Home / Romansa / Hate You To The Bone / 3. Tatapan Orang Lain

Share

3. Tatapan Orang Lain

Author: Rainina
last update Last Updated: 2025-02-10 22:03:18

“Tidak bisa.” Silvi menjawab singkat, tidak diikuti oleh alasan maupun penjelasan, membuat wajah Julian terlihat tidak puas.

“Alasan?” tanyanya singkat, menuntut Jawaban.

Silvi menarik tangannya dari genggaman Julian yang melonggar. “Saya akan segera menikah dan berhenti bekerja.” Jawaban itu singkat, tapi cukup untuk membuat Julian terlihat seperti ingin meledak.

“Dengan siapa?” tangannya menggenggam bahu Silvi kuat, membuat Silvi meringis pelan. “Apa dengan pria yang ada di lorong tadi?”

“Bukan urusanmu.” Silvi mencoba memberanikan dirinya untuk menjawab, walau sebenarnya ia takut akan reaksi yang diberikan oleh Julian.

“URUSANKU!!” Julian mengguncang bahu Silvi dengan kasar. Sentakan itu membuat tubuhnya hampir terjatuh ke belakang. Detak jantung Silvi melonjak kuat, membuat telinganya dapat menangkap suara tersebut. Suara Julian memenuhi ruangan, membuat Silvi tak sempat bereaksi bahkan untuk menarik napas pun terasa sulit.

Lalu, seolah tidak terjadi apa-apa, ekspresi Julian melunak. Senyum tipis menyusul, senyum yang justru membuat Silvi merinding. Pergantian emosi yang begitu cepat, dan walau ia sudah mengalami ini ratusan kali, Silvi tidak pernah terbiasa. Karena hal itu jauh lebih mengerikan daripada amarah yang meledak-ledak.

Silvi membeku. Tangannya mengepal di sisi tubuh, kukunya menancap ke kulit telapak tangan sendiri demi mencegah dirinya gemetar. Ia tak berani menatap mata Julian. Ia tahu, di balik sorot ramah itu, ada sesuatu yang jauh lebih berbahaya dari yang terlihat.

“Apa dia bahkan bisa memberikanmu apa yang kamu butuhkan? Pria itu hanya karyawan biasa dengan posisi yang sedikit bagus. Tapi apa itu cukup untuk memuaskan egomu?” Julian kembali bertanya setelah terlihat berpikir sejenak.

“Saya bukan orang yang sama dengan yang dulu Pak Julian.” Silvi berbicara dengan tegas, tapi matanya tidak mampu menatap langsung ke arah Julian, takut jika pria itu melihat ke dalam dirinya.

“Benarkah?” Silvi meremas ujung roknya, tidak menjawab. 

Benarkah? Sejujurnya Silvi juga tidak tahu, tapi dia ingin percaya bahwa dirinya sudah berubah.

“Aku bisa memberikan semua hal yang jauh lebih baik dari pria itu, kamu tinggal sebutkan dan aku akan memberikannya.”

“Saya tidak menikahinya untuk mendapatkan sesuatu, saya mencintainya.” 

Hening, tidak ada lagi yang berbicara di antara mereka, tapi Silvi mulai tidak nyaman dengan tatapan yang diberikan oleh Julian, membuatnya tidak mampu mengangkat wajahnya yang terus menunduk sejak tadi.

“Pembohong.” Silvi melebarkan matanya saat mendengar perkataan Julian, “Dia hanya tiketmu untuk hidup biasa yang kamu inginkan. Padahal hidup seperti itu tidak cocok untukmu.”

“Apa…” Silvi ingin membuka mulutnya, tidak terima atas perkataan Julian, tapi ucapannya berhenti begitu matanya bertemu dengan tatapan dingin pria itu.

“Perempuan sepertimu tidak akan pernah berubah sepenuhnya.”

