Silvi berdiri di sudut lift, dengan nafas tidak beraturan, dan jari-jari yang mencengkeram tali tas begitu erat hingga memutih. Pantulan wajahnya di dinding logam memperlihatkan ketegangan dan kelelahan yang terlukis jelas di wajahnya.
Ia berkali-kali menatap angka lantai yang naik satu per satu, berharap ada cukup waktu untuk menenangkan diri, padahal semakin tinggi angka itu, semakin kuat tekanan di dadanya.
Pertemuan singkat dengan Julian kemarin masih membekas jelas: Nada suara yang lembut, senyuman yang manis, tapi penuh dengan kalimat yang merendahkan.
Dan sekarang saat lift berdenting dengan keras, menandakan bahwa dirinya sudah sampai di lantai 12, Julian ada di sana, seolah siap untuk menyambut kedatangannya.
Pria itu sedang berbicara dengan Carla -sekretaris ayah Julian- di depan meja resepsionis, dengan tangan terlipat santai di dada dan ekspresi tenang.
Silvi mengutuk dirinya dalam hati. Seharusnya ia datang lebih awal, bukannya mengulur-ulur waktu. Namun belum sempat ia berbalik atau berusaha menyelinap, Julian sudah melihatnya.
"Silvi!" suara itu terdengar ramah, nyaris terlalu ceria untuk seseorang yang menyapa bawahannya.
Meski tidak banyak orang di sekitar mereka, Silvi dapat merasakan tatapan penasaran yang dilayangkan ke arahnya.
Dulu, ia pernah haus akan validasi dari orang lain, perhatian seperti itu mungkin membuatnya merasa tinggi. Tapi tidak sekarang. Tidak saat Julian juga ikut berada di tengah-tengahnya.
“Aku perlu berkeliling untuk mengingatkan beberapa hal karena sudah sangat lama sejak terakhir aku ke sini. Bisa temani aku?” Julian berbicara sambil berjalan mendekati Silvi dengan langkah ringan, suaranya terdengar penuh semangat, seperti seseorang yang berbicara pada teman lamanya.
Tapi mereka bahkan tidak pernah menjadi teman. Dan Silvi tidak akan pernah mau menjadi temannya.
Tapi Silvi sadar dirinya bukan siapa-siapa, melainkan mangsa yang terjebak di wilayahnya, di tempat di mana Julian punya posisi tertinggi. Tapi dia tetap mengumpulkan seluruh keberaniannya, untuk menolak permintaan Julian.
“Maaf Pak, saya harus buru-buru karena ada beberapa pekerjaan yang harus diselesaikan. Permisi.”
Silvi berjalan dengan langkah lebar, mencoba melewati Julian yang berdiri di hadapannya. Tapi Julian tidak mengindahkan perkataannya. Bertentangan dengan yang Silvi inginkan, Julian mengambil kopi dari tangan Carla dan berjalan mengikutinya.
"Senang melihatmu lagi," ucapnya, suaranya hangat, terlalu hangat untuk seseorang yang pernah membuatnya hancur.
Silvi membalas dengan anggukan singkat, lalu berjalan cepat di depan Julian, mencoba mengabaikan rasa mual yang perlahan merayap naik ke tenggorokannya. Beberapa pandangan yang terlihat penasaran terus mengikuti mereka di sepanjang lorong, membuat Silvi merasakan darahnya berdesir tidak nyaman.
“Apa tidurmu nyenyak?” tanyanya tiba-tiba. “Aku tidak bisa tidur Silvi, karena aku terus memikirkanmu…”
Silvi tak menjawab. Tapi suara itu tetap bergema. Lembut, mengalir seperti racun yang mengotori pikirannya.
“Apa kamu tahu bagaimana aku berusaha keras menahan rindu saat kita terpisah?”
Terpisah. Kata itu terasa seperti ejekan. Silvi hampir tertawa keras saat mendengar Julian, mempertanyakan logikanya yang seolah mendefinisikan mereka berdua sebagai sepasang kekasih. Padahal bagi Silvi dirinya tidak lebih dari korban.
