“Siapa yang meneleponmu?”
Tubuh Levana bergetar hebat saat mendengar ancaman Rave pada seseorang di seberang telepon. Dirinya bahkan tidak bisa bangkit seandainya saja sang suami tidak membantunya untuk berdiri.
“Apa yang sebenarnya terjadi?” Levana kembali bertanya karena Rave tidak juga menjawab pertanyaannya.
Bukannya menjawab, Rave lebih memilih untuk mengitari ruang kerja Levana dan memperhatikan area luar dari balik jendela. “Jam berapa kau biasa pulang kerja?” tanya Rave tanpa mengalihkan pandangannya dari jendela.
“Enam atau tujuh malam. Tidak menentu,” jawab Levana yang masih terpikirkan kejadian sebelumnya.
“Sebaiknya mulai sekarang kau tutup pukul lima saja,” saran Rave yang justru semakin membuat Levana bertanya-tanya.
“Kenapa? Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa kau diam saja dan tidak menjawab pertanyaanku?” keluh Levana yang sudah mulai kesal dengan sikap Rave.
“Karena itu bukan urusanmu, Levana!” teriak Rave yang berhasil membuat Levana semakin kesal dibuatnya.
“Kalau begitu sebaiknya kau pergi,” usir Levana yang tiba-tiba bangkit dan membukakan pintu untuk Rave. “Kedatangan kau ke sini juga tidak ada gunanya.”
Tawa sinis Rave kini membuat Levana sedikit gugup. “Kau mengusirku, Levana? Setelah apa yang kulakukan untuk menyelamatkan hidupmu?”
“Masalahnya kau saja tidak mau menjelaskan maksud kedatanganmu itu,” respon Levana yang berusaha mengontrol emosinya.
Cukup lama Rave memandangi Levana dari atas kepala sampai ke ujung kaki. Entah apa yang tengah diperiksa pria itu membuat Levana merasa sedikit tidak nyaman.
“Rave?” panggil Levana yang mana langsung membuat pria itu menggelengkan kepalanya.
“Bereskan barangmu dan tutup klinik lebih cepat. Aku akan mengantarmu pulang ke rumah.” Rave pun langsung keluar dari ruang kerja Levana dan menghilang dari balik pintu.
Tidak tahu arah jalan pikiran suaminya itu, Levana pun segera membereskan barang-barangnya dan menyusul Rave. Tak lupa ia memberi instruksi pada pegawainya untuk menutup klinik lebih cepat, sebelum akhirnya masuk ke dalam mobil Rave yang sudah cukup lama menunggu.
Di sepanjang perjalanan tidak ada satu pun yang bersuara, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Aston Martin berwarna abu gelap pun terparkir rapi tepat di depan halaman rumah yang Levana tinggali di Richmond. Keduanya segera keluar dari dalam mobil dan langsung masuk ke rumah tersebut.
“Berapa kodenya?” tanya Rave tiba-tiba yang mana berhasil membuat Levana terlonjak kaget.
“Apa?” ulang Levana.
“Kunci pintu,” tambah Rave yang kini menutup pintu di belakangnya dari dalam rumah.
Seolah paham maksud Rave, Levana pun langsung berseru. “1095,” jawab Levana santai yang kemudian langsung pergi ke dapur.
“1095? Kenapa tidak menggunakan pin yang lebih mudah untuk diingat? Ulang tahunmu, ulang tahunku atau tanggal pernikahan kita?” tanya Rave yang kini mengikuti Levana ke dapur.
Levana yang semula sedang mencuci tangannya pun tiba-tiba berhenti. Entah kenapa ada perasaan haru saat dirinya mendengar ucapan Rave barusan.
Rave sendiri langsung membungkam mulutnya saat menyadari perkataannya barusan seakan memberi harapan untuk pernikahan mereka. “Maksudku kenapa kau memilih pin yang berbeda. Biasanya orang lain lebih memilih yang berhubungan dengan tanggal lahir mereka.”