Silvi merasakan nafas di dadanya terasa sesak akibat perkataan Julian, ingin mengatakan bahwa apa yang ia katakan tidak benar. Tapi pikiran dan bibirnya terasa kaku. Mungkin tubuhnya diam-diam mengakui bahwa apa yang dikatakan oleh Julian benar adanya.

=

Butuh waktu lama untuk akhirnya Julian membiarkan Silvi kembali ke ruangannya. Pria itu terus berusaha untuk menahannya, memaksanya mengakui hal-hal yang tidak ingin Silvi akui. Jika tidak ada Carla yang tiba-tiba muncul dengan wajah canggung dan panik dengan setumpuk dokumen di tangannya, pria itu tidak akan pernah membiarkannya pergi.

Silvi berjalan gontai menuju ruangannya. Sejak dulu dia sudah tau bahwa tidak ada yang bisa lepas dari gosip kantor, terutama dengan dinding yang seolah bisa berbicara. Tapi ketegangan yang menguasai ruangannya begitu ia masuk terasa begitu menyiksa. Dan Silvi sudah tahu apa alasannya, sebagian besar dari mereka atau bahkan semuanya tahu bagaimana Julian memperlakukannya di lorong tadi.

Silvi mencoba untuk tidak mengindahkan tatapan semua orang kepadanya, ia hanya diam sambil menghidupkan komputer di mejanya, dan mulai bekerja seperti biasa. Hingga Adriana, salah satu teman seruangannya masuk dan meletakkan kopi di mejanya.

“Sil, kopi kamu. Kata Carla dari Pak Julian” 

“Buat Silvi aja nih? Buat kita yang lain ga ada?” Dona, teman seruangannya yang lain bertanya seolah penasaran, tapi Silvi tahu bahwa dia sedang mencoba ‘memancing’ Silvi. Dan hampir seluruh mata yang berada di ruangan itu sudah mengarah ke arahnya. Termasuk tatapan Samuel, kekasih sekaligus atasan Silvi.

Silvi menggeleng cepat, “Ga ada hubungan apa-apa!” suaranya tegas, ia tidak ingin dihubungkan dengan Julian, terutama di depan Samuel yang sejak tadi sudah terlihat tidak nyaman

“Loh, terus kenapa Pak Julian tiba-tiba kirimin kamu kopi?” 

Silvi menghela nafas, ia harus memberikan jawaban yang dapat memuaskan rasa penasaran orang-orang ini. “Itu memang punyaku, tadi ketinggalan waktu Pak Julian bantu aku ngangkat dokumen untuk ke gudang arsip.”

“Dalam rangka apa Pak Julian bantu kamu?” Kali ini Dona bertanya dengan tangan yang terlipat di dadanya. Tidak lagi menyembunyikan tatapannya yang terlihat menghakimi.

Orang-orang rendahan ini…

Silvi dapat merasakan darahnya mendidih, perasaan kesal dan marah bercampur dalam hatinya. Matanya mulai melirik kopi yang tergeletak di atas meja bagai pertanda buruk yang sengaja Julian kirim untuk dirinya.

Perlu banyak pertahanan diri yang perlu ia kerahkan agar tidak mengambilnya dan menyiramkan kopi itu kepada Adriana dan Dona yang terus menyudutkannya.

“Perempuan sepertimu tidak akan pernah berubah sepenuhnya.”

Suara Julian yang mengatakan hal itu kembali terdengar di pikiran Silvi, tapi lucunya bisikan beracun itu seolah menjadi pengingat agar ia tidak menunjukkan sifatnya yang sebenarnya.

“Kami pernah satu sekolah.” Jawaban itu akhirnya keluar dari bibir Silvi, ia ingin mengakhiri ini semua secepat mungkin. Sebelum ia benar-benar mulai merendahkan orang-orang tidak berguna ini di depan Samuel.

“Hmm…” Dona tidak mengatakan apapun lagi, tapi tatapannya seolah menunjukkan bahwa ia sedang menemukan sesuatu yang menarik.

