Samuel menemukan Silvi di ujung ruang arsip ketika jam kerja hampir berakhir. Tangannya bergerak memegang beberapa dokumen, tapi kemudian meletakkannya kembali di tempat yang sama. Seolah itu hanyalah caranya agar tidak ada yang mengusiknya.
Matanya merah, menahan air mata yang terus ia tolak keluar. Silvi tidak bisa berbohong, gosip itu mempengaruhinya. Ia menghabiskan bertahun-tahun untuk membersihkan namanya dan memastikan tidak ada masalah yang menempel, bahkan membuang nama belakangnya, hanya untuk Julian dengan sengaja menyematkan kalimat ‘wanita simpanan’ di sana.
Ia membencinya, dan jauh lebih membenci dirinya yang tidak berdaya.
Samuel berhenti di ambang pintu, tidak mengetuk, tidak memanggil. Hanya memandang Silvi dari kejauhan.
Ia tahu bahwa seharusnya ia pergi, karena Silvi yang ia kenal benci ketika ia terlihat rapuh di mata orang lain. Tapi Samuel menahan dirinya di sini, mencoba memanggil Silvi pelan.
“Silvi…”
Suara itu pelan, nyaris tenggelam di antara suara folder yang Silvi pegang. Silvi menghentikan gerakan dan menoleh perlahan, tapi tidak berkata apa-apa. Ia hanya menarik napas, lalu menunduk, kembali berpura-pura mengambil dokumen untuk dia baca.
Samuel melangkah mendekat, “Aku dengar gosip itu.”
Silvi tidak menanggapi.
“Aku tahu kamu bukan seperti yang mereka bilang.”
Itu seharusnya menjadi penghiburan. Tapi yang Silvi rasakan justru rasa panas yang menyesakkan di tenggorokan. “Terakhir kamu bicara kayak kamu percaya gosip itu.” Jawab Silvi lirih.
Samuel menghela nafas, rasa bersalah merayap di dadanya. Samuel juga berharap dia tidak pernah mengatakan hal yang menyakitkan pada Silvi, tapi ia tidak bisa memutar waktu ke minggu lalu. “Aku ga tau apa yang terjadi waktu itu, tapi wajah kamu sekarang…” Samuel memegang bahu Silvi, membuat wanita itu sedikit menggerakkan badannya, ingin menjauh, seolah tidak ingin disentuh oleh siapapun.
“Itu bukan wajah orang yang sedang menikmati perlakuan ke dirinya, apa pun yang Julian lakukan ke kamu.” Mata Silvi semakin memerah, tapi tetap tidak ada air mata yang keluar. Samuel merasakan hatinya sakit saat melihat Silvi terlihat begitu lemah.
Wanita itu menggigit bibir bawahnya, seperti mencoba mengalihkan perasaan sakit di dalam hatinya ke sesuatu yang lebih fisik, berharap perasaan sesak itu hilang dari dadanya. Samuel menarik Silvi ke pelukannya, memeluknya dengan erat, berharap dengan begitu ia dapat mengurangi rasa sakit yang Silvi rasakan.
“Jangan tinggalin aku lagi…” suara Silvi nyaris hilang dalam bisikannya kepada Samuel, tapi Silvi membalas pelukan pria itu. Ia sudah pernah ditinggalkan semua hal yang dia kira miliknya di masa lalu, ia tidak ingin itu terjadi lagi.
“Tidak akan…” Silvi menarik nafas, ada getaran halus yang terdengar di suara Samuel, menyakitkan, tapi ada rasa lega yang menjalar dalam tubuhnya. Ia harus melakukan apapun agar Samuel tidak meninggalkannya seperti semua orang.
Tanpa mereka sangka, Julian berada di sana, berdiri di bawah bayang-bayang. Rahangnya mengeras, sementara tangannya mengepal di balik sakunya. Diam-diam tidak setuju dengan apa yang mereka katakan.
SIlvi masih memiliki seseorang untuk pelariannya, dan Julian tidak suka itu. Tapi ia akan membiarkan mereka mengucapkan salam perpisahannya hari ini, karena Julian sudah menyiapkan panggung untuk mengikat Silvi padanya.
