Share

(Masih) Explore Jogja

Bab 8

(Masih) Explore Jogja

Aku masih terpaku melihat gambar pada layar benda pipih di tangan. Mencoba mengingat, barangkali aku pernah bertemu wanita ini. Namun, tak jua kuingat apa pun tentangnya. Mas Arkan tampak sangat akrab, bahkan di foto ini sepertinya ia tengah asik mengobrol.

Mas Arkan menyentuh bahuku, saat menyadari kalau aku tengah melamun. "Sayang, nggak dengerin mas?" tanyanya sambil menatapku dengan kedua alis yang bertaut.

"Eh, nggak. Ng ... itu, aku ...." Aku menggaruk kepala yang tidak gatal. Ponsel yang kupegang di tangan kiri, sudah kuletakkan di kasur.

"Mikirin apa, sih, sampai mas ngomong nggak didengerin?" Mas Arkan membelai lembut rambutku.

"Nggak ada, kok, Mas. Aku cuma kecapean aja." Biar saja kusimpan dulu pertanyaan tentang foto wanita itu. Aku tidak ingin merusak suasana bulan madu kami.

Mas Arkan menyuruhku untuk merebahkan kepala di pangkuannya. Kami mengobrol santai perihal perjalanan tadi. Sambil memainkan jemarinya di wajahku, Mas Arkan lalu menceritakan pengalamannya ketika berkunjung ke Borobudur.

Sejak menjadi seorang guru, Mas Arkan sudah beberapa kali ikut perjalanan wisata ke berbagai tempat, saat acara perpisahan kelas tiga. Salah satunya ke Jogja dengan tujuan wisata Borobudur. Aku ingin sekali ke sana. Sayangnya, paket trip honeymoon ini tidak ada agenda ke sana. Aku cukup mendengarkan cerita dari Mas Arkan saja.

"Mas pernah berkenalan dengan wisatawan dari Kanada. Kamu tau Bryan personil Backstreet boys?" Aku menggeleng. "Wajah wisatawan itu mirip Bryan. Lumayan lama mas ngobrol sama dia, sampai murid-murid banyak yang ikutan nimbrung."

"Enak, ya, kalau bisa bahasa inggris. Kalau suatu saat bertemu bule, bisa ngobrol. Mau ke luar negeri, nggak takut kesasar." Aku terkekeh. Mas Arkan mengacak-acak rambutku.

"Ish, iseng deh." Aku balas mencubit pinggangnya. Posisiku masih berbaring di pangkuannya. Dari sini, aku bisa melihat bagian wajahnya yang benar-benar membuatku terpesona. Janggut tipis yang ada pada dagunya. Aku suka sekali menyentuh, bahkan membelainya.

Aku jadi teringat, apa Mas Arkan belum juga mengenaliku? Setidaknya, saat aku tidak berjilbab, ada sedikit yang ia ingat. Apa memang ingatannya payah? Padahal, aku kan termasuk siswi yang terkenal saat itu. Apalagi saat pelajaran Bahasa Inggris, aku seringkali dapat hukuman. 

"Kamu kenapa?" Mas Arkan sepertinya heran melihatku tiba-tiba tertawa sendiri. Ya, jika ingat saat aku dihukum, pasti auto tertawa..

"Nggak pa-pa, wajah mas kalau dilihat dari sini, lucu, gemesin." Aku meremas dagunya, lalu kucubit pipi kirinya.

"Wah, minta dicium ini mah." Mas Arkan hendak mendekatkan wajahnya, tetapi aku lebih sigap telah menghindar lebih dulu.

*

Dini hari, pukul 03.30 kami sudah bersiap untuk berkunjung ke Kebun Buah Mangunan. Letaknya di kabupaten Bantul, jarak tempuh dari hotel sekitar satu jam perjalanan. Di sana, kami akan menyaksikan sunrise yang sangat menakjubkan dari atas bukit.

Begitu sampai di sana, driver memarkirkan mobil dekat kolam besar. Sebenarnya sudah tersedia parkir di dekat gardu pandang, tetapi jalan menuju ke sana cukup kecil dan menikung dengan aspal yang tidak terlalu bagus. Jadi, aku dan Arkan akan berjalan kaki menuju gardu pandang--atas bukit.

Kami berjalan kaki melewati jalan pintas yang sudah dicor sampai menuju ke gardu pandang. Aku hampir saja terpeleset saat melewati anak tangga. Harus berhati-hati saat berjalan, sebab ada bebarapa anak tangga yang licin oleh tanah basah.

Selama perjalanan menuju gardu pandang aku mendengar suara-suara binatang hutan yang terasa begitu menenangkan. 

"Mas, tau nggak suara binatang apa itu?"

"Entah, bukan jangkrik, ya?"

"Bukan deh, oh, ya, Mas. Nanti kita salat Subuh di atas bukit aja, maksudku di alam terbuka. Mumpung lagi di sini." 

"Ok, setelah sampai atas, kita cari musola dulu untuk berwudhu."

Masih terdengar alunan orkestra alam yang begitu menentramkan. Yang seperti ini tidak pernah kudapatkan di Jakarta. Setelah sekitar lima belas menit berjalan, akhirnya kami sampai di gardu pandang. 

Kami langsung menuju mushola untuk berwudhu karena memang sudah masuk waktu subuh. Pengunjung tidak terlalu ramai, mungkin karena ini bukan akhir pekan dan hari libur. Jadi, sangat tepat untuk pasangan pengantin baru yang ingin berbulan madu.

Usai berwudhu, kami menuju tempat di mana banyak pengunjung yang akan menikmati matahari terbit. Kami mengambil posisi di pinggir hampir ujung, agar tak ada orang yang bisa melewati jika kami sedang solat. 

