Share

3

“SELAMAT datang dan senang bertemu langsung dengan anda," sambut Arion, sesaat setelah pijakan terakhir si perempuan mendarat di depan meja kerjanya.

Sebelum memulai pembicaraan menarik, Arion lebih dulu memberi kode kepada Zeline untuk segera keluar. Walau seketarisnya itu sudah bekerja lima tahun, berada di daftar tiga orang paling bisa dia andalkan dan percaya, tetapi bahan diskusi antar Arion dan Davira terlalu berbahaya didengar siapa pun. Kalau sampai bocor, dia bakal rugi paling banyak.

Ketika Zeline menghilang dan pintu super tebalnya tetutup rapat, Arion keluar dari meja lalu menyandarkan bokong di ujung kiri meja. Memandang lebih jelas Davira dari ujung kaki sampai kepala. Perlu usaha keras dari Arion untuk menahan tawa saat menemukan garis-garis kepanikan menghiasi wajah oriental perempuan itu. Berbanding terbalik dengan posisi berdiri Davira, yang meneriakkan kepercayaan diri seluas ruang kerja pribadi Arion.

"Saya harus manggil kamu apa? Nama saja? Atau, Nyonya Bachtiar?" Arion mengucapkan kata terakhir dengan tenang, tanpa menggunakan nada tertentu, tetapi Davira menoleh bagai dia sedang menondongkan pisau bermata tajam. "Duduk. Santai saja. Pebedaan umur kita nggak jauh-jauh amat, dan saya nggak berniat memakan kamu."

"Davira. Bukan Nyonya Bachtiar." Kata demi kata yang diucapakan si perempuan terdengar bagai tabuhan genderang perang, penuh perlawanan dan kemarahan.

Dan Arion menyukai hal itu. Sangat.

"Oke. Davira. Silakan duduk."

Dengan mata kelabu yang menatap penuh peringatan ke arahnya, Davira duduk sangat tenang—sangat formal di kursi hitam bertangan di depan Arion. Perempuan itu mengangkat dagu lebih tinggi daripada saat berdiri, membusungkan da—wow … Arion menyilangkan kaki dan bersedekap. Bagian yang dibusungkan Davira sungguh mengesankan. Walaupun terhalang kemeja satin, Arion bisa membayangkan bagian itu bakal pas dalam rengkuhannya.

“Bisa kita langsung saja, Pak Arion?” Dengan kedua tangan saling bertaut di pangkuan, Davira mengajukan pertanyaan. Dari suara, Arion menangkap perempuan itu bukan lagi berusaha terlihat percaya diri, tetapi juga mengitimidasi. Seperti berlagak; gue punya yang lo mau, masa depan lo ada digenggaman gue—gue berkuasa.

Arion mengusap ujung alis, lalu membuka kancing jasnya. Dia tidak salah pilih. Perempuan ini memang sangat pas menemaninya selama beberapa tahun, bahkan keturunan yang mereka hasilkan pun bakal menarik. “Oke. Saya punya kesepakatan—”

“Nggak,” sahut Davira. “Maaf saya menyela. Maaf sikap itu nggak sopan, tapi kalau penawaran yang Bapak maksud berkaitan sama saya—jawabannya nggak. Lebih baik topik obrolan kita hari ini diganti. Perempuan seperti apa yang Bapak mau jadikan pasangan, klien kami biasanya menyampaikan tiga sampai lima hal penting. Setelah saya mendengarkan apa yang Bapak mau, saya bisa ajukan beberapa pertanyaan lain tentang kehidupan Bapak. Setelah semua beres, saya mulai proses pencarian seperti biasa.”

Arion kembali melipat kedua tangan di depan dada. Meski Davira mengucapkan kalimat panjang itu dengan nada rendah yang tenang, Arion bisa merasakan tensi perempuan itu semakin tinggi. Seolah kata demi kata profesional yang lolos dari bibir tipis Davira menutupi makian untuk Arion. Keteguhan di eskpresi Davira, membuat Arion menyimpulkan kalau pertemuan mereka ini bakal berjalan lambat dan alot. Karena Arion juga tidak bakal menyerah begitu saja. Dia tidak mau perempuan lain. Dia mau Davira Lovata.

