Ciiittttt!
"Hah, apa?!!" Aku berseru kaget sampai tanpa sengaja mengerem mobil mendadak.
"Duh, kamu ini Met. Bisa nggak sih bawa mobil?" gerutu ibu.
"Maaf Bu, tadi Slamet kaget saat bu Indah bilang kalau rahim Yana bisa robek lalu diangkat dan tidak punya anak selamanya."
"Bu Indah, tolong jangan menakut-nakutin. Bu Indah kan tenaga medis. Tolong jangan menakut-nakuti orang awam macam kami," seru ibuku.
"Saya tidak menakut-nakutin Bu. Saya hanya ingin memberi informasi yang selama ini sering salah kaprah dan dianggap lumrah dalam masyarakat. Saat periksa bulan lalu, saya sudah menulis rujukan untuk ke dokter kandungan. Kenapa tidak dilaksanakan bu?"
Ibuku terdiam sejenak. "Bu bidan, dulu saat saya masih kecil, banyak loh orang-orang hamil yang minum rumput fatimah dan tidak ke dokter kandungan. Tapi tetep selamat kan? Kenapa sekarang mantu saya bisa tepar seperti ini?" tanya ibuku.
"Ya Allah Bu, apa ibu tahu dulu sebenarnya angka kematian dan kesakitan ibu bersalin dan bayi baru lahir itu tinggi. Tapi media massa belum segencar sekarang. Jadi masyarakat tidak tahu kalau banyak komplikasi-komplikasi kehamilan dan bersalin. Lagipula sekarang juga semakin banyak makanan cepat saji yang berbahaya bagi tubuh. Itu juga pengaruh dengan kondisi kesehatan manusia, khususnya ibu hamil," tukas bu Indah.
Ibu terdiam.
"Sekarang kita berdoa saja agar bu Yana dan bayinya selamat. Dan ingat bu, kalau hendak memberikan makanan atau minuman yang menurut mitos baik, tolong konsultasi dulu pada tenaga medis," kata bu Indah.
Baru saja mengakhiri kalimatnya, mobil bu Indah memasuki pelataran rumah sakit.
Begitu pintu mobil terbuka, bu Indah langsung berlari ke dalam UGD.
Lalu tak lama kemudian ada dua orang perawat berbaju putih yang membawa brangkard datang mendekat ke arah mobil.
Dengan cepat Yana yang pingsan dipindahkan ke atas brangkard dan dibawa ke dalam ruang UGD.
"Tolong salah satu keluarga mendaftar dulu," tukas seorang perempuan berjilbab di belakang meja resepsionis.
Aku yang sebenarnya ingin menyusul Yana, akhirnya terpaksa ke bagian pendaftaran dengan memakai BPJS.
Dan setelah detik demi detik yang terasa lama, akhirnya aku bisa masuk ke dalam UGD.
Saat aku mendekat ke arah Yana, aku melihat seorang dokter tengah memeriksa perut Yana dengan semacam alat yang nampak monitornya. Ibu tampak berdiri dengan wajah memucat di sudut ruang UGD.
"Keluarga dari pasien Yana?" tanya seorang dokter laki-laki bertubuh tinggi besar mendekatiku.
Aku mengangguk.
"Berdasarkan hasil pemeriksaan USG dan anamnesa dari rujukan bu Indah, istri bapak mengalami robekan rahim. Akibat kontraksi yang berlebihan pada rahim yang diperparah dengan perbandingan antara kepala bayi dan panggul yang tidak sesuai,"
"Ja-jadi harus gimana dokter?" tanyaku kalut.
"Istri bapak harus dioperasi untuk melahirkan bayi sekaligus mengangkat rahimnya,"
"Apa dok? Rahim istri saya diangkat? Jadi istri saya tidak bisa hamil lagi? Terus anak saya kondisinya bagaimana?"
