Usia kandungan Eleana sudah memasuki delapan bulan. Mikael sudah melarangnya untuk melakukan pekerjaan yang berat.
Eleana merasa hidupnya begitu dikekang oleh suaminya, ia tidak boleh melakukan apa pun padahal ia menginginkannya. Bahkan untuk sekadar memasak saja, Mikael tidak memperbolehkannya.
Eleana sedang memijat pinggangnya ketika Mikael keluar dari kamar mandi. Lelaki itu menghampiri sang istri yang terlihat tengah meringis, menahan sakit.
“Ini alasanku melarangmu melakukan pekerjaan rumah.” Mikael duduk di belakang Eleana, memijat pinggang wanitanya.
Akhir-akhir ini Eleana sering mengeluh punggungnya sakit, napasnya yang sesak dan sang bayi yang selalu menendang perut saat tidur. Kata dokter, itu hal yang wajar menjelang persalinan.
“Kau sudah minum susumu?”
“Belum.”
Mikael melirik jam dinding yang menunjukkan pukul sembilan malam. Seharusnya Eleana meminum susu itu sekitar satu jam yang lalu
Lengkap sudah penderitaan Eleana. Seperti ditusuk sebilah pedang lalu dihantam palu godam, hati Eleana begitu hancur. Mengingat bagaimana ia menata serpihan itu kembali menjadi utuh, lalu Mikael memberinya kejutan baru yang mampu membuat serpihan itu kembali berserakan.Jika saja Mikael mengatakannya sendiri dan menjelaskan apa yang terjadi, mungkin Eleana tidak akan segila ini mencoba mencari tahu. Lebih baik tahu sendiri dari Mikael dari pada dari orang lain yang terasa lebih menyakitkan.Eleana meringis, merasa bayi di dalam perutnya menendang tepat pada ulu hati. Sampai ia tidak sadar Mikael sedari tadi berdiri menatapnya dengan tangan yang dimasukkan ke saku celana.“Sampai kapan kau akan seperti ini?”Eleana melirik Mikael sekilas.“Perutmu keram bukan? Kau bisa menyakiti bayi kita jika terus seperti ini.” Mikael berjongkok, mengusap perut besar Eleana yang terbalut pakaian tidur.“Biarkan saja.”
Semenjak Eleana keluar dari rumah sakit, Mikael menghilang. Lelaki itu benar-benar menepati janjinya untuk tidak muncul di hadapan Eleana lagi. Jujur. Hati Eleana sangat sakit, ia belum bisa menerima kepergian orang tuanya yang sangat mendadak itu. Apalagi Eleana baru mengetahui peristiwa naas itu setelah lama terjadi. Eleana juga tidak bisa bertemu kedua orang tuanya untuk yang terakhir kali. Rasanya tidak adil. Dia belum memberi mereka salam perpisahan, atau bahkan memperkenalkan buah hatinya sebagai cucu mereka. Eleana sangat menyesal. Tapi, mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Tidak ada yang bisa ia lakukan lagi selain mendoakan mereka agar tenang di atas sana. Hari ini adalah hari ulang tahun pernikahan Daddy dan Mom, Eleana hanya bisa mengenang mereka melalui album foto yang ia temukan di apartemen lamanya. Apartemen yang ternyata sudah dibeli oleh Mikael dan semua barang di dalamnya masih utuh, tidak berubah.
Meeting berjalan dengan lancar, Mikael yang memimpin langsung dan menandatangani kontrak baru yang sudah cocok dengan prosedur perusahaan miliknya. Mikael berjalan menuju ruang kerjanya bersama Lucas yang selalu menemani ke mana pun atasannya pergi. Sampai di ruangan, Lucas memberikan sebuah amplop coklat yang isinya adalah bukti-bukti penting yang kemarin diminta oleh Mikael. “Dia sudah menunggu sejak tadi, Tuan,” bisik Lucas. Mikael menutup berkas di tangannya dan memasukkan beberapa lembar foto ke amplop coklat kembali, lalu ia melepas jas dan mengisyaratkan Lucas untuk memanggil seseorang yang dimaksud. Tidak perlu menunggu lama, Mikael sendiri juga sudah tidak sabar. Wanita separuh baya, yang Mikael yakini usianya tidak terpaut jauh dari usia Mom Isabelle. Wanita itu berjalan masuk dan duduk di depan Mikael. Dari gerak-geriknya ia terlihat sangat gelisah. “Langsung saja Nyonya,” ucap Mikael, ia bukan lelaki yang suka basa-basi. Lebih cepa
Eleana mengikuti interupsi dokter, ia mengejan setiap kontraksi datang. Terkadang ia berteriak kesakitan sambil memeluk Mikael lebih erat. Kakinya gemetar menumpu berat tubuh dengan posisinya yang terduduk dengan kaki mengangkang lebar.Setengah jam lamanya, Eleana mengejan hingga kepala bayinya terlihat di bawah sana. Air mata terus mengalir membasahi pipi Eleana, ia sudah lemah dan tidak kuat dengan rasa sakit yang masih menghunjam perut bawah dan panggul.“Ayo, mengejan Nona,” ucap Dokter memberi semangat.Eleana melanjutkan mengejan dengan Mikael yang tidak pernah melepaskan tautan tangan mereka. Sesekali, lelaki itu menghujani wajah Eleana dengan kecupan, memberi semangat dengan kata-kata yang bisa ia lontarkan.Eleana istirahat sejenak lalu mulai melanjutkan mengejan lagi. Kali ini rasa sakitnya bertambah dua kali lipat.“Ayo Nona, sedikit lagi. Jangan berhenti mengejan!”Dorongan terakhir dan tangisan bay
