Share

6. Hadiah

Penulis: Rainina
last update Terakhir Diperbarui: 2025-03-08 23:12:54

Hal pertama yang membuat Silvi berhenti melangkah saat melihat meja barunya adalah kenyataan bahwa meja itu terasa... terlalu akrab.

Bukan karena pernah ditempati orang lain, melainkan karena seseorang telah menatanya khusus untuk dirinya dengan sengaja.

Ada parfum dengan botol berwarna pastel yang ramping, beberapa botol nail polish, dan gantungan kunci berbentuk kelinci kecil yang menggantung di laci, semuanya benda kecil yang dulu sering ia gunakan dengan warna dan bahkan merk yang benar.

Tapi yang berhasil membuatnya menggenggam erat kotak yang ia gunakan untuk menampung barang dari ruang lamanya adalah selembar sticky note merah muda yang menempel manis di atas meja, bertuliskan:

Have a good day :)

Dengan tulisan tangan yang terlalu ia kenal, bahkan ketika ia berharap bisa melupakannya.

Silvi membeku sejenak. Bukan karena terharu, tapi karena merasa terperangkap. Meja ini bukan lagi sekedar tempat kerja, tapi panggung baru bagi Julian. Jantungnya berdegup cepat, seolah tubuhnya ingat lebih dulu apa yang dulu pernah ia rasakan: perasaan dilihat, dimiliki, dan diambil paksa dari dirinya.

Ia menarik napas panjang, menata alat tulis dan dokumen penting untuk menyibukkan tangannya. Satu-satunya cara bertahan adalah bersikap seperti tidak terjadi apa-apa. Seolah semua ini hanyalah kebetulan. Seolah benda-benda itu tidak berbicara diam-diam lewat bau, warna, dan kenangan yang menyakitkan.

Di tengah-tengah itu semua, terdengar langkah kaki yang  tenang dan teratur, tapi di telinga Silvi, suara itu terlalu keras. Begitu menghantui. Julian berhenti tepat di depan mejanya, ia menatap benda-benda yang tertata rapi, lalu tersenyum ringan. Seolah minta dihargai atas usahanya.

“Kamu suka hadiahku?” tanyanya lembut, seperti menawarkan sesuatu yang manis, bukan memaksa kenangan pahit kembali masuk ke dalam kepala Silvi.

Silvi menoleh perlahan. Ia menatap sticky note itu lalu menatap Julian dengan datar.

“Sebaiknya Bapak tidak membedakan perlakuan ke karyawan Anda.” Suaranya datar, tapi ada getaran yang coba ia sembunyikan. Julian terkekeh pelan, hampir terdengar ramah, tapi menyisakan rasa getir di dalam diri Silvi yang mendengarnya.

“Aku cuma mau kamu merasa nyaman. Karena aku mau kamu berada di posisi ini untuk waktu yang lama.”

Ia mencondongkan tubuh sedikit. Tangan bersandar pada tepi meja Silvi. Terlalu dekat untuk disebut profesional. Cukup untuk membuat Silvi melangkah mundur secara refleks. Senyum Julian mengembang lebih lebar, matanya menyipit seolah sedang menikmati permainan kecil yang hanya bisa dipahami oleh mereka berdua.

“Kalau kamu butuh waktu untuk beradaptasi, ambillah. Aku bisa atur semuanya sendiri.” Julian melangkah masuk ke ruangannya setelah mengatakan itu. Meninggalkan Silvi dengan denting pintu kaca yang tertutup pelan.

Kalimat itu, meski dilapisi kelembutan, terdengar seperti tali yang diikat dengan kuat. Seolah menegaskan apa yang telah dipikirkan Silvi dari awal. Julian tidak benar-benar membutuhkan seseorang untuk mengisi posisi sekretarisnya, ia hanya tidak tenang jika dia tidak mengikat Silvi lebih dekat.

Silvi menunduk, menyembunyikan ekspresi. Tangannya mengepal di bawah meja. Kuku-kukunya menekan telapak tangan hingga nyaris melukai dirinya sendiri, satu-satunya cara untuk memastikan bahwa ia masih bisa merasakan sakit yang ia pilih sendiri.

=

Gosip itu mulai terdengar makin jelas beberapa hari setelah Silvi resmi duduk di posisi barunya. Bukan karena topiknya berubah, tapi karena orang-orang yang tadinya membicarakannya diam-diam tidak lagi menyembunyikan dari dirinya.

Tatapan yang dulu hanya terkesan dicuri-curi dan cepat, sekarang berubah menjadi terang-terangan. Seperti lampu sorot yang sengaja diarahkan kepada Silvi. Meski mereka berbisik di balik tangan, meski suara printer dan ketikan keyboard yang sengaja ditekan keras oleh Silvi sebagai usahanya untuk menenggelamkan percakapan itu, tetapi Silvi tetap tahu apa yang sedang mereka bicarakan.