=
Panggung itu bukan sekadar tempat atau tatapan orang lain yang Julian gunakan sejauh ini. Panggung itu jauh lebih besar, melibatkan seseorang yang akan menarik perhatian semua orang pada Julian dan Silvi.
Panggung itu bernama Celine, tunangan Julian, seorang aktris yang sedang naik daun dan berasal dari keluarga terpandang. Dipilih dengan hati-hati bahkan sebelum pertemuannya kembali dengan Silvi, dengan mempertimbangkan sejauh mana dia akan membawa keuntungan pada Julian.
Hari itu dia datang ke kantor dengan ketidaktahuannya, hanya alasan tulus untuk mengunjungi tunangannya. Langkahnya percaya diri, dengan suara heels yang menggema, membuat semua orang berbalik untuk memandangnya.
Dengan latar belakangnya, orang-orang mungkin akan memaklumi jika dia bertingkah sedikit arogan. Tapi Celine tidak seperti itu. Dengan dress selutut berwarna hitam yang ikut bergerak pelan seiring langkahnya, ia menyapa semua orang. Tidak ada senyum yang dipaksakan. Setiap sapaan terasa hangat, seolah ia benar-benar ingin mengenal semua orang.
Kepalanya menunduk kecil tiap kali ada tatapan yang jatuh sedikit lama padanya. Sopan, tapi tetap memancarkan keanggunan. Beberapa karyawan wanita saling mencolek pelan, membisikkan nama yang selama ini hanya mereka lihat di layar kaca. Beberapa pria mendadak sibuk merapikan kemeja dan postur tubuh.
Ada sesuatu yang berubah di atmosfer kantor hari itu. Seolah kantor yang biasanya tidak saling memperhatikan kini menjadi panggung kecil untuk sosok Celine yang bersinar.
Beberapa orang mencoba menebak alasan kedatangannya—dan sebagian dari mereka sudah tahu jawabannya.
“Celine datang...” bisik seseorang dari balik bilik kerja, “Tunangan Pak Julian, katanya.”
“Tapi ada urusan apa kemari? Dia dengar soal Silvi?”
Bisikan-bisikan itu tidak pernah sampai ke telinga Celine. Ia terus berjalan, seolah ruang ini memang disusun untuk menerima kehadirannya. Bahkan lift yang biasanya lambat hari itu terasa cepat, seakan sengaja menyambutnya.
Setelah beberapa kali bertanya, Celine akhirnya sampai di depan ruang Julian, di sana ada Silvi yang duduk di depan laptopnya, terlalu fokus untuk menyadari keberadaan Celine. Hingga wanita itu berjalan mendekat dan menyapanya dengan ramah.
“Hai!” Suara itu halus, bahkan sangat merdu untuk satu kata yang didengar sekilas. Tapi membuat Silvi mau tidak mau memandang ke arahnya.
Celine tersenyum lembut. “Kenalin, Celine.” Wanita itu memperkenalkan dirinya seolah seluruh negara tidak mengenal namanya. Tapi Silvi tidak menemukan tanda-tanda kearoganan dalam kalimatnya. Hanya perkenalan yang tulus.
Silvi sudah pernah mendengar bahwa Julian sudah memiliki tunangan, tapi dia tidak tahu siapa orangnya. Dan kehadiran Celine pagi ini seolah memberi tahunya segalanya. Membuatnya merasa tidak nyaman, dengan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa perih hanya untuk mengucapkan namanya sendiri.
“Silvi…” Silvi berkata pelan, diam-diam berharap Celine tidak mendengar namanya, takut jika dia tidak sengaja mendengar namanya disandingkan dengan nama Julian oleh orang lain.
“Kamu cantik banget.” Ucapan itu terdengar tulus, seperti seorang teman yang memuji satu sama lain. Silvi memaksakan sebuah senyuman di wajahnya, tapi ada rasa bersalah yang menyelinap dalam hatinya. Wanita ini terlalu tulus untuk Julian. SIlvi tahu bagaimana Julian, dia akan terus menyelipkan Silvi dalam hidupnya. Dan itu membuatnya merasa bersalah.
