Share

I Love You, Mr. Brewok
I Love You, Mr. Brewok
Author: Mayht

Kedipan (yang Seharusnya) Mesum

Bagaimana bisa hidup ini berlalu begitu cepat. Masa-masa indah menjadi kenangan. Tangis bayi di kamar persalinan sudah berganti menjadi keluh kesah di masa dewasa. Masa kanak-kanak berganti menjadi kesendirian. Hampir setiap hari keputusan diperlukan. Moment-moment hidup tidak lagi membuat antusias. Perlahan-lahan hidup pun tidak bergerak, hanya dunia yang terus bergerak tidak mau menunggu.

Diantara awal perubahan hingga menuju titik terendah lagi, ada jembatan penghubung. Ada proses berbentuk jembatan menghubungkan awal dan akhir. Di jembatan itulah kehidupan kita yang sebenarnya terjadi. Di jembatan itulah awal mengantar kita ke akhir selangkah-demi selangkah. Awal dan akhir semuanya keputusan Tuhan. Akan tetapi, pilihan tetap di tangan kita sendiri. 

Jembatanku akan kubuka, kuceritakan pada kalian semua. Jembatanku penuh cerita. Jadi, akan kuambil yang terbaik menurutku untuk kuceritakan pada kalian. 

Jembatan itu...telah dibuka....

***

19 tahun lalu di kota Bandung yang dingin dalam sebuah keluarga penuh tawa bahagia, aku lahir sebagai anak tunggal. Awalnya sebagai anak tunggal menyenangkan. Semua perhatian, kasih sayang dan kehidupan orangtuaku hanya tercurah padaku saja. Segala sesuatunya tersedia. MEreka menajdi tamengku di setiap saat. Tetapi, segala sesuatunya dalam hidupku juga hampir selalu diputuskan oleh orangtuaku. Setiap pilihan ada mereka di dalamnya walau aku sendiri sebenarnya bisa memutuskan apa yang kumau. Ini itu mereka pasti tahu. Hampir tidak pernah mereka kelolosan. Hanya sekali saja saat aku memakan permen gulali yang dijual pinggir jalan, itu pun beberapa hari berikutnya gigiku sakit. Untung saja aku tetap bisa menyembunyikan semuanya. Hahaha...

Saat itu mungkin karna aku masih kecil, masih tinggal bersama mereka. Jadi, secara langsung dan tidak langsung, aku masih bergantung pada mereka. Sekarang setelah seragam putih abu-abu lepas dari kehidupan remajaku, aku akhirnya bisa memutuskan sendiri apa yang inginku kejar. Pertamakalinya dalam hidupku, suaraku tidak dibantah oleh mereka. Mereka melepaskan kekuasaan mereka, tidak mau mencampuri impianku.

Jurusan Arsitektur di salah satu universitas negeri terbaik di Jakarta adalah salah satu pilihan itu. Berasal dari keluarga yang berkecimpung di dunia design dan bangunan sedikit banyaknya menjadi inspirasi untuk terjun kedalam dunia Arsitektur.

Maka ketika namaku tercantum dalam daftar calon mahasiswa yang lulus dalam Universitas ini, aku dan orang tuaku sangat bahagia, mereka bahkan membangga-banggakanku didepan keluarga yang lain. Walau akhirnya harus menerima resiko jauh dari orang tua dan mencoba hidup mandiri di kota Jakarta ini, aku tetap pada pilihanku.

Awalnya mereka sangat berat melepas. Tapi jurus maut rayuan yang sudah kupersiapkan jauh-jauh hari beserta ribuan alasan pendukung lainnya, mereka pada akhirnya menyetujuinya. Aku resmi menjadi anak rantau di Jakarta. Bergabung bersama ribuan mahasiswa-mahasiswi rantau lainnya. Di sinilah awal kehidupan versi dewasa...dimulai.

Khususnya pasti kehidupan percintaanku juga. Mengingat aku belum pernah pacaran sebelumnya, ini pasti perjalanan yang akan menyenangkan. Semuanya serba pertamakali.

***

Pagi ini, hari pertama kuliah secara resmi dimulai setelah melalui MOS berjilid-jilid. Dalam perjanjian antara diri dan komitmenku tadi malam untuk menjadi mahasiswa disiplin yang selalu menebarkan hal-hal positif disetiap langkah, aku sudah merencanakan agar pagi ini menjadi mahasiswi pertama yang hadir di kelas, duduk paling depan, menyetorkan wajah sumringah pada dosen dan tentu saja mencari perhatiannya. Agar kehidupan kuliahku mulus lancar jaya. Itulah pikiran licikku....

Dan....

Disinilah aku sekarang....

