Samuel menemukan Silvi di ujung ruang arsip ketika jam kerja hampir berakhir. Tangannya bergerak memegang beberapa dokumen, tapi kemudian meletakkannya kembali di tempat yang sama. Seolah itu hanyalah caranya agar tidak ada yang mengusiknya.
Matanya merah, menahan air mata yang terus ia tolak keluar. Silvi tidak bisa berbohong, gosip itu mempengaruhinya. Ia menghabiskan bertahun-tahun untuk membersihkan namanya dan memastikan tidak ada masalah yang menempel, bahkan membuang nama belakangnya, hanya untuk Julian dengan sengaja menyematkan kalimat ‘wanita simpanan’ di sana.
Ia membencinya, dan jauh lebih membenci dirinya yang tidak berdaya.
Samuel berhenti di ambang pintu, tidak mengetuk, tidak memanggil. Hanya memandang Silvi dari kejauhan.
Ia tahu bahwa seharusnya ia pergi, karena Silvi yang ia kenal benci ketika ia terlihat rapuh di mata orang lain. Tapi Samuel menahan dirinya di sini, mencoba memanggil Silvi pelan.
“Silvi…”
Suara itu pelan, nyaris tenggelam di antara suara folder yang Silvi pegang. Silvi menghentikan gerakan dan menoleh perlahan, tapi tidak berkata apa-apa. Ia hanya menarik napas, lalu menunduk, kembali berpura-pura mengambil dokumen untuk dia baca.
Samuel melangkah mendekat, “Aku dengar gosip itu.”
Silvi tidak menanggapi.
“Aku tahu kamu bukan seperti yang mereka bilang.”
Itu seharusnya menjadi penghiburan. Tapi yang Silvi rasakan justru rasa panas yang menyesakkan di tenggorokan. “Terakhir kamu bicara kayak kamu percaya gosip itu.” Jawab Silvi lirih.
Samuel menghela nafas, rasa bersalah merayap di dadanya. Samuel juga berharap dia tidak pernah mengatakan hal yang menyakitkan pada Silvi, tapi ia tidak bisa memutar waktu ke minggu lalu. “Aku ga tau apa yang terjadi waktu itu, tapi wajah kamu sekarang…” Samuel memegang bahu Silvi, membuat wanita itu sedikit menggerakkan badannya, ingin menjauh, seolah tidak ingin disentuh oleh siapapun.
“Itu bukan wajah orang yang sedang menikmati perlakuan ke dirinya, apa pun yang Julian lakukan ke kamu.” Mata Silvi semakin memerah, tapi tetap tidak ada air mata yang keluar. Samuel merasakan hatinya sakit saat melihat Silvi terlihat begitu lemah.
Wanita itu menggigit bibir bawahnya, seperti mencoba mengalihkan perasaan sakit di dalam hatinya ke sesuatu yang lebih fisik, berharap perasaan sesak itu hilang dari dadanya. Samuel menarik Silvi ke pelukannya, memeluknya dengan erat, berharap dengan begitu ia dapat mengurangi rasa sakit yang Silvi rasakan.
“Jangan tinggalin aku lagi…” suara Silvi nyaris hilang dalam bisikannya kepada Samuel, tapi Silvi membalas pelukan pria itu. Ia sudah pernah ditinggalkan semua hal yang dia kira miliknya di masa lalu, ia tidak ingin itu terjadi lagi.
“Tidak akan…” Silvi menarik nafas, ada getaran halus yang terdengar di suara Samuel, menyakitkan, tapi ada rasa lega yang menjalar dalam tubuhnya. Ia harus melakukan apapun agar Samuel tidak meninggalkannya seperti semua orang.
Tanpa mereka sangka, Julian berada di sana, berdiri di bawah bayang-bayang. Rahangnya mengeras, sementara tangannya mengepal di balik sakunya. Diam-diam tidak setuju dengan apa yang mereka katakan.