Silvi membalikkan tubuhnya, ingin mencoba menghentikan Julian dari mengikutinya. Tapi saat ia melihat wajah Julian, dia berakhir menutup mulutnya. Ekspresi itu terlihat memuakkan. Senyumannya terlihat polos dan tulus.
Dia bahkan tidak seperti itu.
“Untukmu.” Julian menarik tangan Silvi, memaksanya menerima kopi yang ia sodorkan dengan paksa pada dirinya. Tidak memberikan ruang bagi Silvi untuk menolak.
“Kamu terlihat lelah, kenapa? Apa kamu juga memikirkanku?” Silvi menggigit sisi dalam pipinya dengan kuat. Berusaha menahan sumpah serapah yang hampir lolos dari bibirnya.
"Silvi!”
Julian dan Silvi sama-sama menoleh. Di sana berdiri seorang pria jangkung dengan kemeja biru muda yang digulung hingga siku. Rambutnya sedikit acak, seperti seseorang yang terburu-buru, dengan setumpuk folder yang hampir menutupi pandangannya. Pria itu bermaksud untuk membawa beberapa dokumen ke gudang arsip.
Silvi nyaris tidak dapat menyembunyikan kelegaannya, walau dia langsung terburu-buru menguasai ekspresinya. Akan tetapi, ekspresi itu tertangkap oleh Julian yang melihat dengan sudut matanya.
"Samuel..." gumamnya, nyaris seperti hembusan nafas. Sebuah senyum kecil muncul di sudut bibirnya.
Silvi berjalan mendekat, lalu berjinjit mencoba mengurangi beban barang bawaan yang dibawa oleh Samuel dengan satu tangannya yang tidak memegang kopi dari Julian. Ia lalu melirik tajam ke arah Julian sambil tetap berusaha untuk terlihat sopan di depan Samuel yang memasang wajah kaget, baru menyadari keberadaan Julian dan langsung menunduk sopan.
"Maaf Pak, sepertinya saya perlu undur diri untuk membantu atasan saya dengan dokumennya.” Ucap Silvi.
Tapi lagi-lagi, Julian tidak membiarkannya. Tangannya justru menarik satu folder dari tangan Silvi, dan merebut sisa folder yang berada di tangan Samuel tanpa ragu sambil masih mempertahankan senyumnya yang terlihat mencurigakan.
“Kebetulan saya sedang reuni bersama Silvi yang adalah teman lama saya. Apa keberatan jika kami yang membawanya?”
Samuel terlihat bingung, perasaan tidak nyaman muncul di hatinya. Bagaimana tidak, bossnya menarik dokumen dari tangannya tanpa ragu, semua hanya untuk menghabiskan waktu dengan pacarnya.
“Ya?” tangan Samuel menggaruk lehernya dengan tidak nyaman, tapi Julian tidak menunggu hingga ia benar-benar menjawab. Ia membalikkan badannya dengan cepat lalu tersenyum pada Silvi.
“Ayo.”
Silvi melihat ke sekelilingnya. Berbeda dengan di hotel saat itu, kali ini rekan kerjanyalah yang mencuri pandang ke arahnya dan Julian. Bahkan di antara orang-orang yang melihat ke arah mereka ada Samuel yang masih terlihat bingung dan tidak nyaman.
Tidak, apa maksud semua ini?
Seolah Julian ingin semua orang melihat dan berasumsi tentang mereka berdua. Silvi merasakan telinganya berdengung kuat saat kesadaran itu menamparnya. Ia menatap Julian yang memutar wajahnya agar bisa melihat dirinya yang masih berdiri mematung di belakang.
Senyum tulus yang tadi ia perlihatkan sudah berubah menjadi sebuah seringai, pria itu jelas sudah menyadari bahwa Silvi sadar apa yang sedang ia coba lakukan.
