Silvi terus menggigit jarinya, ia gelisah. Sudah lebih dari sepuluh menit berlalu sejak ia mengejar Samuel yang dipanggil ke ruang HRD tapi sampai saat ini pria itu belum juga keluar.
Sejak tadi Silvi sudah berniat menceritakan soal mutasinya ke Samuel sebelum ia mendengar dari HRD bahwa salah satu anggotanya akan dipindahkan ke posisi lain. Tapi Samuel baru datang ketika ruangan sudah padat oleh karyawan yang lain.
Tapi Silvi juga tahu mengirimkan pesan saja tidak cukup. Tapi bagaimana jika ia tak sempat bicara sama sekali? Bagaimana jika Julian mendahuluinya dan memutarbalikkan segalanya? Atau lebih buruk, bagaimana jika Julian mengatakan alasan dia menerima?
Di tengah ketegangan pikirannya, pintu yang berada di hadapan Silvi terbuka. Samuel melangkah keluar. Wajahnya awalnya datar, tak terbaca. Tapi begitu matanya menangkap Silvi berdiri menunggunya, ekspresinya berubah dingin dan jelas tidak suka.
Samuel memegang pergelangan tangan Silvi, lalu menariknya untuk ikut. Mereka baru berhenti ketika telah sampai di tangga darurat. Suara pintu besi yang ditutup terasa memekakkan telinga, membuat Silvi merasa semakin tertekan.
“Jadi ini maksudmu dengan ‘aku akan keluar kapan pun kamu minta’?” Suaranya datar, tapi terasa seperti air es yang disiramkan ke tubuh Silvi, membuatnya kaku. “Kamu diam-diam setuju dipindahkan jadi sekretarisnya Pak Julian padahal belum ada 24 jam kamu bilang kayak gitu?”
Silvi menelan ludah. “Aku mau jelasin, tapi tadi kamu…”
“Kamu bisa jelaskan sekarang, Silvi,” potong Samuel cepat, “Apa yang sebenarnya kamu pikirkan? Apa penjelasan kamu kemarin itu semuanya bohong?”
“Engga!” suara Silvi meninggi karena panik, “Aku memang setuju dimutasi, tapi itu bukan karena aku mau!”
Samuel mendengus pelan, “Atas dasar apa kamu berharap aku percaya?”
Silvi tidak menjawab, ia memang ingin Samuel percaya, tapi menceritakan semuanya pada Samuel terasa seperti menggali kuburannya sendiri.
“Kamu ga pernah cerita soal keluargamu, aku terima. Kamu ga pernah mau kenalin aku ke teman-teman lama kamu, aku terima. Terus sekarang kamu berharap aku juga terima aja apa pun yang terjadi?”
Silvi menunduk, matanya mulai memanas. Kata-kata Samuel seperti hantaman yang tak bisa ia hindari karena semua itu benar. Ia diam, merasa apapun yang ia katakan terasa tidak cukup.
“Aku cuma bingung harus gimana,” Silvi berkata pelan, “Aku takut kamu salah paham.”
Samuel mengerutkan alisnya. “Salah paham? Atau kamu takut aku tahu alasan sebenarnya kamu nerima mutasi itu?”
Silvi menatap Samuel, ketakutannya tidak lagi bisa ia sembunyikan.
“Kamu pikir aku bodoh?” lanjut Samuel, nadanya tetap tenang, tapi jelas mengandung luka, “Bilang dari awal kalau kamu dan Julian memang belum selesai.”
Silvi membuka mulutnya, tapi tak ada suara yang keluar. Ia tahu, jika ia jujur soal Julian, ia harus membuka semuanya dan dia tidak siap mengakui siapa dirinya sebenarnya.
Samuel menghela napas panjang, memalingkan wajah, “Aku nggak butuh kamu sempurna, Silvi. Tapi aku butuh kamu jujur. Karena kalau kamu terus begini… aku ga yakin bisa terusin hubungin kita.”
Silvi membulatkan matanya. Ucapan itu terasa seperti tamparan telak di wajahnya. Darahnya berdesir hebat. Tidak. Samuel tidak bisa membuangnya begitu saja. Tidak sekarang. Tidak setelah semua yang ia perjuangkan.
Silvi melangkah maju dengan tangan yang terulur untuk meraih lengan Samuel. Tapi pria itu sudah menjauh, menciptakan jarak diantara mereka berdua.
