"Maafkan Lea, Ma," ujarku ketika pagi telah menyapa. Kemarin aku sempat membuat orang-orang di rumah ini panik. Stres karena memikirkan sikap mertua dan dilema jika mengadu pada suami. Aku meminum obat sakit kepala dan tidur dengan lelapnya."Tak apa, Nak. Kalau ada apa-apa cerita sama, Mama. Barangkali Mama bisa bantu."Aku menghela napas dalam-dalam. Mama sosok Ibu dan mertua yang di idam-idamkan. Aku tau betul bagaimana Mama sangat menyayangi Alina. Alina sudah seperti anaknya sendiri, tak ada bedanya denganku."Alina beruntung punya mertua seperti Mama," gumamku.Mama tersenyum. "Mama yang beruntung punya menantu seperti Alina. Mama bangga punya anak-anak yang akhirnya bisa membuat Mama dan Papa tersenyum. Ya, walau sampai saat ini Mama belum bisa mengikuti jejak kalian, Mama yakin suatu saat nanti Mama, mampu."Rasa haru menyeruak dalam dada. Berharap Mama bisa memakai hijab seperti yang aku dan Alina pakai. Memang kehadiran Alina memberikan pengaruh baik buat keluarga kami. Kini
Selama ini aku hanya menganggap ijazah itu hanya sebuah kertas tanpa makna. Capek kuliah tapi aku malas untuk bekerja. Secara keuanganku selalu di cukupkan oleh Papa. Tapi, setelah menikah semua kiriman sudah dihentikan. Aku benar-benar mengharapkan Mas Arsyad, dan itu sangat memalukan. Meski kemarin-kemarin aku tetap bertahan."Ya sudah, gw akan bimbing lu! Tapi, ijin dulu sama Arsyad. Nanti dia marah. Bagaimanapun lu wanita bersuami. Apa-apa harus ijin dengannya.""Makasih ya, Bang, Ma!" Aku hendak memeluk Bang Ubay. Tapi, dia menghindar."Eh, eh! Apaan peluk-peluk! Mandi sana! Bau juga! Nanti kemeja gw bau asi!"Aku terkekeh, dan makin semangat mengejar Bang Ubay."Lea! Udah! Habis lahiran kok pecicilan!" teriak Mama."Rasain!" seru Bang Ubay sambil tertawa puas.****Malam hari, aku memijit kaki Mas Arsyad. Alifa yang tengah tidur di kamar sebelah membuatku dan Mas Arsyad kini berasa pengantin baru lagi. Walau tak bisa malam pertamanya. Pembantu baru bernama Yati, itu sangat cekat
"Mana anak Arsyad, Ibu mau lihat," ketusnya."Oh, ada, Bu. Lagi berjemur, sebentar Lea ambil."Ibu tak menjawab, seolah tak mendengar ucapanku. Aku pun berlalu ke belakang. "Siapa, Lea?" Mama yang masih memakai mukena keluar dari kamar."Ada Ibunya Mas Arsyad, Ma.""Oh, ya?"Aku mengangguk lalu kembali berjalan ke belakang."Sayang, kita ke depan dulu, yuk. Ada Oma."Aku meraih Alifa yang tengah tidur dipangkuan mbak Yati."Oma? Ibunya Mas Arsyad, ya Le?" tanya Alina. "Iya," jawabku singkat.Aku pun kembali ke ruang depan dimana ada Ibu dan perempuan itu. Alina mengikuti dari belakang."Ini, Bu. Namanya Alifa."Mata tua itu berbinar. Langsung meraih Alifa dengan hati-hati. "Kemarin pas aqiqahan Alifa, rambutnya di cukur," jelas Mama ketika Ibu membuka topi kupluk Alifa. Mama pasti melihat perubahan wajah Ibu yang melihat cucunya botak."Heran, ada-ada saja adatnya. Bayi botak begini ga ada lucu-lucunya!" Mama melirikku dengan wajah heran."Bu, memotong rambut bayi pada usia 7hari
Tak lama, Mas Arsyad pulang. Aku menyambut kedatangannya. "Mas tadi dapat pesan dari Ibu, jika Ibu mau mampir. Jadi, Mas buru-buru pulang,"bisiknya."Bukan karena ada mantan kamu, 'kan?""Ya, enggak lah. Buat apa!" sahutnya.Kami pun berjalan beriringan ke ruang tamu. Mas Arsyad menciumi tangan Ibunya. Lalu mengangguk ke arah Tasya yang masih menatap dengan tatapan penuh kerinduan."Apa kabar, Mas?" "Baik!" Jawab Mas Arsyad singkat.Mama yang menyadari jika perempuan itu menatap Mas Arsyad berkata "Mbak Tasya ini belum nikah, ya?"Dia gelagapan."Be-- belum, Tante.""Oh, pantes. Buru-buru nikah saja. Menikah itu bagian dari usaha untuk menghindari kemaksiatan yang tak sengaja maupun yang sengaja kita lakukan.""Maksud, Tante?" "Iya! maksud, Jeng apa?" Ibu ikut bertanya, dengan suara meninggi."Ya, misalnya, maksiat melihat suami orang dan membayangkan dia menjadi milik kita. Atau maksiat karena tiba-tiba mata tak sengaja menatap suami orang lain dengan cinta," sindir Mama. Perempu