“Apa yang sebenarnya anda inginkan?” Silvi langsung membuka mulutnya setelah ia memastikan bahwa ia hanya berdua dengan Julian di gudang arsip. Ini baru hari ketiga dirinya bertemu Julian, dan pria ini sudah melakukan hal yang merugikan dirinya.
Julian meletakkan setumpuk folder yang sebelumnya berada di tangannya ke lantai, sebelum akhirnya berbalik dan berjalan mendekat ke arah Silvi. “Tidak ada yang berubah sejak terakhir kali kita bertemu Silvi, aku masih menginginkanmu.”
“Saya sudah memiliki pacar.” Silvi menyilangkan tangannya di dada, walau dirinya dan Samuel tidak pernah mendeklarasikan diri mereka sebagai pacar secara resmi, tapi tidak ada kata lain yang dapat mendeskripsikan perasaan dan hubungan mereka.
Julian memegang dagunya, berpura-pura berpikir. “Ah ya, Samuel bukan? Wajahnya saat ia melihatku membantumu sangat menarik.”
Silvi merenggut, wajahnya memerah karena kesal, tapi dia berusaha berbicara dengan setenang mungkin, “Apa anda melakukan ini semua dengan sengaja? Bukan seperti ini caranya jika anda menyukai seseorang...”
“Benar juga, lagi pula yang sedang aku sukai saat ini adalah seorang Silvi. Yang mulia Silvi. Yang selalu memandang orang lain lebih rendah darinya. Lucu sekali bukan seseorang seperti itu saat ini bekerja di sebuah perusahaan sebagai seorang staff biasa. Apa yang terjadi pada Silviku? Apa kamu berusaha menyembunyikan siapa dirimu sebenarnya?”
Silvi mengepalkan tangannya erat, tubuhnya menegang, pembicaraan ini mulai membuatnya merasa tidak nyaman. Ia bahkan tidak dapat melakukan apapun saat Julian berjalan mendekat dan memegang bahunya dengan kedua tangan besar miliknya.
“Apa…”
“Silvi sang anak haram.” Silvi dapat merasakan wajahnya memucat, tubuhnya terasa lemas, jika bukan karena tangan Julian yang tiba-tiba sudah berada di pinggangnya, mungkin ia sudah akan jatuh karena perasaan kaget yang menderanya.
“Anak yang lahir dari darah ibunya dan supir di rumah mereka, tapi tentu saja ibumu yang seorang aktris terkenal itu sangat hebat dalam berakting. Ia bahkan dapat menyembunyikan kenyataannya selama bertahun-tahun. Hingga kamu duduk di kelas tiga SMA.”
Silvi merasakan nafasnya memburu, seluruh kenangan buruk itu kembali menguasai tubuh dan pikirannya.
Julian memegang tangan Silvi, mengelusnya dengan sayang dengan senyuman yang tulus. Ini akan terlihat seperti adegan romantis, jika saja perkataan Julian selanjutnya tidak pernah ia lontarkan.
“Katakan padaku Silvi, bagaimana rasanya ketika tangan yang tidak pernah bekerja ini secara tiba-tiba harus menopang dirimu sendirian tanpa bantuan orang lain? Bukankah itu sangat berat?”
“Apakah pacarmu itu mengetahui soal ini?” Silvi melebarkan matanya, pria ini… tidak bermaksud untuk mengatakan semuanya pada Samuel kan?
“Bagaimana menurutmu? Apakah Samuel akan mampu menerima dirimu dan seluruh latar belakangmu?” Julian membawa tangan Silvi ke wajahnya, mengelus wajahnya sendiri dengan tangan kecil milik Silvi sambil menatapnya dengan tatapan tajam.
“Apakah dirinya tahu bahwa dirimu yang dulu tidak ubahnya seorang pembully? Seseorang yang merasa dirinya jauh lebih baik dibandingkan orang lain.”
“Cukup…” Silvi berbicara dengan lirih, suaranya bergetar hebat.
“Tapi jangan khawatir Silvi, karena jika ia tidak dapat menerima dirimu sepenuhnya, maka aku akan melakukannya dengan sepenuh hati.”
