Share

4. Ancaman

Author: Rainina
last update Last Updated: 2025-03-04 12:26:16

“Aku ga punya hubungan apapun dengan Pak Julian.” 

Hal pertama yang Silvi lakukan setelah jam bekerja berakhir adalah mendatangi Samuel ke mejanya. Pria itu masih tidak mengatakan apapun. Padahal biasanya ia akan langsung menghampiri Silvi ketika jam makan siang dan mengajaknya untuk makan. Samuel marah dan Silvi tahu bahwa dia harus segera menyelesaikan ini.

Samuel menghentikan pekerjaannya dan menatap Silvi. Ada helaan nafas panjang yang tidak disembunyikan oleh Samuel. Ia jelas merasa bingung dengan apa yang terjadi hari ini. 

“Kalian kelihatan kaya punya masa lalu yang belum selesai, Silvi.”

Silvi ingin mengatakan bahwa tidak pernah ada hubungan apapun di antara dirinya dan Julian, tapi ia mengurungkan niatnya. Kebohongan tidak akan membawanya kemanapun kali ini. Tapi Silvi tahu dia juga tidak bisa berkata jujur sepenuhnya.

“Dia pernah menyukaiku dulu, tapi itu semua di masa lalu. Aku sudah mengatakan kalau hubungan kita serius.” Silvi berkata tegas, seolah itu adalah final dari pernyataannya.

Lagi-lagi Samuel menghela nafas panjang, ia ragu. Seseorang dengan latar belakang seperti Julian pernah menyukai Silvi di masa lalu dan sekarang kembali dengan perasaan yang terlihat jelas di setiap perilakunya pada SIlvi. Pria itu siap bersaing dan Samuel cukup tahu diri bahwa dia akan sulit menang.

Silvi yang menyadari kegundahan Samuel tersenyum tipis, jika ia jujur pada dirinya sendiri, bagian kecil dalam dirinya justru menyukai kenyataan bahwa Samuel merasa terancam. Jika pria ini mengambil tindakan atau mempercepat rencana pernikahan mereka, semua mungkin akan baik-baik saja.

Samuel mungkin akan menjadi tiket keluarnya dari situasi ini. Silvi sudah menghabiskan banyak waktu untuk mencari pria yang menurutnya ‘cocok’. Cukup pintar untuk memiliki pekerjaan yang baik, keluarga yang cukup pengaruh, tapi tidak begitu besar hingga menjadi perhatian media, dan seseorang yang bisa membuatnya berada di garis aman di hidupnya. 

Oleh karena itu, ia tidak bisa membiarkan Samuel pergi hanya karena Julian.

 “Aku bisa berhenti bekerja lebih cepat dari rencana kalau kamu mau.” Silvi kembali mencoba menekan Samuel dengan menekankan kepercayaan dalam dirinya, dan saat Samuel mulai tersenyum dia tahu bahwa dia sudah cukup melakukannya. “Tidak perlu sampai seekstrim itu, tapi aku percaya padamu.” balas Samuel.

Silvi mengitari meja Samuel untuk memberikannya pelukan, menandakan akhir dari pertengkaran kecil mereka di hari itu. “Maaf…” Silvi berbisik di telinganya.

Samuel membalas pelukan Silvi, menarik tubuh wanita itu semakin mendekat ke dirinya. ‘Aku yang minta maaf, mungkin aku juga terbawa suasana karena rekan yang lain.”

Silvi mengangguk pelan, dia sudah menyelesaikan masalah dengan Samuel, sekarang bagaimana dia harus menangani Julian?

=

Keesokan harinya, Silvi berusaha menghindari Julian sebisa mungkin, ia berangkat jauh lebih pagi dari biasanya. Saat Silvi melangkah ke dalam kantor yang masih sepi dengan lampu beberapa ruangan yang masih mati, Silvi mengira bahwa dirinya aman.

Silvi baru akan menghela nafas lega saat ia berhasil duduk di ruangannya, hingga tiba-tiba ponselnya bergetar.

Ke ruanganku.

