"Mas, kamu di mana? Aku udah nungguin satu jam nih!" umpat Bianca lewat sambungan telepon.
"Iya, Sayang. Bentar. Ini masih narik, tadi pas abis nganterin penumpang, aku udah mau balik, eh di stop sama penumpang. Ya udah aku ambil sewanya, lumayan 'kan nambah duitnya.""Ya deh, awas kalau kamu boong ya, Mas.""Tenang, Sayang. Mas nggak akan pernah berbohong semenjak menjadi suami kamu."Bianca mematikan sambungan telepon dan lebih memilih untuk menonton televisi sembari menunggu Agung pulang ke rumah. Bianca berharap Agung benar berubah, setelah menikah dengannya. Meskipun suara sumbang sering Bianca dengar tentang Agung, tapi dia lebih menganggap itu angin lalu saja. Walaupun awalnya, tidak mudah bagi Bianca mengambil keputusan yang berat saat itu, saat diri ini lebih memilih bersama dengan suami orang ketimbang lelaki lajang. Hatinya seperti sudah terikat erat dengan Agung.Saat menonton televisi, Bianca tampak melamun teringat kenangan saat awal pertama bertemu dengan Agung."Mas, ojek 'kan?" panggilnya ketika melihat lelaki bertubuh ideal sedang berenti di pinggir jalan."Iya, Mbak. Mau ke mana?" tanyanya. Mata mereka beradu pandang, bola matanya yang kecoklatan di tambah dengan senyumnya yang memukau membuat jantung Bianca berdetak tidak karuan."Ke kampung dalam, Mas. Bisa?" Bianca yang baru saja pulang dari swalayan yang ada di kota. Di kampungnya ternyata masih berlaku ojek pengkolan, ojek online tidak boleh memasuki beberapa kampung di kabupaten yang dia tinggali."Bisa, Mbak. Nih, dipakai dulu helmnya. Nanti biar selamat sampai rumah, sama biar kamu Mbak-nya nggak berantakan. Apalagi rambut Mbak bagus dan wangi," pujinya. Aku tersenyum malu merespon ucapannya itu.Dia begitu pelan mengendarai sepeda motornya, Bianca dibuat seperti menikmati keindahan kampung halaman yang penuh dengan persawahan ini."Mbak, mbak warga baru kampung dalam, ya?" tanyanya memecahkan keheningan suasana perjalanan."Enggak, kok, Pak. Saya baru pulang dari rantau dua hari ini," jawab Bianca seadanya."Duh, jangan dipanggil pak, dong. Saya ketuaan jadinya, apa saya keliatan udah tua, ya? Panggi Mas Agung aja, biar lebih akrab.""Nggak tua, kok, Pak, eh, Mas.""Yang bener, Mbak. Saya seneng lho dipuji begini sama perempuan cantik kayak Mbak, soalnya istri saya jarang muji.""Haa? Mas udah nikah, ya. Aku pikir tadi belum nikah.""Udah, Mbak. Udah nikah, punya anak tiga. Paling gede kelas 3 SMA, yang tengah kelas 2 SMA, dan yang kecil masih SD."Wah, udah gede-gede ya, anaknya, Mas. Tapi kok, nggak keliatan ya, Mas-nya awet muda juga ya. Berarti sekarang udah lebih bahagia dong mas rumah tangganya, apalagi anak udah pada besar-besar, bisa bulan madu lagi.""Bahagia apanya, Mbak. Saya malah mau cerai, nggak kuat, Mbak. Istri saya boros parah. Saya capek ngojek, dia malah santai dan suka hambur-hamburin uang. Harusnya kan lebih hemat, bisa nabung buat pendidikan anak.""Haa ... parah juga ya, Mas. Semoga selalu dilanggengkan rumah tangganya, Mas. Meskipun ada badai yang mampir.""Nggak usah bahas rumah tangga saya lah, Mbak. Bikin pusing. Ngomong-ngomong suaminya mana, Mbak? Kok nggak dijemput sama suaminya?""Hmm ... saya belum punya suami, Mas."Entah