Satu minggu berlalu sejak insiden Sydney Opera House. Anna tidak pernah sekalipun bertemu lagi dengan Andrew Lewis. Pria itu seakan hilang dari muka bumi tanpa adanya komunikasi apa pun. Sebenarnya Anna cukup merasa lega tidak ada yang mengusiknya namun entah kenapa terasa berbeda. Setelah mengakui jika dirinya mencintai pria itu, justru membuat Anna semakin sulit terlelap di malam hari. Setiap malam Anna selalu terusik dengan kejadian panas yang telah mereka lakukan di malam itu. Seolah-olah kejadian itu baru saja mereka lakukan kemarin, terasa sangat nyata hingga menimbulkan gelenyar aneh di tubuh Anna. Anna mungkin gila, tapi seperti itulah yang dirasakannya. Sore itu Anna berjalan menuju apartemen dengan dua kantong belanjaan dalam pelukannya. Jalanan malam cukup sepi ditambah dengan udara dingin yang makin mencekam—membuat Anna semakin mempercepat langkahnya. Betapa terkejutnya Anna ketika melihat pintu apartemennya terbuka dengan pria tak dikenal berdiri di garis pintu bersama
“Astaga, Anna. Aku tidak bisa mengatakannya sekarang. Tolong beri aku waktu untuk berpikir, Sayang.” “Apakah sesulit itu?” Anna balas bertanya. “Mom, aku tidak peduli siapa itu Jason Luthor. Aku hanya ingin kau berkata jujur.” Pamela menutup mulutnya kemudian merobek kartu nama itu dan membuangnya ke tempat sampah. Lepas itu Pamela menghilang bersembunyi di kamarnya dalam waktu yang lama dan entah kapan akan keluar dari sana. *** Anna terduduk di sofa untuk waktu yang lama setelah perdebatannya dengan Pamela. Pamela bahkan belum keluar dari kamarnya sejak satu jam yang lalu. Anna menghela napas beratnya. Mendadak Anna merasa bersalah. Mendadak Anna menyesali perilaku yang memaksa Pamela untuk mengaku. Padahal dia tahu tidak selamanya rahasia bisa dikatakan secara lugas seperti yang Anna mau. Pamela bukan dirinya. Wanita itu akan berubah menjadi perasa sekali kalau sudah menyangkut masalah Richie. Pamela teramat mencintai ayahnya. Seharusnya Anna lebih mengerti itu. Anna membayangk
“Jadi, katakan! Sebenarnya, apa tujuanmu membawaku kemari, Tuan Luthor?” Tekanan pada pertanyaan Anna membuahkan hasil. Edward menyerahkan sebuah map berisi lembaran kertas untuk Anna pelajari. Anna tidak bodoh, tapi Anna juga belum cukup mengerti maksud isi dari kertas yang saat ini sedang dibacanya. “Kertas itu berisikan informasi mengenai segala aset yang dimiliki oleh Luthor Corp dari tahun ke tahun. Untuk sementara mungkin baru sebagian saja yang kutunjukkan, sisanya akan Edward berikan lagi padamu,” jelas Jason Luthor pada Anna. Anna masih bergeming dengan kedua tangan memegang kertas. Anna membacanya satu per satu mencerna kalimat demi kalimat yang tertulis di sana. Angka nominalnya pun membuat Anna harus kesulitan menelan saliva. “Untuk apa kau memberikanku salinan aset milikmu ini? Ingin pamer?” Perkataan pedas Anna yang dia lontarkan justru membuat Jason Luthor tertawa. Pria tua itu seperti tidak menyangka akan menerima respon mengejutkan seperti ini darinya. “Kau mener
“Sudah saatnya aku menceritakan semuanya, Anna.” Anna merasakan atmosfer yang berubah tegang di sekitar Pamela. “Sebenarnya, aku tahu jika cepat atau lambat mereka akan mencariku. Dan aku pun tahu kalau aku tidak selamanya bisa merahasiakan semua ini darimu,” papar Pamela. “Aku takut mereka menemukanmu dan menjerumuskanmu ke dalam dunia hitam mereka.” Anna masih tidak berkutik selain menatap Pamela dalam diamnya. “Aku tidak tahu apa yang telah kakekmu katakan mengenai Richie, tapi percayalah semua itu hanya kesalahpahaman. Richie tidaklah seburuk yang dia pikirkan.” Pamela mengubah posisi duduknya menghadap Anna. Dia mengusap perlahan pipi Anna lalu mulai bercerita. “Sejak kecil aku dimanja, hidupku penuh kemewahan dan kebebasan. Tidak ada seorang pun yang tidak mengenal siapa Pamela. Semua menyukaiku atau lebih tepatnya mereka menyukai status sosial yang kumiliki. Kau tahu, Anna. Kemewahan serta kebebasan itulah yang akhirnya membuatku lepas kendali—bertindak tanpa menggunakan o
