Share

8. Undangan Makan Malam untuk Dev

Sedikit berjalan pincang sambil memegangi punggungnya, perempuan itu memaksakan diri untuk berjalan keluar ruangan. Dia tidak menjawab pertanyaan Dev, namun hanya memberikan gerakan isyarat melalui telunjuknya agar Dev tetap di tempat. Juga seolah memberitahu kalau dia akan segera kembali.

Dan entah bagaimana, sikap perempuan misterius itu membuat Dev termangu.

Hingga tak lama setelahnya, perempuan itu pun kembali dengan penampilan yang membuat bola mata Dev membulat kaget.

Tubuh perempuan itu kini hanya berbalut dress putih selutut. Tidak lagi memakai jaket dan celana putih tadi. Rambut putih bergelombangnya tetap diikat tinggi.

Tidak. Tentu bukan itu semua yang membuat Dev kaget.

Tapi saat Dev menyadari kalau perempuan ini ... ternyata tidak pakai bra. Siapapun bisa melihat itu karena dress itu bahannya tipis. Astaga!

Oke. Dev memang sudah sering melihat perempuan tidak tahu malu di dunia ini. Tapi bukannya tergiur, justru Dev merasa sangat jijik. Memandang dan menyayangkan betapa menyedihkannya perempuan di dunia ini yang tidak bisa menjaga diri dan tubuh mereka dengan baik.

Makanya Dev paling malas kalau misinya berkaitan dengan perempuan seperti ini. Karena ujung-ujungnya pasti bakal merepotkan. Seperti sekarang.

"Hoi. Apa yang mau kamu lakukan?" tanya Dev dengan wajah penuh angkuh. Masih dalam posisi duduk.

Perempuan itu tidak menjawab. Sambil berjalan mendekat kepada Dev, gadis pucat itu menurunkan tali dressnya. Juga memperlihatkan sorot mata sayu misterius yang tidak dapat Dev mengerti.

Dan sebelum Dev bangkit untuk menghindar, perempuan itu tiba-tiba duduk di hadapan Dev. Lalu membalikkan tubuh dan menghadapkan punggung lebam itu pada Dev. Sebenarnya apa mau perempuam aneh ini?

"Menampakkan punggung telanjang seperti ini pada laki-laki asing? Apa urat malumu sudah putus? Atau kau sudah terbiasa mempertontonkan hal ini pada lelaki diluar sana?" tanya Dev sembari memasang raut ngeri sekaligus jijik.

Luka itu terlihat seperti lebam yang sangat besar. Ternyata tendangan pemungkas Dev berefek separah ini pada punggung perempuan itu.

"Sudah jangan berisik. Kau berhutang padaku karena membuat punggungku begini. Sekarang obati lukaku!" ucap perempuan itu datar namun tegas.

Lalu tanpa menatap kebelakang, perempuan itu menunjuk ke sudut ruangan. Tempat kotak obat berada.

"Ambil obatnya disana!" perintah perempuan itu lagi.

Tentu saja sikap perempuan itu sontak mematik bara kemarahan dalam diri Dev. Bagaimana mungkin seorang perempuan memerintah Dev seenaknya seperti ini?

"Hutang katamu???"

Maka jangan heran kalau setelahnya tangan Dev mengepal erat. Bersiap bangkit dan hendak melayangkan satu pukulan. Tapi pukulan itu sontak terhenti karena perempuan itu tiba-tiba berbalik dan menahan kepalan tangan Dev dengan cepat. Hebat juga insting perempuan itu.

"Aku sudah menyelamatkanmu dari perampok itu, lho. Jadi hutang maafku sudah lunas. Dan sekarang, kamu harus membalas budi baikku. Biar impas," katanya enteng. "Permintaanku juga tidak sulit. Lagipula lukaku ini kan hasil perbuatanmu," ucap perempuan itu sembari menyeringai.

Makin beranglah Devlin. Dia jelas tidak terima dengan ucapan perempuan itu. Hingga tak ayal rahang dan otot wajah Dev benar-benar mengeras sekarang.

"Kamu pikir aku tidak bisa menyelamatkan diri sendiri, hum? Lagipula siapa juga yang ingin ditolong sama kamu?"

Dev lantas menarik tangan perempuan itu dengan kasar. Membuat wajah mereka hampir bertumbukan, menyisakan jarak yang kurang dari sepuluh senti. Dari situlah keduanya bisa merasakan napas mereka yang sama-sama memburu karena mulai terpancing oleh amarah. Juga tumbukan manik mata mereka yang terlihat berkilat-kilat.