Panik menyeruak di dada Silvi. Ia ingin berteriak, ingin bilang bahwa ia tidak punya pilihan lain, bahwa semua ini bukan tentang ketidakjujuran, tapi tentang pertahanan diri. Tentang betapa keras ia mencoba menjaga sisi terburuk dalam hidupnya tetap tersimpan dengan rapi. Tapi dia tidak bisa.
Bagaimana kalau Samuel tahu semuanya?
Bagaimana kalau Samuel tahu siapa dirinya sebenarnya? Siapa ibunya, siapa ayahnya, dan siapa dirinya dalam cerita memalukan itu. Dan bagaimana jika Samuel tahu semua kebohongan yang ia bangun di masa lalu?
Silvi memejamkan mata sesaat. Kepalanya dipenuhi suara-suara: suaranya sendiri, suara ibunya di masa lalu, suara Julian yang terus menekannya, dan sekarang… suara Samuel yang mulai menyerah.
“Kamu selesaikan saja hand over pekerjaanmu dengan Dona. Mutasinya akan efektif mulai minggu depan.” Samuel berkata pelan, sebelum membuka pintu tangga darurat dan pergi tanpa menoleh lagi. Meninggalkan semua percakapan mereka dan Silvi di belakang. Sendirian.
Julian tidak akan pernah meninggalkan dirinya seperti ini.
Silvi membenci dirinya, tapi bisikan itu terdengar jelas di kepalanya. Tapi dia tahu bahwa itu benar. Dia bisa membenci Julian, memakinya, dan mengutuk setiap langkah pria itu. Tapi Julian tidak akan pergi.
Dan Silvi benci betapa kalimat itu terasa menenangkan.
Julian, pria yang membuatnya terpojok, yang menggenggam rahasia hidupnya seperti senjata, yang memaksanya melakukan apapun yang dia inginkan, dan yang kini menjadi ancaman paling nyata dalam hidupnya, justru adalah satu-satunya yang tidak pernah membiarkannya sendirian.
Silvi menggigit bibir bawahnya keras-keras. Matanya panas, tapi tak ada air mata yang keluar. Ia sudah menangis cukup banyak di masa lalu. Yang tersisa kini hanya kelelahan dan ketakutan bahwa dia sedang berjalan mundur ke arah seseorang yang justru seharusnya ia jauhi.
Julian tidak akan meninggalkannya. Tapi dia juga tidak akan membebaskannya.
Dan mungkin... bagian tergelap dari diri Silvi sedang mempertimbangkan untuk kembali menyerah. Bukan karena ia ingin. Tapi karena Silvi sadar dia tidak punya tempat lain untuk pergi.
=
Silvi tidak perlu bertanya untuk mengetahui apa yang terjadi saat ia kembali ke ruangan dan semua mata tertuju padanya dengan tatapan menghakimi. Beritanya sudah tersebar, tidak ada penjelasan lain.
Hal itu hanya semakin terkonfirmasi setelah ia duduk dan membuka email yang sama dengan yang diterima oleh semua orang.
Subject: Employee Internal Transfer Announcement – Silvi Alexandria
Dear All,
We are pleased to announce the internal transfer of Silvi Alexandria from Accounts Receivable Staff to Secretary to the Vice Director, effective…
Silvi menutup tab emailnya tanpa menyelesaikan membaca apapun yang tertulis di sana. Tidak perlu. Ia tidak perlu pengingat bahwa ia sedang berjalan secara perlahan ke lubang yang sama. Setelah menghela nafas panjang, Silvi mencoba mencuri pandang ke arah Samuel yang menolak melihat ke arahnya.
Silvi membenarkan posisi duduknya, mencoba menahan gejolak di dalam dada yang kembali familiar setelah kembalinya Julian; malu, marah, dan sesuatu yang lebih getir: pasrah. Ia menoleh ke layar, berpura-pura mengetik sesuatu, hanya agar tidak terlihat baik-baik saja.
Tapi Dona yang sebelumnya duduk bersebrangan dirinya berjalan mengitari meja sambil membawa kursinya ke sebelah Silvi. “Aku diminta Pak Samuel kesini buat hand over kerjaan kamu sebelum pindah.”