"Kalau rahimnya tidak diangkat, istri bapak bisa meninggal karena kehabisan darah. Sementara ini anak bapak masih hidup, tapi detak jantungnya melemah karena kontraksi yang berlebihan sementara panggul ibunya sempit. Perlu dirawat oleh dokter spesialis anak. Apa bapak tahu kalau minum perangsang kontraksi tetapi belum terjadi pembukaan bahkan pasien mengalami panggul sempit itu seperti seseorang yang dicepit-cepitkan ke arah pintu, sementara pintunya masih tertutup rapat. Jadi bisa membayangkan apa yang terjadi dengan orang tersebut? Orang tersebut akan sesak napas dan bonyok-bonyok karena didorong oleh kekuatan besar untuk keluar dari ruangan yang bahkan pintunya saja masih tertutup,"
Badanku terasa lemas saat mendengar penjelasan dokter.
"Baik dokter, lakukan yang terbaik untuk istri dan anak saya," kataku akhirnya.
"Tanda tangan untuk persetujuan operasi dulu Pak," kata dokter tersebut menunjuk ke arah meja perawat.
Aku melangkah menuju meja yang ditunjukkan oleh dokter, lalu menandatangani lembar kertas yang ditunjukkan oleh perawat jaga,"
"Met, kamu mau dapat uang darimana kalau Yana operasi?" tanya ibu padaku.
Sebelum sempat menjawab, perawat yang dihadapanku bersuara, "Kalau bapak memakai bpjs, jangan khawatir, seluruh biaya asal sesuai kelas dan obat-obatan standard, semua biaya bisa dicover oleh bpjs. Sekarang yang terpenting pasien dan bayinya selamat,"sahut perawat itu tersenyum.
Dan ibuku tampak mengangguk canggung.
"Pasien dikirim ke ruang operasi sekarang. Silakan baju bayi dibawa ke ruang bayi dan baju ibu dibawa ke ruang nifas," Kata seorang perawat seraya mendekatiku.
Aku mengangguk lalu sebelum beranjak dari ruang UGD, bu Indah menghampiriku.
"Banyak-banyak berdoa ya. Semoga bu Yana dan bayinya selamat. Saya pulang dulu, sekali lagi, kalau hendak memberikan makan, minum, atau obat ke ibu hamil, bersalin, dan nifas, tolong konsultasi dulu dengan tenaga medis," pamit bu Indah seraya meninggalkan aku dan ibu yang masih termangu.
***
Aku telah selesai memberikan baju bayi pada ruang bayi dan baju Yana pada ruang nifas lalu menunggu Yana dengan penuh ketegangan di kursi kayu panjang di depan ruang operasi.
"Met, ibu masih tidak paham jika Yana begitu lemah. Kamu sih gak bisa nyari istri yang kuat. Masak baru minum rumput fatimah saja sudah jebol rahimnya. Bener-bener lemah. Semoga saja cucu ibu selamat," tukas ibu menggerutu.
"Slamet cinta sama Yana, bu," tukasku pelan.
"Makan tuh cinta! Dari awal lihat bodinya yang kurus kering saja ibu sudah nggak sreg, sekarang sudah lihat kan badannya tidak bisa dilalui bayi,"
Aku terdiam malas mendebat ibu. Takut dosa karena syurgaku jelas pada keridhoan hati ibu.
"Sekarang bayangin kalau anak kamu gara-gara fisik Yana yang lemah jadi meninggal. Terus Yana gak punya rahim. Gimana mau ngasih ibu cucu," tukas ibu ketus.
Aku menghela nafas. Entahlah. Aku tidak bisa berpikir untuk saat ini. Tidak bisa berpikir sampai sejauh itu. Saat ini aku hanya ingin istri dan anakku selamat.
Saat aku hendak membuka mulut, seorang laki-laki bermasker dan berbaju hijau serta bertutup kepala mendekatiku.
Dibelakangnya tampak seorang perempuan menggendong bayi yang diselimuti kain putih dengan tergesa melaluiku.
Aku hendak menengok ke arah bayi yang digendong perempuan itu tapi sebuah suara mendekatiku.
"Suami bu Yana? Bisa ikut saya sebentar. Saya dokter Anak. Ada yang perlu saya bicarakan terkait dengan kondisi bayi Anda."