Di depan kelas ditemani tatapan mengejek mahasiswa-mahasiswi lainnya dipimpin oleh dosen yang kuperkirakan sudah mempunyai cucu ini. Nafasku masih ngos-ngosan efek lomba lari antara aku dan jarum jam tanganku tadi saat menuju kesini.

Aku harus mengungsi keluar setelah diceramahi dengan kata-kata setajam silet. Sebelumnya aku juga harus mengucapkan janji untuk tidak mengulanginya lagi di depan kelas. Tidak ada bendera putih tidak ada toleransi sebagai sesama makhluk hidup yang sama-sama tidak sempurna. Aku melangkah gontai.

"Bagus. This is my first day and it’s toooooo....awesome"

***

Langkah gontai membawaku sampai di perpustakaan kampus.

Sepi.

Sepi sekali.

Tidak ada terlihat satu manusia pun termasuk penjaga perpustakaannya. Aku tidak tahu apa ada orang di ruangan di balik sekat kayu di depanku sana. Podium kebanggaan setiap penjaga perpustakaan di depan sekat itu pun kosong. Tidak ada orang.

"Hellooo anybody home" teriakku dari pintu perpus.

"Ssstt ini perpustakaan bukan terminal. Pake teriak-teriak segala" Sesosok tubuh gemuk dan gempal muncul dari belakangku, sukses mengagetkan.

"Eh maaf bu. Saya kira tidak ada orang. Soalnya sepi banget"

“Namanya juga perpustakaan, memang kamu kira diskotik?"

"Hehe” aku menggaruk kepala “Kalau begitu saya permisi mau masuk dulu, bu" aku melangkah masuk disertai tajamnya kedua matanya.

Brug!

"Aduh!!!" rasa nyeri membungkus lututku. Aku tidak sengaja menyandung kakiku sendiri.

"Ckckckck neng neng...udah teriak-teriak ga jelas, jatuh lagi....kamu itu dari planet mana sih neng???!!!" Ibu gemuk itu menceramahi sambil membantu berdiri.

Hampir saja jantung kami copot, saat sesosok tubuh tiba-tiba sudah berdiri dihadapan kami.

"Astaganaga ular naga panjangnya...astaga pak...anda bikin terkejut saja tiba-tiba sudah ada disitu"

Pria berjambang yang kelihatan sangat mempesona dengan kemeja biru dan celana hitamnya itu pun sedikit tersenyum.

"Maaf bu Nilam, saya sedang buru-buru, dari tadi saya sudah menunggu anda disini. Saya ingin mengambil titipan saya"

"Oh ia titipan...ok ok tunggu sebentar pak" ujarnya sambil tergesa-gesa berlalu.

"Oooh ibu Nilam namanya..."

"Mahasiswa baru?"

"Hmm? Saya maksudnya, pak?"

"Bukan...."

"Trus?"

"Tembok" ujarnya ketus menunjuk tembok dengan dagunya.

"Aiih apa-apaan sih, pak" ujarku sambil memonyongkan bibirku.

Pria itu menoleh dan menatap dengan dinginnya tepat dimataku. Ditengah detak jantungku yang berderam tak terkendali karena tatapan yang tak terduga itu, secara tiba-tiba si bapak dengan dagu dan pipi brewokan itu mengedipkan mata kanannya yang seksi.

Duarrrr!!!!!

Walaupun aku tidak yakin itu kedipan atau apa, tapi terlanjur jantungku meledak seperti kembang api tahun baruan. Mataku hanya bisa berkedap-kedip. Kalau benar itu kedipan, bukankah seharusnya itu adalah hal mesum yang harus kuhindari? Aku terlalu muda untuk dijadikan sasaran kedipan mesum itu. Tapi kenapa aku malah mematung dengan sejuta ledakan kembang api di otakku seperti ini?

“Kamu ga kenal saya, ya?”

Mataku membelalak. Di tengah-tengah kembang api yang berubah menjadi kobaran api itu pertanyaannya terasa sangat janggal. Sudah sangat jelas aku baru pertamakali bertemu dengannya disini. Di tempat ini. Tidak ada satu pun atribut-atribut wajahnya yang bisa kukenali.

"Pak, ini titipannya" Bu Nilam datang menyerahkan buku tebal berwarna coklat kuno dan usang membuyarkan kembang api tahun baruan barusan.

"Terimakasih bu Nilam...saya permisi dulu" pria itu pun melangkah pergi tanpa menoleh padaku yang masih terbakar ini.

"Sama-sama pak..." ibu Nilam tersenyum genit. NAda suaranya juga di buat-buat genit. Ekspresiku seketika berubah menjadi datar kembali.

Demi menenangkan perutku yang sudah bersiap-siap memuntahkan isinya ini, aku mengurungkan niat lebih lama berada disitu. Segera aku permisi melangkah cepat keluar dari situ. Kantin mungkin saja bisa menenangkan pikiran ini.