dari mana aku selancar ini mengobrol dengan Mas Agung, apalagi merespon soal rumah tangganya.Di tengah lamunan panjang, tiba-tiba ..."Baaaaahh ... lamunin apa hayoo.""Ih, apaan sih, Mas. Ngagetin aja, pake mukul pundak segala, sakit tau.""Duh ... duh ... sini, sini Mas obatin biar nggak sakit, lagi. Maaf, ya, Sayang. Lagian kamu juga lagi ngelamunin apaan? Mas panggil-panggil daritadi nggak nyahut-nyahut.""Nggak ngelamunin apa-apa, kok, Mas. Udah ah, yuk ke rumah Umi sama Abah," ajak Bianca.Bianca dan Agung pun menaiki motor menuju rumah Umi dan Abah yang letaknya di kampung sebelah."Assalamu'alaikum." Agung dan Bianca serentak mengucap salam.Sudah 10 menit berdiri di teras rumah, tak juga ada sahutan dari dalam, sedangkan televisi tampak menyala di ruang tamu. Bianca tahu karena gorden rumah Umi belum tertutup, jadi apapun yang ada di dalam rumah terlihat jelas dari kaca depan."Mas, kok nggak ada yang nyahut, ya. Padahal televisinya, hidup.""Ya, 'kan, Mas udah bilang, Umi dan Abah itu belum restuin pernikahan kita. Kamu masih ngotot ngajak ke sini.""Ya, aku masih berharap Umi udah beri restu sebelum kita ke perantauan, Mas.""Assalamu'alaikum, Umi ... Umi ..." Bianca kembali memanggil Umi sembari mengetuk pintu.Dan, tak lama kemudian terdengar derap langkah dari dalam rumah. Jantung Bianca mulai berdetak tidak karuan, seketika tubuh ini mengeluarkan peluh dingin."Itu pasti Umi, kamu yang tenang, semoga aja Umi sudah membuka pintu restu untuk kita," bisik Agung.Sekalipun begitu, Bianca tidak merasa tenang sedikitpun.Kret!"Wa'alaikumsalam, ngapain kalian ke sini!" bentakan Umi Nelly tidak mampu membuat kedua mata Bianca menatap ke arah wanita sepuh yang berumur 65 tahun itu. Nyalinya seketika menciut, semangat yang sempat berkorbar runtuh perlahan."Kita cuma mau pamit, Umi," jawab Agung sembari membuang rokok yang ada di tangannya."Buat apa kalian pamit? Memangnya kamu nggak bilang sama Bianca, Gung. Sampai kapanpun Umi dan Abah nggak bakalan restuin pernikahan kalian. Dan kamu, saya tidak akan pernah mengakui kamu sebagai menantu. Menantu saya cuma satu, Maisaroh.""Ta-tapi, U-umi ...""Nggak perlu nyebut nama, Maisaroh deh, Mi. Dulu Umi juga nggak ngerestui aku dengan Maisaroh, 'kan? Terus kenapa sekarang ngaku kalau menantu Umi cuma Maisaroh?" sahut Agung. Kenyataannya memang dulu Umi ini tidak begitu suka dengan Maisaroh, sikapnya selalu dingin ketika bertemu. Sering membanting pintu ketika mendapati Maisaroh makan di larut malam. Entah kenapa sekarang dia mengatakan seperti itu, setelah t
"Mas, itu kenapa pada ramai-ramai di depan rumah?" bisikku pada Mas Agung yang memperlambat jalan motornya. Entah berapa orang yang bersorak di depan rumahku. Sekilas Bianca melihat pintu terbuka lebar, tapi dirinya tak melihat Emak di antara kerumunan itu."Nggak tahu, Sayang." "Pinggirin dulu motornya, Mas."Setelah Agung memarkir motor sembarang tempat, mereka berjalan mendekat ke kerumunan warga. Belum sempat Bianca bertanya ada persoalan apa sampai ramai begini di depan rumahnya, seorang lelaki bertubuh kekar lagi tinggi langsung mengerang."Hei ... Bianca, enyaplah kamu dari kampung ini. Kami tidak sudi punya warga perebut suami orang tinggal di sini!" cecarnya."Jaga dikit omongan, Anda. Bianca tidak merebut saya dari siapapun. Kalian, kalau tidak tahu akar permasalahannya jangan asal nyablak aja," sahut Agung tak terima. Rahangnya mengeras menahan emosi ketika Bianca dijuluki perebut suami orang.Bianca malah ketakutan. Bagaimana kalau warga menyeret kami berdua keliling kamp
