Share

5. Tamu yang Tak diundang

trigger warning: harsh words+abuse

***

6 Februari 2019

"Kamu nikah aja sama anak temannya Ayah. Kamu sampai kapan mau melajang? Nunggu Ayah dan Bunda meninggal dulu baru mau nikah?"

Suara orang tuanya menggema mengitari kepala. Kemarin malam, ia dicerca tanpa ampun oleh Ayah dan Bunda perihal pernikahan. Biru tidak ingin menikah—lebih baik hidup sendirian. Hidup sendirian lebih bahagia; tidak akan ada yang menghina, mencela, menghakimi, atau mengomentari segala tindakannya.

"Kakak kamu sudah dari lama nikah dan bahkan sekarang punya anak. Ya, walaupun anaknya nggak normal."

Biru tidak berani melawan ucapan menyakitkan dari Bunda. Biru bersyukur, Mutiara tak berada di sana kemarin dan mendengar komentar itu.

"Anak temannya Ayah ini cantik dan baik. Kamu nggak akan menyesal nikah sama dia. Ayah juga kenal teman ini dari SMA, ya, walau dia nggak lulus ujian militer dan akhirnya jadi pekerja kantoran."

Biru ingin meminta kedua orang tuanya untuk berhenti merendahkan serta meremehkan orang lain. Kenapa mereka begitu suka melakukan itu? Karena perasaan senang atau bangga karena merasa lebih keren? Biru tidak mengerti. Dirinya menciut—ikut tidak percaya diri karena sering diremehkan juga.

Ayahnya seorang tentara, sedangkan ibunya bekerja di salah satu perusahaan negeri. Mereka sama-sama orang yang keras, karena hidup di pola asuh yang tidak menyenangkan juga. Semua sifat mereka menurun dari orang tua. Cara Kakek dan Nenek memperlakukan Biru pun tak jauh berbeda.

"Udah, pokoknya besok kamu ketemu sama dia. Namanya Runalla. Ayah nggak menerima penolakan. Kamu nolak? Jangan harap jadi anaknya Ayah lagi."

Akhirnya, sekarang Biru duduk di sebuah resto yang cukup terkenal untuk menemui perempuan bernama Runalla. Agak ramai sampai Biru merasa kurang nyaman. Berulang kali dia melirik jam dan bertanya-tanya mengapa perempuan itu tak kunjung datang.

"Mas Biru?"

Biru mengalihkan pandang dari jam tangannya saat mendengar namanya dipanggil. Dia menemukan sosok Runalla yang tampak begitu cantik. Senyumnya lebar, tampak begitu ceria dan tulus, banyak energi positif yang bisa Biru rasakan dari sosoknya.

"Maaf ya aku telat. Mas di sini sudah dari tadi?" Runalla duduk di hadapan Biru lalu mengulurkan tangan. "Aku Runalla. Salam kenal, Mas."

"Iya," Biru menjabat tangan Runalla. Ekspresinya kaku sekali. "Biru."

Biru menggenggam sabuk yang melingkar begitu erat pada pinggangnya. Pinggangnya terasa sakit. Tak apa, Biru justru merasa lebih lega karena hal itu digunakan sebagai pengalihan dari rasa tidak percaya dirinya yang membeludak.

"Mas, aku dengar Ayah kita sudah berteman dari SMA, ya? Hehe gemes banget. Terus sekarang kita dijodohin," Runalla asik bicara guna mencairkan suasana. Dia menyadari kalau Biru tampak tak nyaman. "Aku nggak terpaksa, aku memang mau dijodohin sama kamu soalnya kata Ayah pekerjaan kamu dosen. Keren banget, tau?! Dosen itu otaknya kayak broogle. Gimana cara kamu bisa menghapal teori segitu banyaknya dan mengajar di beberapa kelas yang berbeda?"

"Mas, mau makan apa? Aku ngikut kamu aja."

Biru itu sangat pasif kalau bertemu orang baru. Biru tidak percaya diri, mulai memikirkan hal yang tidak-tidak mengenai pertemuan ini. Gimana pendapatnya tentang gue? Kalau dia nggak suka, gue bakal dihajar sama Ayah. Gue nggak tahu harus gimana. Dia ilfeel sama gue, nggak, ya?

"Mas, nikah yuk."

Ucapan dari Runalla sukses mengakibatkan Biru tersedak ketika tengah makan. Biru menutupi mulut menggunakan kepalan tangannya kala menunjukkan sorot tak percaya, terkejut, bingung dan juga penuh tanya.

"Iya?" tanya Biru memastikan.