“Apa yang kamu mau…” suara itu lebih mirip seperti bisikan, tersembunyi di antara nafasnya yang memburu.
“Kamu.” Julian menjawab singkat, tidak ada keraguan dalam suaranya seolah itu adalah hal yang wajar untuk dikatakan. “Tapi jika itu terlalu sulit untukmu mari kita mulai dari hal yang paling mudah untuk kamu lakukan.”
Tangan Julian menggenggam jemarinya dengan erat, “Jadilah sekretarisku, dan apa yang terjadi ke depannya akan tergantung pada jawabanmu.”
Satu minggu berlalu dan Julian masih belum menyadari bahwa ada cincin yang menghilang dari lemarinya. Pria itu benar-benar hanya membeli tanpa memperhatikannya lagi. Uang di dompetnya juga sama, Julian tidak mencurigai ada yang hilang dari dalamnya.Silvi mengambilnya sebagai pertanda bahwa sejauh ini yang ia lakukan masih aman. Jika dia bisa mengambil satu saja perhiasan yang bernilai tinggi, itu bisa cukup sebagai dana daruratnya jika Silvi akhirnya memutuskan untuk pergi.Silvi menatap kembali lemari itu dengan dada yang berdebar keras. Apa yang harus ia ambil hari ini? Apa yang kemarin hanya beruntung? Bagaimana jika yang dia ambil kali ini sesuatu yang punya nilai di mata Julian?Atau haruskah ia mengambil salah satu tas desainer yang dipajang rapi di dalam lemari itu? Kalau dia bisa mengambilnya, benda itu punya nilai yang cukup tinggi. Tapi Silvi tidak mungkin bisa menyembunyikannya tanpa ketahuan.Silvi membuka lemari perhiasan dengan tangan gemetar. Ia menarik napas dalam-dal
“Aku mau sarapan di bawah.” Julian yang berdiri di ambang pintu untuk mengambil sarapan mereka ke lantai satumembalikkan badannya dan menatap Silvi yang berdiri di belakangnya.“Ya?”“Akau udah lama ga keluar kamar Julian.” Silvi berbicara dengan ragu-ragu, kedua tangannya ia sembunyikan di punggung, meremas satu sama lain. “Aku bosan…”Julian menatap Silvi ragu. Ia membuka mulutnya sesaat lalu menutupnya lagi. Julian belum mengatakan apapun, tapiSilvi mulai merasa cemas.. Apa pria itu berhasil mencium niatnya yang sebenarnya??“...Tunggu sebentar.” Ucap Julian akhirnya setelah berpikir beberapa saat, “Aku ke bawah dulu.”Silvi menganggukkan kepalanya pelan dan mendengarkan pintu kembali dikunci. Ia menghela nafas, tidak menyadari bahwa ia telah manahannya sejak tadi. Pria itu curiga. Silvi tahu Julian terlalu pintar untuk dibodohi seperti ini, tapi bagaimanapun juga dia tetap harus mencoba. Julian memastikan satu per satu pintu dan jendela telah terkunci begitu dia sampai di lant
Positif.Ada dua garis di sana dan Silvi sudah membaca petunjuk serta melihat hasilnya ratusan kali. Berkali-kali ia membolak balik kertas petunjuk itu seolah isinya bisa berubah jika Silvi berusaha lebih keras untuk membacanya.Isakan yang sejak tadi ia tahan mulai keluar dari bibirnya, air mata Silvi mulai membasahi ponselnya yang ia pegang, yang lagi-lagi mencoba mencari tahu, karena siapa tahu, hasilnya bisa berbeda. Siapa tahu dua garis di sana tidak menyatakan positif.Tapi tidak ada, semua mengatakan sama, dua garis berarti positif. Dan Silvi tidak sanggup membohongi dirinya lagi. Ia berjongkok di lantai kamar mandi, menampung wajahnya sendiri di kedua telapak tangannya dan menangis keras.Harusnya ia tidak bertingkah bodoh, harusnya ia tidak pernah membiarkan Julian menyentuhnya. Sekarang pria itu punya alasan baru untuk menahannya dan semua adalah hasil dan kebodohan Silvi sendiri.“Bodoh… bodoh…” Silvi merutuk, membisikkan kalimat penghinaan pada dirinya sendiri di antara is
