Share

4. Nyawa Dan Harapan

Di ruangan informasi, para dokter magang dan perawat saling berbagi informasi tentang pasien mereka. Alex sedang berhadapan dengan Sofia, seorang perawat senior yang sudah belasan tahun bekerja di Mandaya Royal. Dia melaporkan hasil pemeriksaan pasien 4-B untuk diberikan diagnosis agar bisa ditindaklanjuti dengan segera.

"Ini. Bawa ke lab." Alex memberikan berkas yang sudah dia tanda tangan. "4-B mengalami pneumonia post-op*. Mulai diberikan antibiotik," perintah Alex.

"Kau yakin diagnosisnya benar?" Bu Sofia yang sudah berpengalaman menjadi perawat tampak ragu.

"Aku tidak tahu … aku hanya koass. Bagaimana kalau kau pergi belajar empat tahun di FK lalu beritahu aku ini diagnosis yang benar? dia sesak napas, dia demam, dia post-op. Berikan antibiotik!" ujar Alex sambil berlalu. "Tuhan, aku benci perawat." Alex bergumam sambil mendekati Gina. "Aku Alex … aku dengan Jeremy, kau dengan si Nazi, kan?" Alex memperkenalkan diri.

"Mungkin bukan pneumonia, lho…" Gina berusaha membantu Alex menegakkan diagnosis. "Dia mungkin membelat, atau dia punya P.E.*" Tutur Gina.

"Seperti kubilang, aku benci perawat," Alex menyombongkan dirinya.

"Apa kau bilang? kau memanggilku perawat?" Gina kesal dengan jawaban Alex.

"Ya, kalau topi putihmu cocok," goda Alex.

Bip bip bip … alarm panggilan Gina berbunyi. "Sialan, Kalina." Gina menggerutu sambil berjalan ke kamar Kalina.

"Apa dia mencari seseorang?" Andy bertanya pada Alex sepeninggal Gina.

"Tidak tahu … dia hot." Alex meninju lengan Andy. Gaby lalu muncul sambil senyum-senyum sok akrab pada Alex dan Andy. "Aku berteman dengannya," kata Gaby dengan bangga. "Maksudku, semacam teman … bukan benar-benar teman, tapi erat … serius, hanya hari ini…" 

"Bro … bro, berhenti bicara," sela Alex yang sebal pada Gaby.

***

Dengan malas-malasan karena sering dikerjai oleh Kalina, Gina berjalan lewat tangga darurat menuju kamarnya. Akan tetapi betapa terkejutnya dia saat melihat para petugas kesehatan sedang sibuk berlari ke arah kamar Kalina. Sesuatu pasti terjadi disana, batin Gina. Sontak dia langsung berlari secepat mungkin.

"Kenapa kau lama sekali?" tanya salah seorang perawat. Gina buru buru masuk ke dalam kamar. Disana sudah ada perawat Dista dan Maya yang sedang memegangi badan Kalina yang kejang kejang.

"Dia mengalami kejang berulang. Sekarang, apa yang mau kau lakukan?" suara Dista terdengar sayup-sayup karena Gina masih syok dengan keadaan Kalina yang tiba-tiba gawat, selain itu dia juga berkali kali menyalahkan diri sendiri. "dr. Gina, kau dengar aku?!" Setengah membentak Dista menyadarkan Gina dari lamunannya.

"Aku baru saja memberi dosis kedua Lorazepam* dr.. Gina, beritahu kami apa yang harus kita lakukan … dr.. Gina!" lapor Maya.

"Ok, sudah dosis maksimal Lorazepam? Kalian sudah panggil dr.. Han dan dr.. Santoso?" tanya Gina. 

"Lorazepam tidak berefek," sahut Maya sambil terus memegangi badan Kalina bersama Dista. 

"Phenobarbital* … beri dia Phenobarbital," perintah Gina.

"Pheno sudah, tidak ada perubahan," ujar Maya yang kian panik karena Kalina masih kejang-kejang."

