Share

Hidden Marriage (Suamiku Dosen Killer)
Hidden Marriage (Suamiku Dosen Killer)
Penulis: Yulanda

Bab 1 : Awal Mula Perjodohan

“Kita putus!” Aliandra Cessa menunduk dalam, tanpa sanggup menatap layar smartphone-nya yang saat ini sedang melakukan sambungan video call dengan sang kekasih yang kini resmi menjadi mantan kekasihnya. Setelah melihat dengan mata kepalanya sendiri, barulah ia yakin kalau kekasihnya itu benar-benar menduakannya. Dan parahnya lagi, laki-laki itu berselingkuh dengan Amanda—sahabatnya sendiri. Astaga!

“A—apa? Pu—putus?” tanya Aldo Prayoga—kekasih Alia, dengan jantung yang berdebar hebat. Dia berharap kalau kekasihnya itu sedang melakukan prank saja terhadap dirinya mengingat hari itu adalah anniversary mereka yang ketiga.

Alia menganggukkan kepala mantap. Ia beranikan menatap wajah sang kekasih—yang kini statusnya sudah jadi mantan kekasih. Ia benar-benar tidak menyangka kekasih dan sahabatnya bermain di belakang dirinya. Jika bukan melihat dengan matanya sendiri, mungkin ia tidak akan pernah percaya dan akan terus mengelak ketika beberapa temannya sering memberitahu perselingkuhan mereka. Dengan tegas ia yakin kalau kekasih yang telah dipacarinya selama tiga tahun sejak mereka masih duduk di Sekolah Menengah Atas tidak akan mungkin menduakannya.

“Iya ... tapi kenapa, sayang?” Aldo mengerutkan keningnya. Entah apa yang merasuki Alia, tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba dirinya meminta putus.

“Ka—kamu … hiks … selingkuh … hiks ….” Air mata mulai mengalir dari pelupuk mata Alia begitu saja tanpa bisa ia cegah. “Dan parahnya, kamu tega selingkuh dengan sahabat aku sendiri!” sungutnya kesal dengan air mata yang masih mengalir di pipinya. Ia menyeka air matanya dengan kasar. Sungguh, ia tidak ingin terlihat lemah di depan mantan kekasihnya itu.

“Selingkuh?” Aldo menelan salivanya, “kapan aku selingkuh dari kamu, Al?” tanya Aldo berusaha mengelak. Sekian detik ia menganga, tidak menyangka Alia mencium perselingkuhan mereka yang sudah terjalin hampir satu tahun lamanya. Ternyata sepintar-pintarnya menyimpan bangkai, pasti akan tercium juga bau busuknya. Bukankah pepatah mengatakan seperti itu?

Alia diam membisu. Ia sudah tidak ingin berdebat dengan Aldo lagi. Bahkan untuk melihat wajahnya di kemudian hari saja ia sudah tidak sudi. Sebegitu bencinya dia kepada Aldo dan kepada Amanda—sahabatnya sendiri yang sudah ia anggap seperti saudara kandung. Mengingat dirinya adalah anak tunggal.

“Maaf…” ujar Aldo, hanya kata itu yang sanggup keluar dari mulut Aldo.

“Aku udah maafin kalian, kok. Tapi aku udah nggak bisa lanjutin hubungan kita lagi. Silakan kamu lanjutin hubungan kamu dengan Amanda ...” putus Alia sambil sesegukkan.

“Al, ini semua nggak seperti yang kamu bayangin. Aku bisa jelasin semuanya!” ujar Aldo dengan suara bergetar. Dia berusaha menahan air matanya setelah tau bahwa sang pujaan hati telah mencium perselingkuhannya. Sebenarnya bukan akhir yang seperti ini yang ia harapkan dengan hubungannya bersama Alia. Sungguh, ia benar-benar sangat mencintai Alia. Aldo memacari Amanda hanya karena sebuah taruhan bodoh bersama teman-teman nongkrongnya. Awalnya ia merasa tertantang saat salah seorang temannya menantang dirinya untuk menggoda sahabat dari pacarnya sendiri. Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Seperti dayung bersambut, Amanda merespon perhatian yang diberikan Aldo hingga akhirnya mereka berdua memutuskan untuk berpacaran. Tentu saja tanpa diketahui oleh Alia. Mereka bermain apik dibelakangnya.

Hening beberapa saat, Aldo masih menatap Alia yang kini sedang menunduk itu.

“Maaf, Do … aku nggak bisa menerima sebuah pengkhianatan.” Alia mencoba menahan isakannya yang terus mencoba untuk keluar lagi. Jauh di dasar hatinya, ingin sekali Alia memaafkan Aldo dan menganggap hubungannya dengan Aldo akan baik-baik saja setelah memberikannya kesempatan kedua. Namun ia terlalu takut Aldo akan mengulangi perbuatan itu lagi setelah mereka kembali bersama.