Menyadari Arion berniat bungkam sampai waktu yang tidak ditentukan, memancing Davira mengangkat dagu lebih tinggi sembari menyipitkan mata waspada kepadanya.

“Freya sudah menyampaikan apa yang Bapak inginkan.” Davira memulai lagi. “Sejujurnya saya agak bingung harus tersanjung atau takut. Saya baru kali ini bertemu secara langsung dengan anda, begitu pun sebaliknya.”

Arion tersenyum, lalu bertanya menggoda, “Apa bedanya kamu dan perempuan lain? Sama saja kondisinya. Sama-sama baru bertemu.”

Kedua mata Davira membulat, seolah terkejut Arion memikirkan hal itu. Sesuatu yang sebenarnya tidak salah. Sudah sangat lama Arion mengamati pergerakan bisnis ini. Memang tidak semua orang dari kalangan jetset mengetahui bisnis yang tergolong dijalankan Freya secara diam-diam, tetapi khusus untuknya—Arion selalu mengetahui hal-hal yang berputar di sekitarnya. Dia tahu poin-poin apa saja yang bakal dijalankan sebelum mencapai kesepakatan kontrak, termasuk cara pertemuan. Bahkan, dia tahu poin-poin penting yang harus terpenuhi agar satu hubungan berdasarkan simbiosi mutualisme bisa terjadi. 

Davira menelengkan kepala ke satu sisi seakan-akan menilai serangan apa lagi yang ingin dijatuhkan Arion, lalu mengembuskan napas. “Seberapa pun mirip cara pertemuan saya dan perempuan lain, jawabannya tetap nggak.”

“Bagaimana kalau kamu dengarkan dulu penawaran saya?” Arion meninggalkan ujung meja, berputar di belakang Davira, lalu duduk di kursi kosong samping perempuan itu. “Sejujurnya saya paling nggak suka debat kusir begini. Biasanya saya langsung memberi penawaran dan nggak suka penolakan. Tapi khusus hari ini, khusus kamu, saya siap menghabiskan beberapa jam ke depan meladenin sanggahan-sanggahan kamu. Dan memastikan sebelum kamu meninggalkan ruangan ini, jawaban iya yang saya terima.”

Davira kembali mempertemukan pandangan mereka. “Kalau begitu anda bakal menyia-nyiakan waktu berharga yang semestinya bisa digunakan buat menimbun pundi-pundi lebih banyak lagi.”

“Tanpa pendamping, tempat penyimpanan pundi bakal terkunci rapat buat saya.”

“Buat anda, bukan saya.”

Arion tersenyum masam. “Bapak kamu bakal terus kerja rodi di rumah rentiner. Ibu kamu dikeluarkan dari rumah sakit karena tunggakan susah dibereskan, hidup tanpa perawatan yang seharusnya. Masa muda adik kamu bakal habis di penjara.”

Kalimat yang diucapkan Arion dalam sekali tarikan napas berhasil menghancurkan kekerasan di wajah Davira.

“Anda ….”

“Pasti Freya juga sudah memberitahu kamu tentang ini. Saya selalu mencari tahu lebih dulu orang seperti apa yang bakal saya hadapi, Davira Lovata.” Davira menelan ludah. Jemari-jemari perempuan itu semakin giat meremas pinggiran tas clutch, sampai Arion mulai khawatir benda bermerek yang dipastikan pinjaman Freya bakal rusak. “Percaya saya, Davira. Saya bisa menyelesaikan semua permasalahan yang ditinggalkan mendiang suami kamu dalam sekali jentikan. Berapa yang dihilangkan Lukman Bachtiar? 1 Miliyar? Mudah. Kesalahan yang dilimpahkan ke adik kamu? Saya bisa bayar pengacara terbaik buat mengeluarkan adik kamu. Ibu kamu—”