"Nikah sama aku," Runalla mengudarakan tawa kecil saat memasukkan sesendok nasi ke dalam mulutnya. Kemudian, tanpa mengalihkan pandang dari Biru, dia mengatakan, "Sebenarnya aku bukan tipe orang yang mau pacaran setelah nikah. Tapi firasatku bilang, kamu itu orang yang baik. Aku yakin, aku bisa jadi perempuan yang bahagia kalau nikah sama kamu. Orang cuek sama pendiam kayak Mas itu biasanya nyimpan banyak kejutan."

"Runalla."

Perempuan itu menunjukkan senyum jenakanya. "Nggak papa kalau kamu memang masih belum nyaman sama aku. Kan, baru pertama ketemu. Mas ganteng, cocok sama yang cantik kayak aku. Hehe,"

"Terus aku yakin, kita bisa membahagiakan satu sama lain."

Setelah pertemuan itu berakhir, Biru mengantarkan Runalla pulang ke rumah karena tidak tega membuatnya menunggu sendirian. Runalla itu talk-active—suka sekali bicara. Dia melambaikan tangan saat turun dari mobil Biru.

"Mas, nanti chat aku, ya? Eh, jangan deh. Nanti aku telepon."

Biru takut menyakitinya.

***

17 September 2019

13.33

["Kamu di mana? Kenapa dari kemarin nggak angkat teleponku?!"] Mutia menunduk dalam setelah mendengar bentakan Rey melalui sambungan telepon. Jantung Mutia berdetak begitu kencang akibat rasa takut serta firasat tak enak yang menghampiri. ["Sengaja? Iya? Kamu sengaja kabur supaya setiap hari orang tua kamu telepon aku? Setan!"]

["Kamu di mana? Cepat jawab! Aku mau bicara!"]

"Aku nggak bisa nemuin kamu," cicit Mutia pelan dengan nada bergetar. Dia sungguh ketakutan. "Aku nggak bisa kalau sekarang. Masih ada hal yang harus kuurus.."

"Kamu mau ngurus apa? Kematian kamu? Yaudah, mati aja sana sekalian sama anak kamu."

Mutia ingin marah tapi tidak bisa. Kalau marah, kata-katanya akan tercekat di tenggorokan dan tidak ada satu pun yang terucap. Sebagai ganti, air matanya yang turun berjatuhan—hal seperti ini terjadi akibat Ayah yang selalu mendominasi, menyalahkan—semua hal selalu salah di mata Ayah, selalu memberi komentar, mencaci maki, tidak pernah memberi pujian.

Biru dan Mutia, mereka masih belum pernah bisa lepas dari jeratan rasa sakit akibat sosok Ayah yang melakukan abuse secara verbal.

["Kenapa diam aja? Beneran mau mati?"]

Mutia sekuat tenaga menahan air mata saat emosinya meledak-ledak. Perasaan campur aduk itu kian membeludak. 'Ini rumah orang, ada Issy juga. Jangan nangis!' Mutia meneriakkan itu pada dirinya sendiri karena tidak mau Issy melihat keadannya.

Sedetik kemudian, Ida—asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Runalla, kembali ke rumah sembari membawa beberapa kantung belanja berisikan bahan dapur.

"Loh, Non Tiara datang ke sini?" tanya Ida sembari menepuk-nepuk lembut punggung Mutia. "Non kenapa? Kok nangis?"

"Ng-nggak, Mbok. Saya—"

"Mbok, abis dari mana? Aku kira tadi Mbok sudah pulang." Runalla muncul dari belakang, menggandeng Issy yang tidak mau ditinggal sendirian. "Abis beli bahan dapur, Non. Tadi saya lihat kulkasnya udah mau kosong. Besok saya masakin bali telor."

'Please, please, berhenti ngomong. Nanti Rey tahu kalau aku di sini..' Mutia memeluk ponselnya, menahan air mata dan memalingkan wajah. Tapi sialnya, Ida malah mengadu pada Runalla.

"Non, ini Non Mutia kenapa? Kok nangis?"

Runalla mendelik ketika mendengar Rey memaki begitu kasar melalui sambungan telepon. Runalla menyambar telepon milik Mutia—dia tahu itu tidak sopan tapi dia kesal. Mutia berusaha mencegah namun gagal. Dan ujungnya, Runalla balik memarahi Rey yang sejak tadi tidak bisa menjaga ucapannya.

"Jangan ganggu Mbak Mutia!"

["Dia lagi di rumah lo?"]

"Bukan urusannya Mas Rey!"

'Ini kalau handphone-nya punya gue, udah gue banting sampai hancur!' Runalla merangkkul Mutia dari samping seusai mematikan ponsel.

"Mbak, ayo balik. Makan lagi bareng aku. Ditungguin Issy juga. Nanti Mbak sakit kalau nggak makan."