Inilah solat pertamaku di alam terbuka. Di tempat yang begitu sejuk, bahkan cenderung dingin. Dengan beralas tikar lipat, Mas Arkan menjadi imamku menunaikan solat Subuh. 

Usai solat, Mas Arkan meraih mushaf kecil yang selalu ia bawa. Ia lalu membuka dan membacanya dengan suara yang pelan, tetapi mampu membius siapa pun yang mendengarnya. Orkestra alam dan lantunan ayat suci berkolaborasi menjadi perpaduan alunan yang sangat merdu dan menenangkan.

 

Masih sekitar sepuluh menit lagi matahari terbit. Sambil mendengarkan Mas Arkan, aku menikmati pemandangan sekitar. Aku menghirup udara sebanyak-banyaknya, seolah paru-paru ini mempunyai daya tampung lebih untuk stok udara bersih saat kembali ke kota. Di mana di sana, Kualitas udara akan sangat jauh dibanding oksigen di sini.

Detik-detik yang dinanti telah tiba. Dari ufuk timur, tampak matahari muncul secara perlahan dari balik awan dan mulai menampakkan sinar dengan warna emasnya yang menggemaskan. Semua pengunjung tak luput mengabadikan momen terindah ini, termasuk aku.

Tak hentinya aku melafalkan pujian atas rasa takjub dengan pemandangan di depan mata. Begitu besarnya Allah, betapa indahnya lukisan alam yang tak tertandingi. Menikmati ini semua, bersama orang terkasih, nikmat mana lagi yang kau dustakan?

Berada di ketinggian kurang lebih 200 mdpl, membuat tempat ini pun dijuluki sebagai negeri di atas awan. Dari tempat kami berdiri, sepanjang mata memandang tampak kabut yang terbentuk seperti sungai awan, keindahannya memang luar biasa.

Setelah puas menyaksikan sunrise, kami beristirahat sejenak. Duduk di atas tikar, menikmati breakfast box dari hotel. Selesai makan, kami menyempatkan waktu untuk berswafoto. Keindahan alam di sini sangat sayang jika tidak diabadikan.

"Sayang, kita ke sana, yuk." Mas Arkan menunjuk ke arah selatan.

Di bagian selatan, terdapat pemandangan Pantai Parangtritis yang masih tertutup sedikit kabut. Ada juga pemandangan Sungai Oya yang melintang dan berkelok, walau sedikit surut. Namun, mampu memberikan sebuah warna yang berbeda yang membuat pesona Kebun Buah Mangunan tampak sekali sempurna. Belum lagi udara yang sejuk dan angin yang berembus lirih. Rasanya enggan untuk beranjak dari tempat ini.

"Mas, udah mulai terang. Dari sini, kita bakalan lanjut ke Jurang Tembelan."

"Ayo, kita mesti jalan kaki lagi sekitar lima belas menit untuk sampai parkiran."

Kami berjalan melewati jalan pintas yang tadi. Setelah sampai parkiran, driver yang sudah menunggu. Namun, ternyata untuk sampai ke Jurang Tembelan hanya bisa ditempuh dengan kendaraan motor. 

Akses menuju ke sana tergolong ekstrim, tanjakan dan turunan cukup curam. Jadi, aku dan Mas Arkan menyewa motor yang sudah disediakan dari pihak travel. Perjalanan kurang dari lima menit, karena jarak ke sana sangat dekat yaitu sekitar satu kilometer.

Begitu sampai, kami langsung menuju spot cantik yang instagrammable itu. Gardu pandang yang berbentuk seperti perahu rakit dari kayu. Lokasi Jurang Tembelan ini tidak terlalu luas, cukup sempit tetapi memiliki view yang sangat menarik.

Ada beberapa warung kecil yang menjajakan kopi dan snack untuk penganan pengunjung yang ingin menikmati sunrise atau sunset, atau sekadar berswafoto. Dibanding gardu pandang Mangunan, di sini kurang cocok untuk menikmati sunrise.

"Sayang, kamu mau ngeteh atau ngopi?"

"Boleh, kita ngopi aja. Minum kopi sambil menikmati pemandangan yang ... menakjubkan." 

Kebetulan saat ini pengunjung sedang sepi, jadi kami bisa dengan puas menikmati keindahan sambil mengambil beberapa gambar.

"Mas, kita selfie di situ." Aku menunjuk ujung gardu pandang ini yang berbentuk perahu. Tanpa menjawab, Mas Arkan mengikuti langkahku.

Setelah puas berfoto, kami kembali ke warung untuk menikmati kopi dan beberapa snack. Sejak menginjakkan kaki di lokasi Kebun Mangunan ini, bibirku tak lepas dari senyum takjub sekaligus kebahagiaan. 

"Kamu senang?" Arkan mulai menyesap kopinya yang masih mengepulkan asap.

"Bahagia, Mas. Aku bahagia, apalagi ada kamu di sini." Aku menyandarkan kepala di bahunya.

Saat menyantap snack, ponsel Arkan berdering. Ia merogoh saku celana, melihat siapa yang menelepon, kemudian menempelkan benda pipih itu di telinganya.

"Halo, assalamu'alaikum."

" .... "

"Ya nggak bisa dong, De. Abang pulangnya besok. Kan ada mama, ada Sandra juga. Bisa minta temenin Sandra dulu, ya. Nanti Abang yang bilang ke Sandra."

Mas Arkan menyimpan kembali ponselnya di saku celana. Ia kembali menyesap kopinya. 

"Nindi, ya, Mas? Kenapa dia?"

"Katanya sakit, terus minta abang segera pulang."

"Sakit apa memangnya, sampai Mas harus pulang?" Belum ada lima menit aku berucap kata bahagia, ada saja yang membuat suasana menjadi ambyar.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status