“Oh, kenapa tadi kamu ga bilang?” Tapi Adriana masih tidak menutup mulutnya, mencoba terus mengorek informasi.

“Karena tidak penting.”

“Tapi kelihatannya ga gitu?”

“Maksudnya?”

“Kamu pernah dekat dengan Pak Julian?” Silvi mengepalkan tangannya di bawah meja, emosi yang sejak ia tadi ia tahan semakin naik ke kepalanya.

“Gimana?” Dona kembali melemparkan pertanyaan, membantu Adriana mendesak Silvi mengeluarkan jawaban yang lebih jelas. Tidak ada lagi suara keyboard ataupun kertas. Hening. Seolah semua sengaja menunggu jawaban dari Silvi. Takut tertinggal jika mereka bergerak sedikit saja. 

“Ehem…” Suara deheman keras dari Samuel menyelamatkan Silvi tepat saat ia melihat Dona kembali ingin membuka mulutnya. Mereka berdua langsung melihat ke arah Samuel yang sedang menatap mereka dengan tajam.

“Semuanya silahkan kembali ke pekerjaan masing-masing, dan silahkan membahas hal-hal lainnya setelah jam kerja.” Suara keyboard langsung kembali terdengar memenuhi ruangan begitu Samuel selesai berbicara, dan Dona langsung membuang wajahnya kemudian fokus pada pekerjaan. Tapi Silvi, setelah semua itu merasa kesulitan untuk fokus pada pekerjaan.

Ia harus segera berbicara pada Samuel, sebelum pria itu mengira ia sedang bermain api dengan Julian.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Hate You To The Bone   54. BAB 54

    Silvi membenci ibunya.Sejak pertama kali ia menyadari bahwa hidupnya dibangun atas dasar kebohongan, Silvi selalu mengingatkan dirinya akan satu hal. Apa pun yang dikatakan ibunya, semuanya hanyalah kebohongan yang diberikan demi keuntungan wanita itu.Tapi Silvi selalu mempercayai satu hal secara konsisten, satu hal yang dikatakan ibunya untuk pertama kali saat ia pulang dengan keadaan rumah yang berantakan. Bahwa Silvi adalah pembawa sial.Wanita itu mengatakannya sambil memegang bahunya dengan erat hingga meninggalkan jejak yang baru hilang setelah berhari-hari.Silvi mencoba melupakan kalimat itu, berusaha menjalankan hidupnya seolah kalimat yang sama tidak menghantuinya di setiap malam di mana ia merasa kesepian. Tapi, ia tidak bisa. Kalimat itu terus berbisik di kepalanya dan tidak berhenti dari ia bangun hingga tidur lagi. Bahkan, kalimat itu kembali muncul di hari ini ketika ia melihat ibunya berada di depan pintu, berdiri di depan seorang asisten rumah tangga yang terli

  • Hate You To The Bone   53. BAB 53

    Vanessa memperhatikan Silvi dari celah pintu yang ia buka. Anak tirinya itu tidak lagi bergerak dari kamarnya selama dua hari. Bahkan walau dua orang yang terakhir kali datang menemuinya kembali datang ke rumah mereka, Silvi menolak kedatangan mereka secara terang-terangan.Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi ia sudah berniat akan melakukan apa pun untuk membantu Silvi begitu ia mendengar dari suaminya bahwa wanita itu sedang hamil dan butuh banyak dukungan.Tapi bagaimana cara untuk membantu seseorang yang bahkan tidak ingin dibantu?Silvi selalu diam di kamarnya, makan secara terpisah ketika Vanessa sudah selesai makan. Selain itu, ia hanya keluar jika memang diperlukan. Fakta bahwa Silvi hanya keluar