Pagi itu, Silvi terbangun dengan tubuh lemas dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Mual datang tanpa aba-aba, menghantam perutnya begitu kuat hingga ia bergegas menuju kamar mandi. Suara muntah menggema di dalam kamar mandi dan tubuhnya gemetar hebat saat ia akhirnya terduduk di lantai kamar mandi.Pandangan Silvi kabur. Napasnya memburu. Dunia di sekelilingnya mendadak sunyi, kecuali suara detak jantungnya yang berdegup terlalu keras di telinga. Saat ia mencoba mengatur napas dan menyeka sisa muntah di bibirnya, pikirannya mulai memutar kemungkinan yang tidak ingin ia akui.Tidak mungkin, kan?Tapi… sudah berapa lama dia tidak datang bulan? Silvi memang sering kali terlambat datang bulan karena rasa stress. Tapi…Tiba-tiba pintu kamar mandi terbuka dengan suara cepat, “Bu Silvi?!”Lina berdiri di ambang pintu, wajahnya panik saat melihat Silvi terduduk di lantai dengan tangan yang gemetar hebat. Tanpa menunggu aba-aba, Lina berlari mendekat, berlutut di sampingnya, dan meraih t
Silvi memperhatikan Lina yang masuk ke kamar dengan gerakan canggung. Tangannya membawa beberapa bungkusan dan Silvi sudah bisa menebak apa isinya. Tas, pakaian, heels semua merupakan merek desainer terkenal.“Dari Pak Julian, Bu.” tentu saja itu semua dari Julian, siapa lagi yang bisa memberikannya hadiah di rumah ini selain pria itu. Silvi yang tengah duduk di sofa di dekat jendela, hanya menatap Lina dan hadiah itu sebentar dengan kaki menyilang dan membuang mukanya. Lina yang sesaat berdiri canggung memutuskan untuk membawa semua barang-barang itu ke closet seperti biasa.Julian terus membanjirinya hadiah sejak hari itu, hari dimana Silvi berusaha lari dan justru kembali merangkak padanya karena tidak punya tujuan. Tidak ada kata maaf, tidak ada kata ‘aku bersalah’. Hanya ada hadiah. Hadiah yang bahkan Silvi tidak tahu apa fungsinya karena Julian bahkan tidak mengizinkannya melewati ambang pintu.Julian masih muncul sesekali, mengecek apa yang Silvi lakukan bagai seorang sipir p
Celine tidak pernah menyangka akan kembali ke kantor Julian. Tapi di sanalah ia sekarang, duduk diam di balik kemudi, mobilnya berhenti di parkiran di seberang lobi dengan tembok kaca yang megah. Ia parkir di sana dengan sengaja, berharap keberanian akan datang lebih mudah jika ia berada sedekat ini.Tapi kenyataan justru sebaliknya. Setiap detik berlalu terasa seperti hukuman. Turun dari mobil dan melangkah masuk ke dalam gedung itu akan terasa seperti pengakuan dosa, dan Celine, betapapun berat rasa bersalah yang ia pendam, baru sadar bahwa ia belum cukup berani untuk mengakuinya.Celine menatap jam di dashboard. Sudah hampir satu jam. Ia hampir menangis frustasi karena kesal pada dirinya sendiri yang terlalu pengecut. Celine kembali menatap ke arah lobi dan di sanalah ia melihatnya.Seorang pria tinggi keluar dari pintu depan gedung dengan langkah cepat. Di tangannya ada sebuah kotak besar. Celine tidak tahu siapa namanya, tapi wajah itu terasa tidak asing. Mungkin dari kantor J