KESALAHAN ATAU PENGALAMAN?
Tanpa sepengetahuan Nico, Ava diam-diam meninggalkan kamar hotel bintang lima yang terletak di tengah kota Jakarta.Taxi yang Ava tumpangi mulai meninggalkan Kawasan Senayan, dimana hotel yang Ava datangi berada. Jalanan Ibu kota tidak pernah mati. Beberapa mobil dan motor masih terlihat hilir mudik hampir di semua ruas jalan. Padahal waktu sudah berlalu cukup lama.Ava melirik pada jamnya sekali lagi. Pukul empat pagi, lewat lima belas. Biasanya dia pulang dari club malam sekitar pukul dua. Lebih cepat dari hari ini. Tapi seperti biasanya juga, Ava akan pulang sendiri. Ketiga teman ‘liar’ nya akan pergi entah kemana setelah menemukan lelaki di club malam.“Huft!” Ava menarik napasnya cukup panjang.Supir taxi yang rambutnya sudah dipenuhi uban sempat melirik pada kaca spion setelah mendengar tarikan napas Ava. Namun pria tua itu memilih untuk tetap menutup mulutnya. Dia tahu, penumpang di jam segini tidak ingin diajak bercengkrama. Mungkin terlalu penat bekerja, atau terlalu lelah berdansa.Sebenarnya, Ava bukan gadis penyuka kehidupan malam. Hanya saja, terkadang dia memang ingin menyenangkan diri sesekali. Hm, mungkin lebih tepatnya dua minggu sekali. Begitupun dengan ketiga teman ‘liar’ nya.Hm, Ava sampai menyebutkan kata liar dua kali. Tapi begitulah Ava melabeli ketiga teman kehidupan malamnya. Karena ketiga gadis itu juga, Ava memutuskan untuk melepaskan keperawanannya malam ini.Konon katanya, gadis yang belum merasakan sensasi bercinta, dianggap tidak menarik. Mungkin karena masih terlalu lugu, jadi jiwa sensualnya belum menonjol.“Shit!” Ava lantas mengumpat dalam hati.Selama dua puluh lima tahun, Ava bisa mengabaikan kata-kata itu. Tetapi kenapa justru Ava bisa goyah saat melihat pria bertubuh tinggi itu melewati kursi tempat Ava duduk tadi.Sembari menatap jalan raya, Ava jadi mengingat kembali kejadian di club malam yang membuatnya memutuskan untuk bercinta dengan pria yang mengaku bernama Nico tersebut."Come on. Lu pasti bisa dapetin salah satu cowok disini,” ajak Gita pada Ava yang sedari tadi duduk sambil menatap Agnes dan Tiwi yang sedang berdansa di hall utama sembari menggoda beberapa pria lewat senyuman mereka.
“Penting banget ya bisa dapetin cowok di tempat kayak gini,” balas Ava dengan nada sinis.“Penting lah,” ejak Gita sembari tertawa cekikikan. “Lu mau tiap ke club cuma duduk menyendiri ditemani segelas bir dingin yang lama-lama mencair.”Ava memalingkan wajahnya. Matanya menyapu hampir sekeliling ruangan. Gita benar. Hampir semua gadis di tempat ini ditemani lelaki. Mungkin hanya Ava yang selama ini memilih duduk sendiri sembari memandangi orang lain yang sedang bersenang-senang.“Lagian, gue cuma nyuruh lu have fun. Cari aja cowok ganteng buat semalem. Make love, seneng-seneng, udah. Gue bukan nyuruh lu nyari pacar. Tapi kalau lu mau lanjut pacarana sih, terserah ya. Cuma lu tau sendiri kan, cowok yang sering dateng ke tempat begini rata-rata brengsek.”“Kayak cowok lu,” sindir Ava, sambil melirikan matanya pada Bian yang tengah berjalan mendekati Gita.“Termasuk cowok gue.” Gita mengiyakan tanpa ragu. “But I don’t care. Selama si Bian masih mampu ngisi rekening gue, gue gak peduli dengan yang dia lakukan dibelakang gue.”“Ngomongin apa nih? Serius banget kayaknya,” sapa Bian yang baru kembali dari kamar mandi.“Ngomongin kamu, sayang,” jawab Gita. Merangkul pundak Bian dengan mesra.“Wah. Aku diomongin apa?”“Kita ngomongin kamu yang lama banget ke toiletnya. Jangan-jangan kamu sambil godain cewek.”Bian tertawa mendengar ucapan kekasihnya. “Nggak lah, sayang. Mana mungkin aku masih godain cewek lain setelah dapetin cewek dengan spec bidadari kayak kamu.”“Hmm, thank you, sayang.” Tanpa ragu Gita mencium bibir Bian.