Silvi hanya mengangguk, sambil memikirkan apa saja yang perlu ia sampaikan pada Dona. tapi kepalanya masih kacau karena semua hal yang terjadi, membuatnya berpikir begitu lambat. Dona yang tidak sabar dengan sengaja menghentak-hentakkan kakinya dengan sengaja membuat Silvi semakin tidak fokus.
“Aku ga punya seharian by the way, kalau kamu ga mulai sekarang, mending aku balik ke mejaku.”
Silvi membuka folder dokumennya perlahan, berusaha tetap tenang meski ia bisa merasakan tatapan Dona yang menusuk dari samping. Tangannya menggerakkan mouse, membuka file satu per satu, tapi pikirannya tidak sepenuhnya di sana.
Dona menyandarkan tubuh ke sandaran kursi, menyilangkan tangan. Ia tidak melihat layar, melainkan wajah Silvi yang terlihat tenang tapi kacau. “Jadi... kamu sekarang jadi sekretarisnya Pak Julian?” tanyanya, sama sekali tidak menyembunyikan rasa penasaran
Silvi tidak langsung menjawab. Ia membuka file Outstanding Invoice dan menunjuknya dengan menggunakan kursor, “Yang ini belum sempat aku follow up. Biasanya butuh waktu seminggu sampai mereka kasih respons.”
Tapi Dona tidak melihat layar, “Waktu itu kamu bilang, kamu ga ada apa-apa dengan Pak Julian.”
Silvi menegang, lalu menoleh perlahan ke arah Dona. “Memang engga,” jawabnya datar.
Dona tertawa kecil, tawa yang terdengar merendahkan. “Lucu aja. Kemarin kamu bilang ga ada apa-apa, sekarang malah jadi sekretaris pribadi.” Dona sengaja menekan tiap kata yang dia ucapkan, tidak peduli dengan bisik-bisik dan tatapan orang lain.
Silvi mengepalkan jemarinya di bawah meja, “Ini bukan pilihanku.”
“Maksudnya Pak Julian yang mau deket-deket kamu?” Kali ini Silvi menoleh dengan cepat. Tatapannya dingin dan tajam seperti pisau, tapi bukan itu yang membuat Dona akhirnya terdiam. Tapi suasana dan tatapan Silvi terasa berbeda. Seolah wanita itu sedang menghakiminya dalam diam.
“Kalau kamu tidak tahu apa yang kamu bicarakan tutup mulutmu, Dona.”
Suasana tiba-tiba terasa lebih berat, penuh ketegangan yang tidak lagi bisa disembunyikan. Dona yang biasanya tak segan menguji batas orang lain, mendapati dirinya kehilangan kata-kata di bawah tatapan Silvi. Hening menyelimuti ruangan, hanya tersisa dentingan suara ketikan keyboard yang terasa semakin tajam. Dona menelan ludah, hingga akhirnya Silvi membalikkan tubuhnya, mengakhiri percakapan mereka tanpa kata.
Silvi membenci ibunya.Sejak pertama kali ia menyadari bahwa hidupnya dibangun atas dasar kebohongan, Silvi selalu mengingatkan dirinya akan satu hal. Apa pun yang dikatakan ibunya, semuanya hanyalah kebohongan yang diberikan demi keuntungan wanita itu.Tapi Silvi selalu mempercayai satu hal secara konsisten, satu hal yang dikatakan ibunya untuk pertama kali saat ia pulang dengan keadaan rumah yang berantakan. Bahwa Silvi adalah pembawa sial.Wanita itu mengatakannya sambil memegang bahunya dengan erat hingga meninggalkan jejak yang baru hilang setelah berhari-hari.Silvi mencoba melupakan kalimat itu, berusaha menjalankan hidupnya seolah kalimat yang sama tidak menghantuinya di setiap malam di mana ia merasa kesepian. Tapi, ia tidak bisa. Kalimat itu terus berbisik di kepalanya dan tidak berhenti dari ia bangun hingga tidur lagi. Bahkan, kalimat itu kembali muncul di hari ini ketika ia melihat ibunya berada di depan pintu, berdiri di depan seorang asisten rumah tangga yang terli
