Share

Maisaroh Masih Terpuruk

Satu jam setelah Agung meninggalkan rumah, Maisaroh masih saja menangis duduk terpaku di ruang tamu. Sherin pun menghampirinya. Semakin Sherin melihat ibunya menangis, amarahnya Sherin semakin tak terbendung, dia semakin membenci ayahnya itu.

"Bu, udahlah, nggak usah tangisin Ayah yang ninggalin kita demi wanita itu. Apa Ibu lupa atas apa yang diperbuat Ayah selama ini? Jangankan menolong dari segi ekonomi. Malah dia hanya menghabiskan harta benda dan juga menggoreskan luka yang begitu dalam."

Tak ada jawaban dari Maisaroh, dia terus saja menangis.

"Kalau aku jadi ibu tak 'kan ku pertahankan lelaki yang sering berkhianat itu. Tak sekali dia berbuat seperti ini. Pernah sewaktu aku masih kecil, masih sekolah TK Ayah membawa teman perempuannya ke kedai kami. Kala itu Ayah menjual pakan ternak, saat itu aku tidak tahu hubungan gelap mereka."

Sherin berusaha memberitahu hal menyakitkan yang pernah dia alami. Dan, puluhan tahun, tak jua sirna dalam ingatannya.

"Perempuan itu memberiku permen, bertingkah baik. Aku semakin tahu, jikalau dulu, ibu lah yang memodali Ayah untuk bisa menjual pakan ternak itu. Lantas, apalagi yang musti dipertahankan. Sekarang di saat usiaku sudah menginjak 16 tahun, Ayah nyatanya tidak juga berubah."

"Bu, dengar aku kali ini saja. Apa Ibu sudah lupa perjuangan apa yang kita lakukan selama ini. Apa yang Ayah cari, sudah tidak ada pada ibuu dan aku. Dia hanya mencari kecantikan wanita agar bisa dia banggakan pada kawan tongkrongannya, selain itu dia juga butuh harta."

"Harta yang ada pada Ibu sudah tidak ada yang bisa diharapkan lagi. Malah hutang Ibu di bank sudah menggunung, bukan? Lantas, untuk apalagi bertahan dalam rasa sakit, Bu." tambahku.

"Ayah juga tidak sepenuh hati mencintaiku. Aku tidak lupa, Bu. Bagaimana rasa sakit yang kurasakan di saat besi gesper melekat ditubuhku delapan tahun silam. Dia begitu marah saat mengetahui aku basah kuyup pulang ke rumah, bukan basah karena hujan, tapi karena dia tahu aku mandi di bendungan sungai selepas pulang mengaji."

"Memar dan sakit di tubuhku memang sudah hilang, Bu. Tapi tidak dengan hatiku. Maaf jikalau aku sangat kecewa pada cintamu itu. Bangkitlah, demi aku, kakak, dan adik, Bu."

Sekian panjang lebar Sherin berujar, barulah Maisaroh bersuara.

"Sherin ... maafkan ibu, Nak. Maafkan ibu, Nak. Andai saja dahulu ibu mendengarkan apa yang dikatakan pamanmu, pasti semua ini tidak akan pernah terjadi. Sekali lagi ibu minta maaf, Nak."

Maisaroh kembali memeluk Sherin dengan erat. Sherin tampak membiarkan ibunya menangis sepuasnya, berharap tidak ada lagi rasa sesal yang tersimpan dihatinya.

"Bu, Ibu tidak perlu meminta maaf. Yang berlalu biarlah berlalu, Bu. Hari esok masih panjang. Ayah yang akan menyesal cepat atau lambat, Bu. Sekarang waktunya Ibu memikirkan diri sendiri

"Iya, Nak. Ibu berharap semoga suatu saat nanti kamu bertemu dengan lelaki yang paham agama, bertanggung jawab, serta mendapatkan mertua yang menyayangimu dalam kondisi apapun."

"Masih lama itu, Bu. Yang jelas kupastikan Ayah akan menyesal telah meninggalkan kita dengan cara seperti ini. Aku, Kak Rianti, dan Fandy akan selalu ada untuk ibu."

***

Selepas bakda Ashar barulah Rianti pulang ke rumah, dia baru saja pulang dari les belajar, karena sekarang dia sudah kelas 3 SMA harus lebih fokus lagi belajar agar bisa lulus dengan nilai yang baik. Rianti adalah buah cinta pertama Agung dan Maisaroh.

"Kak, tadi Ayah pulang, tapi cuma ngambil baju. Abis itu pergi lagi." Sherin yang tak sabar, langsung mengatakan apa yang terjadi saat kakaknya tak berada di rumah.

"Pergi? Ke mana, Dek?"

"Pergi sama selingkuhannya."

"Kakak nggak heran, Dek. Selagi sikap Ayah masih begitu, dia tidak akan berubah, biarin aja."

"Iyalah, di biarin. Aku malah tenang Ayah nggak di rumah. Nggak ada lagi yang nyusahin ibu. Nggak ada lagi yang bohongin ibu."

"Iya, sama. Kakak juga lebih tenang kalau Ayah nggak di rumah."

"Tapi ibu masih sedih, Kak. Emosi aku liatnya."

"Ibu butuh waktu, Dek. Kamu kan tahu sendiri, ibu sayang banget sama Ayah sekalipun sering dikhianati Ayah."

"Semoga aja dengan berjalannya waktu ibu bisa ikhlas, Kak."

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status