Mobil Rea tiba di depan gerbang kampusnya. Hari ini, Ardi mengantar putri kesayangannya itu untuk melakukan kegiatan Bakti Desa selama tiga hari.
"Kamu ingat kata Ayah semalam? Jangan lupa—"
"Iya, Ayah, iya. Rea ingat semua petuah Ayah sejak dua hari kemarin. Rea nggak boleh lupa pakai lotion anti nyamuk, nggak boleh lupa salat, nggak boleh begadang, dan jangan lupa untuk terus keep contact sama Ayah."
Ardi tersenyum, "Tapi kamu lupa satu hal sama Ayah."
"Hah? Apa lagi, Yah? Kan cuma itu."
"Ada lagi, dong. Kamu jangan jauh-jauh dari mantan calon menantu Ayah, ya? Karena dia bakal jadi mata Ayah selama kamu di sana."
"What—apa? Apaan, sih, Yah?" Wajah Rea memerah. Ardi menoel pipi anaknya itu.
"Ciee... salting, ya? Salting tuh pasti. Salting aja lah, Re."
"Nggak ada salting-salting. Rea turun. Assalamu'alaikum."
"E
Keeksokkan paginya, BEM Kominfo mukai menjalankan proker mereka. Arsan menghampiri Rea yang sibuk mondar-mandi membereskan bekas sarapan teman-temannya."Edrea," panggilnya.Rea menoleh dan mengernyit saat Arsan mengambil alih setumpuk piring kotor yang dia bawa. "Biar gue aja.""Tumben baik," celetuk Rea."Pedes banget, sih, Re. Gue emang selalu baik sama lo. Lo aja yang nggak pernah sadar.""Gue nggak ingat lo pernah baik, San. Lo terlalu rese buat gue."Arsan tertawa kecil. Kemudian membantu Rea mencuci piring. Rea makin mengernyit. "Lo kesambet jin pantai apa gimana? Gue merinding deket lo, San. Udah sana, biar gue yang nyuci.""Apa susahnya nerima bantuan orang, sih, Re? Gue tahu lo capek nyiapin sarapan dari subuh tadi. Mengoordinir orang itu nggak gampang."Rea kemudian mengalah, memilih duduk di kursi kayu sambil melihat Arsan mencuci piri
"Re, maaf, Ayah kayaknya nggak bisa jemput karena harus ke Singapura, ada meeting mendadak. Ini Ayah lagi di jalan mau ke Bandara."Rea bisa mendengar suara samar deru kendaraan lain. Lahir sebagai anak seorang pengusaha dengan segudang aktifitasnya membuat Rea mulai terbiasa dengan pekerjaan ayahnya yang sibuk."Yaudah. Ayah lagi nyetir, kan? Hati-hati di jalan. Nggak ada yang ketinggalan, kan?""Nggak ada, Sayang. Ayah tutup, ya? Baik-baik kamu di rumah. Jangan begadang, jangan telat makan, jangan bawa masuk cowok tanpa izin Ayah. Termasuk mantan calon menantu Ayah.""Ayah," rengek Rea sebal, "Cowok mana yang jadi mantu Ayah?""Siapa lagi? Mantan kamu, dong. Atau udah ada yang baru? Siapa kemarin yang nyulik anak Ayah sampai jam sepuluh malam baru dibalikin? Untung nggak lecet.""Ayah, jangan rese, deh. Aku sama Raga cuma temen."Ardi tertawa di ujung
"Gila! Ini gambar lo? Nggak percaya gue, Ga. Bohong, kan, lo? Hmmpp—"Raga reflek membekap mulut Rea saat gadis itu berseru kencang sambil memelototinya."Duh, toa banget, sih, suara lo, Re. Gue lepas, asal jangan teriak. Deal?" tawar Raga. Rea mengangguk. Raga langsung melepaskan bekapannya."Gila, ya? Kalau tangan lo kotor gimana? Jerawatan, nih, muka gue.""Gaya banget, Re. Sejak kapan lo peduli sama yang namanya glowing, shining, shimmering, splendid? Fyi, ya, tangan gue bersih dari kuman. Udah gue olesin hand sanitizer.""Ba to the cot. Jawab, Ga, ini komik lo yang gambar?""Gimana? Bagus, kan? Udah kayak comic artist, kan? Gue udah bilang, lo nggak bakal nyesel ikut gue." Raga tertawa sombong dengan tangan bersidekap.Raga membawa Rea ke sebuah danau buatan yang untunglah cukup sepi. Cowok itu ingin menunjukkan salah satu hobinya sejak kecil, menggambar.
