Share

Disuruh Cerai

"Mas, hari ini kita jadi 'kan pergi pamit sama Umi dan Abah kamu?"

"Jadi, tapi ... apa kamu yakin mau pamit sama Umi dan Abah. Mereka 'kan udah usir Mas dari rumah. Dan, kamu tahu sendiri mereka nggak merestui pernikahan kita."

"Ya, itu 'kan pas awal kita mau minta izin nikah, Mas. Kali aja sekarang udah berubah pikiran."

"Terserah, kamu. Mas mah ngikut aja."

"Yaudah, nanti kita pergi sekitar jam 2, ya. Kamu ngojek dulu, sana. Lumayan buat tambah uang jajan di rantau nanti."

"Okelah, Mas, pamit, ya. Minta uang buat bensin dong dek. Bensin sekarat."

"Nih, aku kasih 30rb tapi jangan dihabisin!"

"Iya ... iya ...."

Sementara Bianca mempacking barang-barang akan dibawanya ke perantauan, Mak Itunpun keluar dari kamarnya, menemui anak satu-satunya itu. Wanita sepuh yang ditinggal merantau oleh Bianca, dia tinggal sebatang kara di kampung karena suaminya sudah lama meninggal dunia.

"Bi, apa sebaiknya kamu bercerai saja dari Agung," pintanya lirih. Mak Itun sedari awal memang tidak merestui pernikahan anaknya ini. Namun, dia tidak bisa berbuat banyak karena Bianca begitu kekeuh untuk bersatu.

"Udah, ya, Mak. Cukup. Sampai kapanpun aku nggak bakalan mau pisah sama Mas Agung. Lagian Mak jangan bertingkah aneh. Mas Agung itu nggak seperti orang-orang bilang kok. Aku udah tahu semua kebenaran dari Mas Agung."

"Tidak ada kebenaran yang dia ucapkan, Nak. Emak tau persis siapa Agung. Tolong sekali ini kamu dengerin Emak, sekalipun sudah terlanjur, tapi nggak apa-apa, lebih baik kamu menjanda daripada menyesal apalagi nanti kalau punya anak, Nak."

"Diam, Mak. Mak nggak ngerti gimana perasaan aku. Sedangkan gadis aja, baru diusia 35 tahun aku menikah, dan hanya Mas Agung yang bisa mengerti aku, Mak. Emak nggak tahu apa-apa dan nggak usah ikut campur urusan rumah tanggaku!"

"Ta-tapi, Nak --."

"Kalau Emak masih ngeyel, aku nggak bakalan kirim uang bulanan buat Emak lagi!"

"Ya Allah, Bianca ..."

"Udah! Mending Mak masuk kamar gih sana! Pusing aku dengerin petuah Mak lama-kelamaan!"

Berurai air mata dengan kaki gontai Mak Itun kembali masuk ke kamarnya. Dia disuruh mengurung diri di kamar jikalau Agung sudah berada di rumah, ya, karena ketidakrestuan itulah akhir Bianca memaksa Emaknya untuk mengurung diri di dalam kamar. Boleh keluar, untuk seperlunya saja.

Mak Itun kerja serabutan, jika ada yang mengajaknya membersihkan ladang, dia mau. Pun jika ada yang mengajak menanam padi dia tak menolak.

***

"Bang, ku dengar kau bakalan merantau, ya sama istri barumu itu?" tanya Anto, teman sejawat seperjuangan Agung semasa sekolah dulu, hanya saja umur Agung lebih tua dari Anto.

"Iya, siapa tahu kehidupan di rantau lebih baik. Lagian aku nggak mungkin LDR sama Bianca. Kasian kalau dia di biarin sendirian di rantau."

"Hahaha, dah bisa kau bilang kasian sekarang, ya, Bang."

"Jangan banyak komen lah, Nto. Main balak dulu lah kita. Siapa kalah dia yang bayarin kopi sama makanan."

"Ayoklah."

Agung memang tidak berubah, yang katanya mau mengojek malah duduk santai di kedai kopi. Sifat pemalas setelah menikah dengan Maisaroh 17 tahun yang lalu masih mendarah daging sampai sekarang.

Dering ponsel Agung membuat lelaki berusia 45 tahun ini menghentikan aktivitasnya.

"Halo, Sayang. Gimana? Udah siap-siap?"

"Udah, daritadi malahan aku siap-nya. Kamu di mana, Mas?"

"Ini lagi berenti di pinggir jalan, mau nganterin penumpang."

"Lama, nggak?"

"Nggak kok, Sayang. Satu trip ini Mas langsung pulang."

"Bang ... Bang ... masih aja kau tukang boong sama istri, nggak takut kualat, Bang?" sindir Anto usai Agung dan Bianca terputus teleponan.

"Jangan nyeramah di sini, Nto. Noh, di masjid kalau mau ceramah. Yok lah, main lagi. Urusan bini, nanti bisa dikelarin dengan gampang."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status