Pesan itu begitu singkat, dikirim dari nomor yang tidak dikenal. Tapi Silvi tahu siapa pengirimnya. Genggamannya pada ponsel di tangannya semakin mengerat akibat tangannya yang bergetar.

Kapan pria ini akan berhenti menjadi hantu yang terus menghantui hidupnya?

Dengan sedikit keberanian, Silvi mengangkat ponselnya dan mulai mengetik balasan, "Maaf Pak, ada beberapa pekerjaan urgent yang harus saya selesaikan.”

Belum sampai satu menit setelah pesan itu dikirimkan, ponselnya kembali bergetar. Sebuah hasil screenshot dari artikel lama, artikel yang isinya sudah tertanam setiap baitnya dalam kepala Silvi tanpa ia inginkan. Tentang perselingkuhan aktris terkenal dengan supir keluarganya.

Dan yang selalu membuat darahnya berdesir tidak karuan adalah baris terbawah berita itu.  ‘Dan anak mereka yang disembunyikan identitasnya…’

Silvi tahu itu adalah ancaman, pengingat bahwa Julian masih memegang kelemahan Silvi. Dan dia tidak bisa berkata apapun karena kelemahan itu ada dimana-mana. Tersebar bagai ranjau yang siap menjeratnya. 

Silvi dulu menggunakan kekuasaan ayahnya seenaknya, menggunakan pengaruh besar di belakangnya tanpa harus takut terjadi sesuatu padanya. Hanya untuk mendapati kelebihan itu berbalik menyerangnya.

Satu-satunya hal yang bisa ia syukuri adalah fakta bahwa orang tuanya menjaga agar urusan keluarga mereka jauh dari media, sehingga identitas Silvi tidak tersebar keluar. Bahkan teman-teman sekolahnya hanya tahu bahwa Silvi dari keluarga berpengaruh tanpa tahu siapa orang tuanya.

Hanya ada segelintir orang yang tahu. Dan sialnya, itu termasuk Julian. Pria yang dengan senang hati memanfaatkan hal itu untuk mengendalikannya.

Dengan langkah berat, Silvi berdiri dari tempatnya, berjalan menuju ruangan Julian, melewati lorong yang masih gelap tanpa adanya tanda-tanda dari kehadiran orang lain. Saat sampai di depan pintu ruangannya, Silvi berdiri sejenak, menarik napas dalam-dalam sebelum mengetuk pintu. Tidak ada jawaban, tapi Silvi  tahu bahwa Julian pasti ada di dalam. Perlahan, ia membuka pintu dan masuk.

Dan sesuai dugaannya, Julian ada di sana, tersenyum dengan senyumannya yang lembut namun penuh dengan racun. “Akhirnya kamu datang.” ucapnya. 

Suara itu ramah, tapi hanya rasa jengah yang diciptakan pada diri Silvi. Membuatnya ingin lari dari ruangan Julian. Tapi Silvi tetap melangkah maju, mendekat ke meja Julian. “Apa ada yang bisa saya bantu?” suaranya pelan, berusaha keras menyembunyikan getaran yang tersisa akibat pesan yang dikirimkan oleh Julian tadi.

“Aku mau minta pendapat.” Julian meraih ke lacinya, lalu melemparkan setumpuk kertas di atas mejanya, “Menurutmu mana yang paling menarik?”

Silvi membelalakkan matanya. Semua artikel itu sama, berisi tentang berita mengenai keluarganya. Ibunya,’ayah’nya, dan… pria yang merupakan ayah kandungnya. Silvi menggigit bibirnya keras. Berusaha menahan ledakan emosi yang mulai tumbuh di dalam dirinya.

“Jika saya menjelaskannya pada Samuel…”

“Bukan Samuel.” Julian memotong sanggahan Silvi, lalu tersenyum manis padanya. “Keluarga Samuel berhak tahu dengan siapa anak mereka akan menikah, kan?”

Silvi meremas ujung roknya, bahkan di ruangan sebesar ini ia merasakan kekurangan oksigen, membuat kepalanya pusing. “Kamu…”

“Kudengar orang tuanya dari kalangan yang cukup punya reputasi walau tidak sebesar keluargamu dulu, apa menurutmu mereka akan setuju?”

