Share

2

"KITA PERLU bicara. Sekarang. Penting!"

Davira segera menengadah dari laptop ke wajah sahabat sekaligus atasan dari tempatnya bekerja. Entah kapan pastinya Freya melewati pintu kaca di depan sana, dan kenapa perempuan ini pulang dari Bali? Karena catatan kecil di agenda digitalnya jelas tertulis kapan Freya bakal pulang dari Bali, dan itu minggu depan. Davira menutup laptop dan mengamati wajah Freya yang menjulang di hadapannya, mengingat perempuan itu baru menghabiskan malam di pesta—kemungkinan mabuk sangat besar. Jadi dia mengambil waktu beberapa detik untuk memastikan, tetapi tidak ada tanda-tanda Freya mabuk.

Freya gusar. 

"Frey?"

"Kita punya klien baru." Freya menjawab. "Arion Anderson," lanjut Freya sebelum Davira sanggup mengungkapkan kesenangan mendapatkan klien baru, bos sekaligus sahabatnya itu mengambil iPad dari samping laptop, lalu mengembalikan lagi benda itu kepadanya setelah mengotak-atik beberapa saat. "Teman lama gue, miliyuner muda yang diakui forbes. Gue yakin lo kenal lah. Nama dia bolak-balik lo tulis sebagai tamu undangan dari klien-klien kita sebelumnya." Dengan gerakan anggun, Freya memunggunginya dan menyandarkan bokong di sisi lain meja kayu panjang Davira. "Dia mau istri ...."

Saat mendengar itu, Davira memutar bola matanya. Tentu saja lelaki itu menghubungi Freya demi seorang istri, tidak mungkin memesan catering buat pesta pertunangan atau pernikahan kontrak yang biasa dia lakukan.

"Dan ibu dari anaknya."

Davira yang sedang melakukan tugasnya di biro jodoh khusus kalangan atas ini, spontan menengadah lagi ke Freya sambil mencengkeram erat-erat pinggiran iPad.

Dia tidak bisa menyembunyikan ekspresi; malas-menghadapi-hal-ribet. Freya juga ogah meladeni klien-klien banyak mau seperti ini, seharusnya menolak langsung permintaan klien tanpa perlu pemeriksaan bisa dilakukan.

"Ibu? lo tahu ini nggak bakal berhasil.” Davira segera mematikan iPad, enggan melanjutkan pemeriksaan lebih lanjut. Dan Freya berputar menghadapnya, memasang ekpresi pucat-pasi seolah habis mengingat ada ancaman serius menunggu bila kontrak ini tidak terjadi. "Frey, lo kan tahu sendiri cewek-cewek yang kita kenal cuma mau uang dan seks kasual. Mereka nggak tertarik sama tanggung jawab besar seperti anak.”

Freya lebih tahu tentang masalah itu. Sahabatnya itu yang membuat sistem bisnis ini; lelaki yang memegang kekuasaan besar datang menemui Freya membayar lebih dari ratusan juta untuk mencarikan perempuan yang bersedia menjadi pasangan selama belasan atau puluhan bulan. Demi reputasi, menutupi kehidupan kelam, menghindari perempuan-perempuan di luar sana yang suka mengakui sudah tidur dengan ini atau dijanjikan itu—yang lebih buruk mengaku memiliki keturunan. Sementara perempuan-perempuan yang Freya tawarkan akan berakting sesuai kontrak, selama si lelaki memenuhi perjanjian—si perempuan tidak akan membuat masalah. Namun sebelum memberikan kontrak, Freya selalu meminta Davira mencari latar belakang, mengorek hal-hal yang disembunyikan si peminta—kotoran-kotoran tersembunyi yang bakal membahayakan banyak pihak.

Dan hari ini, ….

"Vira." Freya mendesah lalu bersedekap. "Dia mau lo."

Bagai sebuah alarm yang merespon asap kebakaran, kepala Davira segera dipenuhi banyak peringatan. "Are you kidding me?!”

“Vir—”

“Lo ingat kan permintaan gue sebelum bantu lo di usaha ini? Gue nggak mau dijadiin salah satu kandidat cewek yang lo sodorin ke cowok-cowok kalangan atas itu!” Davira menendang kaki meja, sampai kursi hitam berodanya menjauh beberapa langkah dari posisi awal. Kemudian, dia berdiri dan memelotot. Demi memperlihatkan betapa tidak sukanya pada situasi ini, Davira bersedekap. “Gila. Tunangan atau nikah aja gue ogah, apalagi sampai punya anak!”

"Bisa nggak lo duduk lagi. Kita omongin dengan tenang.”

“Tenang?! Lo minta gue tenang?!” jerit Davira.

“Davira Lovata!”

Dan Davira kalah. Freya jauh lebih menyeramkan darinya saat memasang wajah galak dan menggunakan nada tinggi. Davira mengembuskan napas kasar, lalu menghempaskan diri kembali ke kursi. Freya juga duduk. Tentu saja dengan gaya bagai putri kalangan atas, anggun, tenang. Mereka  berhadapan, saling bersitegang dengan tatapan tidak mau kalah. Masing-masing sedang menegaskan tidak bakal mundur dari pendirian apa pun alasannya.