Di ruang meeting sebelum rapat dimulai, di toilet wanita, bahkan di pantry yang sempit, semua menjadi panggung untuk satu topik yang terus terdengar berulang-ulang.

“Makanya bisa langsung duduk di depan ruangan Pak Julian,” suara seorang perempuan terdengar geli, “Katanya sih... istimewa banget.”

“Ya ampun, kamu percaya gosipnya?” balas yang lain, meski tawanya terdengar tak kalah geli.

“Bukan gosip. Ada yang lihat langsung Pak Julian nyusun hadiah untuk Silvi di mejanya.”

Samuel, yang awalnya hanya ingin mengisi ulang kopinya, terdiam di depan pintu pantry. Ia tidak langsung masuk begitu mendengar isi percakapan mereka dan alih-alih ia berdiri di balik tembok.

“Kurasa dia itu... semacam simpanan. Gak resmi, tapi kamu ngerti lah ya?” suara itu diakhiri tawa kecil yang mengejek.

“Bukannya dia udah tunangan sama Pak Samuel?” 

“Ya tapi kalau yang baru sekelas Pak Julian, ya… masih bisa dipertimbangkan ga sih?”

Tawa mereka kembali terdengar

Samuel berdiri kaku, mug di tangannya tergenggam erat. Buku-buku jarinya memutih. Untuk sesaat ia hanya berdiri, membiarkan kalimat-kalimat itu menyelinap ke dalam dadanya.

Saat kedua perempuan itu akhirnya membuka pintu dan keluar, langkah mereka terhenti.

Wajah mereka memucat saat melihat Samuel berdiri tepat di depan pintu, diam, tegak, dan menatap lurus dengan datar. Tak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya, tapi sorot matanya cukup untuk membuat mereka menunduk dan berjalan cepat melewatinya.

Samuel tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya masuk ke pantry, meletakkan mugnya di meja, dan menatap kosong ke arah jendela kecil di sudut ruangan.

Ia mencoba meyakinkan diri bahwa gosip itu masuk akal. Bahwa Silvi memang terlibat dengan Julian dan bukan salahnya jika ia berakhir menarik diri dari sirkus yang mereka mainkan. Tapi setiap kali ia melewati Silvi, ia terus melihat ekspresi yang sama di wajahnya. Kosong, tersiksa, seperti ingin lari tapi tidak mampu. Itu bukan ekspresi seseorang yang menikmati perlakuan istimewa untuk dirinya. 

Samuel mulai menyalahkan dirinya yang saat itu tidak mau mendengarkan penjelasan Silvi. Mungkin memang ada sesuatu yang tidak bisa ia ceritakan, jauh lebih penting dibanding perasaan Julian padanya.

Samuel menatap mug yang ia bawa tadi, hadiah dari Silvi. Wajah Silvi dan ekspresinya terus terbayang di kepala Samuel. Mungkin dia harus bicara dengan Silvi sekali lagi, setidaknya untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Hate You To The Bone   54. BAB 54

    Silvi membenci ibunya.Sejak pertama kali ia menyadari bahwa hidupnya dibangun atas dasar kebohongan, Silvi selalu mengingatkan dirinya akan satu hal. Apa pun yang dikatakan ibunya, semuanya hanyalah kebohongan yang diberikan demi keuntungan wanita itu.Tapi Silvi selalu mempercayai satu hal secara konsisten, satu hal yang dikatakan ibunya untuk pertama kali saat ia pulang dengan keadaan rumah yang berantakan. Bahwa Silvi adalah pembawa sial.Wanita itu mengatakannya sambil memegang bahunya dengan erat hingga meninggalkan jejak yang baru hilang setelah berhari-hari.Silvi mencoba melupakan kalimat itu, berusaha menjalankan hidupnya seolah kalimat yang sama tidak menghantuinya di setiap malam di mana ia merasa kesepian. Tapi, ia tidak bisa. Kalimat itu terus berbisik di kepalanya dan tidak berhenti dari ia bangun hingga tidur lagi. Bahkan, kalimat itu kembali muncul di hari ini ketika ia melihat ibunya berada di depan pintu, berdiri di depan seorang asisten rumah tangga yang terli

