“Kamu nggak mendengarkan kata sambutanku sampai akhir.” Suara itu tenang dan ramah, terlalu ramah hingga membuat Silvi terlalu takut untuk mengangkat wajahnya.
Sambutan, arti dari kata itu sudah melebur jika dia yang menyebutkannya. Itu bukan lagi omong kosong atau kata yang sebenarnya tak berarti yang diucapkan di atas panggung. Kata sambutan dari pria itu tidak pernah berarti ucapan selamat datang atau perkenalan. Tapi pengingat yang terus mengatakan bahwa ia tidak akan bisa lari dari dirinya. Sama seperti hari ini, ketika ia kira sekarang masih sama dengan hari-hari sebelumnya. Hari-hari di mana ia bisa lepas dari kendali pria itu. Tapi dia kembali, naik ke atas panggung lengkap dengan sambutan kepadanya, sebagai anak dari pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Dan semua orang bertepuk tangan, seolah mereka saling bekerja sama, mengejek ilusi kebebasan yang telah Silvi bangun selama ini. Tidak ada yang berubah, semua masih sama dengan saat itu, saat Silvi hanya seorang siswa yang terus mempertahankan harga diri yang bukan lagi miliknya dengan kebohongan. Dan dia di sana, tertawa mengejek sambil bertepuk tangan memuji pentas yang Silvi mainkan. Lalu, tanpa sedikitpun rasa bersalah, Julian si pria brengsek itu membisikkan kalimat di telinga Silvi yang untuk pertama kalinya membuat ia menangis. Sambil memeluknya erat seolah itu pengakuan cinta. “Aku melakukannya karena aku tidak mau kamu melupakanku, Silvi. Terus ingat siapa aku.” Dan sama seperti harapannya, Silvi tidak pernah melupakan nama itu lagi, nama yang terus muncul di mimpi buruknya: Julian. Bahkan ketika dia tidak ada di hadapan SIlvi selama bertahun-tahun lamanya hingga akhirnya mereka bertemu lagi sekarang. “Aku... perlu ke toilet.” “Supaya kamu nggak perlu melihat wajahku?” Silvi tidak menjawab. Ia terlalu lelah untuk berbohong, tapi juga terlalu takut untuk menjawab jujur. Ia tahu Julian dengan baik dan pria itu tidak suka sesuatu yang tidak berjalan sesuai keinginannya. Julian mengangkat dagu Silvi dengan jari telunjuknya, memaksa agar mata mereka bertemu. “Kamu cantik. Sama seperti dulu.” Dan kamu sama mengerikannya seperti dulu. Matanya bergerak ke sekeliling, ke karpet merah yang seolah sengaja dibentang untuk mengejeknya, ke dinding-dinding yang polos tanpa gambar yang mulai terlihat seperti penjara. Apa pun... asal bukan Julian. Lalu matanya jatuh ke arah beberapa pegawai hotel yang mencuri pandang ke arah mereka sambil berpura-pura fokus pada barang yang mereka bawa. Silvi bisa merasakan tatapan mereka, seolah seluruh dunia menyaksikan setiap detik ketidakberdayaannya. Sama seperti dulu, tidak ada yang berubah. “Ah...” Julian yang tadi hanya menyentuh dengan telunjuknya kini menggenggam wajah Silvi erat. Membuat gadis itu meringis. “Kenapa kamu terus melihat ke arah lain, padahal aku sedang bicara denganmu?” Silvi menatap Julian. Senyum lebar Julian kini hilang, digantikan dengan tatapan marah yang membuatnya merasa tercekik. “Jangan melewati batas, Silvi. Aku tidak suka.” Tidak suka? Dia bicara seolah aku ingin berada di situasi seperti ini. Ini sudah pernah terjadi sebelumnya. Bertahun lalu, Julian juga pernah memaksa wajah Silvi menghadapnya, menuntut perhatian dengan cara yang menyiksa. Dan mengatasnamakan perasaan sebagai dasar dari perilakunya yang tidak masuk akal. Jari Julian berpindah dari dagunya ke rambut, menyusuri helaiannya pelan, dengan kasih sayang palsu yang justru mengintimidasi. Ia membungkuk, mencium helaian rambut yang berada di tangannya. “Masih wangi. Seperti yang kuingat.” Sial. Dia masih sesakit itu. Silvi menepis tangannya, ekspresinya berubah jijik. “Katakan sejak awal kalau anda hanya berniat untuk membuat saya tidak nyaman.” Julian hanya tertawa kecil. Bukannya marah, senyumnya justru semakin lebar. Silvi membuang muka. Sadar bahwa dia sudah menunjukkan emosinya, sesuatu yang paling Julian inginkan. “Benar. Nada sinis dan arogan itu lebih cocok denganmu. Persis seperti Silvi yang kuingat, begitu tidak tahu