“Aku ga punya hubungan apapun dengan Pak Julian.”
Hal pertama yang Silvi lakukan setelah jam bekerja berakhir adalah mendatangi Samuel ke mejanya. Pria itu masih tidak mengatakan apapun. Padahal biasanya ia akan langsung menghampiri Silvi ketika jam makan siang dan mengajaknya untuk makan. Samuel marah dan Silvi tahu bahwa dia harus segera menyelesaikan ini.
Samuel menghentikan pekerjaannya dan menatap Silvi. Ada helaan nafas panjang yang tidak disembunyikan oleh Samuel. Ia jelas merasa bingung dengan apa yang terjadi hari ini.
“Kalian kelihatan kaya punya masa lalu yang belum selesai, Silvi.”
Silvi ingin mengatakan bahwa tidak pernah ada hubungan apapun di antara dirinya dan Julian, tapi ia mengurungkan niatnya. Kebohongan tidak akan membawanya kemanapun kali ini. Tapi Silvi tahu dia juga tidak bisa berkata jujur sepenuhnya.
“Dia pernah menyukaiku dulu, tapi itu semua di masa lalu. Aku sudah mengatakan kalau hubungan kita serius.” Silvi berkata tegas, seolah itu adalah final dari pernyataannya.
Lagi-lagi Samuel menghela nafas panjang, ia ragu. Seseorang dengan latar belakang seperti Julian pernah menyukai Silvi di masa lalu dan sekarang kembali dengan perasaan yang terlihat jelas di setiap perilakunya pada SIlvi. Pria itu siap bersaing dan Samuel cukup tahu diri bahwa dia akan sulit menang.
Silvi yang menyadari kegundahan Samuel tersenyum tipis, jika ia jujur pada dirinya sendiri, bagian kecil dalam dirinya justru menyukai kenyataan bahwa Samuel merasa terancam. Jika pria ini mengambil tindakan atau mempercepat rencana pernikahan mereka, semua mungkin akan baik-baik saja.
Samuel mungkin akan menjadi tiket keluarnya dari situasi ini. Silvi sudah menghabiskan banyak waktu untuk mencari pria yang menurutnya ‘cocok’. Cukup pintar untuk memiliki pekerjaan yang baik, keluarga yang cukup pengaruh, tapi tidak begitu besar hingga menjadi perhatian media, dan seseorang yang bisa membuatnya berada di garis aman di hidupnya.
Oleh karena itu, ia tidak bisa membiarkan Samuel pergi hanya karena Julian.
“Aku bisa berhenti bekerja lebih cepat dari rencana kalau kamu mau.” Silvi kembali mencoba menekan Samuel dengan menekankan kepercayaan dalam dirinya, dan saat Samuel mulai tersenyum dia tahu bahwa dia sudah cukup melakukannya. “Tidak perlu sampai seekstrim itu, tapi aku percaya padamu.” balas Samuel.
Silvi mengitari meja Samuel untuk memberikannya pelukan, menandakan akhir dari pertengkaran kecil mereka di hari itu. “Maaf…” Silvi berbisik di telinganya.
Samuel membalas pelukan Silvi, menarik tubuh wanita itu semakin mendekat ke dirinya. ‘Aku yang minta maaf, mungkin aku juga terbawa suasana karena rekan yang lain.”
Silvi mengangguk pelan, dia sudah menyelesaikan masalah dengan Samuel, sekarang bagaimana dia harus menangani Julian?
=
Keesokan harinya, Silvi berusaha menghindari Julian sebisa mungkin, ia berangkat jauh lebih pagi dari biasanya. Saat Silvi melangkah ke dalam kantor yang masih sepi dengan lampu beberapa ruangan yang masih mati, Silvi mengira bahwa dirinya aman.
Silvi baru akan menghela nafas lega saat ia berhasil duduk di ruangannya, hingga tiba-tiba ponselnya bergetar.
Ke ruanganku.
Pesan itu begitu singkat, dikirim dari nomor yang tidak dikenal. Tapi Silvi tahu siapa pengirimnya. Genggamannya pada ponsel di tangannya semakin mengerat akibat tangannya yang bergetar.
Kapan pria ini akan berhenti menjadi hantu yang terus menghantui hidupnya?
Dengan sedikit keberanian, Silvi mengangkat ponselnya dan mulai mengetik balasan, "Maaf Pak, ada beberapa pekerjaan urgent yang harus saya selesaikan.”
Belum sampai satu menit setelah pesan itu dikirimkan, ponselnya kembali bergetar. Sebuah hasil screenshot dari artikel lama, artikel yang isinya sudah tertanam setiap baitnya dalam kepala Silvi tanpa ia inginkan. Tentang perselingkuhan aktris terkenal dengan supir keluarganya.
Dan yang selalu membuat darahnya berdesir tidak karuan adalah baris terbawah berita itu. ‘Dan anak mereka yang disembunyikan identitasnya…’
Silvi tahu itu adalah ancaman, pengingat bahwa Julian masih memegang kelemahan Silvi. Dan dia tidak bisa berkata apapun karena kelemahan itu ada dimana-mana. Tersebar bagai ranjau yang siap menjeratnya.