Issy masih mencoba mencerna keadaan itu—mengamati tiga perempuan dewasa yang memasang ekspresi sedih membuat Issy memeluk erat kaki sang mama. Issy tidak suka melihat mamanya menangis apalagi kalau sesegukan akibat dimaki dan dipukul oleh Rey.

Singkatnya, setelah selesai makan, Issy tidur siang disaat Runalla dan Mutia mengobrol mengenai banyak hal. Ida berkutat di dapur, mencuci piring serta menata bahan masakan di kulkas. Runalla duduk di samping Mutia dan memangku Vivi yang sejak tadi enggan bangun.

"Ini masalah keluargaku, aku takut bebanin kamu."

"Enggak papa," Runalla menyandarkan kepala pada bahu milik Mutia kemudian mendekapnya dari samping. "Mbak itu Kakaknya Suamiku. Kita saudara ipar. Mbak nggak perlu takut ngebebanin aku."

Mutia menarik napas panjang sekali diiringi air matanya yang mulai meleleh begitu saja. Runalla mengeratkan dekapannya. "Nggak papa, Mbak. Aku dengerin kok."

"Aku sama Rey itu dijodohin dan kami dari awal menikah sudah nggak harmonis. Awalnya dia nggak pernah kasar baik melalui perkataan maupun perbuatan. Tapi, semenjak Issy ketahuan punya ADHD inatensi, dia berubah total," Mutia sesegukan. Bicaranya terputus-putus. "Aku selalu nyembunyiin dari orang tua, dari Biru, dari teman-teman kalau keluargaku nggak harmonis. Rey itu malu kalau Issy ketemu sama teman-temannya. Rey nggak bisa terima Issy dan nyalahin aku. Oke, aku nggak masalah kalau disalahkan tapi aku nggak bisa terima kalau Issy dapat kekerasan,"

"Issy itu tambah sakit gara-gara Rey. Dia takut ketemu orang, nggak mau lepas dari aku, jadi sangat bergantung ke orang lain. Issy nggak pantas dapat perlakuan seperti itu. Aku nggak suka.."

"Ayah-Bunda juga nggak mau menerima Issy, aku sekarang juga ngekos sambil cari kerja karena dari dulu Rey sukanya aku di rumah aja ... "

Runalla dari awal sudah menyangka kalau masalahnya memang seberat ini. Mutia dan Biru sama-sama tertutup, menyembunyikan diri dari dunia luar karena takut menyakiti dan disakiti—mereka tidak berani mengambil langkah untuk maju karena lingkungan juga tidak mendukung.

Runalla tidak tahu harus mengatakan apa, karena dia juga merasa tidak pantas untuk memberi kalimat penguat ataupun masukan. Runalla lahir di keluarga baik-baik, tidak melalui apa yang dirasakan oleh Mutia.

"Maaf, ya, ceritaku jadi ngalur ngidul ke mana-mana sampai cerita Rey yang nagih-nagih uang buat ganti biaya sekolahnya Issy.."

"Nggak papa, Mbak. Ceritain aja."

Pukul empat sore, bel rumah berbunyi—pertanda ada seseorang yang datang. Runalla mengusap punggung Mutia sembari mengatakan, "Mbak, bentar, aku bukain pintu buat Mas Biru."

Tapi, Ida buru-buru mengambil alih tugas Runalla. "Non, biar Mbok yang bukakan. Non duduk aja."

"Oh, iya, makasih Mbok."

Tak lama kemudian, Bibi muncul sembari membawa seorang tamu masuk ke rumah. Ada senyum mengerikan di bibir lelaki itu. Runalla gemetar, begitu pun dengan Mutia yang sekarang bersembunyi di belakangnya.

"Non, ini ada Mas Rey. Katanya cari Non Mutia.."

Kedua alis Runalla bertaut. "Bi, tolong antar Mas Rey keluar."

Firasat Vivi itu kuat seperti pemiliknya. Dia menggonggong tanpa henti. Kemudian, Rey mengatakan, "Udah aku bilang, jangan kirim tagihan uang sekolahnya anak kamu yang cacat itu ke aku," dan kekerasan terjadi begitu saja.

***

16.20

Biru pulang ke rumah dengan cukup terburu-buru karena perasaannya sudah tidak enak sejak tadi. Bahkan, kelas yang Biru ajar bisa selesai tiga puluh menit lebih awal karena dia juga tidak bisa fokus.

Biru memiliki kunci rumah cadangan. Dia membiarkan mobilnya terparkir di depan, membuka pagar, dan berlari masuk ke rumah ketika jantungnya berdetak begitu kencang. Kemudian, apa yang Biru takutkan sungguh terjadi.