Catatan kaki :
*USG, biasanya dilakukan di poliklinik. Tapi, untuk pasien dengan kegawatdaruratan, mesin USG 3D, bisa dibawa ke ruang UGD dan ruang bersalin sesuai kebutuhan.*Ada beberapa anggapan bahwa perempuan kurus dan pendek memiliki rahim lemah dan panggul sempit. Ini tidak benar ya. Belum tentu perempuan kurus dan pendek, panggulnya sempit. Ada yang tinggi tapi mengalami panggul sempit juga. Harus dipastikan dulu dengan periksa dalam, USG, atau sebuah alat yang namanya pelvimeter. Intinya panggul sempit terjadi karena ketidaksesuaian lingkar kepala bayi dengan panggul ibu (lingkar kepala lebih besar daripada panggul dalam ibu).
Tita berdiri sambil menyeringai di depan restoran milik Bagas. Kondisi restoran Bagas yang menurun dari bulan ke bulan menyebabkan dia harus memberhentikan beberapa karyawan termasuk satpam yang biasanya berjaga di pintu keluar.Tita segera menyalakan korek api dan melemparkannya ke arah restoran milik Bagas. Api menjalar dengan cepat membakar bagian depan restoran Bagas. Tita dengan rasa puas pun masuk lagi ke dalam mobilnya. "Mampus kamu, Yana. Aku baru bisa mati dengan tenang kalau kalian bangkrut. Aku tidak peduli lagi jika aku harus ditangkap polisi setelah ini. Yang penting aku bisa melihatmu apes," tukas Tita sambil melaju ke arah rumah sakit. ***Bagas terjaga dari tidur saat mendengar dering ponselnya berbunyi nyaring. Tanpa melihat nama penelepon, Bagas mendekatkan benda itu ke telinga."Halo.""Halo, Pak. Restoran Bapak kebakaran!"Mata Bagas langsung terbelalak. "Hah, tidak mungkin! Kamu siapa, jangan mengajak bercanda saya!""Demi Tuhan, Pak. Saya Doni, pemilik fotoko
Tiiin!"Aaarghhh!"Slamet menjerit saat motor itu menabraknya. Lelaki itu terjatuh dan mengerang kesakitan. Sementara itu, pengendara motor yang menabraknya juga terjatuh. "Aaargh, tolong!"Slamet berteriak kesakitan sementara pengendara motor yang ikut terjatuh, sudah tidak sadarkan diri. Darah bercucuran dari kepala pengendara motor tersebut. Beberapa orang yang mendengar suara tabrakan motor dan suara erangan Slamet mengerumuninya. "Astaga, Slamet! Tulang kamu sampai terlihat!" jerit Tita kaget seraya menuding siku Slamet. "Aduh Mbak, sakit banget! Rasanya kayak mau mati! Bawa aku ke rumah sakit atau panggil ambulance mbak!!!" seru Slamet di tengah erangan kesakitan nya. "O-oke. Baiklah. Kamu tenang dulu. Aku akan segera menelepon ambulance."Slamet dan kedua kakak nya terkejut saat mendengar dokter mengatakan vonis yang begitu meruntuhkan hatinya. "Bapak mengalami patah tulang luar. Jadi harus operasi hari ini. Masalah utamanya adalah Bapak mengalami positif HIV."Slamet me
"Wah, mbak Eva berubah banyak ya sejak aku pergi!" seru Slamet sambil menenteng mobilnya. "Iya dong. Aku udah perawatan salon dan ke klub fitness. Bodiku sudah mulai oke. Aku tinggal cari mangsa," tukas Eva yakin. Tita dengan santainya memakan apel di depannya. "Aku juga semakin intens dengan pak Suryo. Tidak ada lagi keinginan ku untuk merayu Bagas lagi. Aku sudah menemukan sumber uang dan aku tidak ingin kehilangan nya.""Wah, bagus deh kalau begitu. Gimana kalau Mbak Eva juga dikenalkan pada teman-teman pak Suryo? Kali aja ada yang berminat?" usul Slamet."Nantilah. Baru dua minggu juga perawatan nya. Belum maksimal nih.""Ngomong-ngomong kamu apa kabar? Gila bener kamu udah nggak pulang dua minggu."Slamet hanya nyengir saja. Lalu menunjukkan layar ponsel nya. Kedua kakaknya mendelik. "Seratus juta? Gila, Met. Kita bisa bikin kafe mungil lalu dengan perlahan-lahan kita perluas kafenya," tukas Tita dengan mata berbinar. "Yah, itu dia. Awalnya arisan brondong nya hanya seminggu