Vanessa memperhatikan Silvi dari celah pintu yang ia buka. Anak tirinya itu tidak lagi bergerak dari kamarnya selama dua hari. Bahkan walau dua orang yang terakhir kali datang menemuinya kembali datang ke rumah mereka, Silvi menolak kedatangan mereka secara terang-terangan.Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi ia sudah berniat akan melakukan apa pun untuk membantu Silvi begitu ia mendengar dari suaminya bahwa wanita itu sedang hamil dan butuh banyak dukungan.Tapi bagaimana cara untuk membantu seseorang yang bahkan tidak ingin dibantu?Silvi selalu diam di kamarnya, makan secara terpisah ketika Vanessa sudah selesai makan. Selain itu, ia hanya keluar jika memang diperlukan. Fakta bahwa Silvi hanya keluar
Saat keheningan di ujung telepon bertahan terlalu lama, Anastasia tahu pria di seberang sana telah memakan umpannya. Maka ia melanjutkan dengan nada yang manis."Kalau kamu mau tahu, aku bisa memberitahumu… dengan satu syarat."Terdengar helaan napas dari seberang lalu suara yang terdengar terasa dingin, tapi tak bisa sepenuhnya menyembunyikan kegugupan yang mulai merayap."Apa maumu?"Anastasia bangkit dari tempat duduk dan berjalan perlahan ke arah jendela. Menatap bayangan wajahnya di sana."Aku ingin kamu membantuku," ucapnya ringan, "Aku ingin Silvi menghubungiku. Kamu bisa menyebut namaku kapan saja. Kalau dia tahu kamu tahu tempatnya dariku, dia akan menghubungiku."
Mami tahu kamu kembali ke rumah itu.Silvi membaca pesan yang baru saja masuk dari ibunya dengan tangan yang gemetar. Belum ada 24 jam sejak Samuel dan Celine datang ke rumah ini dan sekarang ia harus menghadapi ibunya?Apa Papi kamu menanyakan keadaan Mami?Silvi sudah mengangkat tangannya untuk melemparkan ponsel itu ke dinding ketika benda itu bergetar di tangannya, membuatnya mengintip nama yang muncul di layarnya.MamiSesuai dengan dugaannya. Silvi mulai bertanya-tanya mengapa ia masih menyimpan nomor itu.Dan kenapa wanita itu masih memiliki cukup rasa percay
"Apa kalian pikir yang paling aku butuhin saat ini itu balas dendam?" Silvi bergumam pelan, masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar sebelumnya. Celine membuka mulut, tapi Silvi melanjutkan, "Aku bahkan nggak bisa berdiri lama tanpa merasa kram. Kalian pikir aku masih mau terlibat ini semua?"Samuel terlihat canggung, "Kami cuma… kami cuma ingin bantu.""Kalau kalian benar-benar ingin bantu," suara Silvi mulai bergetar, "Kalian harusnya mulai dengan bertanya apa yang aku butuhin. Bukan ngebawa rencana yang bahkan ga aku mau."Ruangan itu hening, hanya ada suara nafas Silvi yang terdengar berat. Tangannya menyibakkan rambutnya ke belakang dengan wajah yang gusar.Dan tepat di tengah keheningan itu, ponsel Silvi berdering. Ia merogoh sakunya dan mata Silvi seketika memicing saat melihat siapa yang menelpon.Mami. Lagi.Seakan dunia tak memberinya ruang untuk sekadar duduk dan mencoba berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Silvi mematikan panggilan itu dan kembali menatap Cel
Semuanya terasa begitu kacau.Julian mencoba melakukan pekerjaannya seperti biasa. Ia bahkan mulai lebih sering hadir di kantor yang dulu hanya ia kendalikan di belakang layar. Mencoba mengalihkan dirinya dari bayang-bayang Silvi yang duduk tenang sambil membaca buku maupun menonton televisi di tempat tidur mereka.Julian mencoba memindahkan ruang kerjanya ke tempat lain agar tidak semakin terganggu dengan bayang Silvi, tapi usahanya gagal ketika ia keluar untuk makan siang dan melihat bayangan Silvi yang duduk di meja makan sambil memainkan ponselnya.Hingga akhirnya ia memilih keluar dari rumah untuk bekerja. Mungkin ia bisa lebih fokus di tempat baru, mungkin dia bisa benar-benar melakukan sesuatu di tempat yang tidak pernah didatangi Silvi sebelumnya.Tapi, pekerjaannya justru terus terhenti karena Julian terus menerus mengecek ponselnya. Membuka pesannya dengan Silvi yang bahkan tidak memiliki banyak history karena mereka tinggal di rumah yang sama.Alhasil, asistennya harus