Nura duduk di depan Arthur, masih sedikit gugup tapi berusaha terlihat santai. Arthur menutup bukunya perlahan, menatap Nura dengan senyum tipis yang hangat.
“Ra aku ga nyangka kamu bakalan dateng, aku pikir kamu bakalan sibuk sama latihan musik di kelas, ternyata bisa nyempetin datang juga,” ucap Arthur, suaranya tenang tapi ada nada senang yang sulit disembunyikan. Nura tersenyum malu-malu, “Iya… aku sempat kepikiran juga sih. Lagipula, aku penasaran sama buku-bukunya, siapa tahu bisa ngebantu tugas kita nanti.” Mereka mulai membuka buku-buku, membicarakan tugas dan referensi yang harus dicari. Tapi percakapan mereka perlahan bergeser ke hal-hal ringan, seperti kebiasaan unik teman-teman kuliah, cerita lucu masa SMA, dan pengalaman aneh selama kegiatan kampus. Tawa kecil mereka sesekali terdengar di ruang perpustakaan yang tenang. Tiba-tiba, Mecca muncul di pintu, membawa minuman dari kantin. Matanya membelalak melihat Nura duduk berdua dengan pria asing itu. “Eh?! Nura… siapa tuh?! Kenapa kamu duduk berdua sama orang nggak dikenal gitu?!” Mecca terkejut, setengah panik, setengah penasaran. Nura menutup buku dengan cepat, pipinya memerah. “Eh… ca.. ini… Arthur… teman aku,” jawabnya sambil tersenyum canggung. Arthur menoleh ke Mecca, tersenyum ramah. “Hai, aku Arthur. Salam kenal ya,” ucapnya sopan. Mecca mengerjapkan mata beberapa kali, matanya masih penuh penasaran. “Oh… oh… gitu ya… hahaha… ya ampun, Nura, kamu nggak bilang sama aku! Aku kira kamu duduk sendiri di sini.. Hai salam kenal juga ya aku Mecca bestie nya Nura" Nura tersenyum malu, “Maaf ya, Best… aku baru ketemu dia tadi. Aku cuma pengen ngobrol sebentar.” Mecca duduk di meja terdekat, menatap mereka berdua dengan ekspresi campur aduk antara penasaran dan geli. “Hmmm… oke deh, tapi aku mau denger semua ceritanya nanti! Jangan main rahasia-rahasiaan ya ra.” Arthur hanya tersenyum ringan, masih menatap Nura dengan hangat. Sementara Nura merasa lega, tapi hatinya tetap berdebar, karena Mecca, sahabatnya itu sudah menyadari ada "sesuatu" diantara ia dan Arthur. "waah asiik nih bakalan ada alasan buat minta pajak jadian, hmm.. aku mau minta apa ya nanti k Nura?? 🤔 cilok mang supri kayanya enak deh, eh apa batagor nya mang Asep aja ya?? Duh jadi laper kan nih" batin Mecca sambil tersenyum jahil memperhatikan mereka berdua Nura yang sedang fokus menatap buku tiba-tiba merasakan pandangan Mecca yang tajam tapi penuh aura jahil. Ia menoleh sebentar dan langsung tersadar. “Mecca… kamu… ey!” Mecca hanya tersenyum lebar, pura-pura polos. “Eh… nggak apa-apa kan? Aku cuma… pengin liat kalian berdua ngobrol aja… hihihi.” Arthur yang duduk di seberangnya mengangkat alis, sedikit bingung tapi tertarik dengan ekspresi Mecca. “Oh? Temanmu kayaknya seru juga ya,” ucapnya ringan. Nura menepuk meja pelan, setengah tertawa, setengah kesal. “Seru? Aduh, Mecca… jangan mulai deh sama ide-ide jahilmu itu, nanti aku lagi yang kena!” Mecca masih duduk dengan senyum jahilnya, matanya berkilau penuh rencana. “Tenang aja, Ra… aku cuma pengen nyiapin pajak jadian kalian. Hmmm… kira-kira aku mau minta apa ya? Minum, traktir makan, atau…?” Nura menutup wajahnya dengan tangan, pipinya merah padam. “Mecca!!! Aku serius, jangan ganggu suasana!” Arthur yang melihat tingkah Mecca hanya tersenyum, tapi dalam hatinya ia