Ada rasa sedikit senang saat Levana mendengarnya, itu berarti Rave mengingat tanggal kelahiran dirinya. “Aku rasa sekarang orang jarang menggunakan tanggal lahir mereka untuk sesuatu yang penting seperti kunci pintu. Bukankah bahaya jika ada orang lain yang menyusup masuk ke rumah ini jika aku menggunakan tanggal kelahiranku?”
Anggukan setuju terlihat di wajah Rave saat Levana memberinya segelas jus jeruk. Rave kemudian berjalan mengitari seluruh penjuru rumah untuk melihat semua perlengkapan rumah yang baru diisi oleh Levana. Diam-diam dirinya menyukai selera sang istri yang memilih konsep alami, membuat nuansa rumah tersebut terkihat tenang dan nyaman.
“Lalu, 1095, apa maksudnya?” Rave kembali bertanya saat mendudukkan dirinya di ruang keluarga.
Levana terlihat ragu bagaimana hendak menjawabnya. “Jumlah hari dalam tiga tahun,” jawab Levana dengan suara yang sedikit berbisik.
Rave yang semula tampak senang kini mendadak diam tak bersuara. Dirinya lebih memilih untuk memperhatikan halaman belakang rumah yang tampak masih berantakan.
Tentu saja Levana belum ada kesempatan untuk merapikan taman belakang tersebut sesuai selera gadis itu. Tapi Rave yakin, seiring berjalannya waktu taman belakang akan terisi penuh dengan tanaman, sama seperti kediaman keluarga Sullivan yang penuh dengan aneka bunga.
“Oh ya, seperti yang kau katakan aku tidak mengisi ruangan yang akan kau pakai. Kau ingin mengisinya sekarang? Selagi kau punya waktu datang ke sini,” ujar Levana memberi usul pada Rave.
Kepala Rave menggeleng pelan. “Kau bisa memilihkannya untukku nanti.”
“Apa.. tidak masalah?” tanya Levana ragu. “Kau menyukai seleraku?”
“Tidak juga, seleramu dan seleraku jelas sangat berbeda. Aku menyukai nuansa yang gelap, tetapi ini juga tidak buruk.” Rave kemudian mengeluarkan kartu dari dalam dompetnya dan melemparkan ke atas meja di hadapan Levana. “Aku lupa memberi kartuku padamu. Kau bisa menggunakannya untuk bertahan hidup, dan kirimkan rekeningmu agar aku bisa mengganti uang yang kau gunakan untuk mengisi perlengkapan rumah ini.”
Dengan cepat Levana menggelengkan kepalanya dan mendorong kembali kartu yang ada di meja. “Tidak perlu, kau tidak perlu menggantinya dan memberiku uang. Aku masih bisa bekerja dan menghasilkan uang sendiri,” tolak Levana.
Embusan napas Rave kini terdengar. “Walaupun aku menikahimu karena terpaksa, tetap saja aku punya kewajiban untuk menafkahimu. Gunakan saja uang itu untuk membeli kebutuhanmu.”
“Tapi..”
“Tidak ada penolakan, Levana. Dan biarkan aku beristirahat seorang diri. Kau pergi dan kerjakan saja apa yang ingin kau lakukan,” potong Rave cepat sembari mengusir Levana.
“Baiklah.” Levana pun meraih kartu berwarna hitam dengan ukiran nama Rave Maverick di atasnya. “Kau ingin makan malam bersama sebelum pergi?” tanya Levana yang mana membuat kedua mata Rave kembali terbuka.
Rave sendiri juga bingung apakah ia harus pergi atau menginap di sana malam ini. Ia belum memutuskan. “Boleh.”
“Tidurlah, aku akan membangunkanmu begitu selesai masak,” seru Levana dengan senyuman mengembang di wajahnya. “Atau kau ingin beristirahat di kamarku? Aku tidak masalah.”