"Kalau cuma cecunguk-cecunguk perampok itu, aku juga bisa membabat habis mereka sampai tidak bersisa! Bahkan tanpa bantuanmu! Mengerti?"

Ditantang begitu justru perempuan itu menghelakan napas pelan sambil menyunggingkan senyum miring.

Dan tanpa sedikitpun menggeser pandangannya dari manik mata kecoklatan milik Dev, perempuan itu pun menghempaskan tangannya agar terbebas dari cengkraman tangan Dev.

"Baiklah, Tuan Jagoan. Kalau kamu tidak mau membayar hutang budi, terserah saja. Kamu bisa pergi sekarang. Kalau cuma luka seperti ini, aku bisa mengobati lukaku sendiri," jawab gadis itu enteng.

Perempuan itu lantas menyentuhkan telunjuknya pada dada Dev. Membuat gerakan mendorong agar Dev menjauh darinya.

Devlin mengerjap sekilas. Agak terkejut dengan tindakan dan ucapan perempuan itu barusan. Tapi tangannya refleks mencengkram lengan perempuan itu sebelum berbalik.

"Kamu pikir untuk apa aku kemari?"

Perempuan itu menoleh. Lalu tersenyum lucu. "Apa kamu mengikutiku sampai kesini karena ingin mengajakku berkenalan dan berkencan? Wah, aku jadi tersanjung!"

Jeda beberapa detik kemudian, atensi mereka serempak teralihkan oleh suara derap langkah beberapa orang dari luar yang sedang menuju ke ruangan sepi ini.

Tidak disangka, itu langkah dari anak-anak kecil tadi. Dan ada satu orang nenek tua juga di belakang mereka.

Buru-buru perempuan itu menaikkan tali dressnya untuk menutupi luka lebam di punggungnya lalu berbalik badan menghadap mereka. Sepertinya gadis itu tidak ingin memperlihatkan lebamnya pada mereka.

"Eve? Siapa dia? Apa dia temanmu?" sapa Nenek itu seraya mengembangkan senyuman di raut wajah senjanya.

Perempuan yang ternyata bernama Eve itu menolah cepat. "Dia ini--"

Sejenak Eve berpikir. Mencari-cari alasan tepat. Dan beruntungnya Eve cukup jeli. Bola matanya bergerak dan menemukan kumis palsu yang terpasang di bawah hidung Dev, juga kamera reporter yang menggantung di kalung pria itu. Dari kamera itulah timbul sebuah ide jawaban dari isi kepala Eve.

Namun sebelum Eve mengutarakan jawaban itu, muncul suara sahutan dari bocah ketapel yang tadi menembak Dev dengan kelereng. Terlihat anak itu kaget dengan sosok Dev yang tiba-tiba bisa disini.

"Bentar deh! Orang ini bukannya tadi yang mengejar kakak--"

"Di--Dia ini Pak fotografer yang memintaku jadi model! Makanya dia mengejarku, Nek!" jawab Eve asal.

Hening sejenak. Sampai di dua detik setelahnya Eve baru menyadari kalau jawaban itu terdengar sangat aneh dan sama sekali tidak masuk akal.

'Bodoooh! Kenapa aku malah bicara hal bodoh seperti itu sih? Niatnya ingin menutupinya dari Nenek, aku malah memberi alasan bodoh!' runtuk Eve dalam hati.

Yang tentunya jawaban itu sontak membuat Dev melirik shock. Tidak terima dipanggil Bapak-bapak karena memakai kumis palsu. "Hoi!!"

NYUT!

Untuk membungkam kata protes Dev, Eve diam-diam beringsut mendekat untuk mencubit pinggang Dev agak keras. Seperti memberi isyarat agar Dev menurut saja dengan sandiwara Eve.

Dua mata Dev pun melotot marah kepada Eve. "Apa-apaan kau--"

"Eve ditawari menjadi seorang model? Itu bagus sekali! Kecantikan wajah dan tubuhnya pasti menarik perhatianmu kan, Pak Fotografer? Matamu sangat jeli dalam memilih model!" 

Sungguh diluar dugaan, Nenek itu malah percaya dengan omongan ngawur Eve. Dan bodohnya juga kepala Dev dan Eve bisa serempak mengangguk--seperti membenarkan ucapan Sang Nenek.

Dan beberapa detik ketika Nenek itu memperhatikan Dev lebih dekat dari atas kebawah, dari situlah beliau baru terkejut saat melihat kaki Dev.