“Dia—” Freya terdiam sebentar, dan alarm dalam diri Davira berbunyi kian nyaring. Dia memahami ekspresi Freya itu. Ekspresi yang selalu muncul setiap kali mereka membicarakan tentang masa lalunya. “He knows, Vira. Semuanya. Masa lalu lo.”

Davira terdiam.

Dia sama sekali tidak bisa memahami kenapa seorang Arion Anderson menginginkannya sampai mencari tahu masa lalunya. Davira memijat kening keras-keras. Dia berusah mengingat-ingat apa pernah melakukan kesalahan atau sesuatu yang menyinggung lelaki itu, tetapi—astaga! Davira mengerang! Dia bahkan belum pernah bertemu secara langsung dengan Arion. Kapan pun pesta rancangan LoveGram diadakan, dan Arion selalu jadi tamu di daftar paling atas. Lelaki itu tidak pernah muncul, hanya mengirimkan karangan bunga dengan ucapan hampir serupa di setiap acara—beda nama saja. Lalu, bagaimana Arion mengenalnya?!

Davira menjejak lantai dua kali, kemudian memandang Freya putus asa.

“Gue belum pernah ketemu dia, Frey. Kenapa gue?”

“Gue lagi suruh orang yang bisa tembus sistem keamanan Arion buat cari tahu tentang ini.” Freya mencondongkan badan sama menyentuh pinggiran meja, memasang wajah penuh tekad dan tulus. “Gue nggak bakal ngebiarin dia melakukan sesuatu yang nggak-nggak sama lo!"

Davira menghela napas.

"Karena gue juga belum tahu apa motif sebenarnya dari ini, gue nggak bisa asal gerak. Satu-satunya yang bisa kita lakuin adalah lo datang dan temuin dia di kantornya, berdiskusi sebentar, terus lo balik ke sini—kita analisa bareng. Oke?”

Walaupun Davira masih pada keputusannya tidak bakal mempertimbangkan tawaran Arion, dia memang tidak bisa tutup mata—orang seperti Arion bisa membantunya menyelesaikan permasalahan berakar yang susah sekali lepas darinya. Dan Freya benar, mereka perlu menganalisa situasi ini setelah dia mendengarkan secara langsung apa yang dimau Arion.

Davira mengangguk. Meminta alamat sekaligus nomor telepon kantor lelaki itu, membuat janji temu dengan seketaris Arion—yang langsung diiyakan saat namanya disebutkan. Dari cara si seketaris merespon namanya, Davira bisa menebak Arion sudah memperhitungkan banyak hal. Dia pun harus melakukan hal serupa sebelum berhadapan dengan lelaki itu.

Davira bertekad melakukan tugas lebih serius dari biasanya. Setelah Freya benar-benar pergi dari kantornya, dia mendorong kursi ke sudut kanan dari ruangannya—duduk di depan meja lebih panjang dan besar dari meja sebelumnya yang di tengahnya terdapat empat iMac membentuk U. Salah satu iMac terhubungan dengan milik Freya, dan dalam hitungan detik segala sesuatu tentang Arion sudah terpampang di depannya.

Davira tidak memedulikan informasi pribadi tentang tinggi, warna kulit, tanggal lahir, ya hal-hal remeh macam itu. Dia tidak mau tahu. Dia segera berfokus pada gilanya angka yang muncul, alasan lelaki itu bisa diperhatikan Forbes Asia, satu-satunya anak dari perkawinan resmi—

Dia menghela napas, lalu mencetak bagian-bagian penting yang bisa dijadikan alasan buat menolak permintaan lelaki itu. Lingkungan yang tidak stabil, contohnya. Dan poin itu benar-benar digaris bawahi tebal oleh Davira. Seumur hidupnya di berada di lingkungan tidak stabil. Bahkan saat dia berhasil kabur dan sembunyi di Jakarta, dunianya masih belum stabil. Davira tidak mau menambah tekanan, yang berpotensi bakal mengikutinya seumur hidup ....

Dua jam berikutnya, Davira sudah memarkir mobil pemberian Freya di Anderson Building. Seperti orang kebanyakan, melihat Mini Cooper seri terbaru yang dibawanya membuat para penjaga pintu masuk lebih meghargai dia. Tidak tahu saja, semua yang Davira bawa atau pakai, hanya pinjaman Freya demi menunjang penampilannya saat bertemu orang-orang kalangan atas ini.

Dengan menggunakan blouse lengan panjang hitam dan belahan dada rendah menggoda, skinny jins hitam, serta rambut hitam legamnya ditarik ke belakang dengan simpul sederhana, Davira memasuki lobi penuh percaya diri menuju bagian resepsionis yang berada di tengah lobi lantai dasar gedung sepuluh lantai ini.

“Davira Lovata. Sudah buat janji bertemu Pak Arion Anderson.” Entah itu hanya perasaannya saja, atau senyum ramah petugas resepsionis memang berganti penuh hormat yang serius begitu mendengar namanya. Namun apa pun itu, Davira berusaha mengabaikannya.