merasa nyaman karena Nura terlihat sangat natural saat menghadapi sahabatnya itu. “Kalau aku ikut, aku bakal kena pajak juga ya?” selorohnya, membuat Nura terkekeh malu. Mecca tersenyum lebar, “Haha… tentu aja kena! Tapi jangan khawatir, pajaknya nanti nggak berat kok… cuma biar kalian makin dekat aja,” batin Mecca sambil menatap mereka berdua sambil tersenyum licik. Suasana pun kembali hangat, dengan Mecca yang diam-diam mengawasi, Nura yang kadang tertawa malu, dan Arthur yang terlihat santai tapi makin penasaran dengan gadis di depannya. Meski Mecca sedang “menyusun rencana pajak”, tak terasa momen itu justru membuat mereka bertiga semakin akrab.Hari itu terasa lebih panjang dari biasanya. Sejak gosip kecil tentang dirinya dan Arthur beredar, Nura jadi merasa seluruh mata di kelas menyorotinya. Awalnya ia berusaha cuek tak mau peduli, tapi ternyata gosip yang tadi nya kecil itu sudah menyebar lebih jauh dan menjadi besar.Terlebih lagi, ketika ada mata yang melihat Arthur menunggu Nura di depan kelas. Ia sengaja membawa buku partitur yang tadi dibelinya untuk diberikan pada Nura. Hal itu pun memicu kesalahpahaman lain“Eh, itu kan Arthur, nungguin siapa sih?”“Liat deh… oh, kayaknya Nura. Wah, jangan-jangan mereka…?”Bisikan itu tidak luput dari telinga Mecca. Ia yang kebetulan lewat, langsung memasang ekspresi penuh arti. “Hmm… cocok juga ya,” batinnya sambil melirik.Gosip yang awalnya hanya berupa celetukan ringan, berubah menjadi percakapan serius saat masuk ke grup chat kelas.“Kayanya bener deh apa yang dibilang Mecca kemaren, soalnya tadi ada anak-anak yang liat Arthur nungguin di depan kelas kita sambil bawa sesuatu
Setelah cukup lama menikmati waktu berdua, mereka pun memutuskan untuk kembali ke kampus, kebetulan Arthur masih ada mata kuliah yang harus ia ikuti dan Nura pun ada janji dengan sahabatnya.Jalanan sore itu ramai oleh segerombolan mahasiswa yang baru saja selesai kelas, angin semilir berhembus, membawa aroma tanah basah karena gerimis yang sempat turun siang tadi, menambah suasana syahdu antara mereka. Arthur berjalan bersisian dengan Nura disamping kanan nya, menenteng segelas kopi yang hampir habis isinya.. sementara Nura, ia lebih banyak diam, mencoba mengatur langkah agar tak terlalu dekat tapi juga tak terlalu jauh.. Sayangnya langkah ringan mereka tak luput dari pandangan Mecca, dari kejauhan ia sudah berdecak kecil sambil mengangkat alis "wuiih beneran nih udah jalan pulang berdua doang? jangan jangan..."Yah tentu aja, seperti yang bisa kita tebak, Mecca gadis itu gabisa menahan diri, ia buru-buru mengeluarkan ponselnya, dan mengetik sesuatu di grup kelasMecca : "Guys, brea
Setelah beberapa saat ngobrol dan tertawa di kafe, Nura dan Arthur duduk di sudut yang lebih tenang. Di luar, suara orang lalu-lalang dan mesin kopi tetap terdengar samar, tapi di meja mereka seolah ada “ruang hening” sendiri.Arthur menyandarkan tubuh ke kursinya, kedua tangannya melingkari cangkir kopi hitamnya yang masih mengepul. “Ra… aku suka tempat kayak gini,” katanya dengan nada santai. “Bukan cuma karena kopinya, tapi karena suasananya. Tenang, nggak ribut kayak kantin.”Nura menatap secangkir latte di depannya, menggulirkan jarinya di atas tutup gelas. “Aku juga suka… ruang yang tenang. Kayak gini tuh bikin aku bisa mikir lebih jernih. Walau…” ia berhenti sebentar, menarik napas pelan, “kadang hening itu malah bikin aku kepikiran hal-hal yang bikin jantung deg-degan.”Arthur tersenyum, matanya tak lepas dari wajah Nura. “Deg-degan yang baik kan?”Nura melirik sekilas lalu buru-buru menunduk. “M-mungkin…” jawabnya pelan, wajahnya mulai memanas.Ada jeda. Tapi bukan jeda yang
