Share

6. Maaf tanpa Bicara

24 Februari 2019

"Jujur, saya kurang tahu gimana masa lalu Ayah. Ayah orangnya tertutup dan ke Bunda pun juga jarang ngobrol. Mereka dipaksa menikah disaat Bunda juga masih berusia sembilan belas tahun, sedangkan Ayah dua puluh dua tahun," Biru tampak berusaha mengingat kembali agar menjawab pertanyaan dari Ersa dengan benar. "Saya tahu ini dari saudara Ayah. Ayah itu tiga bersaudara, anak sulung, adik-adiknya perempuan semua. Nenek dan Kakek orang yang keras. Saya ... saya sempat dengar, Ayah dulu pernah diusir dari rumah karena nggak mau sekolah."

"Diusir sama Kakek-Nenek?"

"Iya," jawabnya sambil menganggukkan kepala. Dada Biru terasa sesak membayangkan kejadian di mana Ayahnya diperlakukan buruk. "Saya selalu mencoba memahami, mengerti, dan memberi toleransi akan sikap Ayah pada saya, Kakak, dan Bunda. Tapi rasanya sulit sekali. Semakin hari, Ayah bertambah jahat.."

Ersa diam sebentar. Dia sering kali menemukan kasus di mana orang tua yang pola asuhnya tidak baik itu berasal juga dari pola asuh sebelumnya. Kasusnya berat, karena sudah mengakar hingga ke emosi. Tidak bisa langsung menggunakan cognitive behavior therapy jika masalah utamanya ada di emosi.

"Kalau Bunda?" tanya Ersa. "Bunda juga memiliki orang tua yang keras seperti Ayah atau ... ?"

"Iya, Bunda juga, tapi tidak sekeras orang tua Ayah. Saya juga selalu mencoba memahami Bunda. Bunda menjadikan kami sebagai pelampiasan karena nggak kuat menerima kekerasan dari Ayah juga."

"Berarti dulu Bunda nggak ... nggak apa, ya?" Ersa mencoba memilih kata-kata yang tepat. Biru mengusap tengkuknya, membantu Ersa dengan menimpali, "Nggak sekeras sekarang?"

"Iya."

"Iya, saya masih ingat dulu Bunda merawat saya dan Kakak dengan penuh kasih sayang. Tapi, perlahan berubah karena sikap Ayah yang makin hari makin jahat. Saya nggak tahu kenapa Ayah berubah sedemikian drastis seperti itu."

'Akar masalahnya ada di sosok Ayah yang keras dan selalu menyakiti.'

"Kalau boleh tahu, 'jahat'nya ini seperti apa? Seperti yang Pak Biru katakan sebelumnya? Yang nggak mendengarkan pendapat, selalu menghakimi, sangat strict, nggak segan memberi hukuman? Atau ada lagi?"

"Ayah itu temperamental. Suka marah dan merendahkan keluarga sendiri tanpa sebab. Saya dan Kakak saya diem aja, tapi tiba-tiba Ayah marah-marah sendiri," Biru memberikan jawaban. Mengingat kejadian dari kecil hingga dewasa sekaligus kata-kata menyakitkan yang membuatnya tidak bisa menghargai diri sendiri. "Saya, Kakak, dan Bunda selalu dikatain bodoh, nggak berguna, sekalinya ngomong sesuatu yang nggak sesuai dengan pendapat Ayah, Ayah langsung nggak terima. Ayah itu sosok yang begitu keras dan menyebalkan tapi saya ... saya merasa bersalah kalau marah ke Ayah."

Ersa menganggukkan kepalanya penuh pengertian. "Lalu, biasanya Ayahnya Pak Biru itu marah karena apa? Mungkin karena habis keluar dari mana gitu?"

"Enggak, kaya marahnya itu tiba-tiba. Pernah Ayah di rumah baca koran. Saya umur dua belas saat itu. Saya lewat di depan Ayah untuk pergi ke kamar mandi tapi tiba-tiba Ayah bentak-bentak saya, nyuruh saya ambil kopinya, dan ngatain saya nggak becus. Itu berulang kali terjadi di situasi yang berbeda-beda."

"Jadi kayak tiba-tiba aja gitu ya?"

"Iya, tiba-tiba. Saya nggak suka cara Ayah memperlakukan keluarganya semena-mena, terutama ke Kakak dan Bunda."