"Hubungi dr.. Santoso," ulang Gina.

"Sudah…" jawab Dista.

"Hubungi lagi!" kata Gina sambil terus memikirkan tindakan selanjutnya.

"Apa yang mau kau lakukan? dr. Gina, beritahu kami apa yang mau kau lakukan?" para perawat terus menekan Gina. Sementara kepala Gina masih berkecamuk tentang pengambilan keputusan, keadaan Kalina makin melemah hingga tiba-tiba Maya berseru, "Jantung berhenti. Code blue*! Code blue!" semua petugas bersiap siap melakukan pertolongan penyelamatan untuk Kalina."

"Isi sampai 200," perintah Gina sambil memegang defibrillator* lalu menempelkannya di dada Kalina. Tetap tak ada perubahan, "Isi 300, ayo Kalina!" Gina memanggil manggil namanya. "Ada perubahan?" tanya Gina pada perawat. 

“Aku lihat irama sinusnya. BP naik," lapor Dista. Gina menghela nafas lega. Saat semua keadaan terkendali dr. Santoso muncul ke kamar Kalina.

"Apa yang terjadi?" dr. Santoso bertanya pada Gina.

"Dia kejang dan jantungnya berhenti.”

"Kau harusnya mengawasinya!" sambil membentak Gina, dr. Santoso terlihat was-was dan memeriksa Kalina.

"Aku juga memeriksanya," Gina yang letih karena baru saja menyelamatkan Kalina merasa tak dihargai oleh dr. Santoso.

"Sekarang aku yang urus … pergilah!" Gina diusir keluar kamar oleh dr. Santoso. "Beri aku RMnya … beri aku RMnya*, tolong." Dista memberikan Rekam Medis milik Kalina pada dr. Santoso. Baru saja keluar kamar, Gina berpapasan dengan dr. Han yang juga terlihat marah padanya.

"Kau dapat Cito, harusnya langsung hubungi aku secepatnya. Jangan setelah 5 menit kau sampai disana. Secepatnya! kau dalam timku dan jika seseorang meninggal, itu tanggung jawabku!" Gina terus berjalan ke belakang RS tanpa memperdulikan celotehan Nazi. Cristina yang melihat Gina buru-buru berjalan ke belakang RS langsung menyusulnya. Terlihat Gina membungkukkan badannya lalu muntah, kurang tidur dan stress membuat Gina masuk angin. Setelah sedikit lega, Gina kembali kedalam sambil berkata, "Awas jika kau beritahu orang lain…" Cristina hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Gina.

***

[Jam ke-24]

Santoso berdiri di balkon lantai 2 sambil menatap ke arah Matahari terbit, cahayanya begitu indah memancar seperti sebuah harapan, dia tahu pagi ini orang tua Kalina akan menemuinya dan dia harus memberikan jawaban atas penyakit yang diderita Kalina. Tapi bagaimana bisa dia beri harapan pada mereka, sedangkan diagnosis Kalina pun belum pasti.

Jam delapan tepat Adam dan Moli datang ke kantor Daniel. Tampak jelas sekali kalau mereka sangat tidak puas dengan penjelasannya.

"Kau bilang kemarin itu masalah kejang. Sekarang kau bilang bukan?" Adam sedikit emosi kepada Daniel.

"Aku bilang aku tidak tahu," jawab Daniel.

"Apa kira-kira?" Adam memaksa sebuah jawaban akan keluar dari mulut seorang dokter yang menangani putri tercintanya.

"Aku tidak tahu.”

"Kapan kau akan tahu?"

"Aku tidak punya jawaban. Untuk sekarang, Kalina sudah stabil, dan…" 

Belum selesai Daniel bicara, Adam langsung menyela dia. "Tunggu sebentar. Kami kesini karena RS ini harusnya yang terbaik di wilayah ini bahkan tak ada RS lain di pulau Jawa sebaik RS ini … Itu anakku … anakku!!" teriak Adam "Dan kau berani berdiri disini lantas bilang, "Aku tidak tahu."