diri.” Wajah Silvi memerah, matanya mulai memanas karena emosi yang mendidih dalam dirinya. Tangan Julian kembali mendekat, tapi Silvi memalingkan wajah. Hanya beberapa helaian rambut yang sempat menyentuh kulit dingin pria itu. “Saya tidak akan bersikap arogan kalau anda tidak bersikap seperti ini.” “Oh, ya? Maksudmu seperti apa?” Silvi ragu, tapi akhirnya menjawab lirih, “Anda bertingkah seperti orang mesum.” Julian tertawa lepas. Beberapa pegawai hotel melirik ke arah mereka. Silvi menunduk, malu dan tak nyaman. Ia tidak lagi menyukai tatapan orang-orang yang melihat ke arahnya dengan penasaran. Tidak, karena itu hanya mengingatkannya pada luka masa lalu yang coba dikorek oleh Julian. "Aku cuma memperlakukanmu seperti seseorang yang penting bagiku. Apakah itu salah, Silvi?" Silvi tersenyum, sinis. Tapi berusaha menyembunyikan ekspresinya dibalik juntaian rambut di wajahnya. “Bukan seperti cara memperlakukan orang yang penting bagi anda.” “Kenapa? Karena aku cuma boleh menyentuh wanita yang satu level denganku?” Wajah Silvi memucat. Perkataan itu... dia masih ingat. “Saya... nggak bermaksud seperti itu…” bisiknya. Ia memeluk tubuhnya sendiri. “Saya salah bicara. Saya minta maaf.” Julian membuka tangan, seolah memamerkan dirinya. “Aku juga belajar banyak, Silvi. Tidakkah kamu melihatnya? Sekarang jawab pertanyaanku.” Dengan nafas tercekat, Silvi berbisik, “Pertanyaan apa?” Silvi hampir tidak berani mengangkat kepala. Ia tahu apapun jawaban yang diberikan hanya akan membawanya semakin dalam ke permainan Julian. Tapi Julian menunggu, dengan tatapan menusuk yang seolah dapat menembus pikirannya. “Apakah sekarang aku sudah berada di level yang bisa jadi kekasihmu?” Silvi membeku. Pria ini gila. Jauh lebih gila dari siapapun yang ia kenal. Tapi jika ia melawan, Julian bisa menjungkirbalikkan hidupnya dengan mudah. “Saya hanya karyawan di perusahaan keluarga Anda,” ucapnya pelan. “Kalau begitu, siapa yang sekarang berada di level lebih tinggi?” Senyum mengejek muncul di bibir Julian. Silvi menatapnya, nyaris tak percaya. Ia menggigit bibir dan menjawab lirih, “Anda.” “Aku nggak dengar.” “Anda, Pak Julian!” Kali ini Silvi berteriak. Tapi tangannya bergetar, menahan emosi yang hampir meledak. Dia sedang mempermainkanku, pikir Silvi. Dan aku... tidak punya pilihan selain bermain dalam permainannya. Julian menyentuh bahunya, senyum puas merekah di wajahnya. Selalu seperti ini, ia akan membuat Silvi tidak mampu melawan dan kemudian ia akan tersenyum. Seolah semua yang ia lakukan adalah bentuk kasih sayang. “Berbahagialah, Silvi. Karena aku tidak keberatan menurunkan levelku... hanya untuk kamu.”Julian tidak berbohong saat mengatakan bahwa ia telah menyiapkan semuanya. Karena hal pertama yang menyambut Silvi saat mobil yang dikendarai oleh Julian berhenti adalah sebuah rumah yang cukup mewah. Tidak sebesar rumah keluarganya dulu dan mungkin tidak bisa dibandingkan dengan rumah keluarga Julian. Tapi cukup untuk membuat orang lain bertanya siapa yang tinggal di dalamnya.Silvi memperhatikannya dalam diam. Tanaman yang memenuhi halamannya, cat berwarna putih yang masih terlihat baru, danebranda lantai dua yang telah diisi dengan dua buah kursi dan meja, seolah memanggilnya untuk duduk di sana.Julian yang sudah turun terlebih dahulu, membukakan pintu untuk Silvi, mengulurkan tangannya dengan senyuman yang lembut. “Silvi…”Panggilan itu terdengar halu
“Apa yang dikatakan orang tuamu? Apa mereka tidak menyukaiku ada di sini?” Suara Silvi pelan, hampir tenggelam dalam ketakutan lamanya yang belum benar-benar padam. Ia menatap Julian, mencari kejujuran di balik wajah yang selama ini selalu menyembunyikan perasaannya sendiri dengan baik.Silvi butuh jawaban, ia sudah merasa tidak tenang sejak Julian mengatakan bahwa dia harus bertemu orang tuanya. Silvi tidak asing dengan kata ditinggalkan, ia sudah mengalaminya, berkali-kali. Jika Julian juga meninggalkannya karena paksaan dari keluarganya, dia tidak tahu lagi cara bertahan.“Mereka tidak pernah menyukaimu.” Julian menjawab tanpa ragu, suaranya datar namun jujur. Tidak ada usaha untuk meredam kenyataan. Dan anehnya, justru itu yang membuat Silvi percaya, karena untuk pertama kalinya, Julian tidak mencoba meman