"Oke," Ersa menyahut pelan sembari menganggukkan kepalanya lagi. Dia menatap Biru tepat di mata sembari menggerakkan kedua tangannya ketika sedang membuat sebuah perumpamaan. "Dari cerita Pak Biru yang lumayan berat dan sudah Pak Biru alami sejak kecil ini, saya bisa tahu Pak Biru itu orang yang sangat baik. Memahami situasi Ayah yang sedemikian rupa, Bunda yang melampiaskan amarah akibat Ayah yang keras ... nggak banyak orang seperti Pak Biru,"

"Kebanyakan orang nggak suka memahami, mereka hanya fokus ke perilaku saat ini tanpa mempedulikan masa lalu seseorang. Menurut saya, Pak Biru sangat baik. Sudah mencoba memahami walau mengalami kesulitan juga saat melakukannya. Kesulitan itu sampai terinternalisasi ke dalam dan membuat Pak Biru sangat tertekan,"

Dada Biru terasa remuk. 'Gue sama sekali nggak baik. Kalau baik, harusnya nggak marah ke Ayah ataupun Bunda. Seharusnya bisa sabar..' namun itu tidak diungkapkan pada Ersa yang masih bicara.

"Dari cerita Bapak ini, menurut saya, Ayahnya Pak Biru memiliki urusan dengan masa lalu yang belum selesai sehingga terbawa sampai sekarang. Ayahnya Pak Biru ini memiliki rasa superior, tapi rasa superior itu dikarenakan dia berusaha melindungi diri sendiri,"

Biru semakin kesakitan. Mengetahui fakta ini sama sekali bukanlah hal yang mudah. Dia masih diam, tidak mengatakan apapun saat pandangnya memburam.

"Melindungi diri dari serangan luar, karena sejujurnya Ayahnya Pak Biru itu nggak menunjukkan bahwa sebenarnya dia kesulitan mengatur emosinya. Orangnya rapuh tapi nggak mau terlihat lemah sehingga itu muncul dalam perilaku kasar, marah-marah, nggak mau pendapatnya dibantah, dan mungkin karena takut ada yang menyaingi dirinya dan takut direndahkan. Dia merasa terancam. Bentuk pertahanan dirinya seperti itu. Namanya *reaksi-formasi."

'Ayah juga kesulitan dan gue seharusnya nggak mempersulit..' Biru mendongak, menatap langit-langit ruangan itu dengan mata yang kian memanas. 'Gue seharusnya tahu kalau dari dulu Ayah juga kesulitan..'

Ting!

Ponsel Biru yang ada di saku berbunyi, menandakan ada pesan masuk. Biru berdeham sebentar agar nada bicaranya tetap stabil. "Maaf, sebentar."

"Iya, silahkan."

[15.55

Telkomsel

Mas, hari ini jadi nonton sama aku?

Oh, iya, papa-mamaku ngajak kamu makan di rumah. Kamu bisanya kapan? Aku rinduuu

Nadanya udah terngiang kayak Milea belum, Mas?]

Itu Runalla.

"Menurut saya, urusan dengan diri Pak Biru ini harus segera diselesaikan agar lingkaran yang sama nggak terulang lagi dikehidupan keluarga Pak Biru yang baru. Sebentar lagi Bapak juga akan menikah, kan?"

***

19.27

Runalla tidak pernah mempermasalahkan kalau Biru memang sesayang itu pada Mutia dan Issy. Runalla justru senang kalau suaminya adalah orang yang penyayang walau selama menikah dirinya tak mendapatkan itu. Tapi, yang membuat air matanya tidak mau berhenti turun adalah Biru yang sama sekali tidak terlihat peduli padanya.

Biru meminta tolong pada Runalla untuk membawa Vivi pergi ke dokter hewan tanpa menanyakan keadaannya. Sibuk sendiri mengurus Mutia yang keadaannya memang belum membaik setelah semua rahasia pernikahannya terbongkar.

Rey? Rey jelas diusir oleh Biru begitu tersadar.

Sekarang Runalla berada dalam mobil yang terparkir di depan rumah. Sudah hampir satu jam dia duduk sendirian di sana karena enggan masuk ke rumah. Dan sialnya, tiba-tiba Wulan—Mamanya, menghubungi.

["Dek, lagi apa? Mama perhatikan dua minggu belakangan ini kamu nggak rutin update video di channel youtube. Lagi asik sama suami, ya?"] suara Wulan sungguh ceria, ada pula nada tengil yang khas seperti biasa—sudah menurun pada Tias dan Runalla.

Mendengar suara Mamanya yang begitu ceria, Runalla menunduk dalam sambil terisak dalam diam. Runalla tidak berani menjawab karena takut tangisnya pecah.

["Runalla? Kok diam aja? Abis slebew-slebew sama suami, ya?"] Wulan tertawa jahil. ["Itu istilah dari twitzzer. Mama tahu dari Tias juga."]

Mama, Runa kangen.. air mata Runalla turun semakin deras karena rasanya sungguh berat. Tubuhnya bergetar hebat, tidak kuat kalau membayangkan saat Wulan mengetahui keadaannya. 'Mama, Runa pengen pulang. Pengen dipeluk Mama.. '

["Runalla? Halo? Kamu ini ngangkat telepon pas pingsan atau gimana?"]