Silvi dulu menggunakan kekuasaan ayahnya seenaknya, menggunakan pengaruh besar di belakangnya tanpa harus takut terjadi sesuatu padanya. Hanya untuk mendapati kelebihan itu berbalik menyerangnya.
Satu-satunya hal yang bisa ia syukuri adalah fakta bahwa orang tuanya menjaga agar urusan keluarga mereka jauh dari media, sehingga identitas Silvi tidak tersebar keluar. Bahkan teman-teman sekolahnya hanya tahu bahwa Silvi dari keluarga berpengaruh tanpa tahu siapa orang tuanya.
Hanya ada segelintir orang yang tahu. Dan sialnya, itu termasuk Julian. Pria yang dengan senang hati memanfaatkan hal itu untuk mengendalikannya.
Dengan langkah berat, Silvi berdiri dari tempatnya, berjalan menuju ruangan Julian, melewati lorong yang masih gelap tanpa adanya tanda-tanda dari kehadiran orang lain. Saat sampai di depan pintu ruangannya, Silvi berdiri sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu. Tidak ada jawaban, tapi Silvi tahu bahwa Julian pasti ada di dalam. Perlahan, ia membuka pintu dan masuk.
Dan sesuai dugaannya, Julian ada di sana, tersenyum dengan senyumannya yang lembut namun penuh dengan racun. “Akhirnya kamu datang.” ucapnya.
Suara itu ramah, tapi hanya rasa jengah yang diciptakan pada diri Silvi. Membuatnya ingin lari dari ruangan Julian. Tapi Silvi tetap melangkah maju, mendekat ke meja Julian. “Apa ada yang bisa saya bantu?” suaranya pelan, berusaha keras menyembunyikan getaran yang tersisa akibat pesan yang dikirimkan oleh Julian tadi.
“Aku mau minta pendapat.” Julian meraih ke lacinya, lalu melemparkan setumpuk kertas di atas mejanya, “Menurutmu mana yang paling menarik?”
Silvi membelalakkan matanya. Semua artikel itu sama, berisi tentang berita mengenai keluarganya. Ibunya,’ayah’nya, dan… pria yang merupakan ayah kandungnya. Silvi menggigit bibirnya keras. Berusaha menahan ledakan emosi yang mulai tumbuh di dalam dirinya.
“Jika saya menjelaskannya pada Samuel…”
“Bukan Samuel.” Julian memotong sanggahan Silvi, lalu tersenyum manis padanya. “Keluarga Samuel berhak tahu dengan siapa anak mereka akan menikah, kan?”
Silvi meremas ujung roknya, bahkan di ruangan sebesar ini ia merasakan kekurangan oksigen, membuat kepalanya pusing. “Kamu…”
“Kudengar orang tuanya dari kalangan yang cukup punya reputasi walau tidak sebesar keluargamu dulu, apa menurutmu mereka akan setuju?”
Silvi membencinya, membenci Julian lebih dari apapun. Tidak ada yang bisa Silvi lakukan selain berdoa semoga pria itu mendapatkan kesialan jauh lebih buruk dari yang ia hadapi.
“Apa yang anda inginkan?” Silvi bertanya lemah, menyadari bahwa tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menuruti permintaan Julian.
“Permintaanku kemarin. Apa kamu sudah memikirkannya? Aku masih membutuhkan seseorang untuk mengisi posisi sekretaris yang kosong” itu bukan pertanyaannya, dan Silvi tahu itu. Tidak ada manusia normal yang akan bertanya dengan nada lembut seolah menawarkan sesuatu dengan setumpuk dokumen penuh ancaman di hadapannya.
Julian tidak menerima penolakan, dan Silvi tahu itu lebih dari siapapun. Jadi dia hanya bisa menunduk, menahan napas yang terasa seperti duri di tenggorokannya. Kata-kata itu terasa begitu berat, seperti batu yang menghimpit dadanya. Tangannya meremas ujung roknya semakin keras, seolah hal itu bisa mempertahankan kewarasannya.
“Saya akan… melakukannya.” Kalimat itu nyaris tak terdengar, keluar dari mulutnya seperti pengakuan dosa. Dan saat ia mengucapkannya, Silvi merasa seolah ada bagian dari dirinya yang mati pelan-pelan.
