Share

BAB 4 - Aku Perawat bukan Pelayan

“Kalau aku ingin pelayan lain membereskan mejaku sudah kulakukan dari tadi”

“Aku-mau-kau-yang-membereskannya!, Kau paham!” dengan kalimat sangat jelas Vardyn menjelaskan sambil menarik lengan Arlin sehingga tubuh gadis itu mendekat kearahnya dan pria itu menatap tajam mata Arlin dengan intens.

Mata Arlin berbinar dan membulat menatap manik mata pria di depannya, wajah gadis itu agak mendongak keatas karena tubuhnya lebih mungil dibanding tubuh pria kekar di depannya dan tinggi kepalanya hanya sebatas leher pria itu, kini ketakutannya tidak bisa lagi disembunyikan.

Arlin diam dengan ketakutan yang menyebar keseluruh tubuhnya.

“Kau berada dirumahku, berarti kau juga pelayanku!” ujar Vardyn sambil melepaskan cengkraman tangannya di lengan Arlin.

Dengan tangis tertahan yang hampir tumpah, Arlin beranjak ke meja kerja tanpa sepatah katapun yang keluar dari mulutnya.

Dengan keterpaksaan dan kekesalan yang sangat, Arlin membereskan dokumen, kertas, map dan pena yang berserakan, yang seolah barang-barang itu sengaja di buat berantakan.

Arlin berfikir, tidak mungkin seorang yang selesai menulis meletakkan pulpennya di ujung mejanya dan jauh dari kertas, dan bukan hanya satu pulpen, tapi tiga pulpen yang tergeletak di arah yang berbeda. Juga kertas yang bergeletakkan yang diluar kebiasaan pekerjaan menulis seseorang.

Vardyn melangkah menuju kursi kerja dengan sandaran lebih tinggi dari kepalanya. Pria itu duduk di belakang meja kerja yang Arlin tengah bereskan.

Kini posisi Arlin berhadapan dengan Vardyn, Arlin berdiri sedangkan pria itu duduk dengan santainya.

Merasa diperhatikan, Arlin yang masih membereskan kertas-kertas melirik dengan sekejap kearah Vardyn, dan ternyata benar saja, pria itu memang sedang memandangi Arlin, entah sejak kapan pria itu memperhatikan Arlin.

Arlin yang merasa canggung dan risih tak bisa berbuat banyak, ia hanya bisa memalingkan wajahnya dan menunduk dengan tangan yang terus bergerak.

Vardyn bersandar dengan siku yang bertumpu pada tangan kursi. Jemarinya memainkan dagunya sendiri, dan tatapannya mengarah kepada gadis di depannya.

Tatapan yang mungkin memiliki pemikiran beragam di benak pria itu.

Setelah beberapa saat, pekerjaan Arlin selesai. Semua telah tertata rapih. Tidak ada lagi alasan untuk Vardyn untuk menahannya disana, gadis itu sudah ingin buru-buru keluar dari ruangan itu.

“Semua sudah selesai tuan, aku ingin kembali ke kamar nyonya Melinda, beliau harus terapi pagi ini” ucap Arlin dengan sedikit menunduk.

“Kau sangat telaten mengurus istriku. Apa kau juga bisa telaten mengurus keperluanku?” ujar Vardyn masih bersandar pada sandaran kursi.

“Maaf tuan, tapi sepertinya itu bukan tugasku” jawab Arlin tegas.

“Itu akan menjadi tugasmu mulai sekarang. Aku akan menambahkan tiga kali lipat gajimu dari yang kau dapat dari wanita di kamar sana” kini Vardyn bangkit dari bersendernya dan menumpukan kedua lengannya pada meja.

“Tapi tuan, aku tidak bisa, tugasku hanya mengurus dan merawat nyonya Melinda, lagipula bukankah tuan hanya akan tinggal beberapa hari saja dirumah ini?” ucap Arlin.

“Kau itu ternyata gadis yang sok tahu. Siapa yang bilang bahwa aku akan tinggal beberapa hari disini?” tanya Vardyn.

“Nyonya Melinda dan mbok Min bilang bahwa biasanya anda tidak akan lama jika kembali kerumah”

“Ini rumahku. Lalu bagaimana jika aku menginginkan untuk tinggal lama disini?”

Arlin hanya menunduk tak mampu lagi menjawab. Ia sudah ingin cepat-cepat berlalu dari sana.

“Baiklah tuan, sepertinya aku harus ke kamar nyonya Melinda” ucap Arlin yang tanpa menunggu jawaban dan langsung bergegas keluar ruang kerja tersebut.