“Terima kasih.” Silvi menjawab sambil menunduk, ia bahkan tidak sanggup melihat wajah Celine terlalu lama karena perasaan bersalah yang seharusnya tidak ia rasakan.
“That’s cute.”
“Ya?”
Celine menunjuk pada sticky note yang tertempel di meja Silvi.
‘Good morning, Silvi. Hope your day goes as planned.’
“Dari pacar kamu?”
Silvi tersenyum masam, bagaimana cara dia menjelaskan pada wanita ini bahwa tunangannya yang menuliskan kalimat itu?
“Celine!” pandangan kedua wanita itu teralihkan saat suara Julian terdengar dari arah datangnya Celine tadi, menyelamatkan Silvi dari pertanyaan Celine. Wanita cantik itu tersenyum dengan lebar, lalu berjalan dengan langkah ringan ke arah Julian.
“Hai sayang.” Julian menyambut Celine yang memeluknya dengan senyum hangat, yang bagi siapa pun tampak seperti cinta sejati. Tapi Silvi tahu, di balik satu tangannya yang memeluk pinggang Celine dan bibirnya mengecup dahinya, senyuman itu diarahkan ke Silvi yang menjadi penonton. Bukan Celine.
Mereka berjalan beriringan menuju ruangan Julian, dengan tangan Julian yang melingkar di bahu Celine. Celine yang melewati meja Silvi sekali lagi memberikannya lambaian sambil membisikkan kata, ‘See you’.
Silvi menatapnya dengan senyum paksa hingga mereka berdua menghilang di balik pintu. Beberapa karyawan yang menyaksikan adegan itu tersenyum miring ke arahnya. Jelas menghakiminya dengan tatapan mereka.
“Ga sadar diri.” kalimat itu diucapkan di sela-sela langkah kaki yang terdengar di lorong itu. Silvi yang sejak tadi hanya bisa menunduk, meremas roknya kuat. Mencoba menahan perasaan yang membuncah di dadanya.
Tangan Silvi menggapai sticky note yang masih berada di atas meja, lalu membuangnya ke tong sampah. Berharap dengan begitu setidaknya rasa sesak di dadanya bisa sedikit berkurang.
Ada satu hal yang dia sadari: Jika Julian membawa Celine ke hadapannya, berarti dia punya rencana, dan apapun itu Silvi tahu Julian akan menariknya tenggelam lebih jauh.
Silvi membenci ibunya.Sejak pertama kali ia menyadari bahwa hidupnya dibangun atas dasar kebohongan, Silvi selalu mengingatkan dirinya akan satu hal. Apa pun yang dikatakan ibunya, semuanya hanyalah kebohongan yang diberikan demi keuntungan wanita itu.Tapi Silvi selalu mempercayai satu hal secara konsisten, satu hal yang dikatakan ibunya untuk pertama kali saat ia pulang dengan keadaan rumah yang berantakan. Bahwa Silvi adalah pembawa sial.Wanita itu mengatakannya sambil memegang bahunya dengan erat hingga meninggalkan jejak yang baru hilang setelah berhari-hari.Silvi mencoba melupakan kalimat itu, berusaha menjalankan hidupnya seolah kalimat yang sama tidak menghantuinya di setiap malam di mana ia merasa kesepian. Tapi, ia tidak bisa. Kalimat itu terus berbisik di kepalanya dan tidak berhenti dari ia bangun hingga tidur lagi. Bahkan, kalimat itu kembali muncul di hari ini ketika ia melihat ibunya berada di depan pintu, berdiri di depan seorang asisten rumah tangga yang terli
Vanessa memperhatikan Silvi dari celah pintu yang ia buka. Anak tirinya itu tidak lagi bergerak dari kamarnya selama dua hari. Bahkan walau dua orang yang terakhir kali datang menemuinya kembali datang ke rumah mereka, Silvi menolak kedatangan mereka secara terang-terangan.Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi ia sudah berniat akan melakukan apa pun untuk membantu Silvi begitu ia mendengar dari suaminya bahwa wanita itu sedang hamil dan butuh banyak dukungan.Tapi bagaimana cara untuk membantu seseorang yang bahkan tidak ingin dibantu?Silvi selalu diam di kamarnya, makan secara terpisah ketika Vanessa sudah selesai makan. Selain itu, ia hanya keluar jika memang diperlukan. Fakta bahwa Silvi hanya keluar
Saat keheningan di ujung telepon bertahan terlalu lama, Anastasia tahu pria di seberang sana telah memakan umpannya. Maka ia melanjutkan dengan nada yang manis."Kalau kamu mau tahu, aku bisa memberitahumu… dengan satu syarat."Terdengar helaan napas dari seberang lalu suara yang terdengar terasa dingin, tapi tak bisa sepenuhnya menyembunyikan kegugupan yang mulai merayap."Apa maumu?"Anastasia bangkit dari tempat duduk dan berjalan perlahan ke arah jendela. Menatap bayangan wajahnya di sana."Aku ingin kamu membantuku," ucapnya ringan, "Aku ingin Silvi menghubungiku. Kamu bisa menyebut namaku kapan saja. Kalau dia tahu kamu tahu tempatnya dariku, dia akan menghubungiku."