Arsan tersenyum menjumpai sosok Rea yang masih sibuk memaksakan matanya untuk terus terjaga. Sebotol susu dia pegang dengan erat dan berjalan menghampiri gadis itu."Oops! Untung kepegang ini kepala. Selamat pagi, Edrea. Nih, susu," sapa Arsan sambil menyanggah kepala Rea yang nyaris terantuk tembok karena hampir tertidur.Rea langsung duduk dengan tegak saat Arsan tiba-tiba muncul di sampingnya. Cowok itu tersenyum kecil sambil menyodorkan susu yang sudah siap minum."Nggak dingin," keluh Rea sambil meminum susu tersebut.Arsan duduk di sebelahnya, memeriksa kembali surat rekomendasi dari kampus atas nama dirinya dan Rea. "Masih pagi nggak usah minum es. Tidur jam berapa? Ngantuk banget kayaknya.""Gue langsung tidur setelah lo nelpon gue, tapi sialan banget muka lo muncul di mimpi gue, bikin males tidur.""What? Seriusan?" Arsan kaget, kemudian tertawa terbahak.
Arsan dan Rea keluar dari ruang Pak Siswoyo—penanggung jawab BEM—dengan wajah lega bukan main. Keduanya baru selesai laporan tentang seminar kenegaraan kemarin dengan sukses. Tinggal lanjut ke agenda selanjutnya yaitu ulang tahun kampus yang semakin dekat."Rapat sekarang?" tanya Rea sambil melirik Arsan."Satu jam lagi, deh, gue ngambil napas dulu."Rea mengangguk, setuju dengan Arsan. Tidak mudah berhadapan dengan Pak Sis saat sedang laporan agenda. Beliau orang yang perfeksionis dan mau semua rincian jelas di matanya. Kalau bukan orang yang cakap, sudah lewat dibabat beliau.Sesampainya di markas, Arsan langsung mengambil posisi berbaring di sebelah Marham yang asyik main PUBG dengan yang lain. Suara-suara berisik ditambah umpatan-umpatan kasar khas anak gamers yang lagi mabar langsung masuk ke telinga suci Rea. Gadis itu mendengus."Itu mulut kotor semua kayaknya. Segala jenis binatang diab
"Lo ngerasa aneh nggak, sih?" Ara menyikut sahabatnya yang sedang menikmati semangkuk bakso dengan hikmat."Apaan?""Itu, mantan lo, dari tadi mukanya cerah banget. Nggak biasanya juga dia tebar senyum. Hiii~ merinding gue."Rea melirik Kavi yang tengah mengobrol dengan teman sekelasnya di meja depan. Bola matanya bergulir lagi ke makanannya.Segitu senengnya, padahal udah lewat seminggu yang lalu, batin Rea. Bibirnya berkedut menahan senyum."Oh! Jangan-jangan abis jadian sama adek tingkat yang kemarin. Siapa namanya? Ka ... Kani? Kina?"Uhukk!"A ....""Eh, Re, lo kenapa? Duh!" Ara menyodorkan segelas air putih padanya sambil menepuk-nepuk punggung Rea. "Pelan-pelan minumnya.""Uhukk.. uhukk." Rea memejamkan matanya erat-erat. Wajahnya juga memerah.Rea meraup udara dengan rakus saat be
Rasanya Rea mimpi indah tadi malam, terlihat dari bagaimana wajah ayu itu berseri sepagi ini. Ayahnya sampai tak lepas menatap putri cantiknya itu."Ayah merinding, Re," ungkap Ardi saat Rea duduk di depannya. Mereka sedang sarapan pagi ini."Oh iya? Kayaknya Ayah perlu dirukiah.""Re, kok gitu?" rengek Ardi. Ya, pria dewasa yang maaih suka merengek ya hanya Ardi."Kenapa, Yah? Katanya merinding, ya berarti Ayah lagi dikelilingi mahluk ghaib, harus diusir, kan?""Hih, dasar kanebo kering, kaku kayak plafon rumah.""Hm, ya, ya." Rea cuek-cuek saja. Karena bukan hanya sekali Ardi bertingkah seperti remaja baru puber."Rea mau ke toko buku nanti siang.""Sendiri? Sama siapa?"Rea tak langsung menjawab, seperti sudah tahu respons ayahnya akan seperti apa."Re, Ayah nunggu, lho.""Kavi."
Kampus Suryadharma sedang sibuk mempersiapkan acara donor darah yang rutin diadakan setiap tiga bulan sekali. Bekerja sama dengan PMI setempat, acara ini akan diikuti serentak di seluruh fakultas kampus. Para dosen pun ikut mendonorkan darahnya."Edrea," panggil salah seorang anggota BEM F dari fakultas kedokteran."Yo, Ran, gimana persiapan?""Udah mateng, tinggal briefing aja. Kalian mau buat dokumentasi, kan?""Iya, jadi, siapa yang bakal ngeliput bareng gue?""Karena ini bukan acara khusus orang kampus kita, gue undang anak kampus lain buat ngeliput. Anaknya pernah ke sini, kok. Dia bilang mau sukarela-ah, itu orangnya," tunjuk Rani. Rea berbalik dan membulatkan matanya."Itu?" Rea mencoba meyakinkan.Seorang laki-laki berjalan dengan senyum manisnya menuju tempat Rea dan Rani berdiri. Senyum yang sangat familiar."Halo, Ran, Re, apa kabar?""Baik, lo sendiri gimana, Ga? Maaf, ya, gue agak sibuk jadi belum bisa konta