SIlvi masih memiliki seseorang untuk pelariannya, dan Julian tidak suka itu. Tapi ia akan membiarkan mereka mengucapkan salam perpisahannya hari ini, karena Julian sudah menyiapkan panggung untuk mengikat Silvi padanya.
=
Panggung itu bukan sekadar tempat atau tatapan orang lain yang Julian gunakan sejauh ini. Panggung itu jauh lebih besar, melibatkan seseorang yang akan menarik perhatian semua orang pada Julian dan Silvi.
Panggung itu bernama Celine, tunangan Julian, seorang aktris yang sedang naik daun dan berasal dari keluarga terpandang. Dipilih dengan hati-hati bahkan sebelum pertemuannya kembali dengan Silvi, dengan mempertimbangkan sejauh mana dia akan membawa keuntungan pada Julian.
Hari itu dia datang ke kantor dengan ketidaktahuannya, hanya alasan tulus untuk mengunjungi tunangannya. Langkahnya percaya diri, dengan suara heels yang menggema, membuat semua orang berbalik untuk memandangnya.
Dengan latar belakangnya, orang-orang mungkin akan memaklumi jika dia bertingkah sedikit arogan. Tapi Celine tidak seperti itu. Dengan dress selutut berwarna hitam yang ikut bergerak pelan seiring langkahnya, ia menyapa semua orang. Tidak ada senyum yang dipaksakan. Setiap sapaan terasa hangat, seolah ia benar-benar ingin mengenal semua orang.
Kepalanya menunduk kecil tiap kali ada tatapan yang jatuh sedikit lama padanya. Sopan, tapi tetap memancarkan keanggunan. Beberapa karyawan wanita saling mencolek pelan, membisikkan nama yang selama ini hanya mereka lihat di layar kaca. Beberapa pria mendadak sibuk merapikan kemeja dan postur tubuh.
Ada sesuatu yang berubah di atmosfer kantor hari itu. Seolah kantor yang biasanya tidak saling memperhatikan kini menjadi panggung kecil untuk sosok Celine yang bersinar.
Beberapa orang mencoba menebak alasan kedatangannya—dan sebagian dari mereka sudah tahu jawabannya.
“Celine datang...” bisik seseorang dari balik bilik kerja, “Tunangan Pak Julian, katanya.”
“Tapi ada urusan apa kemari? Dia dengar soal Silvi?”
Bisikan-bisikan itu tidak pernah sampai ke telinga Celine. Ia terus berjalan, seolah ruang ini memang disusun untuk menerima kehadirannya. Bahkan lift yang biasanya lambat hari itu terasa cepat, seakan sengaja menyambutnya.
Setelah beberapa kali bertanya, Celine akhirnya sampai di depan ruang Julian, di sana ada Silvi yang duduk di depan laptopnya, terlalu fokus untuk menyadari keberadaan Celine. Hingga wanita itu berjalan mendekat dan menyapanya dengan ramah.
“Hai!” Suara itu halus, bahkan sangat merdu untuk satu kata yang didengar sekilas. Tapi membuat Silvi mau tidak mau memandang ke arahnya.
Celine tersenyum lembut. “Kenalin, Celine.” Wanita itu memperkenalkan dirinya seolah seluruh negara tidak mengenal namanya. Tapi Silvi tidak menemukan tanda-tanda kearoganan dalam kalimatnya. Hanya perkenalan yang tulus.
Silvi sudah pernah mendengar bahwa Julian sudah memiliki tunangan, tapi dia tidak tahu siapa orangnya. Dan kehadiran Celine pagi ini seolah memberi tahunya segalanya. Membuatnya merasa tidak nyaman, dengan tenggorokannya yang tiba-tiba terasa perih hanya untuk mengucapkan namanya sendiri.
“Silvi…” Silvi berkata pelan, diam-diam berharap Celine tidak mendengar namanya, takut jika dia tidak sengaja mendengar namanya disandingkan dengan nama Julian oleh orang lain.
