Share

5

TIGA HARI berlalu setelah pertemuan Arion dan Davira, tetapi rasa kesal akan penolakan perempuan itu tak kunjung mereda. Walaupun Arion memahami ketakutan Davira, tetap saja jawaban tidak dari perempuan itu terasa menjengkelkan. Bisa-bisanya Davira menolak mentah-mentah ide cemerlang Arion, win-win solution bagi masalah keduanya.

Sambil menempelkan satu tangan yang terkepal di jendela kaca, Arion mengamati lalu lintas ibu kota yang padat di jam makan siang begini. Di saat pekerjaan tidak hilir mudik di benaknya, bisikan setan yang diabaikan sejak melihat Davira meninggalkan kartu namanya di meja—kembali terdengar. Membongkar begitu banyak pilihan cara buat mendapatkan jawaban iya dari Davira. Dia tahu semua kesusahaan perempuan itu, bahkan yang terkecil sekalipun—seperti: Davira rela makan dua kali saja demi penghematan, bekerja sebagai bartender di salah satu club malam elit di Jakarta demi mengumpulkan rupiah. Namun kalau dia menggunakan satu saja dari rangkaian kesusahaan Davira, kalimat; saya berbeda, kemarin, terdengar seperti omong kosong. Dan dia membenarkan keyakinan Davira, bahwa Arion dan bajingan tolol yang menjebak keluarga Davira memang sama.

Arion tidak sudi disamakan dengan manusia rendah, yang menyusahkan Davira meski dalam kubur.

"Ada kejadian menarik apa selama gue pergi?"

Entah berapa lama waktu berlalu ketika suara rendah dengan aksen kebule-bulean menggema di ruangannya. Tidak perlu repot-repot memeriksa, Arion segera tahu siapa yang berani menembus pintu tanpa membuat janji lebih dulu dan tidak mau diantar Zeline. Dengan gerakan malas, Arion berbalik dan menemukan si tamu tak diundang sudah duduk di sofa sembari menaikkan kedua kaki panjang ke meja. Terlihat santai sembari merentangkan kedua tangan berotot yang berbalut jaket kulit hitam ke kepala sofa. Seakan-akan  pemilik ruang bukan Arion, tetapi orang itu.

"Sopan santun lo ketinggalan di lokasi syuting?"

Tidak terganggu pada nada kasar dari kalimatnya, si tamu tak diundang menurunkan kacamata hitam sampai di ujung hidung—memandang Arion sepersekian detik, lalu memasang lagi kacamata berframe bulat dengan tangkai emas, sembari menampilkan senyum jail yang membuat Arion ingin melempar salah satu buku tebal tentang bisnis ke sana. Kalau saja wajah tampan orang ini bukan aset di dunia hiburan, Arion pasti tega melakukan hal itu.

"Sepertinya kejadian menarik yang memusingkan," kata si tamu, sama sekali tidak terdengar prihatin. "Apa Om Elvan meninggalkan lo banyak utang, sampai lo harus mengucapkan selama tinggal pada kehidupan mewah dan forbes?"

Lebih buruk! Arion menjeritkan itu dalam hati. "Surat wasiat Bokap udah keluar, tapi ada syaratnya."

"Oh. Wow. Apa?"

"Seluruh aset dan bisnis Elvan Anderson akan diwariskan kepada satu-satunya putra sah, Arion Anderson, dengan beberapa syarat," lanjut Arion, menirukan cara pengacara bapaknya saat membacakan wasiat sialan itu. "Arion Anderson harus menikah secara resmi di hadapan negara dan memiliki anak. Setelah dijalankan dan dipastikan kebenarannya, keseluruhan yang ditinggalkan Elvan bisa dipindahtangankan kepada Arion. Arion diberikan waktu tiga tahun, kalau selama tiga tahun tidak ada tanda-tanda pernikahan dan anak—seluruh warisan dibagi rata kepada empat anak Elvan di luar nikah."

