"Dek?"
Suara seseorang membangunkan Giovano dari tidur ayamnya. Matanya langsung membuka dan tersadar bahwa dirinya hampir terlelap di jam kerja. Saat ini ia menggantikan temannya yang bekerja menjadi penjaga toko baju.
Kegiatan di kampus yang cukup menguras tenaga, ditambah satu jam yang lalu toko ini sangat ramai membuat laki-laki itu kehabisan stamina.
"Ah ... maaf, Bang," tukasnya seraya mengusap wajah.
"Ngantuk, ya? Cuci muka dulu sana." Giovano mengangguk, kemudian beranjak ke kamar mandi toko.
"Dia siapa, sih?"
"Temannya si Irfan, gak tahu gue juga."
"Bisa-bisanya gantiin kerja tanpa daftar, interview, dan berurusan dengan atasan."
"Katanya dia gantiin si Irfan hari ini doang, nanti dibayar sama Irfan."
"Hadeh ... kalau gue gak punya hutang sama Irfan mah udah gue laporin."
Langkah tegap Giovano menghiasi kesunyian malam. Setelah bekerja sebagai kuli angkut di pasar sejak pagi tadi, bahunya terasa amat pegal, bahkan hampir keram. Sepanjang jalan ia mengelus belikatnya.Seberat inikah hidupnya, Tuhan? Dituntut keluarga, tetapi juga diasingkan dari hangatnya kasih sayang. Diperintah menjadi yang paling bisa di atas banyaknya kekurangan. Mampukah ia menjadi penyangga kokoh ketika separuh dari dirinya sudah rapuh? Namun, jika ia patah, bagaimana dengan nasib saudarinya? Bagaimana dengan keharmonisan rumah tangga yang ia impikan? Semesta seolah tidak memberikan jeda sejenak untuk laki-laki itu beristirahat. Seakan-akan ia diberi dua pilihan, antara bertahan dengan sulitnya di medan perang yang entah kapan berakhir, atau mengakhiri semuanya tanpa kemenangan apa pun.Giovano teringat dengan ayahnya. Ksatria tanpa kuda yang akan selalu melindungi tanpa tameng, di mana kehadiran sosok itu? Kata orang, ayah adalah super
"Terserah kamu, deh, aku gak peduli!"Tuuuut!Drea langsung menutup sambungan telepon bersama kekasihnya, Gumelar. Kali pertama menjalani hubungan jauh memang sangat menguras emosi baginya. Pasalnya, sering sekali akun sosial media Gumelar ditag gadis lain yang meng-upload foto bersamanya. Perempuan mana yang tidak geram melihat pasangannya bersanding dengan perempuan lain?Terlebih lagi, akhir-akhir ini Gumelar sulit dihubungi, membuat pikiran-pikiran buruk berdatangan."Ugh! Dasar cowok jelek!!!" teriak Drea memaki Gumelar setelah melihat foto mereka bersama saat di Bali."Oh iya ... Giovano kan teman dekatnya Gumelar. Apa gue tanya dia aja, ya?" bisik Drea sambil mencari kontak Giovano yang sempat dikasih Gumelar untuk jaga-jaga kalau ponselnya mati saat memiliki janji dengannya di Bali.Drea: “Gio?”Giovano: “Siapa?”
Geovani menatap layar ponselnya penuh duka. Sebuah snap di sosial media Erlangga Daniel yang menampilkan sepasang tangan dengan cincin couple yang saling bertaut satu sama lain."Apaan, sih, sok-sokan galau lo, Geo," celetuk Drea dari karpet bawah.Sejak pulang dari kampus tadi, Drea bermain di rumah Geovani. Ia juga izin untuk menginap."Diam, deh.""Geo, sebenernya lo tuh cuma sekadar kagum aja tau sama Daniel. Percaya, deh, kelihatan.""Ya, memang saya kagum.""Maksud gue, kagum sama prestasi dia, kagum sama kharisma dia, gitu doang. Enggak sampai yang suka terus bikin lo jadi bucin. Bisa dibilang, lo kesugesti aja sama perasaan lo. Buktinya, lo enggak ada niatan buat miliki dia, kan?""Sok tahu! Waktu itu kan sudah pernah, Drea, tetapi saya salah orang. Malah ... ke Giovano," lirih Geovani sedikit tersipu."Banyak kesempatan. Tapi, lo sengaja nunda-nunda. Cuma ngejar dia, bilang ke satu dunia lo suka sama dia, padahal lo cuma
"Makasih ya, Bang," ucap Giovano setelah Mark—temannya—membayar pemuda itu atas kerjanya."Yo, gue juga makasih banyak."Giovano pamit dan beranjak pulang. Untungnya, hujan deras tadi sudah reda, hanya menyisakan genangan-genangan sendu. Ia memasukan uang dari Mark ke dalam dompetnya. Kosong melompong. Benar-benar tidak ada selembar uang pun selain uang yamg baru saja didapat. Jelas begitu, setiap mendapat bayaran, ia langsung menyerahkannya untuk kedua adik perempuannya.Giovano mengulet.Andai saja jika ia memiliki pekerjaan tetap, walaupun gajinya kecil, setidaknya bisa mencukupi satu Minggu."Gio!" Teriakan dari belakang membuat Giovano berbalik badan.Mark mengejarnya dengan membawa kantung plastik hitam di tangannya."Eh, kenapa, Bang?""Ini, Nayla sama Kayla pasti belum makan, kan? Nih, lo makan bareng mereka.""Wih, makasih, Bang.""Udah, ya, gue balik. Hati-hati lo," ucap Mark menutup perbincangan, lalu be
