Setelah beberapa hari Alma cuti kerja, untuk liburan ke Bali bersama Arya. Terpancar kebahagian dari wajahnya. Terlihat hari ini dia berkerja dengan aura lebih segar. Semua rekan kerja setiap ruangan mendapat bingkisan yang ia bawa dari Pulau Dewata, termasuk Intan mendapatkan bingkisan special, beda dari yang lain.
Alma melangkah menuju ruangan Intan sambil membawa sebuah tas dari kertas karton tebal.
“Ini buat loe!” Alma meletakkan di atas meja kerja Intan.“Makasih ya! Gimana liburanya?” tanya Intan.
“Ya begitulah biasalah Bali tak pernah sepi dari turis." Alma mengakat bahu dan melanjutkan ucapnya, "hari Minggu ke taman yuk temenin gue sama Cellin,” ujar Alma tanpa basa basi.
Intan tersenyum tipis, “Suamimu kemana?”
“Sama ayah mertua pergi ke pabrik, biasa urusan laki-laki. Temenin ya?”
“Iya tenang aja.”
Intan memutuskan langsung pulang, pertemuanya dengan Bara sudah memudarkan gairahnya untuk menikmati suasana taman pagi itu.Tas mungil Intan terasa bergetar pelan, dilihatnya ada notifikasi panggilan untuknya“Selamat pagi Bu? Ada yang bisa saya bantu?” tanya Intan dengan ramah“Nanti malam makan malam di rumah ya! Amin nanti jemput kamu sebelum pukul tujuh !” ujar Ming.“Iya Bu, terimakasih sebelumya.”Alma yang duduk di sebelah Intan sambil nyetir mobil tidak bisa menahan rasa penasaranya, ingin tau siapa yang telefon Intan.“Kamu dapat undangan lagi dari ibu bos besar?” tanya Alma.Intan nyengir sekilas, sambil menganggukan kepala pelan.“Anak buah bos loe itu ada puluhan bahkan ratusan, tapi gue heran kenapa cuma sama loe doang dia baik banget?” tutur Alma.“Mana aku tau? Mungkin kar
Wajah Mama Eva yang nampak kusut berubah menjadi bahagia, hanya kata nikah dari bibir Intan bak kata mujarab yang nampu membuatnya bahagia seratus persen lebih cepat.“Kamu mau menikah Intan?” tanya Mama Eva.“Pengen sih tapi entahlah.” Intan mencium pipi mamanya dan melangkah ke kamar.Mama Eva masih melihat Intan tidak percaya jika putrinya sebahagia malam ini. Tapi hari sudah terlalu malam untuk bertanya banyak hal pada Intan. Mama Eva memilih tidur karena sebelum subuh dia harus ke pasar untuk kebutuhan rumah makannya.Jam sudah menunjukan pukul dua dini hari tapi mata Intan tak kunjung terpejam, kini tak cuma Jimmy di fikiranya tapi ayah, Bara dan wanita simpanan ayah datang silih berganti.Beberapa jam yang lalu Intan bahagia kini berubah cemas, fikiranya melayang-layang entah kemana. Trauma masa kecilnya datang kembali dengan membawa sejuta presepsi melarihkan sejuta halusinasi tanpa batas.