“Kamu cantik banget.” Ucapan itu terdengar tulus, seperti seorang teman yang memuji satu sama lain. Silvi memaksakan sebuah senyuman di wajahnya, tapi ada rasa bersalah yang menyelinap dalam hatinya. Wanita ini terlalu tulus untuk Julian. SIlvi tahu bagaimana Julian, dia akan terus menyelipkan Silvi dalam hidupnya. Dan itu membuatnya merasa bersalah.
“Terima kasih.” Silvi menjawab sambil menunduk, ia bahkan tidak sanggup melihat wajah Celine terlalu lama karena perasaan bersalah yang seharusnya tidak ia rasakan.
“That’s cute.”
“Ya?”
Celine menunjuk pada sticky note yang tertempel di meja Silvi.
‘Good morning, Silvi. Hope your day goes as planned.’
“Dari pacar kamu?”
Silvi tersenyum masam, bagaimana cara dia menjelaskan pada wanita ini bahwa tunangannya yang menuliskan kalimat itu?
“Celine!” pandangan kedua wanita itu teralihkan saat suara Julian terdengar dari arah datangnya Celine tadi, menyelamatkan Silvi dari pertanyaan Celine. Wanita cantik itu tersenyum dengan lebar, lalu berjalan dengan langkah ringan ke arah Julian.
“Hai sayang.” Julian menyambut Celine yang memeluknya dengan senyum hangat, yang bagi siapa pun tampak seperti cinta sejati. Tapi Silvi tahu, di balik satu tangannya yang memeluk pinggang Celine dan bibirnya mengecup dahinya, senyuman itu diarahkan ke Silvi yang menjadi penonton. Bukan Celine.
Mereka berjalan beriringan menuju ruangan Julian, dengan tangan Julian yang melingkar di bahu Celine. Celine yang melewati meja Silvi sekali lagi memberikannya lambaian sambil membisikkan kata, ‘See you’.
Silvi menatapnya dengan senyum paksa hingga mereka berdua menghilang di balik pintu. Beberapa karyawan yang menyaksikan adegan itu tersenyum miring ke arahnya. Jelas menghakiminya dengan tatapan mereka.
“Ga sadar diri.” kalimat itu diucapkan di sela-sela langkah kaki yang terdengar di lorong itu. Silvi yang sejak tadi hanya bisa menunduk, meremas roknya kuat. Mencoba menahan perasaan yang membuncah di dadanya.
Tangan Silvi menggapai sticky note yang masih berada di atas meja, lalu membuangnya ke tong sampah. Berharap dengan begitu setidaknya rasa sesak di dadanya bisa sedikit berkurang.
Ada satu hal yang dia sadari: Jika Julian membawa Celine ke hadapannya, berarti dia punya rencana, dan apapun itu Silvi tahu Julian akan menariknya tenggelam lebih jauh.
