“Apa anda tidak sibuk tuan Rey?” tanya Arlin dengan keheranan yang belum sepenuhnya hilang.
“Tidak, aku tidak sesibuk Vardyn” jawab Rey entang.“Anda selalu berkata seperti itu” kata Arlin sambil memalingkan wajahnya ke arah jendela.Sesampainya di kediaman bu Siska. Mereka turun dari mobil. Tapi Arlin melihat rumah bu Siska sepi dan seolah sudah ditinggal beberapa hari yang lalu, terbukti dari debu yang menempel di lantai teras.Seorang tetangga sempat menghampiri Arlin, seorang ibu sedang menggendong anak bayinya melangkah mendekat kearah Arlin.“Cari bu Siska ya, Mba?” tanya si ibu sopan.“Ah, iya bu, apa bu Siska pergi ya?” Arlin juga menjawab sopan.“Iya, bu Siska sedang pulang kampung, sudah beberapa hari yang lalu” ujar si ibu tersebut.“Oh, gtu ya bu. Saya gak tau bu. Baik, terimakasih ya bu, permisi” kata Arlin sambil sedikit menundukan kepalanya.“Iya, Mba sama-sama”Arlin mendekat“Yup, ini kediaman kecilku” jawab Rey santai.“Kecil?” gumam Arlin.Mereka duduk di sofa mewah tadi. Arlin agak canggung dengan keadaanya. Ia seperti anak desa yang berada di istana megah.“Apa kau tinggal sendirian disini tuan Rey?” tanya Arlin masih menyimpan kekaguman luar biasa pada pribadi Rey yang sedikit demi sedikit terkuak.“Aku tinggal bersama anak buahku dan, ohya … tadi aku ingin mengenalkanmu pada Big Black” Rey mengisyaratkan jarinya pada pria yang berdiri tegak di dekat dinding.Pria itu menghampiri Rey dan menunduk karena Rey berbisik sesuatu padanya. Pria itu mengangguk kemudian berlalu dari sana.Tak lama kemudian, si pria tadi membawa seekor anak macan kumbang yang berbulu hitam mengkilat. Ia di rantai di lehernya. Matanya kuning menyeramkan. Tapi anak macan kumbang tersebut sungguh menggemaskan, bagai kucing hitam yang lucu.“Nah, kenalkan, dia Big Black” Rey menggendong Big Black kemudian mengelusnya. Hewan itu sangat penurut di tangan Rey.“I-ini piaraanmu?. Dia s
Arlin diantar pulang oleh Rey. Di dalam mobil, mereka lebih banyak diam, memendam perasaan masing-masing.“Tuan Rey, besok kau tidak perlu repot untuk mengunjungiku dan menjagaku seperti ini. Aku tahu kesibukanmu” akhirnya satu kalimat terlontar dari bibir Arlin setelah sebelumnya beberapa saat hening.“Benarkah kau tidak membutuhkan aku?” tanya Rey seolah sindiran halus.Arlin hanya diam dan menunduk.Sepekan berlalu, Vardyn telah kembali ke sisi Arlin. Namun Arlin mendapati sikap Vardyn yang sedikit berubah, ia agak pendiam semenjak kepulangannya dari Luar Negeri.“Richo, kalau ada masalah mungkin kau bisa bercerita padaku” ucap Arlin di sela waktu santai mereka dan di temani suguhan teh melati hangat.“Masalah?, sepertinya tidak ada masalah. Oya, bagaimana kabar bu Siska?, kau bilang tempo hari ingin mengunjunginya?” tanya Vardyn sedikit mengalihkan pembicaraan.“Bu Siska sedang pulang kampung. Aku belum tau apa dia s
“Arlin, aku mohon padamu, bantulah nyonya Melinda, jadilah perawatnya, setidaknya jadilah teman bicaranya” ucap bu Siska sambil menggenggam kedua lengan gadis cantik berwajah lembut bernama Arlin.“Tapi aku bukanlah perawat bu, aku hanya biasa merawat ibuku sewaktu aku masih sekolah, aku tidak yakin akan bisa juga merawat orang lain” ucap Arlin ragu dengan dirinya sendiri.“Kau pasti bisa, bukankah kau butuh pekerjaan?. Baiklah, jika kau tidak sanggup maka tolong kerjakan saja untuk sementara waktu, jika kau sudah tidak kerasan kau boleh berhenti, tapi kumohon Arlin, datanglah dulu kesana” bu Siska memohon yang kesekian kali pada gadis itu.Arlin terdiam sesaat, matanya tertuju ke bawah, kemudian kembali menatap bu Siska.“Baiklah bu, aku akan coba menemuinya dan merawatnya untuk sementara waktu” ucap Arlin.Bu Siska memeluk Arlin yang sudah dianggap sebagai anak sendiri oleh wanita paruh baya itu.“Terimakasih sayang, kau memang
“Semua itu berawal ketika ….….….Pernikahanku dengan suamiku hanya karena perjodohan keluarga besar kami yang sangat menginginkan sebuah hubungan darah dan keluarga. Ayahku juga sangat berharap pria itu bisa menjadi suamiku, karena ia adalah tangan kanan kepercayaan ayahku.Aku dan suamiku tidak saling mencintai. Aku bahkan tidak menyukainya karena sikapnya yang dingin, arogan dan acuh terhadapku. Suamiku jarang sekali menyentuhku, apalagi memberikan nafkah batin, hampir tidak pernah, atau mungkin aku lupa hanya beberapa kali ketika awal menikah.Akhirnya kami berdua sudah sangat membenci satu sama lain, aku pernah menggugat cerai dan dia juga menginginkan perceraian, tetapi mengingat kedua keluarga besar kami sangat anti dengan yang namanya perceraian. Perceraian di keluarga besar kami adalah aib dan sangat dihindari, jadi lebih baik kami tersiksa di dalam pernikahan daripada harus bercerai, maka kami tidak mengungkapkan rencana perceraian itu pada keluarga kami.Kami bertahan den