Silvi membencinya, membenci Julian lebih dari apapun. Tidak ada yang bisa Silvi lakukan selain berdoa semoga pria itu mendapatkan kesialan jauh lebih buruk dari yang ia hadapi.

“Apa yang anda inginkan?” Silvi bertanya lemah, menyadari bahwa tidak ada lagi yang bisa ia lakukan selain menuruti permintaan Julian.

“Permintaanku kemarin. Apa kamu sudah memikirkannya? Aku masih membutuhkan seseorang untuk mengisi posisi sekretaris yang kosong” itu bukan pertanyaannya, dan Silvi tahu itu. Tidak ada manusia normal yang akan bertanya dengan nada lembut seolah menawarkan sesuatu dengan setumpuk dokumen penuh ancaman di hadapannya.

Julian tidak menerima penolakan, dan Silvi tahu itu lebih dari siapapun. Jadi dia hanya bisa menunduk, menahan napas yang terasa seperti duri di tenggorokannya. Kata-kata itu terasa begitu berat, seperti batu yang menghimpit dadanya. Tangannya meremas ujung roknya semakin keras, seolah hal itu bisa mempertahankan kewarasannya.

“Saya akan… melakukannya.” Kalimat itu nyaris tak terdengar, keluar dari mulutnya seperti pengakuan dosa. Dan saat ia mengucapkannya, Silvi merasa seolah ada bagian dari dirinya yang mati pelan-pelan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hate You To The Bone   23. Comfort

    Keesokannya, Silvi bangun ketika matahari sudah tinggi. Saat tangannya menyentuh sisi ranjang yang kemarin malam ditempati oleh Julian, tempat itu sudah dingin. Menandakan bahwa Julian sudah lama meninggalkannya.Tapi sebelum Silvi benar-benar merasa sendirian, suara langkah kaki terdengar dari arah ruang kerja Julian. Pria itu melangkah terburu-buru, meninggalkan semua pekerjaannya untuk mendatangi Silvi.“Kamu sudah bangun.” itu bukan pertanyaan, suaranya lebih seperti sedang memastikan bahwa yang di hadapannya benar adalah Silvi.Ia duduk di tepi ranjang lalu menyentuh pipi Silvi dengan lembut, “Maaf aku ga nunggu kamu bangun dulu.”Silvi menggelengkan kepalanya pelan, “Gapapa,

  • Hate You To The Bone   22. Rumah

    Julian tidak berbohong saat mengatakan bahwa ia telah menyiapkan semuanya. Karena hal pertama yang menyambut Silvi saat mobil yang dikendarai oleh Julian berhenti adalah sebuah rumah yang cukup mewah. Tidak sebesar rumah keluarganya dulu dan mungkin tidak bisa dibandingkan dengan rumah keluarga Julian. Tapi cukup untuk membuat orang lain bertanya siapa yang tinggal di dalamnya.Silvi memperhatikannya dalam diam. Tanaman yang memenuhi halamannya, cat berwarna putih yang masih terlihat baru, danebranda lantai dua yang telah diisi dengan dua buah kursi dan meja, seolah memanggilnya untuk duduk di sana.Julian yang sudah turun terlebih dahulu, membukakan pintu untuk Silvi, mengulurkan tangannya dengan senyuman yang lembut. “Silvi…”Panggilan itu terdengar halu

  • Hate You To The Bone   21. Hilang

    “Apa yang dikatakan orang tuamu? Apa mereka tidak menyukaiku ada di sini?” Suara Silvi pelan, hampir tenggelam dalam ketakutan lamanya yang belum benar-benar padam. Ia menatap Julian, mencari kejujuran di balik wajah yang selama ini selalu menyembunyikan perasaannya sendiri dengan baik.Silvi butuh jawaban, ia sudah merasa tidak tenang sejak Julian mengatakan bahwa dia harus bertemu orang tuanya. Silvi tidak asing dengan kata ditinggalkan, ia sudah mengalaminya, berkali-kali. Jika Julian juga meninggalkannya karena paksaan dari keluarganya, dia tidak tahu lagi cara bertahan.“Mereka tidak pernah menyukaimu.” Julian menjawab tanpa ragu, suaranya datar namun jujur. Tidak ada usaha untuk meredam kenyataan. Dan anehnya, justru itu yang membuat Silvi percaya, karena untuk pertama kalinya, Julian tidak mencoba meman

