_Hujan dan semesta selalu punya caranya sendiri untuk mempertemukan dua hati.. walau pada akhirnya tak ada jaminan pasti bahwa pertemuan itu diciptakan untuk terus bertaut dan selalu bersama_
Hari itu, hujan turun deras, seolah enggan memberi jeda pada siapa pun yang terburu-buru. Di bawah atap kecil perpustakaan, seorang gadis berdiri dengan wajah gusar. Payungnya tertinggal di rumah, dan satu-satunya yang bisa ia lakukan hanyalah menendang-nendang ujung sepatunya dengan kesal, sambil merutuki betapa menyebalkannya hujan yang datang tanpa pemberitahuan. " hffft.. kapan sih hujannya reda? bisa-bisa aku ga dapet tiket kereta deh.. aaah siaal banget sih hari ini mana payung pake ketinggalan lagi" gerutu Nura, nama gadis itu.. Sampai akhirnya, seseorang muncul di sisinya. Seorang pria dengan kaos lengan panjang bergaris abu-abu, lengan baju yang sedikit tergulung, rambut basah, dan sepasang mata indah yang menatap tenang. Di tangannya, sebuah payung hitam terlipat—seolah memang ditakdirkan untuk ia buka pada waktu yang tepat. “Mau pulang ya? Kalau nunggu hujan reda, bisa-bisa kamu beneran ga dapet kereta lho,” ucapnya dengan nada tenang. Nura tersentak, menoleh, lalu membalas gugup, "oo..eh hmm iya juga sih" seolah baru saja disadarkan dari lamunannya. Dan ketika pria itu membuka payungnya, lalu mengulurkannya dengan singkat, “Mau bareng?”—sebuah jeda kecil tercipta. Jeda yang sederhana, tapi cukup untuk membuat jantung Nura berdegup 1000x lebih cepat daripada suara hujan yang menimpa tanah. Di bawah payung hitam itu, mereka akhirnya melangkah beriringan. Dua orang asing, dipertemukan oleh derasnya hujan, tanpa sadar menuliskan bab pertama dari kisah yang kelak akan sulit mereka lupakan. ... Langkah mereka pelan, menyusuri trotoar yang mulai tergenang. Payung hitam itu tampak terlalu kecil untuk menaungi dua orang, sehingga mau tak mau jarak di antara mereka jadi begitu dekat. Sesekali, bahu mereka saling bersentuhan. Nura berusaha menggeser diri, tapi pria di sampingnya dengan tenang sedikit memiringkan payung, memastikan hujan tidak mengenai dirinya. “Kalau jalan terlalu ke pinggir, nanti sepatumu basah,” ucapnya ringan, tanpa menoleh. Ada kehangatan yang aneh dalam nada suaranya—tidak berlebihan, tapi cukup untuk membuat Nura menunduk malu, menyembunyikan rona yang tiba-tiba merayap di pipinya. Di sekitar mereka, kota bertransformasi. Lampu jalan yang berpendar kuning dipantulkan genangan air, menciptakan bayangan bergetar yang terasa sendu. Suara hujan jatuh seperti musik latar yang tak pernah berhenti, menutup dunia luar, menyisakan hanya mereka berdua di bawah kanopi kecil payung hitam itu. Tangan mereka tidak pernah benar-benar bersentuhan. Namun jarak yang terlampau dekat membuat setiap gerakan terasa seperti kemungkinan yang hampir nyata. Sebuah awal yang sederhana, namun penuh arti—seperti rahasia kecil yang hanya dimengerti oleh hujan dan semesta. .. Di antara suara hujan dan langkah pelan mereka, Arthur akhirnya membuka percakapan. “Kamu mahasiswi Universitas Sanjaka juga ya?” tanyanya, suaranya terdengar hangat, menembus derasnya hujan. Nura sontak menoleh, agak kaget, sebelum menjawab gugup, “O-oh iya… aku Nura, dari Fakultas Musik. Kalau kamu?” Arthur tersenyum tipis. “Arthur Chedric dari Fakultas Hukum.” Ia terdiam sejenak, lalu menambahkan dengan nada kagum, “Keren juga ya kamu ambil fakultas musik. Jarang lho ada yang berani ngambil jurusan itu, ya kebanyakan sih yang aku kenal mereka ambil jurusan yang yah pasti-pasti aja kaya manajemen, ekonomi gitu.. hmm kayanya kamu nih satu-satunya kenalanku yang dari fakultas musik” katanya sambil sedikit terkekeh Nura menunduk, tak bisa menyembunyikan senyumnya. Dan di bawah payung hitam itu, hujan masih turun, seolah menjadi saksi atas pertemuan singkat dua hati yang belum tahu akan dibawa ke mana.. ... Langkah mereka masih beriringan, ditemani percakapan singkat yang masih terasa canggung, namun cukup untuk