“Aku tidak mencintainya.” Itu adalah hal pertama yang Silvi dengar setelah ia masuk ke ruangan Julian. Silvi mendengus, untuk pertama kalinya, rasa takut yang biasanya menguasai digantikan oleh perasaan lain yang jauh lebih kuat. Ia merasa… muak. Muak dengan Julian yang terus-menerus memasukkan tokoh baru hanya demi menyakitinya.“Anda tidak perlu repot-repot menjelaskan hal seperti itu pada saya,” Silvi berkata pelan, mencoba menahan diri. Ia menurunkan dokumen-dokumen di atas meja Julian, lalu menatap kotak bekal kecil yang terletak rapi di sudut meja, lengkap dengan sticky note berwarna merah muda menempel di atasnya.Silvi tahu bahwa itu diberikan oleh Celine dan ia sama sekali tidak berniat membaca pesan di sana. Ia tidak ingin tahu apa yang ditulis oleh wanita itu, karena jika ia melakukannya, itu hanya akan membuatnya merasa seperti penyusup dalam kehidupan orang lain.“Aku akan segera melepaskannya,” Julian kembali berbicara, suaranya rendah dan penuh penekanan, “Kalau kamu jug
Silvi berdiri mematung saat pelukan itu dilepaskan. Anehnya, yang paling menyakitkan bukan pelukannya, tapi kehampaan yang ditinggalkan setelahnya. Seperti ruang kosong yang tiba-tiba terbuka di dalam dadanya, membesar perlahan hingga nyaris menelannya hidup-hidup. Ia menunduk, menyembunyikan wajah yang mulai basah oleh air mata yang masih tertahan. Ia membenci dirinya sendiri, karena sempat merasakan harapan di dalam pelukan Julian. Harapan kecil yang bodoh, bahwa mungkin di balik semua ini ada cinta yang tulus.Silvi mundur perlahan. Nafasnya berat, dada terasa sesak. “Saya harus pergi.” suaranya nyaris tak terdengar, seperti bisikan yang enggan keluar.Julian tidak menghentikannya. Ia hanya menatap diam, dengan tatapan milik seseorang yang percaya bahwa pada akhirnya semua akan kembali padanya.Silvi berjalan keluar, melewati lorong kantor yang dingin dan sunyi. Lampu di langit-langit terasa terlalu terang, menyilaukan penglihatannya yang mulai buram. Langkahnya tidak punya arah, h
Silvi tidak pulang malam itu.Ia tidak melawan saat Julian menarik tangannya, tidak berkata apa pun ketika pria itu membukakan pintu mobil untuknya. Hujan yang turun sejak sore hanya menyisakan pakaian yang basah dan udara dingin yang menempel di kulit. Silvi duduk diam di kursi penumpang, membiarkan suara mesin dan klakson dari kendaraan lain mengisi keheningan. Tidak ada pertanyaan tentang ke mana mereka akan pergi atau apa yang akan terjadi. Ia hanya mengikuti Julian seperti bayangan, tidak peduli akan dibawa ke mana.Saat pintu apartemen Julian terbuka dan cahaya menyambut, Silvi tetap melangkah pelan di belakangnya. Julian duduk di sofa dan menepuk tempat di sebelahnya. Tapi Silvi tidak langsung duduk. Ia hanya berdiri, memandangi seluruh ruangan hingga Julian menariknya perlahan membuat tubuhnya jatuh di samping pria itu. Kepalanya bersandar di pangkuan Julian dan tangannya menggenggam lutut pria itu dengan lemah. Ia tidak menangis. Tapi matanya kosong, penuh kelelahan yang ti