Di luar ruangan tadi Arlin menghela nafas panjang. Akhirnya ia bisa menghindari ketakutannya.

Arlin dengan segera menuju kamar Melinda. Tetapi ia tak menemukan wanita itu disana.

‘Nyonya Melinda, kemana dia?’ gumam Arlin ditengah kebingungannya.

Arlin melangkah dengan cepat menuju ke ruangan lain. ‘Kemana perginya nyonya Melinda’ gumam Arlin dalam batinnya.

Ketika Arlin menuju ke dapur, ternyata Melinda tengah berusaha membuat teh sendiri di atas kursi rodanya.

Wanita itu terlihat kepayahan dengan usahanya sendiri.

“Nyonya!, anda ingin membuat apa?!, biar aku yang buatkan. Kenapa anda tak menungguku?” Arlin dengan sigap meraih gelas dan sendok yang di pegang oleh Melinda.

“Aku tahu kau sedang di ruangan suamiku” ucap Melinda.

“Iya nyonya, aku terpaksa membereskan meja kerja tuan. Oya, kemana mbok Min nyonya?, kenapa anda tidak menyuruhnya untuk membuatkan teh?” tanya Arlin.

“Tidak apa, mbok Min sedang kepasar, pelayan yang lain juga sedang mengurus pekerjaannya” ucap Melinda.

“Ehm!” sebuah deheman berat terdengar di belakang mereka.

Spontan keduanya menoleh kearah suara. Ternyata Vardyn tengah bersender di tepi dinding dengan tangan melipat di dadanya.

“Aku ingin bicara padamu Melinda” ujar Vardyn.

“Baik” Melinda mendorong roda di kursinya ke sisi meja makan.

Arlin masih menyiapkan teh untuk Melinda. Setelah beberapa saat selesai, Arlin meletakkan teh itu di depan Melinda dan akan bergegas pergi.

“Aku permisi dulu nyonya” ucapnya sambil sedikit melirik kearah Vardyn yang juga menatapnya.

“Ada apa?” tanya Melinda sedikit ketus tanpa melihat wajah tampan Vardyn.

“Aku akan tinggal beberapa pekan lagi disini. Pekerjaanku masih bisa di tangani oleh asistenku” ucap Vardyn yang sudah duduk di kursi meja makan.

“Tapi untuk apa kau berlama-lama disini? Bukankah kau tidak suka berada di dekatku?”

“Hey, ini rumahku!, aku berhak tinggal disini semau yang kusuka” tubuh Vardyn agak maju sedikit menjelaskan kalimatnya pada Melinda.

“Aku tahu!”

“Aku ingin memiliki pewaris. Aku ingin memiliki keturunan” kalimat Vardyn tiba-tiba mengguncang Melinda. Wanita itu kaget mendengarnya tetapi dengan cepat ia menutupi terkejutnya dengan wajah datar.

“Baiklah, menikahlah lagi dengan wanita lain, itu hakmu untuk menikah lagi, lagipula aku sudah tidak perduli dengan urusanmu dan aku sudah tidak memiliki rasa apapun denganmu, termasuk cemburu, rasa itu sudah mati beberapa tahun yang lalu”

“Aku ingin kau yang mencarikannya” ucap Vardyn.

“Kenapa harus aku yang mencarikan untukmu?!, tidak, carilah sendiri, itu urusanmu!” tukas Melinda sambil menautkan alisnya.

“Kenapa setiap kali kita berbicara selalu saja seperti ini!” Vardyn sedikit menggebrak meja makan kemudian beranjak dari duduknya, berdiri kemudian berlalu dari ruangan tersebut.

Melinda yang tinggal sendirian, memutar cangkir tehnya dengan satu tetes air mata yang jatuh melewati pipinya yang pucat.

Sore menjelang,

Arlin mendorong perlahan kursi roda Melinda di taman depan. Mereka menyusuri tanaman yang rindang dan sejuk di taman itu.

Dari kejauhan ternyata Vardyn memperhatikan mereka di balik gorden jendela kamarnya. Tangannya yang melipat di dada dan tubuhnya yang sedikit bersandar pada dinding, seolah tengah memperhatikan sebuah pemandangan yang indah, tetapi matanya tengah tertuju pada gadis muda yang cantik di bawah sana.

Melinda dan Arlin telah kembali ke kamar. Melinda merebahkan tubuhnya di ranjangnya, sedangkan Arlin bergegas menuju dapur untuk membawa pakaian kotor yang ada di kamar Melinda.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status