Arion berhenti sejenak. Topik ini terlalu sensitif bagi Davira, ataupun dirinya. Dari sekian banyak ketidak miripan antara mereka, khusus yang ini situasi mereka sama—kedekatan dengan Ibu masing-masing. Arion sempat terkejut saat membaca kegilaan apa saja yang pernah dilakukan Davira demi memastikan sang ibu tak terganggu, seperti dia dulu. Dia melupakan kesenangan masa muda lalu terjun ke dunia bisnis, sementara Davira menikahi lelaki brengsek yang memporak-porandakan kehidupan keluarga perempuan itu.

Arion bergeser sampao tangan kursinya menyentuh tangan kursi Davira. “Saya bisa memindahkan ibu kamu di rumah sakit terbaik mana pun, sampai beliau pulih.”

Davira tidak merespon, hanya memandang Arion dengan wajah tidak berekspresi. Sampai Arion mengira perempuan itu diam-diam sedang merampal mantra demi meninggikan tembok-tembok perlindungan emosi darinya,

"Listen to me--"

"Sebelum ini sudah ada yang lebih dulu memberikan janji serupa kepada saya. Mama bakal dirawat di rumah sakit terbaik di Jakarta, Papa diberikan usaha yang layak agar kebutuhan Mama dan adik saya terpenuhi, adik saya yang waktu itu masih SMA juga diiming-imingi mau dibiayai kuliah di universitas swasta terbaik." Davira mengubah posisi kursi, saling berhadapan, hingga ujung sepatu Arion dan perempuan itu saling sapa. "Dan anda bisa lihat apa yang saya dapatkan. Lebih banyak kekacauan dan kegilaan. Oke. Saya nggak punya title seperti anda, saya bukan lulus sekolah dan universitas terbaik dan termahal Se-Asia, tapi bukan berarti saya bodoh sampai mau masuk ke lobang yang sama."

"Beda."

"Apa bedanya? Anda mencari tahu tentang saya, menggunakan kelemahan saya, menjadikan itu sebagai senjata supaya tujuan anda tercapai."

"Saya dan almarhum suami kamu, kami dua pribadi yang berbeda meski menawarkan hal yang sama," balas Arion penuh percaya diri.

"Sejauh ini, saya nggak menemukan perdedaan," ucapan Davira mematik rasa teracam dalam diri Arion. Spontan, otaknya menjadi jauh lebih berisik dari sebelumnya. Banyak bisikan hilir-mudik di dalam sana, dan yang paling dominan, meminta basa-basi ini dihentikan dan mencapai kesempatan.

"Oh ya?" Arion bertanya dengan tenang, sembari memajukan kursi sampai kedua lutut mereka bersentuhan. "Sebutkan persamaan lain, yang membuat penilaian kamu terhadap saya seburuk itu."

"Dunia kalian sama-sama berbahaya."

Arion tersentak. Dia tahu siapa pun pasangannya nanti memang bakal berada dalam bahaya tidak peduli sebaik apa pun Arion melindungi, tetapi dia tidak mengira Davira bakal mengeluarkan fakta itu buat menyerangnya.

"Kalaupun anda memang bisa menyelesaikan dan berbeda dari bajingan dalam kubur itu, saya nggak mau terjebak di situasi yang lebih berbahaya dari sebelumnya." Davira mengembalikan jarak antara mereka, lalu berdiri. "Terima kasih sudah menyediakan waktunya, Pak Arion. Seperti sebelumnya saya masih menolak. Dan kalau saya lihat-lihat, hari ini anda belum bisa memberikan poin-poin penting yang dibutuhkan dalam diri pasangan anda. Jika anda sudah bisa memberikan, silakan hubungi LoveGram kembali."

Arion ikut berdiri dan menghadang Devara. "Kamu--"

"Hari ini saya keluar dari ruangan anda, tanpa jawaban iya."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status