Silvi tidak hadir ke kantor keesokan harinya. Tidak ada kabar, tidak ada pesan. Tidak ada satupun orang yang tahu kenapa. Bahkan HRD pun tidak tahu. Seolah keberadaannya sengaja disembunyikan oleh seseorang.Samuel mencoba menunggu, berdiri di depan meja Silvi sambil mencoba menghubunginya berulang kali, tapi ponselnya tidak bisa dihubungi. Apa Silvi marah karena kemarin ia pergi begitu saja? padahal Samuel sendiri yang memintanya menunggu.Samuel tahu dirinya salah, tapi Silvi bukan tipe yang menghilang seperti ini. Dia selalu rasional. Jika ada yang mengganggunya, dia akan bertanya. Langsung dan tanpa basa-basi, bukan dengan diam dan menghilang.Tapi jika ia mencoba melihat kembali, akhir-akhir ini Silvi memang sedikit berubah sejak Julian hadir.Dan seolah menjawab pikirannya, Julian muncul dari ujung lorong. Rapi seperti biasa dengan langkah percaya diri sambil memasang ekspresi yang tidak bisa diartikan.Julian bahkan tidak melirik sedikit pun ke arah meja Silvi yang kosong. Tid
“Kamu nggak mendengarkan kata sambutanku sampai akhir.” Suara itu tenang dan ramah, terlalu ramah hingga membuat Silvi terlalu takut untuk mengangkat wajahnya. Sambutan, arti dari kata itu sudah melebur jika dia yang menyebutkannya. Itu bukan lagi omong kosong atau kata yang sebenarnya tak berarti yang diucapkan di atas panggung. Kata sambutan dari pria itu tidak pernah berarti ucapan selamat datang atau perkenalan. Tapi pengingat yang terus mengatakan bahwa ia tidak akan bisa lari dari dirinya. Sama seperti hari ini, ketika ia kira sekarang masih sama dengan hari-hari sebelumnya. Hari-hari di mana ia bisa lepas dari kendali pria itu. Tapi dia kembali, naik ke atas panggung lengkap dengan sambutan kepadanya, sebagai anak dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Dan semua orang bertepuk tangan, seolah mereka saling bekerja sama, mengejek ilusi kebebasan yang telah Silvi bangun selama ini. Tidak ada yang berubah, semua masih sama dengan saat itu, saat Silvi hanya seorang siswa yang
Silvi berdiri di sudut lift, dengan nafas tidak beraturan, dan jari-jari yang mencengkeram tali tas begitu erat hingga memutih. Pantulan wajahnya di dinding logam memperlihatkan ketegangan dan kelelahan yang terlukis jelas di wajahnya.Ia berkali-kali menatap angka lantai yang naik satu per satu, berharap ada cukup waktu untuk menenangkan diri, padahal semakin tinggi angka itu, semakin kuat tekanan di dadanya.Pertemuan singkat dengan Julian kemarin masih membekas jelas: Nada suara yang lembut, senyuman yang manis, tapi penuh dengan kalimat yang merendahkan.Dan sekarang saat lift berdenting dengan keras, menandakan bahwa dirinya sudah sampai di lantai 12, Julian ada di sana, seolah siap untuk menyambut kedatangannya.Pria itu sedang berbicara dengan Carla -sekretaris ayah Julian- di depan meja resepsionis, dengan tangan terlipat santai di dada dan ekspresi tenang.Silvi mengutuk dirinya dalam hati. Seharusnya ia datang lebih awal, bukannya mengulur-ulur waktu. Namun belum sempat ia be
“Tidak bisa.” Silvi menjawab singkat, tidak diikuti oleh alasan maupun penjelasan, membuat wajah Julian terlihat tidak puas.“Alasan?” tanyanya singkat, menuntut Jawaban.Silvi menarik tangannya dari genggaman Julian yang melonggar. “Saya akan segera menikah dan berhenti bekerja.” Jawaban itu singkat, tapi cukup untuk membuat Julian terlihat seperti ingin meledak.“Dengan siapa?” tangannya menggenggam bahu Silvi kuat, membuat Silvi meringis pelan. “Apa dengan pria yang ada di lorong tadi?”“Bukan urusanmu.” Silvi mencoba memberanikan dirinya untuk menjawab, walau sebenarnya ia takut akan reaksi yang diberikan oleh Julian.“URUSANKU!!” Julian mengguncang bahu Silvi dengan kasar. Sentakan itu membuat tubuhnya hampir terjatuh ke belakang. Detak jantung Silvi melonjak kuat, membuat telinganya dapat menangkap suara tersebut. Suara Julian memenuhi ruangan, membuat Silvi tak sempat bereaksi bahkan untuk menarik napas pun terasa sulit.Lalu, seolah tidak terjadi apa-apa, ekspresi Julian meluna