membuat udara di bawah payung itu hangat. Sesekali Nura menanggapi dengan tawa kecil, sesekali Arthur melontarkan komentar ringan yang membuat gadis itu lupa pada gusarnya beberapa menit lalu. Sampai akhirnya, cahaya neon dari papan stasiun terlihat di kejauhan. Orang-orang bergegas, beberapa menenteng koper, sebagian lain berpayung, semuanya larut dalam hiruk-pikuk sore yang basah. Arthur memperlambat langkah, menyesuaikan dengan Nura. “Kereta kamu jam berapa?” tanyanya, dengan suara yang tetap tenang. “Jam delapan kurang sepuluh,” jawab Nura sambil melirik papan jadwal. Arthur mengangguk pelan. “Kebetulan sama. Tapi… jalurnya pasti beda, kan?” Hening sesaat tercipta. Hanya suara hujan yang masih menetes dari pinggiran atap stasiun, menemani jeda itu. Mereka berdiri di depan pintu masuk, payung hitam masih menaungi. Nura tahu, sebentar lagi mereka harus berpisah. Ada rasa aneh yang hinggap—bagaimana bisa seseorang yang baru ia kenal terasa begitu dekat dalam hitungan menit? Arthur melipat payungnya perlahan, lalu menoleh. Tatapannya dalam, namun tetap sederhana. “Kalau memang semesta yang bikin kita ketemu, mungkin kita bakal ketemu lagi” ucapnya pelan, nyaris seperti gumaman. Nura terdiam. Bibirnya hendak membuka, tapi tak ada kata yang bisa keluar. Ia hanya bisa mengangguk kecil, menahan sesuatu yang tiba-tiba mengganjal di dadanya. Kereta mereka diumumkan hampir bersamaan. Dan di sana, di antara ramainya stasiun, langkah mereka akhirnya terpisah. Nura menuju jalurnya, dan Arthur juga menuju jalurnya sendiri. Namun, sebelum benar-benar hilang dalam kerumunan, Nura sempat menoleh sekali lagi. Arthur juga menoleh pada waktu yang sama. Sejenak, seakan dunia berhenti berputar. Hanya tatapan singkat, lalu keduanya kembali berjalan. Dan di atas sana, hujan yang tak kunjung reda menjadi saksi, bahwa setiap pertemuan—betapapun singkat—selalu menyimpan kemungkinan yang tak bisa ditebak.Hari itu terasa lebih panjang dari biasanya. Sejak gosip kecil tentang dirinya dan Arthur beredar, Nura jadi merasa seluruh mata di kelas menyorotinya. Awalnya ia berusaha cuek tak mau peduli, tapi ternyata gosip yang tadi nya kecil itu sudah menyebar lebih jauh dan menjadi besar.Terlebih lagi, ketika ada mata yang melihat Arthur menunggu Nura di depan kelas. Ia sengaja membawa buku partitur yang tadi dibelinya untuk diberikan pada Nura. Hal itu pun memicu kesalahpahaman lain“Eh, itu kan Arthur, nungguin siapa sih?”“Liat deh… oh, kayaknya Nura. Wah, jangan-jangan mereka…?”Bisikan itu tidak luput dari telinga Mecca. Ia yang kebetulan lewat, langsung memasang ekspresi penuh arti. “Hmm… cocok juga ya,” batinnya sambil melirik.Gosip yang awalnya hanya berupa celetukan ringan, berubah menjadi percakapan serius saat masuk ke grup chat kelas.“Kayanya bener deh apa yang dibilang Mecca kemaren, soalnya tadi ada anak-anak yang liat Arthur nungguin di depan kelas kita sambil bawa sesuatu
Setelah cukup lama menikmati waktu berdua, mereka pun memutuskan untuk kembali ke kampus, kebetulan Arthur masih ada mata kuliah yang harus ia ikuti dan Nura pun ada janji dengan sahabatnya.Jalanan sore itu ramai oleh segerombolan mahasiswa yang baru saja selesai kelas, angin semilir berhembus, membawa aroma tanah basah karena gerimis yang sempat turun siang tadi, menambah suasana syahdu antara mereka. Arthur berjalan bersisian dengan Nura disamping kanan nya, menenteng segelas kopi yang hampir habis isinya.. sementara Nura, ia lebih banyak diam, mencoba mengatur langkah agar tak terlalu dekat tapi juga tak terlalu jauh.. Sayangnya langkah ringan mereka tak luput dari pandangan Mecca, dari kejauhan ia sudah berdecak kecil sambil mengangkat alis "wuiih beneran nih udah jalan pulang berdua doang? jangan jangan..."Yah tentu aja, seperti yang bisa kita tebak, Mecca gadis itu gabisa menahan diri, ia buru-buru mengeluarkan ponselnya, dan mengetik sesuatu di grup kelasMecca : "Guys, brea