“Tidak, aku akan menunggu di sini saja,” tolak Rave yang mana dibalas anggukan kepala oleh Levana.
Sebenarnya Levana terbiasa tinggal sendiri karena orang tuanya lebih sering bepergian. Sang ibu yang seorang peneliti lebih senang menghabiskan waktunya di dalam lab, sedangkan sang ayah lebih sering menghabiskan waktu di percetakan. Namun, Levana akan sangat senang jika ada yang menemaninya saat berada di rumah walau hanya berdua saja.
Baru saja Levana hendak mulai memasak, tiba-tiba ketukan pintu terdengar dari luar. Dirinya sedikit khawatir siapa yang datang ke rumahnya. Rave pun terlihat sama karena pria itu sudah lebih dulu keluar untuk membukakan pintu.
“Richmond, Rave? Kau benar-benar sudah gila membelikannya rumah di Richmond!” seru seseorang dari balik pintu hingga berhasil membuat Rave terdiam melihat kedatangannya.
***
“Setelah mempertimbangkan seluruh bukti persidangan, Vincent Sullivan selaku Tergugat dinyatakan tidak bersalah atas tuduhan pencemaran nama baik yang diajukan oleh Penggugat, Jacob Flynn. Informasi yang diberikan Tergugat kepada Francis Maverick merupakan fakta, yaitu adanya penggelapan dana, pemalsuan data, dan pelanggaran kontrak yang dilakukan oleh Penggugat. Oleh karena itu, gugatan Penggugat resmi ditolak dan pengadilan membebankan seluruh biaya dan ganti rugi kepada Penggugat. Putusan persidangan ini dinyatakan selesai.”Ketukan palu sebanyak tiga kali berturut-turut pun terdengar, menandakan jika sidang benar-benar dianggap telah selesai. Perasaan Levana sendiri begitu lega setelah mendengar sang ayah dinyatakan tidak bersalah, sedangkan sang ibu menangis haru dalam pelukan Yara Maverick.Levana langsung mendongak ke arah samping kanannya begitu ia merasakan tangannya digenggam seseorang. Dirinya mendapati Rave tengah tersenyum tulus menatap ke arahnya dan dibalas senyuman yan
Pandangan Levana kini tak beralih sedikit pun dari pria di hadapannya. Ia dan Rave kini berada di dalam kamar Levana, duduk berhadapan dengan beberapa tumpuk berkas di hadapan mereka.“Jadi, bagaimana keputusanmu?” tegur Rave yang membuka pembicaraan lebih dulu.Embusan napas berat Levana kini terdengar dan mulai membuka salah satu berkas di hadapannya. Sebelumnya ia sempat berbicara langsung dengan ayahnya, menanyakan perihal kepergian kedua orang tuanya kemarin malam.“Semua perbuatanku di masa lalu itu memang benar, Levana. Walaupun semua informasi yang aku berikan pada Francis Maverick terkait Flynn Group benar adanya, pihak Flynn Group tetap saja bisa menjebloskanku ke dalam penjara dengan undang-undang pencemaran nama baik,” ujar sang ayah yang membuat Levana menggenggam erat ujung kemejanya.“Lalu, apa yang kau inginkan sekarang?” Suara Levana terdengar begitu dingin saat menanyakannya kepada sang ayah, membuat raut wajah sang ayah terlihat begitu sedih.Sebenarnya Levana meras