"Mana anak Arsyad, Ibu mau lihat," ketusnya."Oh, ada, Bu. Lagi berjemur, sebentar Lea ambil."Ibu tak menjawab, seolah tak mendengar ucapanku. Aku pun berlalu ke belakang. "Siapa, Lea?" Mama yang masih memakai mukena keluar dari kamar."Ada Ibunya Mas Arsyad, Ma.""Oh, ya?"Aku mengangguk lalu kembali berjalan ke belakang."Sayang, kita ke depan dulu, yuk. Ada Oma."Aku meraih Alifa yang tengah tidur dipangkuan mbak Yati."Oma? Ibunya Mas Arsyad, ya Le?" tanya Alina. "Iya," jawabku singkat.Aku pun kembali ke ruang depan dimana ada Ibu dan perempuan itu. Alina mengikuti dari belakang."Ini, Bu. Namanya Alifa."Mata tua itu berbinar. Langsung meraih Alifa dengan hati-hati. "Kemarin pas aqiqahan Alifa, rambutnya di cukur," jelas Mama ketika Ibu membuka topi kupluk Alifa. Mama pasti melihat perubahan wajah Ibu yang melihat cucunya botak."Heran, ada-ada saja adatnya. Bayi botak begini ga ada lucu-lucunya!" Mama melirikku dengan wajah heran."Bu, memotong rambut bayi pada usia 7hari
Perempuan itu meradang. Wajahnya memerah."Maaf, Tante. Saya pamit!" Tasya bangun dan berjalan cepat ke arah pintu."Ini maksudnya apa?"Ibu masih belum paham, atau memang sengaja pura-pura tak mengerti."Mbak Tasya, kalau nanti udah ga kuat jadi pramugari. Bisa menghubungi Lea lho, dia pasti punya penawaran pekerjaan yang terbaik untuk Mbak," teriak Alina. Tasya tak menjawab.Arsyad yang melihat adegan itu terpana. Pasti dia bingung dengan apa yang terjadi."Arsyad, Ibu pulang." Perempuan setengah baya itu memberikan Alifa pada Mas Arsyad lalu setengah berlari mengejar Tasya."Memang ada apa sih?" suamiku itu masih mode bingung."Arsyad, jawab pertanyaan Mama. Apa perempuan itu mantan kekasih kamu!" bentak Mama.Wajah Mas Arsyad pucat, dari wajahnya jelas sekali apa jawaban yang akan keluar dari bibirnya.Kini kami duduk di ruang tamu, suasana hening. Mama masih menunggu jawaban Mas Arsyad."Maaf, Ma. Sebenarnya dia benar mantan Arsyad. Tapi, Arsyad benar-benar sudah tak ada keingina
"Mana anak Arsyad, Ibu mau lihat," ketusnya."Oh, ada, Bu. Lagi berjemur, sebentar Lea ambil."Ibu tak menjawab, seolah tak mendengar ucapanku. Aku pun berlalu ke belakang. "Siapa, Lea?" Mama yang masih memakai mukena keluar dari kamar."Ada Ibunya Mas Arsyad, Ma.""Oh, ya?"Aku mengangguk lalu kembali berjalan ke belakang."Sayang, kita ke depan dulu, yuk. Ada Oma."Aku meraih Alifa yang tengah tidur dipangkuan mbak Yati."Oma? Ibunya Mas Arsyad, ya Le?" tanya Alina. "Iya," jawabku singkat.Aku pun kembali ke ruang depan dimana ada Ibu dan perempuan itu. Alina mengikuti dari belakang."Ini, Bu. Namanya Alifa."Mata tua itu berbinar. Langsung meraih Alifa dengan hati-hati. "Kemarin pas aqiqahan Alifa, rambutnya di cukur," jelas Mama ketika Ibu membuka topi kupluk Alifa. Mama pasti melihat perubahan wajah Ibu yang melihat cucunya botak."Heran, ada-ada saja adatnya. Bayi botak begini ga ada lucu-lucunya!" Mama melirikku dengan wajah heran."Bu, memotong rambut bayi pada usia 7hari
Aku menunduk menyembunyikan tawa. Alina sungguh cerdas. Dia membumkam mulut Ibu. Ibu kena mental, tak berani lagi memuji-muji perempuan ga jelas itu.Tak lama, Mas Arsyad pulang. Aku menyambut kedatangannya. "Mas tadi dapat pesan dari Ibu, jika Ibu mau mampir. Jadi, Mas buru-buru pulang,"bisiknya."Bukan karena ada mantan kamu, 'kan?""Ya, enggak lah. Buat apa!" sahutnya.Kami pun berjalan beriringan ke ruang tamu. Mas Arsyad menciumi tangan Ibunya. Lalu mengangguk ke arah Tasya yang masih menatap dengan tatapan penuh kerinduan."Apa kabar, Mas?" "Baik!" Jawab Mas Arsyad singkat.Mama yang menyadari jika perempuan itu menatap Mas Arsyad berkata "Mbak Tasya ini belum nikah, ya?"Dia gelagapan."Be-- belum, Tante.""Oh, pantes. Buru-buru nikah saja. Menikah itu bagian dari usaha untuk menghindari kemaksiatan yang tak sengaja maupun yang sengaja kita lakukan.""Maksud, Tante?" "Iya! maksud, Jeng apa?" Ibu ikut bertanya, dengan suara meninggi."Ya, misalnya, maksiat melihat suami orang