Andrew Lewis menghabiskan sepanjang waktunya hanya di atas ranjang. Kesehatannya mendadak menurun bahkan jauh lebih parah dari bulan-bulan sebelumnya. Dia melirik Andreas di sebelahnya. Raut wajah kembarannya itu menandakan kalau ada sesuatu yang janggal dari hasil pemeriksaannya. “Apakah parah?” celetuk Andrew Lewis tiba-tiba. Andreas menggeleng. “Kalau aku bandingkan dengan hasil pemeriksaan sebelumnya, hasil ini memang tidaklah bagus. Sepertinya mulai malam ini aku akan menginap lagi di sini.” Andrew Lewis tertawa. “Kau terlalu berlebihan, Andreas. Lagi pula, kita berdua juga tahu jika penyakit ini tidak akan pernah ada obatnya. Kau harus siap dengan segala kemungkinan yang ada.” “Menyerah tidak ada di dalam kamusmu, Andrew. Kau tidak cocok bersikap mengeluh seperti seorang banci. Lagi pula, kita masih menaruh harapan pada wanita itu. Sekarang lebih baik kau tidur dan beristirahatlah.” Andrew Lewis tersenyum miring menimpali. Tidak ada yang dapat dia lakukan selain menuruti pe
Mata Anna membulat ketika mengenali sosok pria yang tengah termenung di depan gedung apartemennya. Kantong sampah masih Anna pegang ketika pria yang hampir dua bulan hilang itu berjalan mendekat ke arahnya. Andrew Lewis, pria yang hampir dilupakan Anna mendadak muncul kembali tanpa diduga. Anna menelan salivanya. Kenangan yang pernah terjadi di antara keduanya menyusup di sela-sela keterkejutan. Anna bertambah kebingungan menyusun kata ketika Andrew Lewis mendadak telah berdiri tepat dihadapannya. “Anna, kita perlu bicara. Ada satu hal yang harus kukatakan padamu,” kata pria itu memecah keheningan. Gaya berpakaian Andrew Lewis sama sekali tidak berubah. Udara malam mungkin semakin dingin tetapi memakai mantel tebal khas musim dingin sangatlah berlebihan. Namun, Anna sama sekali tidak mempermasalahkannya karena fokusnya saat ini bukan pada mantel, melainkan kondisi pria itu. Lama tidak bertemu menimbulkan begitu banyak perubahan pada diri pria itu. Tubuh Andrew Lewis tampak jauh leb
“Sudah berapa lama aku tertidur?” Dengan mata yang masih setengah mengantuk, Anna kemudian menjawab. “Kau pasti haus. Akan kuambilkan minum sebentar.” “Tidak perlu, Anna.” Andrew Lewis tiba-tiba menahan langkahnya. “Katakan, apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa aku bisa berada di kamarmu?” “Satu per satu kalau bertanya. Kau tiba-tiba tak sadarkan diri. Jujur saja, itu membuatku takut. Kenapa tidak bilang kalau kau sedang sakit?” “Aku tidak sakit. Aku hanya ….” Seketika Andrew Lewis teringat sesuatu yang sempat terlupakan. “Apa kau memanggil dokter kemari?” Anna menggeleng. “Tidak. Haruskah aku memanggilnya sekarang?” “No, It’s ok. Aku baik-baik saja.” Berbohong bukan sesuatu yang patut untuk dibanggakan. Namun, berbohong untuk kebaikan, Anna rasa itu suatu pengecualian. Anna berpindah tempat ke pinggiran ranjang—menggenggam tangan Andrew Lewis untuk kesekian kalinya tanpa berniat berkata-kata. Jemari keduanya pun bertautan, seakan dari sanalah rasa hangat mengalir sebagai pengga
“Kalau kau merasa ragu, kita bisa meminta Edward untuk datang lagi kemari besok. Tidak apa-apa, Mom. Aku bisa memaklumi semuanya,” kata Anna ketika melihat ekspresi tegang Pamela sedari tadi. Anna beradu pandang dengan Edward dari kaca depan mobil. Pria paruh baya itu tampaknya mengerti lewat melalui tatapan Anna. “Lebih baik kita batalkan saja hari ini. Kita masih punya cukup waktu untuk berpikir, ok?” “Aku tidak apa-apa, Anna,” sahut Pamela menyela. “Aku hanya gugup karena sudah lama tidak menginjakkan kaki di sana. Aku bahkan tidak tahu bagaimana reaksi kakekmu ketika bertemu denganku nanti.” Anna kembali beradu pandangan dengan Edward. Sebenarnya, Anna juga meragukan hal yang sama. Lebih tepatnya Anna mempertanyakan dirinya. Belum genap satu minggu dia menolak permintaan Jason Luthor tetapi justru sekarang dirinya pergi menemui pria tua itu dengan sukarela. Jason Luthor bisa saja akan salah paham. “Kau tidak akan pernah tahu jika kau tidak mencobanya, Mom. Kita pergi ke sana h