Aldo tidak menyangka, Alia akan mengetahui perselingkuhannya sebelum ia memutuskan Amanda. Sebenarnya sudah lama ia berniat mengakhiri hubungan terlarang itu, namun hatinya luluh setiap kali Amanda merengek tidak ingin putus dengannya. Bahkan Amanda rela menjadi yang kedua asalkan Aldo tetap bersamanya.

Hari-hari yang telah Alia dan Aldo lewati bersama selama tiga tahun mereka duduk di bangku SMA ternyata hanya sampai di sini saja. Jalinan kasih yang berjalan antara mereka, sepertinya harus kandas saat ini juga. Julukan double A yang melekat pada diri mereka sudah tidak ada lagi. Padahal dia masih ingat, bagaimana Alia dengan malu-malu menerima cinta dari teman satu sekolah dengannya itu. Kelas mereka bersebelahan, sehingga benih-benih cinta yang tumbuh karena seringnya mereka bertemu pada saat jam istirahat atau pun pulang sekolah, menimbulkan ketertarikan satu sama lain. Tapi kini, sang pujaan hati malah membuatnya patah hati. Memang ia akui, semua ini terjadi karena ulahnya yang dengan tega bermain api.

“Maafin aku, Al. Aku akan putusin Amanda dan setelah itu hubungan kita akan berjalan seperti dulu, yang hanya ada aku dan kamu. Aku mohon …” mohon Aldo lirih. Entah kata-kata apa lagi yang harus ia ucapkan agar Alia tidak memutuskan hubungan mereka.

“Maaf, Do. Aku nggak bisa!” Setelah mengatakan hal itu, Alia memutuskan sambungan videonya sepihak. Ia tak sanggup berlama-lama berbicara dengan kekasih yang sekarang telah menjadi mantan kekasih bangkenya itu.

Alia menangis sejadi-jadinya di dalam kamar, namun dengan menutup mulutnya menggunakan bantal agar papih atau mamihnya tidak mendengar isak tangisnya. Hatinya pun hancur setelah mengetahui perselingkuhan dua orang yang sangat ia sayangi dan percayai.

***

Alia baru saja menjejakkan kakinya di rumah. Hari ini adalah hari pertamanya kuliah di sebuah kampus negeri ternama di kota Bandung. Satu minggu sebelum memulai perkuliahan, mahasiswa baru diwajibkan untuk mengikuti MPK, yaitu masa perkenalan kampus.

Pagi-pagi sekali, Alia sudah rapih dengan pakaian yang harus dipakainya hari ini, kemeja putih dan bawahan hitam—boleh rok ataupun celana panjang. Rambutnya harus dikuncir dua, kiri dan kanan dengan ikatan warna berbeda di setiap sisinya.

Beruntung, satu hari telah ia lewati tanpa ada halangan berarti. MPK hari ini hanya perkenalan para senior saja. Besok di hari kedua, mungkin akan lebih berat lagi dari hari ini.

Alia mendudukkan tubuhnya di sofa ruang tamu sambil melepaskan satu persatu ikatan di rambutnya.

“Ini jus jeruk kesukaan, Non.” Bi Ijah—seorang asisten rumah tangga berusia empat puluhan, menaruh segelas jus jeruk kesukaan anak majikannya. Ia sudah hapal kalau setiap pulang dari mana saja, Alia pasti meminta dibuatkan minuman kesukaannya itu. Maka tanpa disuruh, dirinya sudah membuatkannya.

“Makasih, Bi.” Alia mengambil gelas jus jeruk dan langsung meneguknya hingga menyisakan setengah gelas. “Bibi emang the best, paling tau yang aku mau,” katanya sambil mengacungkan kedua jempolnya setelah menaruh gelas itu kembali di atas meja.

“Bibi gitu, loh!” seloroh Bi Ijah sambil tertawa kecil. Bergaul dengan anak majikannya, membuat dirinya sedikit tahu bahasa gaul yang sekarang beredar di luar sana.

Alia tertawa melihat tingkah pembantunya itu.

“Bibi ke dapur lagi ya, Non. Bibi mau nyiapin makan siang untuk Non Alia yang tadi udah dimasak ibu,” ujar bi Ijah

“Iya, Bi. Nanti aku ke ruang makan,” sahut Alia.

“Ahsiaaappp,” kata bi Ijah mengacungkan jempol kanannya, kemudian berlalu pergi ke dapur.