Siapa tahu nama Arion yang membuat si perempuan resepsionis bersikap seperti itu.

Walau fakta lain seperti dia diizinkan masuk tanpa prosedur keamanan juga sangat mengganggu. Apa orang ini tidak takut dia bakal melakukan sesuatu yang buruk pada penguasa gedung ini? Astaga. Kenapa sekarang Davira yang berpikir super tolol seperti ini? Kenapa harus merasakan sesuatu yang konyol? Tentu saja si resepsionis sudah mendapat informasi tentang janji temu dia. Simple.  

Begitu Davira memasuki lift, dia buru-buru memukul kening. Sepertinya rasa panik dan kegugupan membuat sistem kerja otak Davira kacau. Mati-matian dia mengeyahkan dua rasa itu. Namun melihat perpindahan angka menuju lantai sepuluh begitu cepat, membuat kegugupan ikut bertambah cepat. Bagaimana kalau dia keluar dari gedung ini dengan keadaan kalah? Bagaimana kalau akhirnya dia bakal bernasib seperti dulu—tidak punya pilihan?

Genggaman di clutch hitamnya mengencang. Davira tidak boleh terjebak kali ini.

Begitu pintu lift terbuka, seorang perempuan tinggi—berparas kebule-bulean sedang berdiri di depannya. Saking terkejutnya Davira pada sosok cantik di depannya, dia mematung sampai pintu lift nyaris tertutup. Memalukan.

“Halo, saya Zeline, sekertaris Pak Arion.” Perempuan itu bicara dengan santai, memamerkan senyum ramah. “Kita sudah ngoborol sebentar tadi by phone. Salam kenal. Nice to meet you."

Alih-alih berfokus pada kalimat Zeline, otak kurang ajar Devira malah sibuk membayangkan situasi terlampau pribadi antara Arion dan Zeline. Kalau dipiki-pikir, Zeline pasti mempunyai banyak waktu dan selalu terjebak di tempat yang sama dengan Arion. Ya, seperti yang sering digambarkan sebuah film ataupun novel, tentang hubungan terlalu baik dan ramah antar bos-seketaris. Apalagi, Zeline gambaran perempuan menggiurkan nan cantik, dan sepertinya mudah tertipu rayuan brengsek lelaki sekelas Arion.

Sorry—”

“Ah, ya maaf. Hai. Salam kenal, Zeline.”

“Pak Arion sudah menunggu. Silakan.” Dengan gaya bicara yang profesional, Zeline berbalik dan menuntunya menuju ruangan Arion.

Melewati empat kepala yang menyebul di pinggiran kubikel, menyorotkan tatapan ingin tahu sekaligus terkejut. Dan rasa gugup sekaligus panik yang mati-matian ditekan Davira, makin tidak mau dihilangkan.

Apa mereka nggak pernah melihat manusia? Heran! keluh Davira dalam hati.

“Pak Arion sangat jarang menerima tamu pribadi di sini, terutama perempuan,” ucap Zeline, seolah suara-suara desahan rasa sebal dalam otak Davira terdengar oleh perempuan ini.

Davira tidak berani merespon. Tidak tahu juga harus tersanjung atau terganggu.

Setelah mereka melewati lorong yang cukup panjang, Zeline berhenti di depan sebuah pintu ganda cokelat yang mengilap, lalu mengetuk. Tidak menunggu sahutan, Zeline membuka satu pintu dan memerintahkan Davira masuk lebih dulu.

Senyum yang Davira pertahankan sejak menginjakkan kaki di lobi sirna, saat dia menemukan sosok lelaki setinggi 175CM ... mungkin lebih, dengan segala kegagahan dan aura kegelapan yang memesona, berdiri di balik meja hitam yang terbuat dari marmer hitam. Meja super besar itu terlihat sunyi, persis seperti keadaan di luar ruangan, hanya terisi iMac, telepon, dan tempat pulpen. Sementara pemandangan ibu kota yang membentang dari jendela kaca, mengintip di balik punggung si lelaki.

Di setiap langkah yang Davira ambil, nuansa kemaskulian membelai dirinya sampai bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya meremang. Otak gilanya kembali mengajukan pertanyaan tidak sopan; apa sofa kulit hitam yang terlihat nyaman itu pernah digunakan buat hal-hal di luar bisnis? Berapa banyak perempuan sudah menikmati minuman alkohol dari mini bar di sebelah set sofa itu?

Bahkan, setelah dia mendengar penyataan belum pernah pertemuan pribadi, Davira tidak bisa percaya!

Pandangan Davira dan Arion bertemu untuk kali pertama, dan tanpa dia sangka--dia merasa seperti magnet tertarik sumbu lawan. Brengsek!

Saat langkah Davira nyaris mencapai meja kerja, sebuah kilatan muncul dari mata gelap Arion—diikuti satu ujung bibir yang tertarik ke atas.

Di mata Davira, lelaki itu terlihat sedang merayakan kemenangan kecil. Sialan! Apa dia memang terlihat semudah itu kalah?!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status