nyaman ke sini, kamu tidak usah ikut," tambahnya, menoleh pelan."Aku tidak pernah bilang tidak mau i
Buang masalah, sebelum masalah itu menghancurkan hidupmu. Kalimat itu selalu dan tak pernah beranjak dari pikirannya selama ini. Menjadi kebiasaan baginya dalam menyelesaikan masalah, yaitu dengan memotong ekornya. Victoria tidak peduli perasaan orang lain. Satu-satunya yang harus dia lakukan hanyalah mengamankan posisinya. Sebagai seorang model dan juga Nyonya Moretti yang terhormat. Dia akan mempertahankan segalanya dengan semua cara. Meski itu menyakiti orang lain. Termasuk Felix. Pria yang kini terlihat membatu atas ancamannya yang tidak main-main. "Kamu mengancamku gara-gara ini? Kamu juga menganggapku tidak berguna lagi hanya karena Luciana ingin bercerai? Kamu pikir Matthias juga akan mempertahankanmu?"Kedua tangan Victoria mengepal. Pertanyaan Felix menyinggung sesuatu dalam dirinya. Syarafnya mendadak tegang. Ada ketakutan yang coba dia sangkal."Tidak perlu mempertanyakan hal yang sudah pasti. Pernikahanku dengan Matthias itu dibuat atas dasar perjanjian orang tuanya. M
"Selamat pagi, Bu."Sapaan akrab terdengar saat Victoria baru melangkah masuk ke kantor ayahnya. Beberapa karyawan tersenyum hangat padanya. Namun tak satu pun sapaan atau senyuman itu mendapatkan balasan baik darinya. Suasana hatinya kacau dan sepanjang jalan, wajahnya diliputi kesuraman. Tidak seperti biasa—wajahnya yang selalu penuh senyum, kini begitu tegang dan penuh kemarahan. Dia bukan orang jutek atau selalu mengabaikan orang-orang, tapi sekarang, semuanya berubah setelah telepon dari suaminya semalam. Salah satu alasan kenapa dia ada di kantor itu, padahal harusnya dia masih di luar kota. Kepalanya berdenyut karena kelelahan dan bahkan dia belum sempat tidur. Semua bertambah buruk ketika Matthias yang harusnya ada di rumah, justru tidak ada. Victoria tidak bisa tidur. Begitu sampai di ruangannya, dia langsung membuka pintu kasar dan melangkah masuk menuju kursinya. Tidak mau repot-repot melihat apakah Felix ada di mejanya atau tidak. Victoria duduk dan bersandar sembari
Di dapur apartemen, Luciana bersenandung lirih. Dia mengaduk dan memasak makanan dengan santai. Senyum kecil sesekali membingkai bibirnya. Apron menggantung di leher. Menempel pada gaun di bawah lututnya. Rambut hitam itu diikat ke atas, memamerkan lehernya yang luas ketika dia bergerak lincah saat memasak untuk hidangan makan malam. Luciana benar-benar menikmati setiap detail kecil momen tersebut. Seakan-akan dia sudah lupa dengan semua kesedihan dan rasa kecewa yang beberapa hari ini membuatnya hancur—atau tepatnya, dia hanya sedang mencoba menghibur diri dari semua kemelut rumah tangganya. Satu hal yang jelas, rasa sedihnya perlahan lenyap, terbawa angin. Dukungan dari Matthias dan kehadiran pria itu yang selalu ada di sampingnya, telah memberikan energi positif. Luciana menyadari, kalau perlahan, dia mulai merasa nyaman. Sampai terkadang dia lupa, pria itu adalah iparnya. Dia menggelengkan kepalanya saat pikiran untuk benar-benar memiliki Matthias mengetuk hatinya. Sampai seb
"Anda bisa menyelesaikan semuanya? Saya tidak ingin masalah perceraian ini berlarut-larut."Matthias menatap pengacara di depannya dengan serius. Dia masih di sana, saat Luciana sudah diminta olehnya menunggu di mobil. Meninggalkan mereka berdua di ruangan yang penuh ketegangan dan keseriusan. Ada tekanan kuat darinya terhadap pengacara itu. Dia tidak mau repot-repot untuk berbasa-basi, karena dia sudah mengeluarkan uang tidak sedikit, demi mencari pengacara hebat yang bisa membuat Luciana cepat bercerai dari Felix. "Anda tenang saja, Tuan. Bukti yang kita miliki, sudah kuat, tapi saya tetap perlu bertemu saksi.""Aku bisa mengurus itu. Aku dan temanku bisa menjadi saksi. Aku mengetahui semuanya."Matthias menjawab yakin. Sorot matanya tak berpaling dari pria paruh baya itu. Siap dan tegas. Meski keputusannya mungkin akan mengandung risiko. "Aku juga ingin melakukan hal yang sama. Setelah perceraian Luciana berjalan, aku ingin mengajukan perceraian."Pengacara itu tersentak. Matany
Keesokan harinya.Seperti yang dijanjikan Matthias, hari itu Luciana duduk di hadapan seorang pria paruh baya yang tampak tenang dan profesional—kuasa hukum yang akan membantunya mengajukan perceraian untuk Felix.Ruangannya tidak besar, tapi terasa nyaman. Dindingnya dihiasi rak penuh buku hukum, dan meja kayu di depan mereka tampak bersih dan rapi. Namun bagi Luciana, suasana tetap terasa mencekam. Tangannya dingin. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. Dia gugup.Di sebelahnya, Matthias duduk tenang. Kehadiran pria itu memberinya sedikit keberanian, meski tetap saja ini adalah langkah besar—langkah yang akan mengubah seluruh hidupnya.Pengacara itu membuka map dan menatapnya dengan pandangan sopan namun tajam."Jadi, Anda Nyonya Luciana Gabrielle?" tanyanya dengan suara tenang.Luciana meneguk ludah, lalu mengangguk. "Ya.""Dan Anda ingin mengajukan gugatan cerai terhadap Tuan Felix Adrian?"Luciana menarik napas panjang. Ini saatnya."Iya," jawabnya, kali ini dengan suara