Share

Teguran

Sultan pulang dengan mata berair. Tangannya bergetar, ia nampak pucat, keringat dingin membasahi keningnya. Tak biasanya ia terlihat begitu takut. Apa dia baru saja melihat neraka? Aku harap begitu. Mungkin Allah tunjukkan sesuatu yang membuatnya menggigil. Malaikat maut mungkin.


“Mas, ada apa?”


Dia melihat kearahku.


“Cak Boby meninggal Kay, teman-teman bilang kecelakaan. Kata orang yang nemuin jenazahnya, dia seperti habis dirampok.”


“Astaghfirullahaladzim.” Aku berseru. Bulu kudukku berdiri, jantung melompat semaunya.


Menurut cerita Sultan, Cak Boby sedang dalam perjalanan ke Malang. Seseorang menemukan jasadnya berada di tengah perkebunan milik salah satu warga. Ada banyak luka lebam di wajah dan sekujur tubuhnya. Polisi sedang menyelidiki kasus ini. Beberapa orang dimintai keterangan, termasuk orang yang punya hubungan dekat dengan Cak Boby. Sultan dan teman-temannya juga dihubungi oleh polisi. 


Sore ini Sultan akan ke Malang melihat jenazah Cak Boby yang sekarang sedang ada di rumah sakit. Aku tidak ikut. Hanya memantau dari televisi dan dari cerita Sultan saja. Kasus kematian Cak Boby terbilang mengejutkan dan banyak kejanggalan. Sebelum berita nas itu terdengar, konon Cak Boby masih berikirm pesan dengan Mbak Ulya.


Aku baru tahu dari Sultan kalau Cak Boby dan Mbak Ulya berada dalam masalah. Pernikahan mereka diguncang prahara. Mbak Ulya sedang mengurus surat pindah kembali ke kampung halamannya. Sedangkan kini, Cak Boby juga pulang ke rumah orang tuanya. Pasangan itu akan bercerai. Awalnya aku menduga karena mereka tak juga punya keturunan. Tapi itu salah besar. Ternyata, Mbak Ulya menghadapi kehidupan yang rumit.


Jasad Cak Boby dibawa ke rumah duka setelah selesai diotopsi. Mbak Ulya duduk di samping jasad Cak Boby.

Perempuan berhidung mancung itu membaca Al Qur’an sepanjang berada di sana, tanpa kata tanpa air mata. Hanya wajah muram dan pasrah yang nampak jelas terlihat. Matanya terbungkus dengan kacamata, tapi kesedihan mendalam tetap terpancar dari raut mukanya. Ia melangkah gontai meninggalkan jasad suaminya, dibantu oleh kerabat.


“Turut berduka cita ya Mbak Ulya, Semoga Allah memberi tempat yang terbaik bagi  Almarhum.”


“Makasih Kay dan Sultan, Aammiin.”


Sultan masih terus berasa di sisi jasad teman baiknya itu.  Aku tidak masuk, karena ada Adnan dalam gendongan. Di dalam tampak Sultan yang tengah menangis tersedu di hadapan jenazah Cak Boby. Cak Boby seperti saudara baginya. Meski mereka jarang berjumpa. Pertemanan yang memasuki usia lebih dari lima tahun, cukup membuat ikatan mereka begitu erat. 


Kami pulang pukul 10 malam. Sultan dimintai keterangan cukup lama oleh petugas kepolisian. Kabarnya, ia akan dimintai keterangan lagi hari berikutnya. Beberapa teman Cak Boby yang lain juga dimintai keterangan. Saat kami pulang mereka masih dalam proses tanya jawab dengan pihak yang berwajib. Cak Boby kehilangan ponsel, tapi dompet berikut uang  masih ada di saku celana. Selain itu, menurut keterangan keluarga Cak Boby pergi menggunakan motor yang kali ini masih dicari polisi.

***

Satu minggu setelah penyelidikan polisi menemukan pembunuh dari Cak Boby. Ternyata bukan begal. Mereka adalah rekan kerja Cak Boby. Yah, Cak Boby bekerja sebagai penyanyi. Pekerjaan yang juga menjadi hobinya. Sayangnya ia memilih bernyanyi dalam sebuah club malam. Mengejutkan bukan? Seorang yang tadinya sebagai kepala sebuah Lembaga Zakat Islam memilih menjadi penyanyi club malam. Bagaimana bisa? 

Seorang pria muda berusia 18 tahun bernama Miko, yang satunya berusia 30 tahun bernama Angga, mereka berdua pelaku pembunuhan terhadap Cak Boby.


Miko, Angga dan Cak Boby terlibat pertengkaran hebat sebelumnya. Kedua orang itu membawa Cak Boby ke kebun warga lalu menghajarnya. Terakhir, kepala Cak Boby dihantam dengan batang kayu besar. Kematian Cak Boby diperkirakan terjadi lima jam setelah pemukulan dilakukan.


Motif yang melatarbelakangi pembunuhan ini karena dendam. Miko mengaku pernah dipaksa menjadi budak nafsu Cak Boby yang ternyata penyuka sesama jenis. Namun Cak Boby berkelit, ia mengaku melakukan hubungan terlarang itu atas dasar mau sama mau. 


Mereka cekcok hebat saat diclub hingga petugas club mengusir ketiganya. Dengan mengendarai satu sepeda motor, Cak Boby dibawa ketempat sepi lalu dihajar habis-habisan. Setelah tak beradaya pria berkulit cokelat itu ditinggal sendirian. Keesokan paginya seorang warga yang sedang mengunjungi kebunnya melihat tubuh Cak Boby tergolek tak berdaya.