“Aku ga punya hubungan apapun dengan Pak Julian.” Hal pertama yang Silvi lakukan setelah jam bekerja berakhir adalah mendatangi Samuel ke mejanya. Pria itu masih tidak mengatakan apapun. Padahal biasanya ia akan langsung menghampiri Silvi ketika jam makan siang dan mengajaknya untuk makan. Samuel marah dan Silvi tahu bahwa dia harus segera menyelesaikan ini.Samuel menghentikan pekerjaannya dan menatap Silvi. Ada helaan nafas panjang yang tidak disembunyikan oleh Samuel. Ia jelas merasa bingung dengan apa yang terjadi hari ini. “Kalian kelihatan kaya punya masa lalu yang belum selesai, Silvi.”Silvi ingin mengatakan bahwa tidak pernah ada hubungan apapun di antara dirinya dan Julian, tapi ia mengurungkan niatnya. Kebohongan tidak akan membawanya kemanapun kali ini. Tapi Silvi tahu dia juga tidak bisa berkata jujur sepenuhnya.“Dia pernah menyukaiku dulu, tapi itu semua di masa lalu. Aku sudah mengatakan kalau hubungan kita serius.” Silvi berkata tegas, seolah itu adalah final dari pe
Silvi tidak hadir ke kantor keesokan harinya. Tidak ada kabar, tidak ada pesan. Tidak ada satupun orang yang tahu kenapa. Bahkan HRD pun tidak tahu. Seolah keberadaannya sengaja disembunyikan oleh seseorang.Samuel mencoba menunggu, berdiri di depan meja Silvi sambil mencoba menghubunginya berulang kali, tapi ponselnya tidak bisa dihubungi. Apa Silvi marah karena kemarin ia pergi begitu saja? padahal Samuel sendiri yang memintanya menunggu.Samuel tahu dirinya salah, tapi Silvi bukan tipe yang menghilang seperti ini. Dia selalu rasional. Jika ada yang mengganggunya, dia akan bertanya. Langsung dan tanpa basa-basi, bukan dengan diam dan menghilang.Tapi jika ia mencoba melihat kembali, akhir-akhir ini Silvi memang sedikit berubah sejak Julian hadir.Dan seolah menjawab pikirannya, Julian muncul dari ujung lorong. Rapi seperti biasa dengan langkah percaya diri sambil memasang ekspresi yang tidak bisa diartikan.Julian bahkan tidak melirik sedikit pun ke arah meja Silvi yang kosong. Tid
Silvi tidak pulang malam itu.Ia tidak melawan saat Julian menarik tangannya, tidak berkata apa pun ketika pria itu membukakan pintu mobil untuknya. Hujan yang turun sejak sore hanya menyisakan pakaian yang basah dan udara dingin yang menempel di kulit. Silvi duduk diam di kursi penumpang, membiarkan suara mesin dan klakson dari kendaraan lain mengisi keheningan. Tidak ada pertanyaan tentang ke mana mereka akan pergi atau apa yang akan terjadi. Ia hanya mengikuti Julian seperti bayangan, tidak peduli akan dibawa ke mana.Saat pintu apartemen Julian terbuka dan cahaya menyambut, Silvi tetap melangkah pelan di belakangnya. Julian duduk di sofa dan menepuk tempat di sebelahnya. Tapi Silvi tidak langsung duduk. Ia hanya berdiri, memandangi seluruh ruangan hingga Julian menariknya perlahan membuat tubuhnya jatuh di samping pria itu. Kepalanya bersandar di pangkuan Julian dan tangannya menggenggam lutut pria itu dengan lemah. Ia tidak menangis. Tapi matanya kosong, penuh kelelahan yang ti