Runalla mengusap pipi yang sungguh basah akibat air mata. Keinginannya untuk pulang ke rumah sungguh kuat tapi takut kalau Wulan akan marah pada Biru.

["Dih, nggak dijawab,"] Wulan bicara lagi dengan nada sok judes namun ujungnya juga diakhiri dengan tawa. ["Jangan lupa hari Minggu besok ada acara keluarga. Datang, loh, biar bisa nemuin Mama. Yaudah, Mama tutup ya..kamu jangan lupa makan."]

Sambungan telepon diakhiri oleh Wulan setelah Runalla masih diam.

Runalla langsung menangis sesegukan sembari mengusap pipinya tanpa henti. "Mama, Runa kangen," isaknya berulang kali. Suaranya keras karena dadanya sungguh terasa sesak. "Runa mau pulang, Ma..aku mau di rumah aja.." lanjutnya sampai kesusahan bernapas.

Selama telepon hingga menangis terisak-isak, Runalla tidak menyadari kalau sedari tadi Biru berdiri di dekat mobil. Biru mendengar tangis istrinya dan jelas saja ia merasa bersalah. Dia kesulitan—Mutia hanya memiliki dirinya dan dia juga malu karena Runalla melihatnya melakukan kekerasan hingga menangis.

Biru hanya ingin mencari kesibukan dan tidak menatap wajah Runalla sebentar. Biru tidak menyangka, kalau Runalla akan menangis dengan begitu hebatnya.

Biru menarik napas dalam-dalam saat dirinya melakukan sesuatu yang ia takutkan. Biru menyakiti Runalla sesuai dugaan sejak awal.

Tok tok.

Biru mengetuk jendela mobil dan Runalla langsung menoleh dengan wajah yang begitu berantakan. Matanya bengkak dan sembab, hidungnya merah, dan pipinya basah bukan main. Runalla buru-buru mengalihkan pandang ketika Biru membuka pintu mobil.

Runalla jadi menyesal karena tidak mengunci pintu sebelumnya.

"Kamu dari tadi ngapain ga masuk ke dalam?" tanya Biru pelan sembari meraih lengan Runalla. Mengajak istrinya itu turun dari mobil. Runalla menurut dan sekarang dirinya berdiri tepat di hadapan Biru.

Runalla masih menangis, menundukkan kepala dalam karena enggan melihat Biru.

"Ayo masuk."

Untuk pertama kalinya Runalla dirangkul dan dituntun oleh Biru dari samping. Mereka masuk ke rumah. Ada aroma wangi khas nasi goreng andalan buatan Biru. 'Pasti masakin Kak Mutia sama Issy doang,' tangis Runalla bertambah deras saat mengingat kejadian tadi sore.

"Duduk," Biru mendudukkan Runalla di kursi, berhadapan dengan sepiring nasi goreng yang masih hangat. "Sudah aku masakin. Makan dulu baru nangis lagi. Nangis butuh tenaga."

Perempuan itu memandangi sepiring nasi goreng buatan suaminya dengan air mata yang masih berlinang. Aku harus marah dulu ya baru diperhatikan? Runalla kembali mengusap pipinya, mencoba memperbaiki suasana hatinya.

"Mas Biru jahat.." lirih Runalla pilu ketika Biru duduk di sampingnya. Biru menghela napas pelan, mengambil piring menggunakan tangan kiri sedangkan tangan kanannya menggenggam sendok. Berniat menyuapi Runalla.

Biru menganggukkan kepala meng-iyakan agar masalahnya cepat selesai. "Iya, aku jahat. Ayo makan dulu."

Yang penting Runalla mau makan dulu.

"Mas Biru nggak peduli sama aku, jadi sekarang nggak usah sok peduli. Kalo sok-sokan peduli, aku marah." ucap Runalla ketika menatap Biru. Lelaki bersurai pendek itu menganggukkan kepalanya lagi sembari menyodorkan sesendok nasi goreng di depan bibir Runalla.

"Iya, iya," balasnya pelan dengan nada pasrah bukan main. "Ayo buka mulutnya."

Runalla menyedot ingusnya terlebih dahulu sebelum mempersilahkan sesendok nasi goreng itu masuk ke dalam mulut. Runalla melirik jengkel ke arah Biru. Kedua alis lelaki itu terangkat.

"Enak?"

"Hmm.."

"Yaudah, makan."

Biru berniat membiarkan Runalla makan sendiri tapi buru-buru dicegah. Runalla merengek, menggerak-gerakkan kedua kakinya sebal. "Mas, mau disuapin." matanya kembali berkaca-kaca karena Biru hampir pergi.

