"Bang, kamu mau pergi ke mana? Kenapa semua pakaian di lemari dikemas?"
"Kamu tidak perlu tahu aku pergi ke mana Mai!"Sherin yang tengah tiduran di kamar kaget mendengar suara keras yang berasal dari kamar orang tuanya. Gegas dia beranjak dari pembaringan lalu mengintip dibalik pintu kamar Agung dan Maisaroh."Kenapa? Kenapa aku nggak boleh tahu? Apa kamu pergi dengan perempuan itu? Iya, Bang? Kenapa kamu diam, Bang?""Kalau iya, kenapa? Ada masalah?""Jadi kamu lebih milih perempuan itu, begitu, iya, Bang?""Kalau iya, kenapa? Toh Dia lebih cantik darimu. Dia lebih kaya darimu, Fatma! Lihatlah dirimu sekarang, keriput di mana-mana. Hutang berserakan di bank, dengan tetangga, dengan rekan kerjamu, dan siapa lagi? Banyak! Aku nggak sanggup hidup dengan penuh lilitaj hutang dan punya istri seperti kamu!""Tapi ... itukan karena kamu tidak mempunyai pekerjaan tetap, Bang. Coba kamu ingat, berapa kali aku modalin kamu untuk buka usaha. Kenyataannya apa? Gagal 'kan? Kamu minta motor aku belikan. Apalagi yang kurang dari diriku, Bang?""Dia cantik? Kamu lupa, Bang? Aku juga jauh lebih cantik dari perempuan yang kamu bela sekarang ini."Itu dulu? Sekarang lihat? Sangat jauh berbeda jika disandingkan dengan diriku. Aku masih segar, tampan, rupawan, dan sangat memikat."Oh! Silakan, Bang! Silakan pergi dengan perempuan yang kau banggakan itu! Kupastikan dia akan mengalami dengan apa yang kualami sekarang!"Plak!"Jaga mulutmu, Maisaroh! Dia tidak akan sama nasibnya denganmu. Dia akan ku buat lebih bahagia!"Terdengar tamparan yang begitu keras, Sherin anak kedua hasil pernikahan Agung dan Maisaroh bergegas keluar dari persembunyian."Ayah! Cukup! Kalau Ayah memang tidak mencintai ibu. Silakan pergi! Tidak perlu Ayah menampar Ibu seperti itu. Tidah perlu membanggakan perempuan itu di depan, Ibu! Puaskan hidup Ayah dengan wanita yang dipuja itu!""Dasar anak kurang ajar!" Tangan kanan Agung mengudara, hampir saja mendarat di pipi Sherin, tapi dicekal Maisaroh dengan cepat."Biarkan, Bu. Biarkan Ayahku sendiri yang menamparku. Ini sakitnya belum seberapa dari besi gesper yang pernah melekat di tubuhku. Belum seberapa dengan sakit hatiku saat ini.""Kenapa berhenti?! Tampar saja aku, Ayah! Tampar!""Aaarrrggghhh ... didik anakmu biar tahu sopan santun. Bagaimanapun aku adalah ayahnya! Tidak berhak dia berkata kasar padaku seperti itu!"Agung menyeret kopernya dengan kasar, sedangkan Sherin dipeluk erat Maisaroh mereka menangis bersama. Tak lupa Agung membanting pintu yang sudah reot sebelumnya.Bagaimana tidak, pintu ini sudah mulai lapuk, karena Agungx Maisaroh dan ketiga anaknya tinggal di rumah berbahan kayu peninggalan warisan almarhum orang tua Maisaroh."Aku benci dia, Bu. Benci!""Sherin, bagaimana pun dia Ayahmu, tidak sepantasnya kamu bersikap seperti itu, Nak. Apa selama ini, Ibu pernah mengajarimu bersikap seperti itu?""Bu, aku sudah tidak tahan dengan sikap Ayah. Tapi ..."Sherin menyeka kasar setiap bulir bening yang masih berjatuhan di pipi. "Ibu nggak perlu menahan lelaki seperti Ayah. Cukup mempertahankan dia selama ini.""Nak, jangan ngomong seperti itu.""Bu, dengarkan aku sekali ini saja. Jikalau ibu masih menangisi Ayah, lebih baik aku pergi dari rumah ini!"Satu jam setelah Agung meninggalkan rumah, Maisaroh masih saja menangis duduk terpaku di ruang tamu. Sherin pun menghampirinya. Semakin Sherin melihat ibunya menangis, amarahnya Sherin semakin tak terbendung, dia semakin membenci ayahnya itu."Bu, udahlah, nggak usah tangisin Ayah yang ninggalin kita demi wanita itu. Apa Ibu lupa atas apa yang diperbuat Ayah selama ini? Jangankan menolong dari segi ekonomi. Malah dia hanya menghabiskan harta benda dan juga menggoreskan luka yang begitu dalam."Tak ada jawaban dari Maisaroh, dia terus saja menangis. "Kalau aku jadi ibu tak 'kan ku pertahankan lelaki yang sering berkhianat itu. Tak sekali dia berbuat seperti ini. Pernah sewaktu aku masih kecil, masih sekolah TK Ayah membawa teman perempuannya ke kedai kami. Kala itu Ayah menjual pakan ternak, saat itu aku tidak tahu hubungan gelap mereka."Sherin berusaha memberitahu hal menyakitkan yang pernah dia alami. Dan, puluhan tahun, tak jua sirna dalam ingatannya."Perempuan itu memberiku perm