Pukul enam sore Jimmy masih di kantor memperhatikan lembaran-lebaran kertas di atas meja kerjanya. Menampilkan beberapa lembar foto Intan. Wajah khas orang Asia, manis tidak membosankan untuk terus dipandang.Jimmy terseyum melihat foto Intan, seolah foto itu sedang tersenyum padanya. Mungkin baginya Intan sudah sekian dari wanita yang membuatnya penasaran tapi hanya pribadi Intan yang membuatnya mantap untuk berlabu, menjadikan tempat untuk pulang.Usianya yang memasuki tiga puluh tiga tahun, hasrat untuk menikah dan punya anak sudah lekat dalam dirinya. Tapi dirinya kini sedang dilanda rasa cemas, Intan sedang mengantung rasanya. Membuatnya sulit untuk konsentrasi hari ini, rasa percaya diri jika dirinya jika Intan menerima pinanganya, ternyata dugaan itu meleset.Jimmy meraih ponselnya dan menelfon Arya. “Halo, kamu lagi dimana? Bisa ngak datang k
Intan turun dari mobilnya melangkah dengan gontai, terpaksa memasang wajah bahagia atau biasa saja yang jelas jangan menampakan kesediahan di hadapan Mama Eva.Intan melangkah perlahan membuka pintu utama yang tak terkunci terlihat televisi menyala dan Mama Eva keadaan terjaga.Senyum dari wajah Intan mengembang melihat malaikat tak bersayab yang ia miliki, Mama Eva.“Ma, Intan sudah pulang!” tanggan Intan menyentuh lembut lengan Mama Eva.Perlahan mata keriput Mama Eva membuka, pipinya mengembang. Badanya yang mulai berisi sejak buka usaha rumah makan sedikit kesulitan bangun dari tidur.“Dasar tua, bangun saja susah,” terkekeh Mama Eva.Intan tersenyum, “tidurlah Ma!”“Kamu sudah makan?” tanya Mama Eva mengabaikan permintaan Intan.Intan mengeleng pelan. Dia memang belum makan sejak
Tiga orang dengan wajah serius saling berpadangan satu sama lain. Lembaran keras dan foto tegeletak di atas meja. “Aku tak mengira kau seorang stalker sejati Jim,” Arya terkekeh memecah keheningan. Matanya membaca lembaran tentang biodata Intan. “Aku sudah lama mengorek informasi tentangnya. Aku tahu dia dulu seorang selebgram yang pernah bermasalah tapi semakin kesini aku tahu betul dia tak bersalah.”Arya menatap tajam Jimmy lalu bertanya, “dari mana kau tau kebenaran soal itu?” “Melisa juga wanita dengan perwatakan keras. Dia mantan artis terkenal siapa yang tidak tau tentang masalalunya yang cukup kelam sebelum menikah, sering bermasalah dengan huk
Dalam meja bundar di sebuah cafe berkeliling empat orang. Lengkap dengan minuman di atas meja. Mereka nampak serius membiacarkan gangguan mental yang diderita Intan. “Fobia jatuh cinta atau secara medis disebut pilophobia yang Intan alami murni karena trauma masa kecil dan kejadian menyakitkan yang ia alami , dia teramat interovet tidak pernah curhat tentang isi hatinya.” Farhan menarik nafas panjang sejenak dan melanjutkan tutur katanya, “saat remaja dan pola pikir berkembang, stimulus dari orang tuanya negative dan semua ditelan mentah-mentah hingga menghasilkan pikiran yang keliru tentang cinta.”Jimmy mengerutkan kening dan bertanya, “apakah pilophobia bisa disembuhkan?” “Bisa, tapi butuh waktu untuk prosesnya dan Intan butuh dukungan banyak dari orang terdekat. Dan itu juga tergantung dari dalam diri Intan bagaimana dia mengalahakan pikiran negativenya.” Farhan menatap
Hari mulai gelap di kantor hanya tersisa beberapa petugas keamanan yang berjaga di luar ruangan, hanya ada Jimmy dan Intan yang masih di dalam ruangan.Tanggan Jimmy yang masih menyentuh tanggan Intan, merasakan suhu dingin dan getaran lembut dari tubuh Intan.“Kamu masih cemas?” tanya Jimmy.Intan mengangguk pelan, bibirnya ingin mengatakan sesuatu tapi masih keluh. Dirinya masih jauh dari kata stabil, otaknya sedang berusaha melawan segala kecemasan berusaha menguasai pikiranya.Tehnik yang diajarkan Farhan selaku dokter psikologi, saat mengalami kecemasan atau perasaan negative lainnya, hal yang pertama dilakukan yaitu merubah cara pandang atau prespektif. Mengoptimalkan otak dan pikiran agar lebih mendominasi pikiran positif dan optimis dari pada semua hal negative yang mulai masuk ke pikiran.Bagi Intan atau siapapun yang terbiasa dengan gangguan kecemasan ini tidak lah mudah, otak dan pikiran
Stif masih membeku berdiri tepat di samping ayah. Fani melangkah keluar meninggalkan mereka berdua seolah-olah sedang memberi waktu untuk bapak dan anak berkumpul.Tubuh Stif membeku melihat seorang laki-laki yang begitu ia hormati terbaring lemah. Dialah seorang laki-laki yang sangat di rindukan Stif, rindu yang tak pernah sampai karena keangkuhan hati yang terlalu keras.Kadang hidup memang cukup runyam untuk sekedar dijalani tanpa ditelaah. “Duduklah!” tutur sapa Ayah sangat lembut. Mungkin ini pertama kali Stif mendengar Ayah begitu lembut.Stif duduk kursi yang telah di sediakan tepat berada di sebelah tempat tidur ayah. Wajah anak laki-laki itu tertunduk. Perasaanya begitu berkecambuk. Ini tidak mudah untuknya tapi di banding Intan Stif lebih kuat untuk urusan perasaan.&nbs