Celine tidak menunggu waktu lama untuk memberitahu orang tua Julian. Di malam Silvi menangis di pelukan Julian karena campuran perkataan ibu Silvi dan perkataan Celine, telfon itu datang.Dan sekarang Julian menemukan dirinya di rumah orang tuanya. Ia memperhatikan ke sekeliling ruangan, merasakan udara yang sesak karena tekanan. Tapi di antara dirinya dan kedua orang tuanya yang duduk bersebrangan, hanya Julian yang duduk tegak, seolah menunjukkan tidak ada yang salah.“Kamu memutuskan pertunangan dengan Celine?” pertanyaan itu disampaikan ibunya dengan hati-hati, tidak ada kemarahan. Tapi penuh rasa kecewa.“Iya.” Julian menjawab tanpa berpikir panjang. Dia tahu bahwa keputusannya akan membawa ke titik ini, jadi dia sudah siap memberi jawaban sejak lama.“Dan kami dengar, sekarang kamu tinggal dengan seorang perempuan?”“Iya.” wajah ibunya berubah memucat, bahkan walau ia tahu Celine tidak mungkin berbohong, tapi mendengar putranya mengatakannya tanpa ada rasa bersalah sedikitpun me
Julian menepati janjinya. Artikel-artikel dan forum yang membicarakan Silvi, perlahan menghilang satu per satu. Belum sepenuhnya, tapi semua yang menjadi sumber terbesar sudah menghilang.Silvi menatap Julian yang masih duduk di meja ruang kerjanya dengan ponsel yang masih setia menempel di telinganya. Panggilan itu tidak berhenti sejak tadi. Silvi tidak bertanya apa yang Julian katakan atau siapa yang ia hubungi. Dia hanya menunggu, menatap dari kejauhan.Tidak peduli apa yang Julian lakukan. Apapun, asal namanya tidak disebut-sebut lagi di luar sana. Tapi ia mendengarnya sekilas, ada desakan, ada kompromi, dan ada harga yang harus dibayar.Silvi merefresh mesin pencarian yang memunculkan namanya, memperhatikan satu persatu artikel yang perlahan menghilang secara real time.
“Kamu… serius?” Vanya menatap Celine dengan ragu. Ada yang berbeda sejak wanita itu menerima telepon dari Celine tadi. Biasanya, Celine adalah orang yang bisa disebut ‘baik’. Sangat baik. Tapi kali ini, ada sesuatu yang dingin di matanya.“Van, ga ada alasan buat aku bercanda soal ini.”“Aku ngerti... tapi kalau kamu salah gimana? Kalau dia bukan anaknya Anastasia yang itu? Kamu sadar ini bisa ngancurin hidup seseorang?”Bahkan kalaupun benar, anaknya ga salah apa-apa, kan? Jika perempuan bernama Silvi itu memang menarik diri dari dunia hiburan, bukankah itu artinya dia sudah cukup terluka? Tapi kalimat itu hanya bergema dalam kepala Vanya. Tak pernah keluar dari bibirnya.Ia memang kesal pada aktris tua itu, banyak alasan. Tidak profesional, sombong, penuh skandal yang sempat merusak jadwal Celine yang sudah susah payah ia atur. Tapi anaknya? Haruskah ikut menanggung semuanya?“Dia anaknya. Ga mungkin ada dua orang yang semirip itu tanpa hubungan darah,” jawab Celine. Suaranya datar,
Pagi itu, Julian yang sudah rapi dalam setelan kerja berdiri menatap Silvi yang masih membungkus dirinya di balik selimut. Tak ada gerakan. Hanya tubuh yang diam, seperti mencoba menghilang dari dunia.Mata Silvi bengkak. Tapi tak satu pun air mata mengalir. Tangisnya sudah habis semalam, atau mungkin, ia sudah terlalu kosong untuk menangis lagi. Tatapannya lurus menembus tembok, kosong, tanpa makna, seolah jiwanya tertinggal di tempat lain.“Silvi…” suara Julian terdengar pelan dan lembut, ia duduk di ujung ranjang lalu mengelus kepala Silvi dengan hati-hati, “Aku akan pergi kerja. Kamu mau tinggal?”Tidak ada respons. Silvi tetap diam lalu perlahan menarik selimut lebih tinggi, menyembunyikan wajahnya sepenuhnya. Sikapnya itu cukup menjawab.Julian menghela napas panjang dan berat sebelum akhirnya berdiri. “Aku anggap itu iya,” katanya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Silvi.Ia mengambil barang-barangnya dengan gerakan yang rapi, hampir terlalu tenang untuk pagi sekelam