  • Hate You To The Bone   53. BAB 53

    Vanessa memperhatikan Silvi dari celah pintu yang ia buka. Anak tirinya itu tidak lagi bergerak dari kamarnya selama dua hari. Bahkan walau dua orang yang terakhir kali datang menemuinya kembali datang ke rumah mereka, Silvi menolak kedatangan mereka secara terang-terangan.Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi ia sudah berniat akan melakukan apa pun untuk membantu Silvi begitu ia mendengar dari suaminya bahwa wanita itu sedang hamil dan butuh banyak dukungan.Tapi bagaimana cara untuk membantu seseorang yang bahkan tidak ingin dibantu?Silvi selalu diam di kamarnya, makan secara terpisah ketika Vanessa sudah selesai makan. Selain itu, ia hanya keluar jika memang diperlukan. Fakta bahwa Silvi hanya keluar

  • Hate You To The Bone   52. BAB 52

    Saat keheningan di ujung telepon bertahan terlalu lama, Anastasia tahu pria di seberang sana telah memakan umpannya. Maka ia melanjutkan dengan nada yang manis."Kalau kamu mau tahu, aku bisa memberitahumu… dengan satu syarat."Terdengar helaan napas dari seberang lalu suara yang terdengar terasa dingin, tapi tak bisa sepenuhnya menyembunyikan kegugupan yang mulai merayap."Apa maumu?"Anastasia bangkit dari tempat duduk dan berjalan perlahan ke arah jendela. Menatap bayangan wajahnya di sana."Aku ingin kamu membantuku," ucapnya ringan, "Aku ingin Silvi menghubungiku. Kamu bisa menyebut namaku kapan saja. Kalau dia tahu kamu tahu tempatnya dariku, dia akan menghubungiku."

  • Hate You To The Bone   51. BAB 51

    Mami tahu kamu kembali ke rumah itu.Silvi membaca pesan yang baru saja masuk dari ibunya dengan tangan yang gemetar. Belum ada 24 jam sejak Samuel dan Celine datang ke rumah ini dan sekarang ia harus menghadapi ibunya?Apa Papi kamu menanyakan keadaan Mami?Silvi sudah mengangkat tangannya untuk melemparkan ponsel itu ke dinding ketika benda itu bergetar di tangannya, membuatnya mengintip nama yang muncul di layarnya.MamiSesuai dengan dugaannya. Silvi mulai bertanya-tanya mengapa ia masih menyimpan nomor itu.Dan kenapa wanita itu masih memiliki cukup rasa percay

  • Hate You To The Bone   50. BAB 50

    "Apa kalian pikir yang paling aku butuhin saat ini itu balas dendam?" Silvi bergumam pelan, masih tidak percaya dengan apa yang ia dengar sebelumnya. Celine membuka mulut, tapi Silvi melanjutkan, "Aku bahkan nggak bisa berdiri lama tanpa merasa kram. Kalian pikir aku masih mau terlibat ini semua?"Samuel terlihat canggung, "Kami cuma… kami cuma ingin bantu.""Kalau kalian benar-benar ingin bantu," suara Silvi mulai bergetar, "Kalian harusnya mulai dengan bertanya apa yang aku butuhin. Bukan ngebawa rencana yang bahkan ga aku mau."Ruangan itu hening, hanya ada suara nafas Silvi yang terdengar berat. Tangannya menyibakkan rambutnya ke belakang dengan wajah yang gusar.Dan tepat di tengah keheningan itu, ponsel Silvi berdering. Ia merogoh sakunya dan mata Silvi seketika memicing saat melihat siapa yang menelpon.Mami. Lagi.Seakan dunia tak memberinya ruang untuk sekadar duduk dan mencoba berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja. Silvi mematikan panggilan itu dan kembali menatap Cel

  • Hate You To The Bone   49. BAB 49

    Semuanya terasa begitu kacau.Julian mencoba melakukan pekerjaannya seperti biasa. Ia bahkan mulai lebih sering hadir di kantor yang dulu hanya ia kendalikan di belakang layar. Mencoba mengalihkan dirinya dari bayang-bayang Silvi yang duduk tenang sambil membaca buku maupun menonton televisi di tempat tidur mereka.Julian mencoba memindahkan ruang kerjanya ke tempat lain agar tidak semakin terganggu dengan bayang Silvi, tapi usahanya gagal ketika ia keluar untuk makan siang dan melihat bayangan Silvi yang duduk di meja makan sambil memainkan ponselnya.Hingga akhirnya ia memilih keluar dari rumah untuk bekerja. Mungkin ia bisa lebih fokus di tempat baru, mungkin dia bisa benar-benar melakukan sesuatu di tempat yang tidak pernah didatangi Silvi sebelumnya.Tapi, pekerjaannya justru terus terhenti karena Julian terus menerus mengecek ponselnya. Membuka pesannya dengan Silvi yang bahkan tidak memiliki banyak history karena mereka tinggal di rumah yang sama.Alhasil, asistennya harus

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status