Seharian ini semua pekerjaan Levana mendadak terganggu karena ia terpikirkan dengan ucapan Rave sebelumnya. Ia tidak bisa bekerja dengan baik hingga rekan kerjanya sesama asisten lab menyarankan Levana untuk istirahat di ruangannya sebentar.“Berhenti memikirkannya, Levana. Hidupmu baik-baik saja sebelum dia datang kembali,” keluh Levana yang kini memejamkan matanya sembari bersandar di balik lemari.Sekuat apa pun Levana berusaha menepis pikirannya tentang Rave, ia tidak bisa melupakannya begitu saja. Pertemuannya kemarin malam seolah menghancurkan bentuk pertahanan Levana yang ia bangun sejauh ini.“Dari mana dia tahu jika aku sedang mengandung? Yang tahu tentang kehamilanku hanya mum dan dad saja,” gumam Levana yang mendadak bingung sendiri.“Mungkinkah ada orang lain yang mengetahuinya? Tapi siapa?”Keraguan mengenai kedua orang tuanya tiba-tiba mendatanginya. Ia penasaran dengan apa yang dilakukan kedua orang tuanya kemarin malam hingga membuatnya berada seorang diri di rumah.Ke
“Levana! Apa yang terjadi di rumah semalam? Kenapa bajumu berantakan di ruang keluarga? Dan baju siapa ini?” teriak sang ibu yang langsung membuka pintu kamar Levana tanpa permisi.Baik Levana maupun sang ibu sama-sama terkejut ketika pintu terbuka. Levana yang terbangun karena suara teriakan sang ibunya hanya bisa mematung saat menyadari posisinya saat ini. Begitu juga dengan sang ibu yang langsung membungkam mulutnya sendiri seolah tak percaya dengan apa yang dilihatnya barusan.“Rave?” gumam sang ibu yang mana hanya gerakan bibir saja yang terlihat.Mata Levana refleks terpejam saat mengingat memorinya tadi malam. “Mum, ini tidak seperti yang kau bayangkan!” teriak Levana yang berhasil membangunkan pria di sampingnya.“Oh, Levana, jangan bergerak dan sebaiknya kau pakai bajumu dahulu,” sahut sang ibu yang langsung menutup pintu kamarnya. “Mum tunggu di bawah.”Tangan kanan Levana hanya bisa memijat keningnya saat menyadari apa yang terjadi tadi malam. Rave yang perlahan bangun pun
Tubuh Levana seketika membeku ketika dirinya membuka pintu dan mendapati Rave berdiri di hadapannya. Tubuhnya basah, wajahnya pucat, dan kulitnya mengkerut karena terkena hujan yang cukup deras.“Levana..” panggilnya pelan yang mana membuat Levana akhirnya tersadar dari lamunannya.“Rave? Apa yang kau lakukan di sini?Tangan Levana pun refleks menarik lengan Rave ketika dirinya tersadar dari lamunanya. Dengan kesadaran penuh dirinya mempersilakan suaminya itu masuk ke dalam rumah, khawatir akan kesehatan sang suami yang sudah basah kuyup seperti itu.“Sebenarnya apa yang kau lakukan di tengah hujan deras seperti ini? Kau benar-benar mencari penyakit,” tegur Levana yang kini sibuk sendiri membawakan handuk untuk Rave.Levana pun berlari kecil ke kamarnya, mengambilkan handuk untuk Rave. Sedangkan suaminya itu masih berdiri tepat di depan pintu rumahnya.Handuk yang Levana bawa pun langsung disampirkannya ke kepala dan tubuh Rave, mengusapkan di wajahnya hingga tidak lagi basah.“Lebih
Sidang perceraian Rave Maverick dan Lilian Flynn menjadi topik pencarian teratas. Tak hanya di sosial media, beberapa stasiun televisi swasta pun menayangkan siaran langsung sidang perceraian tersebut.Tak ingin terganggu dengan apa yang terjadi, Levana memilih untuk tetap pergi ke kampus. Dirinya tidak ingin hanya diam di rumah dan tidak berbuat apa pun, karena ujungnya ia pasti akan penasaran dan menonton tayangan sidang perceraian sang suami.“Kau baik-baik saja, Levana?” tegur asisten lab yang lain.Tangan Levana pun seketika berhenti dan menoleh ke arah rekan kerja. “Ya? Aku baik-baik saja. Apa aku membuat kesalahan?” tanya Levana yang kebingungan karena dirinya merasa tidak melakukan kesalahan.Kepala sang rekan kerja menggeleng cepat. “Kau … tidak terganggu dengan sidang perceraian Rave Maverick?” Kepala Levana langsung beralih kembali ke arah rekan kerja. “Oh, Levana, maafkan aku, tapi aku penasaran karena namamu terus dibawa oleh beberapa media.”Yang dikatakan oleh rekan ker