Biru menghela napas kemudian berceletuk, "Manja", namun tetap melakukan apa yang Runalla minta. Runalla sengaja makan selambat mungkin agar bisa memiliki banyak waktu dengan suaminya.

"Mas, sayang sama aku, nggak?"

"B aja."

'B aja terus,' Runalla menelan suapan terakhirnya kala Biru meletakkan piring di atas meja. Perasaan Runalla sedikit membaik daripada sebelumnya, karena ia sendiri merupakan orang yang mudah dihibur dan dibujuk.

Air matanya sudah berhenti sejak makan tadi.

Biru berdiri dari tempat duduknya kemudian menyentuh pipi kanan Runalla. Runalla mendongak, bertukar kontak mata dengan Biru.

"Yang mana?"

Matanya yang sembab itu mengerjap. "Apanya, Mas?"

"Yang masih sakit. Yang mana?"

Sejujurnya, Biru sangat gengsi untuk menanyakan hal itu, namun ia tidak ingin dibayangi rasa bersalah selama berhari-hari apabila tidak memastikan keadaan Runalla. Hari ini berat untuk Runalla yang mendapatkan getah dari keluarganya yang tak pernah membaik.

"Mas, kesurupan arwah dari mana?"

"Aku serius."

Mata Runalla dihiasi lapisan kaca bening. Tidak menyangka kalau ternyata Biru bisa perhatian padanya. "Jangan nangis lagi," ucap Biru mengingatkan tanpa mengubah posisi tangan ataupun memutus kontak mata.

"Pipinya? Hidungnya?" tanya Biru sembari menyentuh pipi dan hidung Runalla bergantian. "Bilang, biar aku tahu."

"Nanti dicium?"

"Enggak lah, Runa. Diobatin."

"Diobatinnya pake cium."

Biru menghela napas. "Mulai."

Runalla meraih tangan Biru yang masih menyentuh pipinya. Runalla menggenggam tangan suaminya itu erat. "Mas Biru sendiri masih sakit tangannya?"

"Kenapa jadi nanyain aku? Aku .... "

Biru tidak melanjutkan kalimatnya ketika Runalla mendaratkan kecupan-kecupan kecil pada punggung tangannya. Biru membeku—terenyuh, tidak menyangka kalau Runalla masih bisa menanyakan soal keadaannya disaat dia baru saja membuat perempuan itu menangis sesegukan.

"Aku sayang sama Mas. Tangannya jangan sampai luka."

Tenggorokan Biru tercekat saat Runalla berdiri, mengikis jarak, kemudian balik menyentuh pipinya. Biru dapat merasakan hangatnya tangan Runalla ketika menyapu permukaan pipinya. Darah Biru berdesir, napasnya melambat, dan matanya tak berkedip sama sekali.

Wajah Runalla memang berantakan karena menangis, tapi masih terlihat begitu cantik.

"Mas, kalau sakit, bilang ke aku ya." pinta Runalla lirih.

Runalla mendekatkan wajah. Napas mereka bersahutan kala bibir mereka nyaris bersentuhan. Biru diam tak bergerak, terbawa perasaan yang mendominasinya sekarang. Tangan Biru menyentuh pinggang Runalla.

Tapi semuanya langsung gagal karena dering ponsel Biru yang menyebabkan mereka terjingkat.

Biru buru-buru menarik diri, napasnya tak beraturan saat bertukar pandang dengan Runalla. Wajah Biru bersemu, matanya mengerjap tak keruan—dia langsung mengambil ponsel yang sejak tadi diletakkan di atas meja.

"Mahasiswaku. Maaf."

'MAHASISWA DAKJAL!' Runalla menjerit dalam hati seiring Biru yang berjalan menjauh. 'DAPET NILAI C SUKURIN!'

---

Reaksi-formasi:Bentuk pertahanan diri di mana seseorang melakukan hal atau tindakan yang berlawanan dari perasaannya yang sesungguhnya untuk melindungi harga diri serta mengurangi kecemasan.

Contoh sederhana:

1. Kamu suka sama orang, tapi di depan teman-teman atau berhadapan langsung dengan doi, kamu bakal bilang nggak suka dan bahkan bersikap judes bukan main supaya nggak ketahuan. Ini kamu lakukan demi melindungi harga dirimu;

2. Ada acara keluarga, terus di meja ada makanan yang enakkk banget plus bikin ngiler. Tapi, sayangnya tinggal satu. Pas ditawarin kamu bakal bilang, "Ahahah nggak usah dikasih ke yang lainnya aja." padahal kamu pengen buanget. Itu kamu lakukan supaya kamu nggak malu dan menghindari respon yang tidak diinginkan.

[by the way, Ersa itu cowok]

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status