***

"Hey Muffin!"

Baru 3 langkah dari perpustakaan aku mendengar seseorang memanggil. Ternyata masih ada yang mengenalku si introvert ini.

Muffin??? Nama yg aneh bukan? Yah itu adalah namaku, Muffin Akredita. Entah terinspirasi dari mana orang tuaku menamaiku seperti itu, yang jelas, nama Muffin telah membawaku menjadi orang yang sedikit populer (lebih tepatnya diejek "kue" karena muffin tentu saja adalah sejenis kue). Ejekan itu di mulai saat aku TK. Kepopuleran itu mereda saat memasuki kuliah. Ternyata masih banyak nama-nama aneh mahasiswa lainnya di universitas ini. Itu membuatku lega karena akhirnya beban kepopuleranku berkurang, terkikis oleh mereka-mereka yang bernasib sama.

Dulu aku suka berandai-andai. Seandainya aku konglomerat, aku berencana mengumpulkan orang-orang yang ebrnasib sama denganku, membuat pesta tujuh hari tujuh malam bersama mereka, atau bila aku punya sihir, aku akan mengubah nama semua orang menjadi seaneh bahkan lebih aneh dari namaku. Kalau perlu, bila aku menjadi presiden aku akan membuat peraturan agar semua bayi yang lahir harus diberi nama lebih aneh dari namaku. Mungkin darah Kim Jong Un sudah mengalir deras di dalam tubuhku ini.

Aku mendapati sesosok tubuh kurus kering berambut hitam legam lurus panjang sedang berlari menuju ke arahku.

"Ariana!!!" aku sedikit berlari menyambutnya. Kami pun menyalurkan rasa rindu lewat pelukan sambil melompat-lompat seperti anak kecil.

"Hey...kemana aja, sih Muffin Akredita...ga pernah ngasih kabar lagi"

Ariana Santosa, adalah sahabatku sejak SMP. Memasuki SMA dia pindah ke Prancis meninggalkanku sendiri dalam sepi dan keheningan malam (abaikan!!!). Sampai SMA kami masih sering saling memberi kabar, tapi sejak memasuki masa UN dan sampai saat sebelum dia menyapaku tadi, kami tak pernah berhubungan lagi. Oh ia dia adalah mantan pacar tetanggaku, mas Panji (aku kira ini tidak terlalu penting).

"Iya...maaf Ri aku sibuk banget. Eh kamu juga kuliah disini?" ucapku setelah kami melepas pelukan kami.

"Cieelah yg calon wanita karier. Ia kuliah disini"

"Hehehe...eh kapan nyampenya?"

"Udah dari beberapa bulan lalu keless"

"Ish... kenapa ga bilang-bilang"

"Nomor & bbmmu ga aktif. Kayanya Inbox f* dan dm twitter plus igmu udah penuh gegara pesan dariku...kamunya aja yang ga peka, wuu..."

"Ia tah? Hehehe maaf-maaf gara-gara ujian aku ga pernah ngisi kuota buat ngecek sosmed lagi. Nomor juga udah ganti" aku menunjukkan cengiran plus penyesalan.

"Hmm...ya udah, berarti sudah jelas, kan, siapa yang ga bisa dihubungi sama sekali.  Eh aku laper nih cari makan, yuk, sambil kangen-kangenan"

"Yukk"

Dengan otakku yang mungkin saat itu sedang  kosong dan tidak berbobot sama sekali, aku pun mengiyakan ajakan best friendku itu tanpa ingat bahwa 1 jam lagi masih ada mata kuliah yang menanti.

Tapi apa kau tahu? Bahwa kebodohan ini adalah awal kedua dari proporsi proses cinta di novel ini. Kau harus meneruskan kegiatanmu membacanya. :).

***

Di sinilah aku lagi...

Di depan kelas yang sama seperti tadi, dengan tatapan dari mahasiwa-mahasiswi lainnya lagi, masih dipimpin oleh satu tatapan dosen juga. Bedanya, dosen kali ini tidak asing. Tatapan dinginnya itu adalah milik pria yang bertemu denganku di perpustakaan tadi. Si pemilik kedipan mesum.

"Keluar!"

"Hah??" teriakku. Buru-buru kututup mulutku yang menganga saat dia semakin menajamkan matanya.

"Keluar...temui saya setelah mata kuliah ini selesai"

Tanpa memperpanjang masalah lagi, aku pun langsung berlari kecil keluar.

Apes untuk kedua kalinya dalam satu hari di hari pertama kuliah. Mahasiswa disiplin apanya? Menebarkan hal-hal positif apanya?. Kuacak-acak rambutku.

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Felicia Aileen
nice opening cant wait to read the next chapter.. boleh kasih tau akun sosmed ga ya soalnya pengen aku share ke sosmed trs tag akun author :)
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status