Telepon Maisaroh yang tergelatak di atas meja tamu berdering. Wanita berusia 50 tahun ini pun mengangkat panggilan itu, menghentikan aktivitasnya yang sedang memeriksa hasil ujian siswa. Tak perlu terkejut, Maisaroh memang lebih tua 5 tahun dari suaminya, Agung. "Halo, Tri. Assalamu'alaikum, ada apa nelpon?" tanya Maisaroh lalu duduk di kursi tamu yang sofanya sudah banyak robek."Wa'alaikumsalam. Uni, lagi apa? Sutri ada informasi baru soal Bang Agung.""Lagi periksa ujian siswa, kenapa, Tri?" tanya Maisaroh heran. "Informasi apa lagi?""Iya, Uni. Tau tidak, rupanya Umi sama Abah belum kasih restu ke Bang Agung sama istri barunya itu. Dan, parahnya lagi, tadi sore rumah madu Uni itu di datangi para warga. Mereka mau usir dan nyeret keliling kampung, tapi urung soalnya mak-nya tu perempuan memohon dan sujud depan para warga, minta anaknya jangan digituin.""Terus?" tanya Maisaroh dengan rasa penasaran maksimal."Ya itu, terbebaslah mereka, Uni. Katanya besok bakalan pergi ke Batam. B
"Mak, masuk!" hardik Bianca dengan mata yang begitu tajam.Emosinya benar-benar tidak bisa ditahan lagi. Apalagi melihat Emak bersujud seperti itu. Bukankah itu artinya dia yang merendahkan anaknya secara tidak langsung di depan warga. Bianca tidak terima."Dan, kamu, Mas, pindahin motornya ke teras rumah!" Mas Agung manut saja, dia lebih memilih menyalakan kriket lalu membakar rokoknya ketimbang menentang ucapan Bianca.Sungguh terlihat bukan, Mas Agung sangat mencintai Bianca, sikap dia yang tidak terlalu banyak tingkah di depan Bianca, membuat Bianca tidak percaya dengan apa yang orang katakan tentang dirinya. Emak tampak berjalan gontai memasuki rumah. Memang akhir-akhir ini jalannya agak berbeda, katanya kaki sebelah kiri sakit. Tapi Bianca tidak peduli, namanya juga sudah sepuh."Duduk, Mak!" titah Bianca dengan suara lantang, ketika melihat Emak sudah berada di ambang pintu. Tadi, Bianca memang duluan masuk rumah. Emak pun sama tidak menjawab tapi mengikuti perintah anaknya. T
"Mas, kamu di mana? Udah jam segini masih belum pulang juga?" Tampak Bianca mulai emosi saat menelpon Agung karena belum juga pulang apalagi sudah menunjukkan pukul 23.00 malam. Perempuan berbadan idealis itu bak setrikaan mondar-mandir di kamar."Masih di pengkolan, Sayang." Terdengar santai Agung menjawab."Pengkolan? Mana ada jam segini di pengkolan, Mas? Jangan ngada-ngada kamu! Besok kita berangkat pagi ke Padangnya."Jarak desa kampung halaman Bianca menuju Padang atau lebih tepatnya bandara harus menempuh perjalanan kurang lebih 4 jam perjalanan, itupun kalau tidak macet. Jadi wajar saja perempuan berambut lurus sepunggung ini emosi dengan suaminya. Takut telat bangun parahnya takut nanti bakalan ketinggalan pesawat."Iya, Sayang. Mas pulang bentar lagi, ini mau nolongin teman yang abis kecelakaan dulu bentar.""Alasan apalagi sih, Mas. Siapa lagi yang kecelakaan?" tanya Bianca dengan nada mulai meninggi."Si Tarno, tadi ke senggol anak muda yang ngebut di jalanan. Nih kakinya