“Cih!” Ava bangun dari kursinya. Dia bukannya kesal melihat Gita dan Bian bermesraan di hadapannya. Dia hanya kesal pada Gita yang seolah menutup mata pada kenakalan kekasihnya. Dia juga muak pada Bian yang kerap berbohong pada Gita. Keduanya seperti sudah sama-sama tahu, tetapi pura-pura tidak tahu.Akhirnya Ava memutuskan untuk berdansa di hall utama. Seorang DJ pria yang sudah terkenal melanglang buana hingga ke mancanegera sedang memainkan musik di atas podium. Para penikmatnya terus bergoyang sembari sesekali menatap sang DJ, bak dewa yang dipuja.Hampir lima menit Ava berdansa. Tetapi tidak satupun pria yang mendekati apalagi mencoba menggodanya. Padahal Agnes dan Tiwi bisa dengan mudah berkenalan bahkan lanjut bermalam dengan pria-pria yang mereka kenal di club. Tapi Ava, entah kenapa akan berakhir dengan pulang sendiri di dalam taksi.Mereka bilang, Ava masih belum bisa melupakan Dion. Mantan pacar Ava dari SMA hingga kerja. Pria yang Ava pacari selama lebih dari satu dekade itu dengan mudah memutuskan hubungan mereka dan menikah dengan wanita pilihan orang tua.“Ah, sial!” Ava mengupat dalam hati.Tidak, tidak. Ava yakin bukan Dion penyebabnya. Meskipun tidak bisa dipungkiri jika Ava jadi malas berpacaran lagi setelah putus dengan pacar masa muda hingga dewasa. Dion benar-benar menghabiskan waktu Ava. Dia pikir, hubungannya dengan Dion akan jadi kisah cinta sejati bak dongeng indah. Kekasih setia dari sama-sama muda hingga menjalani masa tua bersama.Tai! Ava salah kira. Masa gemilangnya untuk menggoda pria-pria sudah sirna. Ava bahkan lupa bagaimana caranya flirting, pendekatan, bahkan menggoda laki-laki. Dia sudah terlanjur nyaman pada hubungannya dengan Dion. Dia bahkan tidak pernah berpikir akan pacaran apalagi menikah dengan pria lain, selain Dion. Tapi sayangnya, Dion dengan mudah menerima perintah orang tuanya untuk menikah dengan gadis lain.“Aw!” Ava menjerit sembari memegangi tangannya yang terasa tersetrum saat membuka pintu mobil."Kenapa, Mbak?" tanya si supir taxi. Sedikit kaget mendengar suara Ava.
"Gak pa-pa, Pak." Ava tidak ingin membahasnya. Dia memilih untuk cepat keluar dari taxi yang sudah mengantarnya hingga ke depan rumah.
Ava masih menyentuh tangannya walaupun sensasi sengatan setrum dari listrik statis di tangannya sudah menghilang. Dia jadi ingat lagi pada yang dia tinggalkan sendirian di kamar hotel tadi malam.
"Aww!" Jerit Ava.
“Sorry, sorry. Kesetrum ya.”Itulah adegan pertama Ava bertemu dengan Nico, ingat Ava sambil tersenyum di depan rumah yang dia sewa dengan biaya tahunan tersebut.Tangan Ava dan Nico bersentuhan tidak sengaja saat itu. Dan lucunya, seperti ada Listrik statis yang menyengat mereka.“Are you ok?” tanya Nico, kemudian.“Gak pa-pa,” jawab Ava singkat.“Good.” Nico tersenyum manis pada Ava.Sinar lampu yang berjalan menyorot mata Nico yang sedang berdiri di hadapan Ava. Mata coklat Nico terlihat berkilau bak permata. Tubuh tinggi Nico menjulang layaknya patung Sudirman. Untuk pertama kalinya, ada pria yang menyapa Ava di tengah lantai dansa.“Kalau gitu … sampai jumpa.” Nico melangkah pergi setelah memastikan gadis yang bersentuhan dengannya, baik-baik saja.“Hey!” Ava berjalan cepat mengejar Nico.“Ya?” Nico membalikkan tubuhnya saat merasa Ava menarik kemeja yang dia kenakan.“Mau tidur sama aku?”Bersambung…MASA GEMILANGKonon katanya, umur dua lima adalah masa gemilang seorang wanita. Mungkin karena itu, banyak wanita yang akhirnya memutuskan untuk tetap melajang di usia dua lima agar masa gemilangnya tidak terganggu dengan urusan rumah tangga.Namun, apa benar seperti itu? Apakah itu bukan sekedar alasan bagi wanita-wanita penggila kerja. Bagi wanita-wanita yang jauh di lubuk hatinya ingin menyandarkan peluhnya pada lelaki yang sayangnya tidak ada untuknya.Persetan dengan semua alasan itu. Entah dua lima adalah masa gemilang atau justru masa kepunahan, yang pasti Ava akan tetap melangkah maju. Dia tidak ingin hal negative apapun menjadi penghalang untuknya.“Selamat ya, Ava!” teriak hampir semua karyawan di dalam ruang kerja Ava.“Terima kasih.” Ava tersenyum malu-malu.Akhirnya hari ini tiba juga. Ava resmi diangkat sebagai asisten marketing manager di perusahaan tempatnya bekerja.“Saya tau kalau kamu pasti bisa,” puji Aldo sembari mengusap punggung Ava.Ava memberikan senyum manis