Tiga hari setelah Freeya datang menemuinya, Levana merasakan kebahagiaan tersendiri. Dirinya seolah terlahir kembali dan semuanya berjalan dengan begitu lancarnya.Pagi ini dirinya hendak berangkat ke kampus, kebetulan ia memiliki jadwal untuk mendampingi para mahasiswa baru dalam meneliti hewan peliharaan. Namun, berita terhangat yang muncul di televisi membuat dirinya tidak bisa meninggalkan rumahnya barang sedikit pun, mengingat para wartawan kini memblokir jalanan menuju ke rumahnya.“Apa yang terjadi?”Tubuh Levana terasa begitu lemas ketika nama dirinya kembali terseret dalam berita terhangat pagi ini. Kedua orang tuanya langsung berusaha menenangkannya mengingat dirinya tengah hamil kembali.“Untuk beberapa hari ke depan, kau tidak boleh keluar dari rumah dahulu, Levana. Akan sangat berbahaya jika kau pergi keluar,” ujar sang ayah yang kini meminta ibunya mengantarkan Levana kembali ke kamar.“Dengar, Levana. Semua berita yang kau dengar pagi ini tidak ada hubungannya denganmu.
Sebuah pelukan hangat langsung didapatkan oleh Levana begitu dirinya bertemu kembali dengan Freeya. Bukannya sengaja menghindarinya, Levana memang tidak memiliki alasan untuk bertemu dan bicara dengan sang sahabat.“Tidakkah kau merindukanku?” sapa Freeya sembari memegang erat kedua tangan Levana.“Tentu saja aku merindukanmu! Asal kau tahu Freeya, aku sangat merindukanmu,” sahut Levana yang membuat Freeya membuang muka.“Jika kau merindukanku, seharusnya kau menghubungiku, Levana. Setelah aku memberi informasi yang seharusnya tidak kau ketahui, kau langsung menghilang begitu saja tanpa kabar,” ujar Freeya yang berhasil membuat Levana merasa bersalah.“Tunggu sebentar.”Levana pun beralih kecil ke arah parkiran di mana Marcel tengah menunggunya. Ia memberikan pesan kepada Marcel untuk pulang sendiri, tetapi ditolak oleh sang sopir.“Pergilah, Nyonya, tetapi jangan menyruhku untuk pulang. Aku bisa mengikutimu dari belakang, jadi nantinya kau tak perlu meminta temanmu mengantarkan pulan
“Kau baik-baik saja, Ms. Sullivan?” tanya salah seorang mahasiswa yang sedang meneliti, menyadarkan Levana dari lamunannya.“Oh, ya, aku baik-baik saja. Jika kalian membutuhkan bantuanku, bisa panggil aku di dalam ruang kerjaku,” ujar Levana yang kini masuk ke dalam ruang pribadinya.Ia menyandarkan punggungnya di punggung kursi, sedangkan matanya fokus membaca berita yang tengah beredar. Saat ini namanya menjadi topik pencarian paling atas, membuat para dosen dan mahasiswa di kampus bertanya-tanya akan apa yang menimpa dirinya.[Selama setahun pernikahannya, Levana Sullivan mendapat ancaman dari kekasih gelap Lilian Flynn tanpa sepengetahuan Rave Maverick sama sekali.] Tawa pahit terlihat jelas di wajah Levana saat membaca berita yang lewat. Ia hanya menggelengkan kepalanya karena tidak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya itu.“Sebenarnya apa yang tengah kau rencanakan? Membawa serta namaku dan bersikap seolah tidak tahu jika Toby Duggan mengancamku selama ini?”Levana meringi