"Oh astaga! Kaki Anda berdarah!!"

Nenek yang menyadari keanehan pada kaos kaki dan sepatu Dev yang sudah basah oleh darah itu pun panik. Menghampiri Dev sembari mengecek kaki itu.

Dan selanjutnya, tidak heran kalau nenek itu kemudian menoleh tajam kearah Eve.

"Eve! Kenapa kau tidak bilang kalau dia terluka? Sebaiknya cepat kau obati luka Pak Fotografer!"

Eve pun refleks melotot tidak percaya. "A-Apa? Tapi Nek--"

"Tidak ada tapi! Sekarang, Eve!" titah Nenek itu tanpa ampun.

Eve mengerjap sekilas. Tapi selanjutnya dia memasang wajah cemberut sambil berlalu. Mengambil beberapa obat dari kotak obat di sudut sana.

"Setelah dia diobati, sebaiknya ajak beliau makan malam juga. Nenek kebetulan masak banyak," ucap Nenek itu lagi sebelum akhirnya beliau pergi meninggalkan ruang tengah itu bersama anak-anak lain.

Lagi-lagi Sang Nenek membuat Eve terhenyak. "Tunggu. Nenek sepertinya terlalu berlebihan. Kita tidak seharusnya menjamu orang asing yang--"

Nenek itu berbalik. Tidak menghiraukan kalimat protes Eve sambil berujar dengan tegas. "Nenek tunggu di meja makan."

Eve menggeleng miris seraya menatap miris kearah punggung Sang Nenek yang hilang dibalik pintu ruangan tertutup.

Kali ini Eve dan Dev ditinggal sendirian lagi. Tapi keduanya sama-sama tahu, kalau dari balik pintu sana ada anak-anak yang mengawasi mereka.

Eve seketika memalingkan wajah kepada Dev. Menatap dengan picingan mata yang tajam, juga kesal luar biasa.

"Dengar. Aku akan mengobati kakimu. Tapi tidak dengan untuk makan malam dengan kami! Jadi setelah luka kakimu beres, kamu harus segera pergi dari sini!"

Dev yang mendengar ancaman jahat itu justru tertawa. Lalu sedikit mencondongkan wajahnya agar sejajar dengan tinggi badan perempuan itu

"Kalau aku nggak mau, gimana? Aku juga kebetulan lagi laper," bisik Dev enteng, lengkap dengan seringaian remeh yang tersungging di bibirnya.

Tentunya Dev menganggap undangan makan malam ini sebagai kesempatan emas. Dengan berdiam diri sementara disini, Dev bisa mengorek lebih dalam tentang para penjahat dan apa yang terjadi disini.

Eve menggeram. "Kau--"

"Kakaaakk! Ditunggu Nenek suruh cepetan katanya!!" seru beberapa anak itu dari luar.

Sepertinya Eve tidak punya pilihan lain. Jadi ia pun segera memberikan isyarat pada Dev untuk duduk di kursi sofa di ruang itu. Agar Eve bisa mengobati kaki Dev.

Hingga beberapa menit mereka tidak ada yang bicara. Tapi mata Dev memicing kesegala ruangan.

Dan dari situ Dev baru sadar, kalau ternyata ruangan itu adalah ruangan santai kosong yang hanya terdiri dari satu set meja dan sofa. Dan ada karpet lembut yang hampir menutup seluruh lantai di ruangan itu.

Lalu saat Dev menggeser bola matanya ke dinding ruangan itu, Dev pun mengerti kalau dinding itu terbuat dari kayu.

Dan hanya butuh waktu setengah detik bagi Dev untuk menemukan bilah kayu berwarna agak gelap diantara bilah dinding kayu lainnya. Dari situ Dev yakin kalau dia pasti tadi diseret kemari oleh Eve melalui bilah kayu pintu rahasia itu.

"Pintu rahasia yang bagus untuk markas penjahat seperti kalian. Mungkin kau harus mengubah warna papan kayunya, kalau tidak ingin musuh kalian menyadari keberadaan pintu itu," ujar Dev dengan nada mengejek.

Eve mendongak. Sekilas menatap Dev dengan tatapan memicing. "Terserah kamu mau bilang kami penjahat. Jaman sekarang status itu sudah tidak diperlukan lagi." Lalu ia pun menghelakan napas. "Tapi satu hal yang harus kamu tahu. Kami tidak sama seperti mereka. Yang kami lakukan selama ini hanyalah untuk mempertahankan diri dari perampok yang ingin mencuri tanah dan tempat tinggal kami."

**

To be continued.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status