"Aku enggak butuh, Bunda." Laki-laki itu menolak amplop cokelat dari Alesya. Bola mata yang dikaruniai pupil hitam pekat itu kini diselimuti air bening. Pelupuk matanya yang menghitam bak membendung telaga. Ia kembali berucap, "Aku enggak butuh apa-apa dari Bunda selain kasih sayang."Plakkk!"Selama ini Bunda bersusah-payah karena kamu dan demi kamu, tetapi kamu justru menganggap Bunda tidak menyayangi kamu?!" Alesya melayangkan tangannya ke arah rahang Giovano.Entah bagaimana cara mereka saling menjelaskan apa yang dirasakan satu sama lain. Rasa lelah Giovano mendadak hilang tergantikan luka yang tersulut ketika melihat Alesya tersenyum ramah tadi. Giovano tersakiti, lalu di atas kesengsaraannya, sang Bunda masih dapat mengayunkan senyuman? Memberikan uang bulanan yang nominalnya hanya cukup untuk SPP sekolah adik-adiknya, bahkan keperluan ia sendiri justru mendapat bantuan dari teman. Namun, Alesya masih dapat tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa."
7 June xxxxAh, gila, sih!Hari ulang tahun gue ini, masa Alesya ngadoin buku diary?! Buset, kayak cewek gue. Mana warnanya merah muda. Cucok banget, astaga, Alesya!Tapi, gak apa-apa, dah. Walaupun gue isi ini buku cakep covernya dengan tulisan ceker bebek, tapi berguna banget buat gue. Apa lagi kalo mau ujian, lumayan jadi kertas contekan. Hahahaha.Makasih, Aley.18 Jully xxxxEh, sumpah udah lama gak nulis di sini. Gila, masih bersih banget ini buku, hahaha. Hari ini gue mau tulis apa, yak?Oh, iya ....Masa akhir-akhir ini gue kayak gak percaya diri setiap ketemu Aley alias si Alesya. Gak tau dah kenapa. Tiap gue konsultasi sama temen, dibilangnya gue demen sama dia. Gila, sih, masa iya gue suka sama sahabat kecil. Ngarang banget. Dah lah, pegel mata
Ceklek!Geovani membuka pintunya sangat pelan, berharap suaranya tidak terdengar Drea yang sedang menginap di rumahnya.Namun, usahanya gagal ketika mendapati Drea menunggunya sambil menonton TV di ruang tengah. Geovani berlari memeluk erat sahabatnya. Sampai-sampai Drea terkejut akan tingkahnya."Ge–Geo?""Maafin saya, Drea. Saya memang manusia yang kurang bersyukur. Terima kasih selalu ada untuk saya," celotehnya.Drea tersenyum simpul, ia mengelus punggung Geovani lembut. Tidak pernah menyangka bahwa seseorang yang berawal hanya teman sekelas, bisa membuatnya menganggap orang itu sebagai saudarinya.Bagi Drea, Geovani adalah role modelnya. Seorang gadis yang masih dapat berdiri dengan tangguh saat kehidupannya dikalut badai. Makanya, ia tidak ingin Geovani terus menerus mengambil langkah yang salah."Lo dari mana aja?""Tidak tahu, saya keliling kampus.""Hah?! Kampus? Ngapain?" tanya Drea seraya melepas pelukan Geovani.
Redup lampu malam menemani Papa berceramah panjang lebar kepada dua remaja itu di ruang tamu. Tidak, dari pada menceramahi, Papa lebih menyindir Geovani dan mengaitkan kelakuannya dengan kehidupan mamanya, sebelum sempat Geovani menjelaskan detail kejadiannya."Memang benar, buah jatuh tidak jauh dari pohonnya. Ibunya murahan, sudah pasti anaknya murahan," gumam Papa dengan nada sinisme.Geovani yang sudah berkeringat dingin hanya bisa menunduk, menyembunyikan lukanya serta terlalu malu dengan Giovano di sebelahnya."Geovani, kalau sampai ada rumor tentangmu yang menjatuhkan harga diri saya, benar-benar tidak akan saya maafkan. Sudah cukup ibumu saja yang hampir menghancurkan hidup saya." Papa berganti menatap Giovano yang sama sekali tidak memasang raut wajah takut. Lalu, kembali berceloteh, "Kamu juga, apa orang tuamu tidak mendidikmu? Ini sudah malam, tidak bagus seorang lelaki mengunjungi rumah perempuan. Coba dengari kata-kata ibu ayahmu, jika mereka orang bai