Silvi berdiri mematung saat pelukan itu dilepaskan. Anehnya, yang paling menyakitkan bukan pelukannya, tapi kehampaan yang ditinggalkan setelahnya. Seperti ruang kosong yang tiba-tiba terbuka di dalam dadanya, membesar perlahan hingga nyaris menelannya hidup-hidup. Ia menunduk, menyembunyikan wajah yang mulai basah oleh air mata yang masih tertahan. Ia membenci dirinya sendiri, karena sempat merasakan harapan di dalam pelukan Julian. Harapan kecil yang bodoh, bahwa mungkin di balik semua ini ada cinta yang tulus.Silvi mundur perlahan. Nafasnya berat, dada terasa sesak. “Saya harus pergi.” suaranya nyaris tak terdengar, seperti bisikan yang enggan keluar.Julian tidak menghentikannya. Ia hanya menatap diam, dengan tatapan milik seseorang yang percaya bahwa pada akhirnya semua akan kembali padanya.Silvi berjalan keluar, melewati lorong kantor yang dingin dan sunyi. Lampu di langit-langit terasa terlalu terang, menyilaukan penglihatannya yang mulai buram. Langkahnya tidak punya arah, h
“Aku tidak mencintainya.” Itu adalah hal pertama yang Silvi dengar setelah ia masuk ke ruangan Julian. Silvi mendengus, untuk pertama kalinya, rasa takut yang biasanya menguasai digantikan oleh perasaan lain yang jauh lebih kuat. Ia merasa… muak. Muak dengan Julian yang terus-menerus memasukkan tokoh baru hanya demi menyakitinya.“Anda tidak perlu repot-repot menjelaskan hal seperti itu pada saya,” Silvi berkata pelan, mencoba menahan diri. Ia menurunkan dokumen-dokumen di atas meja Julian, lalu menatap kotak bekal kecil yang terletak rapi di sudut meja, lengkap dengan sticky note berwarna merah muda menempel di atasnya.Silvi tahu bahwa itu diberikan oleh Celine dan ia sama sekali tidak berniat membaca pesan di sana. Ia tidak ingin tahu apa yang ditulis oleh wanita itu, karena jika ia melakukannya, itu hanya akan membuatnya merasa seperti penyusup dalam kehidupan orang lain.“Aku akan segera melepaskannya,” Julian kembali berbicara, suaranya rendah dan penuh penekanan, “Kalau kamu jug
Samuel menemukan Silvi di ujung ruang arsip ketika jam kerja hampir berakhir. Tangannya bergerak memegang beberapa dokumen, tapi kemudian meletakkannya kembali di tempat yang sama. Seolah itu hanyalah caranya agar tidak ada yang mengusiknya.Matanya merah, menahan air mata yang terus ia tolak keluar. Silvi tidak bisa berbohong, gosip itu mempengaruhinya. Ia menghabiskan bertahun-tahun untuk membersihkan namanya dan memastikan tidak ada masalah yang menempel, bahkan membuang nama belakangnya, hanya untuk Julian dengan sengaja menyematkan kalimat ‘wanita simpanan’ di sana. Ia membencinya, dan jauh lebih membenci dirinya yang tidak berdaya.Samuel berhenti di ambang pintu, tidak mengetuk, tidak memanggil. Hanya memandang Silvi dari kejauhan.Ia tahu bahwa seharusnya ia pergi, karena Silvi yang ia kenal benci ketika ia terlihat rapuh di mata orang lain. Tapi Samuel menahan dirinya di sini, mencoba memanggil Silvi pelan.“Silvi…”Suara itu pelan, nyaris tenggelam di antara suara folder yan
Hal pertama yang membuat Silvi berhenti melangkah saat melihat meja barunya adalah kenyataan bahwa meja itu terasa... terlalu akrab.Bukan karena pernah ditempati orang lain, melainkan karena seseorang telah menatanya khusus untuk dirinya dengan sengaja.Ada parfum dengan botol berwarna pastel yang ramping, beberapa botol nail polish, dan gantungan kunci berbentuk kelinci kecil yang menggantung di laci, semuanya benda kecil yang dulu sering ia gunakan dengan warna dan bahkan merk yang benar.Tapi yang berhasil membuatnya menggenggam erat kotak yang ia gunakan untuk menampung barang dari ruang lamanya adalah selembar sticky note merah muda yang menempel manis di atas meja, bertuliskan:“Have a good day :)”Dengan tulisan tangan yang terlalu ia kenal, bahkan ketika ia berharap bisa melupakannya.Silvi membeku sejenak. Bukan karena terharu, tapi karena merasa terperangkap. Meja ini bukan lagi sekedar tempat kerja, tapi panggung baru bagi Julian. Jantungnya berdegup cepat, seolah tubuhnya