“Jangan bergerak!” Pistol di tangan Izrael terjatuh begitu saja ke lantai, tangannya bergetar hebat setelah melihat tubuh Mikael meluruh di lantai dan tidak bergerak. Ia pasrah saja, saat dua orang polisi menangkapnya. Keadaan menjadi semakin kalut, setelah tubuh Mikael dibawa menuju mobil ambulans. Tuan Abraham muncul dengan tiba-tiba, melangkah perlahan menuju Izrael dengan tatapan mata yang sulit diartikan. Izrael seperti orang linglung, ia tidak bisa berpikir atau menyikapi kejadian yang begitu cepat terjadi. Ia tidak sengaja menarik pelatuk itu, ia tidak sengaja menembak Mikael. Seharusnya, tidak seperti ini. Izrael hanya ingin memberi pelajaran Mikael, bukan menyakitinya sampai seperti ini. Abraham menampar keras Izrael sampai kepala lelaki itu terpelanting ke samping. “Anak tidak tahu diuntung!” bentak Abraham murka. “Dad tidak pernah mengajarkan kalian seperti ini. Jika kau tidak terima dengan keputusanku dulu, seharusnya kau katakan s
Hari ketiga, bayi mungil Eleana dan Mikael tiba-tiba saja demam tinggi dan harus ditempatkan dalam inkubator. Isabelle sampai tak kuasa melihat bayi mungil itu di sana, ia berharap semoga saja ada keajaiban dari kedua orang tuanya hari ini. Sampai pada akhirnya, seorang perawat menghampiri Isabelle dan mengatakan bahwa ada kabar baik dari ruangan Eleana. Ya, wanita itu akhirnya terbangun meski keadaannya masih begitu lemas. Eleana masih harus diperiksa lebih lanjut saat Isabelle sampai di ruangannya. “Bagaimana keadaannya Dokter?” “Keadaannya sudah membaik Nyonya Isabelle, tidak perlu khawatir. Cucu anda akan mendapatkan asi eksklusif pertamanya setelah ini.” Dokter tersenyum. Isabelle dapat bernapas lega sekarang. Ia dengan cepat melangkah masuk ke dalam ruangan Eleana. Bertemu menantu kesayangannya yang terdiam menatap langit-langit kamar. “Menantuku, kau baik-baik saja?” “Mom ....” Eleana memeluk Isabelle. Ia terseny
Sepanjang malam, Eleana mengurus bayi mungilnya dengan penuh kasih sayang. Biasanya, bayi mungil yang belum diberi nama itu akan terjaga sepanjang malam dan tidur di siang hari. Setelah kepulangannya dua hari yang lalu dari rumah sakit, Eleana berusaha untuk fokus pada putra kecilnya bersama Mikael. Ia juga berusaha untuk tetap menahan diri untuk tidak menanyakan kondisi Mikael. Suaminya itu, sekarang berada di Perancis untuk diberikan penanganan khusus karena kondisi terakhir Mikael yang menurun drastis. Dokter mengatakan jika masih ada satu peluru yang tersangkut di bahu lelaki itu. Kabar terakhir yang Eleana tangkap satu hari yang lalu, kondisi Mikael stabil saat ini. Eleana mencoba bersikap biasa saja, menganggap Mikael sedang melakukan perjalanan bisnis dan ia yang menjaga putra mereka sampai kepulangan Mikael. Meski dalam hati kecil Eleana ia sering memikirkan bagaimana keadaan Mikael dan apa dia baik-baik saja. “Kau lapar lagi, Baby?” B
Pagi hari, Eleana disibukkan dengan menggendong bayi mungilnya yang sejak semalam demam. Putranya terus menangis meski Eleana sudah membawanya mengelilingi rumah besar keluarga Mikael. “Mom harus bagaimana, sayang?” Eleana menepuk-nepuk paha putranya yang masih terus menangis. “Ana, panasnya sudah turun?” tanya Mom yang baru saja selesai mandi. “Belum, Mom.” “Mau ke dokter bersama Mom?” “Sebentar lagi, Mom. Aku belum mandi.” Isabelle mengusap rambut lebat cucu kecilnya. Memperhatikan bagaimana bibir mungil itu bergerak menghisap asi sang Ibu dengan lahap. Mungkin haus sedari tadi menangis. Usianya sudah seminggu, tidak terasa Eleana benar-benar menjadi Ibu. Bertaruh nyawa untuk melahirkan bayi tampan dan menggemaskan ini. Tapi, Eleana bahagia dia lahir dengan selamat tanpa kekurangan suatu apapun. “Mom, dia sudah tidur,” ucap Eleana, mengecup puncak kepala putranya. “Biar kugendong, kau cepatlah mandi da