Tingkah bi Ijah membuat Alia tergelak. “Dasar, masa muda kurang gaul!” gumamnya pelan sambil geleng-geleng kepala.

“Al ….” Sebuah suara menginterupsinya.

Alia menengok, “Hai, Mih,” sapanya pada sang mamih—Melati Ramalia.

“Dari kapan kamu sampai rumah, Al?” tanya Melati saat melihat sang putri sudah duduk santai di ruang tamu dengan ditemani segelas jus jeruk di hadapannya.

“Beberapa menit yang lalu lah, Mih,” jawab Alia.

“Kenapa nggak minta jemput pak Tejo?” tanya Melati lagi saat tahu Alia tidak menghubunginya sama sekali untuk minta dijemput karena dia tidak membawa mobilnya tadi pagi dengan alasan takut terjebak macet di hari pertama MPK sehingga lebih memilih naik ojek online.

“Tadi acara di kampusnya sebentar, Mih. Cuma perkenalan para senior aja. Alia kelamaan kalau harus nunggu pak Tejo jemput,” jelas Alia.

“Trus, kamu pulang naik apa?”

“Ojek online lagi lah, Mih.”

“Kenapa nggak naik taksi?” tanya Melati, matanya memicing ke arah Alia. Sebenarnya ia tidak suka melihat anak semata wayangnya naik ojeg karena menurut dirinya itu kurang safety jika terjadi kecelakaan.

“Kelamaan kalau harus nunggu taksi lewat depan kampus, Mamih kusayang,” ujar Alia, ia meneguk jus jeruknya lagi hingga habis tak bersisa.

“Yaudah … kita makan, yuk! Tadi Mamih udah masakin makanan kesukaan kamu,” kata Melati sambil menggandeng tangan Alia menuju ruang makan.

Di meja makan, sudah tersedia beraneka ragam masakan kesukaannya. Ada udang balado, capcay, ayam goreng beserta tahu tempe, dan tak lupa sambal korek. Di atas meja juga always ada orange juice. Entah kenapa, Alya memang sangat menyukai perpaduan rasa asam dan manis dari minuman itu. Apalagi diminum saat tengah bolong seperti sekarang ini.

Yummy! Hanya dengan melihat masakannya saja sudah membuat air liur Alia hampir menetes.

“Wah ... enak banget, Mih!” ucap Alia saat satu sendok nasi beserta udang balado berhasil masuk ke mulutnya. Ia berbicara tanpa menelan makanannya terlebih dahulu.

“Kalau makan, jangan sambil ngomong. Nanti keselek!” ujar Melati mengingatkan, “ayo makan yang banyak,” lanjutnya lagi. Setelah perut Alia kenyang, ada hal penting yang ingin ia sampaikan. Hal yang menyangkut masa depan putrinya itu.

Dengan lahap, Alia memakan semua masakan hasil mamihnya yang menurut dia tidak ada duanya di dunia. Badannya memang kecil, tapi jangan tanyakan porsi makannya yang sanggup menghabiskan tiga piring nasi sekaligus.

Alia bersendawa. “Maaf, Mih. Alia nggak sengaja,” ucapnya saat mulutnya dengan lancang mengeluarkan bunyi tidak sopan itu. Alia nyengir kuda.

“Al,” ucap sang mamih menatapnya dengan tatapan serius, “ada hal penting yang ingin Mamih sampaikan sama kamu,” ujarnya lagi.

“Ada apa, Mih? ‘Kok tiba-tiba jadi horror begini,” kata Alia, ia memicingkan kedua matanya menatap sang mamih dengan tatapan heran.

“Kamu mau nggak menikah dalam waktu dekat?” tanya Melati hati-hati, ia tidak ingin putrinya itu shock saat tahu akan menikah dalam waktu dua bulan kedepan.

"Menikah?" Alia yang sedang meneguk jus jeruknya hampir saja menyemburkan cairan yang sudah masuk ke dalam mulutnya karena kaget saat sang mamih tiba-tiba menanyakan soal pernikahan kepadanya. Ditatapnya lekat-lekat mata sang mamih yang tengah duduk dihadapannya, mencari apa maksud dari pertanyaan tadi. “Menikah sama siapa, Mih?” tanyanya lagi heran. Pasalnya ‘kan ia baru saja putus dengan Aldo karena perselingkuhannya yang terbongkar. Jadi laki-laki mana yang akan menikahinya?

“Kalau papih udah punya calon untuk kamu, kamu mau nggak, Al?”

Seketika Alia tertawa kencang. "Mamih pasti bercanda, kan?" Alia mengambil kembali gelas berisi jus jeruk yang sudah ia letakkan tadi di atas meja lalu meneguknya sampai habis.