ANAK KEDUANico menatap langit Jakarta cukup lama dari jendela besar yang berada di samping meja kerjanya. Entah kenapa dia diberi ruangan dengan jendela sebesar ini. Terkadang panasnya matahari terasa hingga ke pori-pori saat Nico duduk di tempat kerjanya tersebut. Terkadang bahkan suara hujan terdengar cukup riuh ketika deburannya membentur kaca jendela di lantai lima belas, tempatnya bekerja.“Nic!”Suara yang tidak asing itu terdengar lagi di ruang kerja Nico.“Sibuk?” tanya pria yang sudah membuka lebar pintu ruang kerja Nico. “Gue mau minta tolong nih.” Pria berambut ikal itu sudah berbicara lagi sebelum Nico sempat menjawab pertanyaannya.“Apa?” jawab Nico, acuh tak acuh.“Meeting ke Amazed Company besok.”“Amazed?” kening sedikit berkerut. Dia baru mendengar nama perusahaan yang Alex sebutkan barusan.“Perusahaan baru yang gantiin Jolly entertainment.”“Oh.” Nico mulai sedikit paham. Dia tahu jika Jolly entertainment yang selama ini bekerja sama dengan perusahaannya untuk meng
PERTEMUAN YANG TIDAK DIDUGAAva sudah sibuk di ruang meeting sejak dua jam sebelum waktu meeting dengan perwakilan dari Bio Group. Dia harus memastikan banyak hal. Ruang meeting dingin, meja kursi bersih, makanan dan minuman tersaji, hingga proposal presentasinya dapat digunakan dan bekerja dengan baik.Aldo Aksara datang sepuluh menit sebelum pukul 10 pagi. Gayanya seperti biasa. Mengantongi sebelah tangan, berjalan santai, menatap sekeliling ruangan seolah sedang memastikan jika Ava tidak membuat cela.“Udah beres semua kan untuk meeting hari ini?” tanya Aldo pada Ava yang sedang berdiri di depan layar projector.“Sudah, Pak,” jawab Ava, berusaha untuk tetap sopan di depan atasannya.Mata Aldo menatap tubuh Ava dari ujung kepala hingga ujung kaki.“Kamu keliatan cantik banget hari ini,” goda Aldo. “Kamu keliatan sexy pakai baju warna merah.”Ava berusaha tersenyum manis untuk menanggapi godaan Aldo.“Tapi sayang, yang datang bukan Dirut Bio Group.”“Oh ya?” Ava terlihat kecewa. Pada
MENCARI YANG TERSEMBUNYIAva mematung cukup lama di balik pintu kaca ruang meeting kantornya. Matanya menatap lurus pada dua pria yang sedang berbicara dengan Aldo di pintu depan. Satu pria berjas hitam dan satunya lagi berjas biru dongker. Keduanya terlihat gagah dan tampan. Tapi pria berjas biru terlihat … familiar.“Ah, sial!” Ingatan Ava akhirnya mampu menemukan pria berjas biru itu. “Sial! Sial! Sial!.” Ava mengumpat terus menerus.Fix! Pria berjas biru itu Nico. Pria yang Ava ajak bercinta secara random. Ava sadar, suatu saat mereka pasti bakalan ketemu lagi. Jakarta memang tidak seluas yang dibayangkan. Tapi, bukan di momen seperti ini. Dimana Ava adalah penjual, dan pria itu pembelinya.Tangan Ava bergerak cepat untuk mengambil ponselnya. Ava mengetik ‘Nico Bio Group’ di situs pencarian google.“Hah!” Ava menutup mulutnya sendiri dengan tangan. Wajah Nico muncul bertebaran di layar ponsel Ava. Jadi pria yang Ava ajak bercinta, ternyata Wakil Direktur dari Bio Group.“Gila! Gil