Setelah kalimat Arion berakhir, si tamu melepaskan kacamata. Garis-garis keterkejutan menghiasi wajah percampuran Jerman dan Manado orang itu, yang semakin memperparah rasa jengkel Arion kepada sang papa. Sedari dia remaja sang papa sudah mencekoki hal-hal yang berhubungan dengan bisnis, memenuhi otak Arion tidak ada yang lebih penting dari kerajaan bisnis keluarga mereka. Bahkan, dia diizinkan mengelolah bisnis tersebuk secara bebas sejak sang ayah sakit keras tiga tahun lalu. Dia berhasil memperbanyak gurita bisnis Buana Golden, menjadikan induk perusahaan milik keluarga itu tak terkalahkan di dunia bisnis sampai forbes pun mengakui hasil Arion. Mematahkan kutukan generasi ketiga, yang dianggap sebagai generasi pengacau kerajaan bisnis warisan.

"Lalu, apa yang lo lakukan sekarang?"

"Tentu saja mencari seorang istri."

Arion tidak menemukan ada yang lucu dari jawabannya, tetapi si tamu yang memiliki tinggi lebih darinya beberapa senti itu terbahak sembari menurunkan kedua kaki dari meja dan duduk tegak.

"This's not funny, Ravindra Malik!" geram Arion. Dia mendekat lalu menghempaskan diri di sofa seberang Ravi, memijit kening kuat-kuat. Siapa tahu pembuluh darah yang menegang di sana mengendur, tetapi sia-sia saja.

"Sepertinya Om Elvan sadar betul hubungan serius nggak pernah ada dalam daftar kehidupan lo, dan beliau takut garis keturunan bakal berakhir di lo," ucap Ravi, susah payah menghentikan tawa, tetapi gagal. "Apalagi, selama Om Elvan sehat—lo punya seribu alasan buat menghindari janji-janji perjodohan berkedok pembicaraan bisnis."

Arion kesal mendengar Ravi, satu-satunya sahabat sejak SMP, menyuarakan alasan terpendam yang dia pahami dari wasiat sang ayah. Yang dia tolak pemakluman itu demi memuaskan amarah, karena Elvan Anderson sengaja menyudutkan ke pinggir jurang. Dia merasa dikhianati.

"Bro, i know what you feel," lanjut Ravi sembari memutar-mutar kacamata hitamnya dengan satu tangan. "Ironis karena lo berusaha keras buat perusahaan, tapi kalau nggak pakai cara ini—apa lo mau memikirkan soal menikah dan punya anak?"

Tentu saja tidak. Apa yang dilakukan papanya selama hidup, membuat Arion enggan menarik perempuan dalam kehidupannya dan merasakan penderitaan mendiang mamanya. Entah takut kebebasannya diregut, atau khawatir dia bukan hanya mewarisi kepintaran sang papa dalam berbisnis tetapi juga seluruh sifat buruk Elvan Anderson—terutama soal perempuan.

"Freya. Hubungi Freya. Dia pasti bisa bantu lo." Ravi menyandarkan lagi punggung ke sandaran sofa. "Ya, lo pasti tahu selain fashion desiner, dia punya bisnis lain yang bisa lo jadiin jalan keluar."

"Devara." Ravi tertegun saat nama perempuan yang menolaknya mentah-mentah beberapa hari lalu lolos dari bibir Arion. Seolah tahu kalimat Arion belum rampung, Ravi tetap diam. "Gue minta dia jadi istri."

Setelah beberapa saat terdiam, memperhatikan Arion dengan sangat teliti, Ravi bertanya, "Apa ini Davira yang sama seperti  dalam pikiran gue?"

"Iya."

"Davira yang itu? Yang selalu bareng Freya, yang kata lo ada di hari Nyokap kecelakaan?" Ravi bertanya dengan nada semakin tinggi di setiap kata yang berbeda, lalu menyeringai penuh arti kepada Arion.

"Iya. Dia," sahut Arion pelan.

FlaraDeviana

Terima kasih sudah membaca. Untuk mengenal aku lebih jauh dan mendapatkan informasi naskah lain yang aku tulis, kalian bisa me-follow *** : Flaradeviana Love, Fla.

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status