"Mas, hari ini kita jadi 'kan pergi pamit sama Umi dan Abah kamu?""Jadi, tapi ... apa kamu yakin mau pamit sama Umi dan Abah. Mereka 'kan udah usir Mas dari rumah. Dan, kamu tahu sendiri mereka nggak merestui pernikahan kita.""Ya, itu 'kan pas awal kita mau minta izin nikah, Mas. Kali aja sekarang udah berubah pikiran.""Terserah, kamu. Mas mah ngikut aja.""Yaudah, nanti kita pergi sekitar jam 2, ya. Kamu ngojek dulu, sana. Lumayan buat tambah uang jajan di rantau nanti.""Okelah, Mas, pamit, ya. Minta uang buat bensin dong dek. Bensin sekarat.""Nih, aku kasih 30rb tapi jangan dihabisin!""Iya ... iya ...."Sementara Bianca mempacking barang-barang akan dibawanya ke perantauan, Mak Itunpun keluar dari kamarnya, menemui anak satu-satunya itu. Wanita sepuh yang ditinggal merantau oleh Bianca, dia tinggal sebatang kara di kampung karena suaminya sudah lama meninggal dunia."Bi, apa sebaiknya kamu bercerai saja dari Agung," pintanya lirih. Mak Itun sedari awal memang tidak merestui pe
"Mas, kamu di mana? Aku udah nungguin satu jam nih!" umpat Bianca lewat sambungan telepon."Iya, Sayang. Bentar. Ini masih narik, tadi pas abis nganterin penumpang, aku udah mau balik, eh di stop sama penumpang. Ya udah aku ambil sewanya, lumayan 'kan nambah duitnya.""Ya deh, awas kalau kamu boong ya, Mas.""Tenang, Sayang. Mas nggak akan pernah berbohong semenjak menjadi suami kamu."Bianca mematikan sambungan telepon dan lebih memilih untuk menonton televisi sembari menunggu Agung pulang ke rumah. Bianca berharap Agung benar berubah, setelah menikah dengannya. Meskipun suara sumbang sering Bianca dengar tentang Agung, tapi dia lebih menganggap itu angin lalu saja. Walaupun awalnya, tidak mudah bagi Bianca mengambil keputusan yang berat saat itu, saat diri ini lebih memilih bersama dengan suami orang ketimbang lelaki lajang. Hatinya seperti sudah terikat erat dengan Agung.Saat menonton televisi, Bianca tampak melamun teringat kenangan saat awal pertama bertemu dengan Agung."Mas, o
Kret!"Wa'alaikumsalam, ngapain kalian ke sini!" bentakan Umi Nelly tidak mampu membuat kedua mata Bianca menatap ke arah wanita sepuh yang berumur 65 tahun itu. Nyalinya seketika menciut, semangat yang sempat berkorbar runtuh perlahan."Kita cuma mau pamit, Umi," jawab Agung sembari membuang rokok yang ada di tangannya."Buat apa kalian pamit? Memangnya kamu nggak bilang sama Bianca, Gung. Sampai kapanpun Umi dan Abah nggak bakalan restuin pernikahan kalian. Dan kamu, saya tidak akan pernah mengakui kamu sebagai menantu. Menantu saya cuma satu, Maisaroh.""Ta-tapi, U-umi ...""Nggak perlu nyebut nama, Maisaroh deh, Mi. Dulu Umi juga nggak ngerestui aku dengan Maisaroh, 'kan? Terus kenapa sekarang ngaku kalau menantu Umi cuma Maisaroh?" sahut Agung. Kenyataannya memang dulu Umi ini tidak begitu suka dengan Maisaroh, sikapnya selalu dingin ketika bertemu. Sering membanting pintu ketika mendapati Maisaroh makan di larut malam. Entah kenapa sekarang dia mengatakan seperti itu, setelah t