"Tn. Adam…." Daniel berusaha menenagkan ayah Kalina.

"Tidak, aku mau dokter yang tahu apa yang mereka lakukan. Carikan orang lain, yang lebih baik darimu!" pinta Adam.

"Aku sedang bekerja keras dalam kasus Kalina...." sahut Daniel.

"Tidak! kalau kau sedang bekerja keras, kau harusnya bisa memberiku jawaban." Adam benar-benar marah lalu pergi meninggalkan ruangan Daniel sambil membanting pintu.

***

Pagi sekali dr. Bram mengajak Gaby menemui Tn. Hendrawan. dr. Bram bermaksud menjelaskan prosedur operasi yang akan dia lakukan padanya nanti sore. Sementara dr. Bram bicara, Gaby mengingat semua kata-kata dr.Bram lantas dengan telaten dia catat di buku kecilnya 

"Jadi aku akan menghubungkanmu dengan mesin Bypass, yang nantinya akan memompa darah menggantikan kerja jantungmu. Aku bedah jantungmu, melepas mesin Bypassnya. Selesai. Prosedur simpel," tutur dr. Bram.

"Jadi aku tidak perlu khawatir?" pertanyaan Gloria bernada cemas.

"Aku sangat ahli di bidangku, tapi ini operasi. Tetap ada risiko. Sampai ketemu di RO nanti sore, Tn. Hendrawan." Setelah selesai memberikan penjelasan, dr. Bram langsung keluar.

"Kau tidak akan meninggalkanku sendiri dengan orang itu, kan?" tanya Tn. Hendrawan pada Gaby.

"Oh, aku akan berada diluar Ruang Operasi sepanjang waktu, dr. Bram sangat hebat. Jangan khawatir … sampai jumpa." Gaby mengikuti dr. Bram keluar kamar.

"Dia akan baik-baik saja, kan?" Suara Ny. Hendrawan menghentikan langkah Gaby.

Gaby berbalik dan berkata, "Suamimu akan melewatinya, tidak perlu khawatir … aku janji … aku harus pergi."

***

Semua dokter magang diminta berkumpul di ruang meeting pagi itu, sambil menunggu dr. Santoso datang mereka melepas lelah dengan bersandar di kursi masing-masing."

"Apa yang kau lakukan? Gina bertanya pada Cristina yang terlihat sibuk sendiri.

"Menjahit pisang dengan harapan sia-sia bahwa ini akan membangunkan otakku," jawab Cristina.

"Hahaha.." Gaby lalu terbahak mendengar alasan Cristina.

"Apa yang kau tertawakan, 007?" sindir Cristina. "Maaf … aku jadi serius saat aku marah."

"Kau tahu, aku tidak peduli. Barusan aku menghibur satu keluarga, dan aku harus berada di RO sepanjang hari, semua terkendali. Ngomong-ngomong apa ada yang tahu kenapa kita dipanggil kesini?" tanya Gaby. Semuanya menggelengkan kepala karena tak seorangpun yang tahu alasan pemanggilan mereka.

Bersambung…

Catatan:

*Pneumonia: peradangan paru akibat infeksi.

*P.E. : Pulmonary Embolism. Suatu kondisi di mana satu atau lebih arteri di paru-paru menjadi terhalang oleh gumpalan darah.

*Lorazepam: merupakan obat dalam kelas benzodiazepin yang digunakan untuk mengatasi kecemasan, yang bekerja pada otak dan saraf untuk menghasilkan efek menenangkan. 

*Phenobarbital: antikonvulsan turunan barbiturat yang efektif dalam mengatasi epilepsi.

*Code Blue: istilah yang digunakan saat terjadi kondisi darurat medis yang berpotensi mengancam nyawa pasien.

*Defibrillator: stimulator detak jantung yang menggunakan listrik dengan tegangan tinggi untuk memulihkan korban serangan jantung. 

Title: Nyawa dan Harapan (Raisa)

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status