"Mamih serius, Al," jawab Melati dengan nada seriusnya. Jangan lupa, wajahnya pun terlihat sangat serius.

Alia mengangkat kedua alisnya, kali ini ia tidak bisa tertawa karena raut wajah mamihnya yang terlihat begitu serius seakan perkataannya tadi bukan sebuah lelucon.

"Alia ‘kan baru lulus SMA, Mih ... Alia belum bisa ngurusin orang lain. Ngurusin diri sendiri aja belum becus! Mamih ‘kan tau gimana sembrononya Alia. Alia suka lupa naruh barang di mana-mana. Apa jadinya kalau Alia harus ngurusin orang lain, Mih?" terang Alia panjang lebar sambil menaruh gelas jus jeruk yang sudah habis ia minum.

Semua yang diucapkan oleh putrinya itu memang benar. Di usianya yang sudah hampir menginjak dua puluh tahun, putrinya itu terlalu manja dan tidak ada tanggung jawabnya sama sekali terhadap dirinya sendiri atau pun barang-barang miliknya. Alia selalu menyimpan barang-barangnya di sembarangan tempat sehingga ia kesusahan saat barang yang ia butuhkan tidak berada di tempatnya.

Awalnya Melati menolak keras saat Bagas Pradipta—papih Alia, mengutarakan tentang perjodohan yang dilakukannya bersama teman bisnisnya. Namun Melati tidak bisa menentang saat Bagas menjelaskan maksud dari perjodohan itu agar membuat Alia mandiri dan dewasa. Siapa tahu dengan menikah di usia muda membuat Alia bisa bertanggung jawab terhadap orang lain, khususnya untuk dirinya sendiri.

Melati tersenyum hangat. "Karena kami menyayangi kamu, Al. Kami ingin yang terbaik untuk kamu. Kami ingin kamu mendapatkan suami yang bisa membimbing kamu, membuat kamu jadi dewasa, dan menyayangi kamu tentunya," lirih sang mamih dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

“Mamih, jangan nangis.” Alia beranjak dari duduknya lalu berhambur memeluk sang mamih dari samping. “Maafin Alia kalau selalu ngerepotin, ya.”

Melati mengusap rambut panjang Alia dengan sayang. “Kamu nggak pernah bikin Mamih sama papih repot ‘kok, sayang. Kamu adalah anugerah terbesar yang Tuhan kasih buat kami,” ujarnya kemudian. Ia mengusap air mata yang mulai menganak sungai di pelupuk matanya.

Alia lahir saat usia Melati tidak muda lagi, yaitu 35 tahun. Ia lahir setelah usia pernikahan Melati dan Bagas menginjak tahun ke-sepuluh. Sudah berbagai macam usaha yang mereka lakukan agar segera mendapatkan momongan. Mulai dari meminum berbagai macam obat penyubur kandungan dengan konsultasi ke berbagai dokter tentu saja, melakukan cek kesehatan secara rutin dan berkala, jalani pola hidup sehat dengan mengkonsumsi makanan bernutrisi, mengkonsumsi suplemen atau makanan yang mengandung asam folat.

Setelah berbagai upaya sudah dilakukan agar segera hamil namun Tuhan belum juga memberi mereka momongan, akhirnya upaya terakhir yang mereka lakukan adalah mendapatkan bayi melalui proses bayi tabung. Sudah hampir dua tahun mereka melakukan proses bayi tabung, namun belum juga berhasil. Di tahun ke sepuluh pernikahan mereka, Tuhan mengabulkan doa-doa mereka. Proses bayi tabung itu berhasil setelah mereka melakukannya tiga kali dan melahirkan bayi cantik nan menggemaskan dengan bobot 3.7 kg dan panjang 51 cm.

"Mih, Alia mau menikah asalkan itu bisa bikin Mamih dan papih bahagia,” ucap Alia, masih dalam pelukan sang mamih.

Melati melerai pelukan mereka lalu menatap wajah putri semata wayangnya itu dengan tatapan lembut, “Kalau Alia nggak mau, nggak apa-apa. Nanti Mamih bilang sama papih untuk ngebatalin perjodohan itu,” ujarnya lagi, diusapnya kepala Alia dengan sayang.

Alia buru-buru menggeleng. “Alia mau, Mih. Biar Mamih nggak usah khawatirin Alia lagi,” sahut Alia mantap. Biarlah dirinya berkorban asalkan mamih dan papihnya hidup tenang tanpa memikirkan dirinya lagi.

“Makasih ya, sayang. Mamih dan papih sayang Alia,” kata Melati, memeluk putrinya lagi.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status