“Kau atau siapapun dirumah ini adalah pelayanku, aku pemilik rumah ini, aku bisa saja dengan mudah mengusirmu dari sini! Dan tidak ada seorangpun yang bisa membantahku, kau mengerti!” Manik mata pria itu yang hitam pekat dan garis wajah yang tegas berada di depan Arlin mencoba memberi tekanan pada gadis itu.Dengan intimidasi yang diterimanya dan ketakutan yang seolah disembunyikan, Arlin menatap balik Vardyn dengan tatapan tidak suka dan wajah terpaksa mengiyakan.“Sekarang kau yang buatkan aku teh dan bukan mbok Min, apa kau paham kata-kataku!” ujar Vardyn dengan nada menyeramkan.Arlin yang akhirnya tidak kuat dengan aura menakutkan itu akhirnya memilih mengalah dan beranjak dari hadapan Vardyn dengan diam penuh kekesalan.Gadis itu menuju kitchen set dan mulai membuat teh. Setelah selesai ia menghidangkannya di depan Vardyn tanpa berkata sepatah katapun. Teh panas yang masih mengepul, dengan aroma teh melati yang khas, sekejap membua
“Kalau aku ingin pelayan lain membereskan mejaku sudah kulakukan dari tadi”“Aku-mau-kau-yang-membereskannya!, Kau paham!” dengan kalimat sangat jelas Vardyn menjelaskan sambil menarik lengan Arlin sehingga tubuh gadis itu mendekat kearahnya dan pria itu menatap tajam mata Arlin dengan intens.Mata Arlin berbinar dan membulat menatap manik mata pria di depannya, wajah gadis itu agak mendongak keatas karena tubuhnya lebih mungil dibanding tubuh pria kekar di depannya dan tinggi kepalanya hanya sebatas leher pria itu, kini ketakutannya tidak bisa lagi disembunyikan.Arlin diam dengan ketakutan yang menyebar keseluruh tubuhnya.“Kau berada dirumahku, berarti kau juga pelayanku!” ujar Vardyn sambil melepaskan cengkraman tangannya di lengan Arlin.Dengan tangis tertahan yang hampir tumpah, Arlin beranjak ke meja kerja tanpa sepatah katapun yang keluar dari mulutnya.Dengan keterpaksaan dan kekesalan yang sangat, Arlin membereskan dok
Di dapur, Arlin mendapati mbok Min tengah membantu seorang pelayan memasak sebuah hidangan yang beda dari biasanya.“Masak apa mba?” tanya Arlin setelah beberapa saat yang lalu meletakkan pakaian kotor kedalam mesin cuci baju.“Ini non, menu spesial buat tuan Vardyn. Katanya dia mau masakan yang enak. Haduh non, kita ini kalau sudah diminta tuan untuk masak suka deg-degan, takut …” ucap pelayan yang biasa memasak di rumah tersebut yang tengah mengaduk-aduk masakannya.“Memangnya kenapa mba?, kok takut?” tanya Arlin dengan alis mengerut.“Ya soalnya kalau nda cocok sama lidah tuan, bisa-bisa kita kena damprat, hiii ngeri” ucap pelayan wanita itu sambil bergidik sendiri.“Hahaha, mba ini … ya kalau tidak enak di lidah tuan kita-kita saja yang makan” canda Arlin.“Ih non Arlin sih belum tau kelakuan tuan, tuan itu kalau sudah tidak suka maunya marah-marah”“Ya namanya juga Bos mba, wajarlah kalau sering marah-marah. Yaudah
Hari terakhir di rumah Melinda sebelum kepergian Arlin,Saat itu Vardyn tengah keluar untuk menemui relasi bisnis nya. Arlin akan berpamitan pada Melinda, tapi bersamaan dengan itu, seorang pria tinggi besar dan lumayan tampan menghampiri rumah besar itu.Arlin yang sudah berada di halaman depan yang telah siap dengan koper dan tas besarnya melihat dan berpapasan dengan pria itu, kemudian pria itu juga menatap Arlin agak lama.“Apa Melinda ada?, katakan padanya aku Fedri” tanyanya pada Arlin.“Ya, ada tuan, sebentar” ucap Arlin yang kemudian melangkah lagi ke dalam rumah.“Nyonya, ada seorang pria di depan ingin bertemu anda, namanya Fedri” ucap Arlin.Paras Melinda spontan berubah.“Fedri …” seolah melihat sebuah harapan, Melinda bersemangat dengan raut wajah yang sangat senang juga menyiratkan kebingungan.“S-suruh dia masuk Arlin, Arlin … terimakasih untuk semuanya” ucap Melinda.“Baik nyonya, oya, aku sekalian pamit nyonya, aku permisi” ucap Arlin untuk terakhirnya di rumah itu.Ar