  • Hate You To The Bone   52. BAB 52

    Saat keheningan di ujung telepon bertahan terlalu lama, Anastasia tahu pria di seberang sana telah memakan umpannya. Maka ia melanjutkan dengan nada yang manis."Kalau kamu mau tahu, aku bisa memberitahumu… dengan satu syarat."Terdengar helaan napas dari seberang lalu suara yang terdengar terasa dingin, tapi tak bisa sepenuhnya menyembunyikan kegugupan yang mulai merayap."Apa maumu?"Anastasia bangkit dari tempat duduk dan berjalan perlahan ke arah jendela. Menatap bayangan wajahnya di sana."Aku ingin kamu membantuku," ucapnya ringan, "Aku ingin Silvi menghubungiku. Kamu bisa menyebut namaku kapan saja. Kalau dia tahu kamu tahu tempatnya dariku, dia akan menghubungiku."

  • Hate You To The Bone   51. BAB 51

    Mami tahu kamu kembali ke rumah itu.Silvi membaca pesan yang baru saja masuk dari ibunya dengan tangan yang gemetar. Belum ada 24 jam sejak Samuel dan Celine datang ke rumah ini dan sekarang ia harus menghadapi ibunya?Apa Papi kamu menanyakan keadaan Mami?Silvi sudah mengangkat tangannya untuk melemparkan ponsel itu ke dinding ketika benda itu bergetar di tangannya, membuatnya mengintip nama yang muncul di layarnya.MamiSesuai dengan dugaannya. Silvi mulai bertanya-tanya mengapa ia masih menyimpan nomor itu.Dan kenapa wanita itu masih memiliki cukup rasa percay

  • Hate You To The Bone   50. BAB 50

    "Apa kalian pikir yang paling aku butuhin saat ini itu balas dendam?" Silvi bergumam pelan, masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar sebelumnya. Celine membuka mulut, tapi Silvi melanjutkan, "Aku bahkan nggak bisa berdiri lama tanpa merasa kram. Kalian pikir aku masih mau terlibat ini semua?"Samuel terlihat canggung, "Kami cuma… kami cuma ingin bantu.""Kalau kalian benar-benar ingin bantu," suara Silvi mulai bergetar, "Kalian harusnya mulai dengan bertanya apa yang aku butuhin. Bukan ngebawa rencana yang bahkan ga aku mau."Ruangan itu hening, hanya ada suara nafas Silvi yang terdengar berat. Tangannya menyibakkan rambutnya ke belakang dengan wajah yang gusar.Dan tepat di tengah keheningan itu, ponsel Silvi berdering. Ia merogoh sakunya dan mata Silvi seketika memicing saat melihat siapa yang menelpon.Mami. Lagi.Seakan dunia tak memberinya ruang untuk sekadar duduk dan mencoba berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Silvi mematikan panggilan itu dan kembali menatap Cel

  • Hate You To The Bone   49. BAB 49

    Semuanya terasa begitu kacau.Julian mencoba melakukan pekerjaannya seperti biasa. Ia bahkan mulai lebih sering hadir di kantor yang dulu hanya ia kendalikan di belakang layar. Mencoba mengalihkan dirinya dari bayang-bayang Silvi yang duduk tenang sambil membaca buku maupun menonton televisi di tempat tidur mereka.Julian mencoba memindahkan ruang kerjanya ke tempat lain agar tidak semakin terganggu dengan bayang Silvi, tapi usahanya gagal ketika ia keluar untuk makan siang dan melihat bayangan Silvi yang duduk di meja makan sambil memainkan ponselnya.Hingga akhirnya ia memilih keluar dari rumah untuk bekerja. Mungkin ia bisa lebih fokus di tempat baru, mungkin dia bisa benar-benar melakukan sesuatu di tempat yang tidak pernah didatangi Silvi sebelumnya.Tapi, pekerjaannya justru terus terhenti karena Julian terus menerus mengecek ponselnya. Membuka pesannya dengan Silvi yang bahkan tidak memiliki banyak history karena mereka tinggal di rumah yang sama.Alhasil, asistennya harus

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status