  • Hate You To The Bone   20. Konfrontasi

    Celine tidak menunggu waktu lama untuk memberitahu orang tua Julian. Di malam Silvi menangis di pelukan Julian karena campuran perkataan ibu Silvi dan perkataan Celine, telfon itu datang.Dan sekarang Julian menemukan dirinya di rumah orang tuanya. Ia memperhatikan ke sekeliling ruangan, merasakan udara yang sesak karena tekanan. Tapi di antara dirinya dan kedua orang tuanya yang duduk bersebrangan, hanya Julian yang duduk tegak, seolah menunjukkan tidak ada yang salah.“Kamu memutuskan pertunangan dengan Celine?” pertanyaan itu disampaikan ibunya dengan hati-hati, tidak ada kemarahan. Tapi penuh rasa kecewa.“Iya.” Julian menjawab tanpa berpikir panjang. Dia tahu bahwa keputusannya akan membawa ke titik ini, jadi dia sudah siap memberi jawaban sejak lama.“Dan kami dengar, sekarang kamu tinggal dengan seorang perempuan?”“Iya.” wajah ibunya berubah memucat, bahkan walau ia tahu Celine tidak mungkin berbohong, tapi mendengar putranya mengatakannya tanpa ada rasa bersalah sedikitpun me

  • Hate You To The Bone   19. Realization

    Julian menepati janjinya. Artikel-artikel dan forum yang membicarakan Silvi, perlahan menghilang satu per satu. Belum sepenuhnya, tapi semua yang menjadi sumber terbesar sudah menghilang.Silvi menatap Julian yang masih duduk di meja ruang kerjanya dengan ponsel yang masih setia menempel di telinganya. Panggilan itu tidak berhenti sejak tadi. Silvi tidak bertanya apa yang Julian katakan atau siapa yang ia hubungi. Dia hanya menunggu, menatap dari kejauhan.Tidak peduli apa yang Julian lakukan. Apapun, asal namanya tidak disebut-sebut lagi di luar sana. Tapi ia mendengarnya sekilas, ada desakan, ada kompromi, dan ada harga yang harus dibayar.Silvi merefresh mesin pencarian yang memunculkan namanya, memperhatikan satu persatu artikel yang perlahan menghilang secara real time.

  • Hate You To The Bone   18. Apapun yang Kamu Inginkan

    “Kamu… serius?” Vanya menatap Celine dengan ragu. Ada yang berbeda sejak wanita itu menerima telepon dari Celine tadi. Biasanya, Celine adalah orang yang bisa disebut ‘baik’. Sangat baik. Tapi kali ini, ada sesuatu yang dingin di matanya.“Van, ga ada alasan buat aku bercanda soal ini.”“Aku ngerti... tapi kalau kamu salah gimana? Kalau dia bukan anaknya Anastasia yang itu? Kamu sadar ini bisa ngancurin hidup seseorang?”Bahkan kalaupun benar, anaknya ga salah apa-apa, kan? Jika perempuan bernama Silvi itu memang menarik diri dari dunia hiburan, bukankah itu artinya dia sudah cukup terluka? Tapi kalimat itu hanya bergema dalam kepala Vanya. Tak pernah keluar dari bibirnya.Ia memang kesal pada aktris tua itu, banyak alasan. Tidak profesional, sombong, penuh skandal yang sempat merusak jadwal Celine yang sudah susah payah ia atur. Tapi anaknya? Haruskah ikut menanggung semuanya?“Dia anaknya. Ga mungkin ada dua orang yang semirip itu tanpa hubungan darah,” jawab Celine. Suaranya datar,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status