-Menikah dengan jalan baik-baik saja Allah sudah mendatangkan ujian. Apalagi menikahi dengan cara yang tidak baik, sudah pasti Allah memberi mudharat!- DNM***Semua rencana Bianca hari ini berantakan. Mak Itun yang tadinya di dalam kamar, akhirnya keluar menemui sang anak yang masih terduduk lesu di ruang tamu. "Bianca ... minta maaflah sama Allah, supaya jalanmu diridhoi. Ini teguran dari Allah, Nak." Mak Itun pun mengambil posisi duduk di seberang Bianca, ingin rasanya dia mengelus punggung sang anak, tapi rasa takutnya lebih besar. Dia juga tidak ingin membuay Bianca semakin emosi, nanti malah mengundang warga sekitar rumah."Mak! Ini semua salah, Mak. Mak 'kan yang nggak ridho aku nikah sama Mas Agung, makanya sial mulu akunya. Coba Mak ridho, hidup aku pasti nggak seribet ini.""Bagaimana Mak ridho, Nak. Kamu mengambil punya orang lain. Dan, terlebih Agung bukan --,""Bukan apa, Mak? Mak tahu apa tentang saya?" bentak Agung yang tiba-tiba keluar dari dapur, lelaki berambut ikal
Karena takut terlambat Bianca mengambil uang yang ada di dalam tasnya, laku menaruh uang pecahan lima puluh ribu di atas meja kecil yang ada di dalam kamar."Aku pamit, Mas," ucap Bianca pelan, dia langsung keluar dari kamar tanpa menyalami suaminya. Agung pun tidak mempermasalahkan hal itu, dia lebih memilih tidur lagi melanjutkan kantuk yang belum tuntas.***Ponsel Maisaroh bergetar di dalam tas lusuhnya, saat dia baru saja pulang sekolah."Halo, assalamu'alaikum," sahut Maisaroh saat menerima panggilan dari nomor yang tidak ada dalam daftar kontaknya. Bukan nomor handphone melainkan nomor kantor."Betul ini dengan ibu Maisaroh?""Iya, benar. Ada apa, ya, Pak?""Ini, Bu. Kami ingin menagih pembayaran pinjaman yang dilakukan sama Pak Agung.""Pembayaran pinjaman? Maksudnya, Pak?""Ibu istrinya Pak Agung 'kan?" tanya sang collector."Iya, saya istrinya. Tapi saya tidak tahu-menahu soal pembayaran pinjaman yang Bapak maksud.""Begini, Bu. Sekitar seminggu lalu, Bapak Agung menggadaika
"Udah, ya, Fe. Aku lagi buru-buru, sorry!"Bianca meninggalkan Fera yang berdiri mematung, berjalan cepat keluar dari area pabrik, lalu menunggu angkot untuk pulang. Andai saja dia bisa mengendarai motor pastilah dengan motor dirinya pergi kerjanya.Setelah menempuh perjalanan pulang selama tiga puluh menit akhirnya Bianca sampai di kontrakan. Dia mengontrak di rumah petak yang terdiri dari beberapa unit di jejer berbentuk huruf U.Saat memasuki pekarangan rumah, Bianca melihat Mas Agung berada di teras rumah Anggia, gadis yang nge-kost persis di depan rumahnya."Mas!" panggil Bianca tak suka."Ngapain juga dia malam-malam begini nongkrong di rumah si Anggia," umpat Bianca membatin.Mas Agung tampak salah tingkah, lalu bangkit dari duduknya, mematikan rokok dan berjalan mendekati Bianca"Eh, kamu udah, pulang, kok nggak ngabarin, Mas?" tanyanya lalu merangkul tubuh Bianca, tapi Bianca mengelak."Kenapa? Biar aku nggak mergoki kamu main ke rumah tuh perempuan. Kamu nggak bisa liat yang