Setelah beberapa saat ngobrol dan tertawa di kafe, Nura dan Arthur duduk di sudut yang lebih tenang. Di luar, suara orang lalu-lalang dan mesin kopi tetap terdengar samar, tapi di meja mereka seolah ada “ruang hening” sendiri.Arthur menyandarkan tubuh ke kursinya, kedua tangannya melingkari cangkir kopi hitamnya yang masih mengepul. “Ra… aku suka tempat kayak gini,” katanya dengan nada santai. “Bukan cuma karena kopinya, tapi karena suasananya. Tenang, nggak ribut kayak kantin.”Nura menatap secangkir latte di depannya, menggulirkan jarinya di atas tutup gelas. “Aku juga suka… ruang yang tenang. Kayak gini tuh bikin aku bisa mikir lebih jernih. Walau…” ia berhenti sebentar, menarik napas pelan, “kadang hening itu malah bikin aku kepikiran hal-hal yang bikin jantung deg-degan.”Arthur tersenyum, matanya tak lepas dari wajah Nura. “Deg-degan yang baik kan?”Nura melirik sekilas lalu buru-buru menunduk. “M-mungkin…” jawabnya pelan, wajahnya mulai memanas.Ada jeda. Tapi bukan jeda yang
Nura mendorong pintu cafe, suasana hangat dan semerbak aroma kopi langsung menyambutnya. Di salah satu sudut, Arthur sudah menunggu dengan senyum tipis, tak lupa buku catatan kecil juga sudah setia menemani.“Hai… datang juga akhirnya,” ucapnya ramah, sambil bangkit untuk menyapa Nura.“Hi… iya, maaf ya agak lama, tadi ada urusan kecil dulu di kelas,” jawab Nura sambil tersenyum malu."iya gapapa ra, santai aja kali", lalu mereka duduk, dan Arthur langsung memanggil pelayan.“Satu cappuccino untuk saya… dan satu latte manis untuk teman saya,” katanya sambil tersenyum pada Nura.Nura menelan ludah tipis, hatinya berdebar. Tapi begitu minuman datang dan ia mencicipi sedikit, ekspresinya berubah. Latte itu terlalu manis untuk seleranya.“Oh… ini… hmm… manis banget,” gumam Nura pelan sambil menahan senyum malu.Arthur menatapnya penasaran.“Hah? Manis? Aku kira kamu suka kopi manis…, gimana apa mau aku ganti aja yang sesuai selera kamu?”Nura menggeleng kecil, menatap cangkirnya.“Sebenar
Keesokan paginya, Nura sampai di kelas jam 7 kurang 15 menit, sebenarnya jadwal tetap matkul aransemen & orkestrasi itu dimulai jam 8 tapi gadis itu sengaja datang lebih awal ke kampus karna hari ini ada ujian tertulis, dan kejadian di perpustakaan kemarin tentu aja bikin dia ngga fokus untuk belajar, jadilah di pagi yang tenang ini Nura, si gadis cantik bertubuh mungil itu sibuk mengulang lagi hafalannya..Baru saja ingin membuka lembar berikutnya, kehebohan menghampiri, merusak ketenangan batin pagi itu.. ya siapa lagi kalau bukan ulah Mecca Wulandari"Ra.. raa.. Nuraa" tapi si pemilik nama enggan menyahuti, Semua orang di kelas menoleh saat suara lantang Mecca terdengar.“NURAA ALFIANDRI~!” teriaknya, membuat Nura hampir meloncat dari kursi karena kaget.Nura menatap Mecca dengan mata setengah kesal, setengah ingin menahan tawa.“Ca… ya ampun… bisa diem sebentar nggak sih? Aku lagi mau fokus ujian nih!”Mecca hanya tersenyum jahil, melangkah ke bangku sebelah Nura sambil menepuk m
Nura duduk di depan Arthur, masih sedikit gugup tapi berusaha terlihat santai. Arthur menutup bukunya perlahan, menatap Nura dengan senyum tipis yang hangat.“Ra aku ga nyangka kamu bakalan dateng, aku pikir kamu bakalan sibuk sama latihan musik di kelas, ternyata bisa nyempetin datang juga,” ucap Arthur, suaranya tenang tapi ada nada senang yang sulit disembunyikan.Nura tersenyum malu-malu, “Iya… aku sempat kepikiran juga sih. Lagipula, aku penasaran sama buku-bukunya, siapa tahu bisa ngebantu tugas kita nanti.”Mereka mulai membuka buku-buku, membicarakan tugas dan referensi yang harus dicari. Tapi percakapan mereka perlahan bergeser ke hal-hal ringan, seperti kebiasaan unik teman-teman kuliah, cerita lucu masa SMA, dan pengalaman aneh selama kegiatan kampus. Tawa kecil mereka sesekali terdengar di ruang perpustakaan yang tenang.Tiba-tiba, Mecca muncul di pintu, membawa minuman dari kantin. Matanya membelalak melihat Nura duduk berdua dengan pria asing itu.“Eh?! Nura… siapa tuh?!