Silvi terus menggigit jarinya, ia gelisah. Sudah lebih dari sepuluh menit berlalu sejak ia mengejar Samuel yang dipanggil ke ruang HRD tapi sampai saat ini pria itu belum juga keluar.Sejak tadi Silvi sudah berniat menceritakan soal mutasinya ke Samuel sebelum ia mendengar dari HRD bahwa salah satu anggotanya akan dipindahkan ke posisi lain. Tapi Samuel baru datang ketika ruangan sudah padat oleh karyawan yang lain.Tapi Silvi juga tahu mengirimkan pesan saja tidak cukup. Tapi bagaimana jika ia tak sempat bicara sama sekali? Bagaimana jika Julian mendahuluinya dan memutarbalikkan segalanya? Atau lebih buruk, bagaimana jika Julian mengatakan alasan dia menerima?Di tengah ketegangan pikirannya, pintu yang berada di hadapan Silvi terbuka. Samuel melangkah keluar. Wajahnya awalnya datar, tak terbaca. Tapi begitu matanya menangkap Silvi berdiri menunggunya, ekspresinya berubah dingin dan jelas tidak suka.Samuel memegang pergelangan tangan Silvi, lalu menariknya untuk ikut. Mereka baru ber
“Aku ga punya hubungan apapun dengan Pak Julian.” Hal pertama yang Silvi lakukan setelah jam bekerja berakhir adalah mendatangi Samuel ke mejanya. Pria itu masih tidak mengatakan apapun. Padahal biasanya ia akan langsung menghampiri Silvi ketika jam makan siang dan mengajaknya untuk makan. Samuel marah dan Silvi tahu bahwa dia harus segera menyelesaikan ini.Samuel menghentikan pekerjaannya dan menatap Silvi. Ada helaan nafas panjang yang tidak disembunyikan oleh Samuel. Ia jelas merasa bingung dengan apa yang terjadi hari ini. “Kalian kelihatan kaya punya masa lalu yang belum selesai, Silvi.”Silvi ingin mengatakan bahwa tidak pernah ada hubungan apapun di antara dirinya dan Julian, tapi ia mengurungkan niatnya. Kebohongan tidak akan membawanya kemanapun kali ini. Tapi Silvi tahu dia juga tidak bisa berkata jujur sepenuhnya.“Dia pernah menyukaiku dulu, tapi itu semua di masa lalu. Aku sudah mengatakan kalau hubungan kita serius.” Silvi berkata tegas, seolah itu adalah final dari pe
“Tidak bisa.” Silvi menjawab singkat, tidak diikuti oleh alasan maupun penjelasan, membuat wajah Julian terlihat tidak puas.“Alasan?” tanyanya singkat, menuntut Jawaban.Silvi menarik tangannya dari genggaman Julian yang melonggar. “Saya akan segera menikah dan berhenti bekerja.” Jawaban itu singkat, tapi cukup untuk membuat Julian terlihat seperti ingin meledak.“Dengan siapa?” tangannya menggenggam bahu Silvi kuat, membuat Silvi meringis pelan. “Apa dengan pria yang ada di lorong tadi?”“Bukan urusanmu.” Silvi mencoba memberanikan dirinya untuk menjawab, walau sebenarnya ia takut akan reaksi yang diberikan oleh Julian.“URUSANKU!!” Julian mengguncang bahu Silvi dengan kasar. Sentakan itu membuat tubuhnya hampir terjatuh ke belakang. Detak jantung Silvi melonjak kuat, membuat telinganya dapat menangkap suara tersebut. Suara Julian memenuhi ruangan, membuat Silvi tak sempat bereaksi bahkan untuk menarik napas pun terasa sulit.Lalu, seolah tidak terjadi apa-apa, ekspresi Julian meluna