Berita ini menghentak berbagai pihak. Terutama keluarga Cak Boby yang memang dikenal keluarga baik-baik selama ini. Bahkan Ayahnya dulu seorang uztad di kampung tempat mereka tinggal. Meski, Ayah Cak Boby meninggal sejak ia masih kecil, tapi rasa hormat masyarakat daerah tempat mereka tinggal masih tinggi.


Cak Boby tinggal dengan ibu dan kakak perempuannya. Hingga kini ibu Cak Boby juga tidak menikah lagi. Kasus ini pasti membuat ibunya Cak Boby tertekan ditambah dengan berbagai pemberitaan miring yang mengiringi kepergian anaknya.


Dari cerita yang beredar Cak Boby sosok yang baik, disegani, dan mudah bergaul. Ia juga nampak rajin beribadah dan aktif dalam organisasi keagamaan. Pernikahannya dengan Mbak Ulya yang sudah empat tahun ini memang belum menghasilkan keturunan, tapi tidak ada orang yang mengira bahwa ia seorang gay. Mbak Ulya secara rapi dan halus menutupi aib suaminya. Sampai Allah yang berikan jalan keluar secara nyata untuk dirinya. Sebuah pengorbanan yang panjang dan berliku.


“Aku gak percaya berita ini.” Kata Sultan sambil menatap nanar pada koran yang ia baca pagi ini.


Aku bergidik membaca berita dari koran yang diberikan sultan kepadaku.


“Pelaku Dendam Karena Pernah Disodomi Korban.”


Judul yang menampar. Kalimat demi kalimat kubaca perlahan sambil membayangkan sosok Cak Boby. Tampak sekilas memang Cak Boby seperti pria lainnya. Jika ditelisik lebih jauh, meski berkulit gelap Cak Boby memang orang yang rajin merawat diri. Penampilannya modis dan wangi. Entah kenapa aku merasa yakin jika berita ini benar.


“Mbak Ulya hebat. Bagaimana ia bisa menjalani hidupnya selama ini,” aku menggumam perlahan.


Kasus ini berakhir dengan kedua pelaku pembunuhan itu dipenjara lima belas tahun. Murah sekali bukan harga nyawa di dunia ini? Padahal luka yang mereka perbuat sangat dalam bagi keluarga korban. Tapi apalah daya, negara sudah mengaturnya dalam undang-undang tentang hukuman yang sesuai bagi pelaku kejahatan sesuai dengan perhitungan praktisi hukum. 


Sisanya serahkan kepada Allah yang lebih tahu hukuman apa yang pantas bagi kejahatan sebesar itu. Tunggu dulu! Jika pengakuan penjahat itu benar, alangkah mengerikan dunia yang digeluti Cak Boby. Naudzubillah.

***


Pelangggan mulai ramai, hari ini saja aku kewalahan menangani pesanan. Sepertinya aku perlu asisten. Beruntung sekali aku pernah belajar menjahit saat masih SMA dulu. Nenekku seorang penjahit di Klaten. Dari sana aku sering membantunya menyelesaikan jahitan yang terkadang harus membuat kami lembur hingga tengah malam. Saat SMA aku tinggal bersama nenek dan seminggu sekali pulang ke rumah orang tua. Jarak sekolah lebih dekat ke rumah nenek. Jadi, aku tinggal bersama nenek sembari membantunya.


Samar-samar aku mendengar suara sumbang dari dalam kamar setelah pulang dari butik. Kuintip pintu kamar, Sultan tengah membaca Alqur’an. Alhamdulillah. Mungkini ini efek dari kejadian buruk yang menimpa sahabatnya tempo hari. Aku tersenyum mengucap syukur dari hati yang paling dalam. Oh Allah, ini yang ingin kulihat selama ini. Damai sekali melihat orang tersayang dekat dengan-Nya. Mungkinkah ini saat di mana keluargaku akan menjadi sakinah?


Dalam hati do’a-do’aku terus mengalir bersama dengan rasa syukur. Jiwaku merasa tengan melihat apa yang tengah ada di hadapanku ini. Indah bagai mentari senja yang berkilauan. Memancarkan keteduhan yang merasuk kedalam sanubari. Rumah terasa tentram, udara menjadi lebih segar, kabut perlahan menghilang dari pandanganku. Setitik harapan akan keluarga impian mulai bersemi. Musim semi di Inggris pun tak seindah harapanku.


Sultan rajin ke Masjid. Ia berusaha selalu shalat berjamaah saat Isya begitu juga dengan Subuh. Ia juga rajin membaca Alqur’an bahkan sehari satu juz. Pria berkulit kuning langsat itu ikut program mengaji yang diadakan oleh grup teman-teman kantornya. Melihat suami yang berubah begini siapa yang tidak bahagia? Allah tengah membuka hatinya. Perlahan wajahnya mulai bercahaya, setidaknya begitu yang nampak.


Aku tidak lagi khawatir meski Sultan sering pulang malam. Suamiku itu mengaji bersama dengan orang-orang yang sholeh di Masjid dekat rumah. Ia berkumpul dengan pemuda dan para da’i yang sedang mengadakan kajian. 

Sultan seperti ini yang kuharapkan, bahagiaku adalah saat melihat ia mendekati-Nya.


Keinginan sederhana ini memang menuntut kesabaran yang panjang. Sayangnya aku sering kalah, terkadang aku merah-marah pada-Nya. Iman yang naik turun begitu juga dengan kesabaran yang kerap menipis. Nampaknya, aku mulai menemukan cahaya kembali. Alhamdulillah.


Sayang, ternyata aku terlalu dini untuk merasa bahagia. Ini belum selesai.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status