Silvi membenci ibunya.Sejak pertama kali ia menyadari bahwa hidupnya dibangun atas dasar kebohongan, Silvi selalu mengingatkan dirinya akan satu hal. Apa pun yang dikatakan ibunya, semuanya hanyalah kebohongan yang diberikan demi keuntungan wanita itu.Tapi Silvi selalu mempercayai satu hal secara konsisten, satu hal yang dikatakan ibunya untuk pertama kali saat ia pulang dengan keadaan rumah yang berantakan. Bahwa Silvi adalah pembawa sial.Wanita itu mengatakannya sambil memegang bahunya dengan erat hingga meninggalkan jejak yang baru hilang setelah berhari-hari.Silvi mencoba melupakan kalimat itu, berusaha menjalankan hidupnya seolah kalimat yang sama tidak menghantuinya di setiap malam di mana ia merasa kesepian. Tapi, ia tidak bisa. Kalimat itu terus berbisik di kepalanya dan tidak berhenti dari ia bangun hingga tidur lagi. Bahkan, kalimat itu kembali muncul di hari ini ketika ia melihat ibunya berada di depan pintu, berdiri di depan seorang asisten rumah tangga yang terli
Vanessa memperhatikan Silvi dari celah pintu yang ia buka. Anak tirinya itu tidak lagi bergerak dari kamarnya selama dua hari. Bahkan walau dua orang yang terakhir kali datang menemuinya kembali datang ke rumah mereka, Silvi menolak kedatangan mereka secara terang-terangan.Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi ia sudah berniat akan melakukan apa pun untuk membantu Silvi begitu ia mendengar dari suaminya bahwa wanita itu sedang hamil dan butuh banyak dukungan.Tapi bagaimana cara untuk membantu seseorang yang bahkan tidak ingin dibantu?Silvi selalu diam di kamarnya, makan secara terpisah ketika Vanessa sudah selesai makan. Selain itu, ia hanya keluar jika memang diperlukan. Fakta bahwa Silvi hanya keluar
Saat keheningan di ujung telepon bertahan terlalu lama, Anastasia tahu pria di seberang sana telah memakan umpannya. Maka ia melanjutkan dengan nada yang manis."Kalau kamu mau tahu, aku bisa memberitahumu… dengan satu syarat."Terdengar helaan napas dari seberang lalu suara yang terdengar terasa dingin, tapi tak bisa sepenuhnya menyembunyikan kegugupan yang mulai merayap."Apa maumu?"Anastasia bangkit dari tempat duduk dan berjalan perlahan ke arah jendela. Menatap bayangan wajahnya di sana."Aku ingin kamu membantuku," ucapnya ringan, "Aku ingin Silvi menghubungiku. Kamu bisa menyebut namaku kapan saja. Kalau dia tahu kamu tahu tempatnya dariku, dia akan menghubungiku."
Mami tahu kamu kembali ke rumah itu.Silvi membaca pesan yang baru saja masuk dari ibunya dengan tangan yang gemetar. Belum ada 24 jam sejak Samuel dan Celine datang ke rumah ini dan sekarang ia harus menghadapi ibunya?Apa Papi kamu menanyakan keadaan Mami?Silvi sudah mengangkat tangannya untuk melemparkan ponsel itu ke dinding ketika benda itu bergetar di tangannya, membuatnya mengintip nama yang muncul di layarnya.MamiSesuai dengan dugaannya. Silvi mulai bertanya-tanya mengapa ia masih menyimpan nomor itu.Dan kenapa wanita itu masih memiliki cukup rasa percay
"Apa kalian pikir yang paling aku butuhin saat ini itu balas dendam?" Silvi bergumam pelan, masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar sebelumnya. Celine membuka mulut, tapi Silvi melanjutkan, "Aku bahkan nggak bisa berdiri lama tanpa merasa kram. Kalian pikir aku masih mau terlibat ini semua?"Samuel terlihat canggung, "Kami cuma… kami cuma ingin bantu.""Kalau kalian benar-benar ingin bantu," suara Silvi mulai bergetar, "Kalian harusnya mulai dengan bertanya apa yang aku butuhin. Bukan ngebawa rencana yang bahkan ga aku mau."Ruangan itu hening, hanya ada suara nafas Silvi yang terdengar berat. Tangannya menyibakkan rambutnya ke belakang dengan wajah yang gusar.Dan tepat di tengah keheningan itu, ponsel Silvi berdering. Ia merogoh sakunya dan mata Silvi seketika memicing saat melihat siapa yang menelpon.Mami. Lagi.Seakan dunia tak memberinya ruang untuk sekadar duduk dan mencoba berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Silvi mematikan panggilan itu dan kembali menatap Cel
Semuanya terasa begitu kacau.Julian mencoba melakukan pekerjaannya seperti biasa. Ia bahkan mulai lebih sering hadir di kantor yang dulu hanya ia kendalikan di belakang layar. Mencoba mengalihkan dirinya dari bayang-bayang Silvi yang duduk tenang sambil membaca buku maupun menonton televisi di tempat tidur mereka.Julian mencoba memindahkan ruang kerjanya ke tempat lain agar tidak semakin terganggu dengan bayang Silvi, tapi usahanya gagal ketika ia keluar untuk makan siang dan melihat bayangan Silvi yang duduk di meja makan sambil memainkan ponselnya.Hingga akhirnya ia memilih keluar dari rumah untuk bekerja. Mungkin ia bisa lebih fokus di tempat baru, mungkin dia bisa benar-benar melakukan sesuatu di tempat yang tidak pernah didatangi Silvi sebelumnya.Tapi, pekerjaannya justru terus terhenti karena Julian terus menerus mengecek ponselnya. Membuka pesannya dengan Silvi yang bahkan tidak memiliki banyak history karena mereka tinggal di rumah yang sama.Alhasil, asistennya harus