Mami tahu kamu kembali ke rumah itu.Silvi membaca pesan yang baru saja masuk dari ibunya dengan tangan yang gemetar. Belum ada 24 jam sejak Samuel dan Celine datang ke rumah ini dan sekarang ia harus menghadapi ibunya?Apa Papi kamu menanyakan keadaan Mami?Silvi sudah mengangkat tangannya untuk melemparkan ponsel itu ke dinding ketika benda itu bergetar di tangannya, membuatnya mengintip nama yang muncul di layarnya.MamiSesuai dengan dugaannya. Silvi mulai bertanya-tanya mengapa ia masih menyimpan nomor itu.Dan kenapa wanita itu masih memiliki cukup rasa percay
"Apa kalian pikir yang paling aku butuhin saat ini itu balas dendam?" Silvi bergumam pelan, masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar sebelumnya. Celine membuka mulut, tapi Silvi melanjutkan, "Aku bahkan nggak bisa berdiri lama tanpa merasa kram. Kalian pikir aku masih mau terlibat ini semua?"Samuel terlihat canggung, "Kami cuma… kami cuma ingin bantu.""Kalau kalian benar-benar ingin bantu," suara Silvi mulai bergetar, "Kalian harusnya mulai dengan bertanya apa yang aku butuhin. Bukan ngebawa rencana yang bahkan ga aku mau."Ruangan itu hening, hanya ada suara nafas Silvi yang terdengar berat. Tangannya menyibakkan rambutnya ke belakang dengan wajah yang gusar.Dan tepat di tengah keheningan itu, ponsel Silvi berdering. Ia merogoh sakunya dan mata Silvi seketika memicing saat melihat siapa yang menelpon.Mami. Lagi.Seakan dunia tak memberinya ruang untuk sekadar duduk dan mencoba berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Silvi mematikan panggilan itu dan kembali menatap Cel
Semuanya terasa begitu kacau.Julian mencoba melakukan pekerjaannya seperti biasa. Ia bahkan mulai lebih sering hadir di kantor yang dulu hanya ia kendalikan di belakang layar. Mencoba mengalihkan dirinya dari bayang-bayang Silvi yang duduk tenang sambil membaca buku maupun menonton televisi di tempat tidur mereka.Julian mencoba memindahkan ruang kerjanya ke tempat lain agar tidak semakin terganggu dengan bayang Silvi, tapi usahanya gagal ketika ia keluar untuk makan siang dan melihat bayangan Silvi yang duduk di meja makan sambil memainkan ponselnya.Hingga akhirnya ia memilih keluar dari rumah untuk bekerja. Mungkin ia bisa lebih fokus di tempat baru, mungkin dia bisa benar-benar melakukan sesuatu di tempat yang tidak pernah didatangi Silvi sebelumnya.Tapi, pekerjaannya justru terus terhenti karena Julian terus menerus mengecek ponselnya. Membuka pesannya dengan Silvi yang bahkan tidak memiliki banyak history karena mereka tinggal di rumah yang sama.Alhasil, asistennya harus