TANDA TANYA YANG MENGANGA Sepanjang mendengarkan penjelasan Ava, Nico terus berpikir keras. Nico sudah tahu permainan Alex selama menjabat menjadi Direktur Utama setelah ayah mereka memutuskan untuk pension di usia enam puluh lima tahun. Alex bukanlah seorang pebisnis yang jujur. Meski tidak bisa dipungkiri jika Alex mampu menaikkan pendapatan Bio Group sepanjang dirinya mengepalai perusahaan besar tersebut. Selama ini Nico memilih untuk menutup mata, telinga, bahkan suaranya oleh semua tindak tanduk Alex. Nico juga memilih untuk tidak pernah mau ikut campur terlalu dalam pada manajemen perusahaan. Mungkin karena itu, Nico dianggap tidak memperdulikan perusahaan keluarganya. “Jadi, bagaimana menurut Bapak dengan konsep iklan yang kami tawarkan?” tanya Ava di ujung penjelasannya. Nico menatap Ava untuk beberapa lama. Entah apa yang Alex inginkan dari Amazed Company. Nico tahu betul, jika Alex sudah memilih salah satu perusahaan untuk dijadikan mitra, pasti Alex sedang mengincar ses
MENCARI NIA“Wah, tingginya!” Ava menatap gedung Bio Group yang berdiri gagah di tengah kota Jakarta. “Perusahaan elit emang beda.” Ava menghenal napasnya cukup panjang.Tepat jam sembilan lewat tiga puluh menit, Ava sudah tiba di loby gedung perkantoran Bio Group. Dia sengaja datang lebih awal dari janji temu di jam sepuluh pagi. Ava tidak pernah membiarkan dirinya datang terlambat di janji temu dengan klien-kliennya. Untuknya, ketepatan waktu adalah hal yang utama.“Silahkan. Pak Nico sudah menunggu di lantai lima belas,” pegawai resepsionis di gedung Bio Group memberikan kartu akses agak Ava bisa memasuki gedung dan menaiki lift.Sejujurnya, Ava tidak ingin menemui Nico lagi. Tapi Ava tidak punya alasan untuk menolak permintaan Nico. Lagipula, Nico adalah kliennya. Lebih tepatnya, klien besar di kantornya. Klien yang membuat Ava bisa menduduki jabatan asisten manajer seperti saat ini.“Selamat pagi…” sapa Ava sambil membuka pintu ruang kerja Nico.“Come!” suruh Nico dari meja kerja
TERBUKANYA RAHASIA“Video?!” Ava berpikir keras setelah Nico mengatakan jika dirinya memiliki video mereka di malam itu.Tidak. Tidak! Ava ingat betul jika tidak ada rekaman yang dibuat Nico. Tapi … Ava kembali berpikir. Yakin tidak yakin dengan pikirannya sendiri. Bisa jadi, Nico merekamnya dengan diam-diam.“Sial!” Ava meremas jari jemarinya sendiri. Dia mencoba mengingat, dimana Nico meletakkan ponsel malam itu.Mungkin lewat ponsel Nico? Jadi Ava tidak menyadarinya. “Brengsek!” Ava lantas mengumpat. Pantas aja, Nico semudah itu diajak tidur bersama. Mungkin konglomerat ini memang ingin memanfaatkan Ava sejak awal.Isi kepala Ava hanya berkutat dengan pertanyaanya sendiri.Apa iya? Mungkin tidak. Tapi, bisa jadi iya? Ah, gak mungkin.Kalimat -kalimat itu berputar terus menurus di pikirannya.“Sepertinya, itu jalan satu-satunya untuk menemukan Nia.” Nico merogoh kantongnya dan mengeluarkan ponsel miliknya.“Jangan!” Ava berusaha mengambil ponsel Nico.“Kenapa jadi kamu yang panik?”
EKSISTENSI ATAU POTENSI Seorang pelayanan pria berpakaian rapi dan bersih mendatangi Ava dengan ramah. Tangannya dengan sigap membuka napkin yang sebelumnya terlipat di atas meja untuk kemudian di s***k dan di simpan di atas pangkuan Ava. Ini memang bukan pertama kalinya Ava makan malam dengan konsep ‘Fine Dining’. Sebelumnya Ava pernah Fine Dining, tepatnya saat dia mengikuti kursus Table Manner setelah lulus sekolah. Itupun, karena tantenya yang memaksa. Katanya, seorang wanita harus mengerti tata krama, entah dari cara bicara, bersikap, bahkan saat makan. Saat itu, Ava pikir kursus yang terpaksa dia ikuti hanyalah sia-sia belaka. Kursus seperti itu lebih cocok untuk anak pengusaha, bukan anak biasa macam dirinya. Tapi, ternyata moment untuk menggunakan hasil kursus tiba juga. “Saya udah pilihan makanan untuk kita. Semoga kamu gak keberatan,” ucap Nico dengan santun. “Gak pa-pa,” balas Ava singkat. Entah karena tempatnya, entah karena suasanya, atau entah karena tamu-tamunya ya