"Anak lo itu cacat kayak lo tahu, nggak?! Nggak berguna sama sekali!"

"Mas Rey! Berhenti!"

Dadanya sesak, napasnya tak beraturan—perasaan marah memuncak ketika melihat Rey yang tengah menarik rambut Mutia disaat perempuan itu sudah menjerit kesakitan dan jatuh tak berdaya di atas lantai. Banyak luka lebam bewarna keunguan di wajah Kakaknya. Selain itu, Runalla juga tengah mencegah Rey tapi berujung ditampar. Ida? Wanita paruh baya itu menjerit-jerit "Astagfirullah! Istigfar! Tobat! Udah, Mas Rey!" kala memeluk Vivi yang tampak kesakitan karena tadi juga sempat ditendang di bagian perut.

"LO BANGSAT!"

Biru berlari ke arah Rey, menarik bajunya lalu mendorong kakak iparnya itu sampai jatuh tersungkur ke lantai. Biru langsung mengunci lelaki itu, mendaratkan pukulan-pukulan tepat pada wajahnya.

"LO BANGSAT!" teriak Biru lagi dengan penuh penekanan tanpa menghentikan pukulan pada wajah Rey. "LO NGGAK PANTAS HIDUP TAU, NGGAK?! KAKAK GUE ADA SALAH APA SAMA LO SAMPAI LO BERANI MUKULIN KAK MUTIA?!"

"ANAK LO ITU SAKIT GARA-GARA LO! LO PIKIR, SEMUA ANAK MAU HADIR DI DUNIA INI? NGGAK! KALAU LO NGGAK MENGHAMILI KAKAK GUE, ISSY NGGAK AKAN ADA. LO JUGA BERTANGGUNG JAWAB ATAS ISSY, BEGO! LO ITU AYAH SEKALIGUS SUAMI TAPI LO NGGAK PANTAS DAPAT ISTRI DAN ANAK SEBAIK MEREKA!"

Mata Biru memanas, dia kelewat marah. Dia tak pernah semarah ini, kecuali pada sosok Ayah. Biru sangat menyayangi Mutia, melebihi apapun, karena mereka hanya memiliki satu sama lain di saat dunia memusuhi.

"KAKAK GUE CUMA MENJALANKAN KEWAJIBAN SEBAGAI SEORANG ISTRI DARI COWOK BRENGSEK KAYAK LO, BANGSAT!"

Mutia menangis sesegukan, air matanya tidak terbendung lagi akibat rasa sakit di sekujur tubuh serta melihat Biru yang seperti itu. Runalla buru-buru menahan tangan Biru agar berhenti—Rey sudah babak belur. Air matanya tak kalah deras dari Mutia yang kini gemetar ketakutan.

"Mas, sudah!"

"Lepasin!"

Ujung siku Biru tak sengaja menghantam wajah Runalla hingga hidung perempuan itu berdarah. Keadaan benar-benar kacau. Runalla tidak langsung berhenti. Dia masih mencoba menahan Biru, memeluk suaminya dari belakang.

Runalla yakin, Biru akan memukuli Rey sampai lelaki itu mati kalau tidak dihentikan.

"Mas, udah," pinta Runalla pelan dengan mata terpejam erat. Dia masih memeluk Biru, membenamkan wajah pada punggung lebar sang suami. "Berhenti, Mas. Ini bukan kamu."

Detik itu, pipi Biru dibasahi oleh air mata saat melihat keadaan Mutia yang sungguh berantakan. Biru tak mempedulikan Rey yang sudah terkapar lemah di atas lantai dengan bercak darah di mana-mana. Biru melepas paksa pelukan dari Runalla, berlari mendekati Mutia.

"Kak," Biru duduk tepat di hadapan Mutia. Ikut menangis kala mengguncang kuat bahu kakaknya. "Kenapa nggak pernah cerita kalau dia mukulin Kakak? Kak, Kakak punya aku. Kalau Ayah-Bunda nggak ada, aku ada!"

Runalla jatuh terduduk di atas lantai. Tubuhnya masih gemetar saat mengamati betapa kacau dan hancurnya keadaan saat ini. Dipenuhi oleh suara tangis serta air mata pilu. Hatinya hancur saat melihat Biru yang memeluk erat Mutia.

"Kak, Kakak harusnya cerita ke aku. Ada aku yang bisa jagain Kakak!"

Runalla menangis dalam diam. Runalla memang tahu keadaannya sekarang, bukan hanya dia yang terluka. Kondisi Mutia lebih mengkhawatirkan. Tapi, mengingat Biru yang langsung melepas pelukannya tanpa mempedulikan dirinya yang terluka—menoleh pun tidak.

Runalla sadar, dia sama sekali tidak diutamakan oleh Biru.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status