Nura mendorong pintu cafe, suasana hangat dan semerbak aroma kopi langsung menyambutnya. Di salah satu sudut, Arthur sudah menunggu dengan senyum tipis, tak lupa buku catatan kecil juga sudah setia menemani.“Hai… datang juga akhirnya,” ucapnya ramah, sambil bangkit untuk menyapa Nura.“Hi… iya, maaf ya agak lama, tadi ada urusan kecil dulu di kelas,” jawab Nura sambil tersenyum malu."iya gapapa ra, santai aja kali", lalu mereka duduk, dan Arthur langsung memanggil pelayan.“Satu cappuccino untuk saya… dan satu latte manis untuk teman saya,” katanya sambil tersenyum pada Nura.Nura menelan ludah tipis, hatinya berdebar. Tapi begitu minuman datang dan ia mencicipi sedikit, ekspresinya berubah. Latte itu terlalu manis untuk seleranya.“Oh… ini… hmm… manis banget,” gumam Nura pelan sambil menahan senyum malu.Arthur menatapnya penasaran.“Hah? Manis? Aku kira kamu suka kopi manis…, gimana apa mau aku ganti aja yang sesuai selera kamu?”Nura menggeleng kecil, menatap cangkirnya.“Sebenar
Keesokan paginya, Nura sampai di kelas jam 7 kurang 15 menit, sebenarnya jadwal tetap matkul aransemen & orkestrasi itu dimulai jam 8 tapi gadis itu sengaja datang lebih awal ke kampus karna hari ini ada ujian tertulis, dan kejadian di perpustakaan kemarin tentu aja bikin dia ngga fokus untuk belajar, jadilah di pagi yang tenang ini Nura, si gadis cantik bertubuh mungil itu sibuk mengulang lagi hafalannya..Baru saja ingin membuka lembar berikutnya, kehebohan menghampiri, merusak ketenangan batin pagi itu.. ya siapa lagi kalau bukan ulah Mecca Wulandari"Ra.. raa.. Nuraa" tapi si pemilik nama enggan menyahuti, Semua orang di kelas menoleh saat suara lantang Mecca terdengar.“NURAA ALFIANDRI~!” teriaknya, membuat Nura hampir meloncat dari kursi karena kaget.Nura menatap Mecca dengan mata setengah kesal, setengah ingin menahan tawa.“Ca… ya ampun… bisa diem sebentar nggak sih? Aku lagi mau fokus ujian nih!”Mecca hanya tersenyum jahil, melangkah ke bangku sebelah Nura sambil menepuk m
Nura duduk di depan Arthur, masih sedikit gugup tapi berusaha terlihat santai. Arthur menutup bukunya perlahan, menatap Nura dengan senyum tipis yang hangat.“Ra aku ga nyangka kamu bakalan dateng, aku pikir kamu bakalan sibuk sama latihan musik di kelas, ternyata bisa nyempetin datang juga,” ucap Arthur, suaranya tenang tapi ada nada senang yang sulit disembunyikan.Nura tersenyum malu-malu, “Iya… aku sempat kepikiran juga sih. Lagipula, aku penasaran sama buku-bukunya, siapa tahu bisa ngebantu tugas kita nanti.”Mereka mulai membuka buku-buku, membicarakan tugas dan referensi yang harus dicari. Tapi percakapan mereka perlahan bergeser ke hal-hal ringan, seperti kebiasaan unik teman-teman kuliah, cerita lucu masa SMA, dan pengalaman aneh selama kegiatan kampus. Tawa kecil mereka sesekali terdengar di ruang perpustakaan yang tenang.Tiba-tiba, Mecca muncul di pintu, membawa minuman dari kantin. Matanya membelalak melihat Nura duduk berdua dengan pria asing itu.“Eh?! Nura… siapa tuh?!