"Mas, itu kenapa pada ramai-ramai di depan rumah?" bisikku pada Mas Agung yang memperlambat jalan motornya. Entah berapa orang yang bersorak di depan rumahku. Sekilas Bianca melihat pintu terbuka lebar, tapi dirinya tak melihat Emak di antara kerumunan itu."Nggak tahu, Sayang." "Pinggirin dulu motornya, Mas."Setelah Agung memarkir motor sembarang tempat, mereka berjalan mendekat ke kerumunan warga. Belum sempat Bianca bertanya ada persoalan apa sampai ramai begini di depan rumahnya, seorang lelaki bertubuh kekar lagi tinggi langsung mengerang."Hei ... Bianca, enyaplah kamu dari kampung ini. Kami tidak sudi punya warga perebut suami orang tinggal di sini!" cecarnya."Jaga dikit omongan, Anda. Bianca tidak merebut saya dari siapapun. Kalian, kalau tidak tahu akar permasalahannya jangan asal nyablak aja," sahut Agung tak terima. Rahangnya mengeras menahan emosi ketika Bianca dijuluki perebut suami orang.Bianca malah ketakutan. Bagaimana kalau warga menyeret kami berdua keliling kamp
Telepon Maisaroh yang tergelatak di atas meja tamu berdering. Wanita berusia 50 tahun ini pun mengangkat panggilan itu, menghentikan aktivitasnya yang sedang memeriksa hasil ujian siswa. Tak perlu terkejut, Maisaroh memang lebih tua 5 tahun dari suaminya, Agung. "Halo, Tri. Assalamu'alaikum, ada apa nelpon?" tanya Maisaroh lalu duduk di kursi tamu yang sofanya sudah banyak robek."Wa'alaikumsalam. Uni, lagi apa? Sutri ada informasi baru soal Bang Agung.""Lagi periksa ujian siswa, kenapa, Tri?" tanya Maisaroh heran. "Informasi apa lagi?""Iya, Uni. Tau tidak, rupanya Umi sama Abah belum kasih restu ke Bang Agung sama istri barunya itu. Dan, parahnya lagi, tadi sore rumah madu Uni itu di datangi para warga. Mereka mau usir dan nyeret keliling kampung, tapi urung soalnya mak-nya tu perempuan memohon dan sujud depan para warga, minta anaknya jangan digituin.""Terus?" tanya Maisaroh dengan rasa penasaran maksimal."Ya itu, terbebaslah mereka, Uni. Katanya besok bakalan pergi ke Batam. B
"Mak, masuk!" hardik Bianca dengan mata yang begitu tajam.Emosinya benar-benar tidak bisa ditahan lagi. Apalagi melihat Emak bersujud seperti itu. Bukankah itu artinya dia yang merendahkan anaknya secara tidak langsung di depan warga. Bianca tidak terima."Dan, kamu, Mas, pindahin motornya ke teras rumah!" Mas Agung manut saja, dia lebih memilih menyalakan kriket lalu membakar rokoknya ketimbang menentang ucapan Bianca.Sungguh terlihat bukan, Mas Agung sangat mencintai Bianca, sikap dia yang tidak terlalu banyak tingkah di depan Bianca, membuat Bianca tidak percaya dengan apa yang orang katakan tentang dirinya. Emak tampak berjalan gontai memasuki rumah. Memang akhir-akhir ini jalannya agak berbeda, katanya kaki sebelah kiri sakit. Tapi Bianca tidak peduli, namanya juga sudah sepuh."Duduk, Mak!" titah Bianca dengan suara lantang, ketika melihat Emak sudah berada di ambang pintu. Tadi, Bianca memang duluan masuk rumah. Emak pun sama tidak menjawab tapi mengikuti perintah anaknya. T
"Mas, kamu di mana? Udah jam segini masih belum pulang juga?" Tampak Bianca mulai emosi saat menelpon Agung karena belum juga pulang apalagi sudah menunjukkan pukul 23.00 malam. Perempuan berbadan idealis itu bak setrikaan mondar-mandir di kamar."Masih di pengkolan, Sayang." Terdengar santai Agung menjawab."Pengkolan? Mana ada jam segini di pengkolan, Mas? Jangan ngada-ngada kamu! Besok kita berangkat pagi ke Padangnya."Jarak desa kampung halaman Bianca menuju Padang atau lebih tepatnya bandara harus menempuh perjalanan kurang lebih 4 jam perjalanan, itupun kalau tidak macet. Jadi wajar saja perempuan berambut lurus sepunggung ini emosi dengan suaminya. Takut telat bangun parahnya takut nanti bakalan ketinggalan pesawat."Iya, Sayang. Mas pulang bentar lagi, ini mau nolongin teman yang abis kecelakaan dulu bentar.""Alasan apalagi sih, Mas. Siapa lagi yang kecelakaan?" tanya Bianca dengan nada mulai meninggi."Si Tarno, tadi ke senggol anak muda yang ngebut di jalanan. Nih kakinya