Slamet baru saja menuntaskan hasratnya pada Sasa, saat mendadak ponsel Sasa berbunyi nyaring. Dengan setengah hati, Sasa meraih ponselnya. Sesaat setelah bercakap-cakap, Sasa mengakhiri panggilan dan memeluk erat tubuh Slamet. "Ada apa nih? Kamu kok kelihatan nya seneng banget, Yang?" tanya Slamet penasaran. Dibelainya rambut Sasa dan diciumnya kening Sasa dengan lembut. "Aku berhasil, Yang. Bisnisku deal!" tukas Salsa bangga dan bahagia."Hm, syukurlah kalau begitu. Kamu itu sebenarnya kerja apa sih?" tanya Slamet akhirnya. Sasa menatap wajah Slamet dengan serius. "Bisnis ku banyak. Apa benar kamu ingin tahu? Tapi ada syaratnya."Slamet mengerutkan keningnya. "Pakai syarat segala. Emang bisnis apa sih?" tanya Slamet. Rasa penasaran kini berbalut rasa curiga.'Jangan-jangan Sasa bisnis organ manusia atau narkoba? Dia kan kayak enggak kekurangan uang?' tanya Slamet dalam hati. Sasa menyeringai. "Jadi kuberitahu pekerjaan ku, tapi jika kamu menjauh, aku akan membunuhmu. Kalau ka
"Oke. Deal!"Tanpa berpikir panjang, Slamet mengiyakan ajakan Sasa. Sasa tersenyum penuh kemenangan. "Baiklah. Tapi aku juga ingin meminta tolong padamu."Slamet mengernyitkan dahinya. "Menolong apa? Aku nggak punya uang untuk menolong mu, Sa."Sasa tertawa. "Bukan uang yang kupinta. Tapi kesediaan kamu untuk keperkenalkan pada teman-teman ku.""Hm, oke. Tidak masalah kalau kamu butuh pencitraan, Sa. Aku bersedia diperkenalkan pada teman-teman kamu."Sasa pun mengangguk dan menggenggam telapak tangan Slamet. Ada senyum aneh terukir di bibir Sasa. "Apa kita harus melakukannya sekarang?" tanya Slamet saat mereka sudah berada di kamar hotel. Sasa mendekat ke arah Slamet tanpa ragu. Bahkan perempuan itu mulai membuka kaos hitam yang dikenakan Slamet. "Apa kamu tidak ingin melakukan nya? Saya sudah mengamati kamu di tempat fitnes beberapa minggu. Dan sekarang baru berani mengajakmu check in," tukas Sasa sambil berbisik di telinga Slamet.Slamet menelan ludah. Hatinya penuh keraguan, ta
"Ada apa, Dek?" tanya Ani panik. Takut terjadi sesuatu pada adik-adik di panti asuhan nya. Adik-adik dari panti asuhannya terengah-engah di hadapan Ani. "Ada apa, Dek? Apa ada yang terluka?" tanya Ani sekali lagi. Adik-adik pantinya menggeleng. "Justru tidak Mbak, kami membawa berita bagus. Tapi kami takut Mbak ini tidak dapat melakukan nya."Ani mengerutkan keningnya. "Ada apa sih?""Tujuh puluh lima bungkus keripik debog pisang abis, Mbak!"Mata Ani berbinar mendengarnya. "Wah benarkah? Alhamdulillah dong!""Bahkan ada yang pesan lagi. Ini sudah ada yang pesan sekitar 200 bungkus. Dan minta selesai dalam waktu dua hari."Ani mendelik tapi senyumnya terkembang. Bahagia walau kaget."Wah, kalau begitu kalian harus membantu Mbak dong!""Tentu saja, Mbak. Apapun akan kami lakukan demi kemajuan panti asuhan kita. Apalagi kalau nanti kita punya toko sendiri. Kita bisa memperkerjakan anak-anak yang sudah lulus SMA. Seperti aku, misalnya," sahut salah seorang adik panti asuhan Ani. Ani