Share

Bab 2. Pertengkaran Ibuku dan Bidan

Ibuku nampak memucat. Dengan perlahan ibu memandangiku dan bu Indah bergantian lalu menjawab, " Tadi Yana minum rendaman rumput fatimah."

Bidan Indah semakin mendelik. "Astaghfirullah Bu. Kenapa ibu berani memberikannya tanpa berkonsultasi pada medis?" tanya bu Indah garang.

Bu Indah langsung meraih sebuah alat bening seperti masker yang terhubung dengan tabung besar lalu memasangkannya di hidung Yana.

"Bu Yana harus diberi oksigen. Kondisinya drop, perdarahan dan denyut jantung janinnya menurun. Saya curiga rahim bu Yana robek karena telah meminum rendaman rumput fatimah,"

"Loh, memang kenapa dengan rumput fatimah, Bu? Saya dulu turun temurun juga sebelum melahirkan meminum rendaman rumput fatimah dan anak-anak saya bisa lahir dengan sehat selamat," tukas ibu ngeyel.

Bu Indah segera menghela nafas panjang.

"Ini kondisi darurat. Harus dipasang infus dobel!" Hanya itu jawaban bu Indah. 

Lalu dengan secepat kilat, bu Indah menuju lemari kaca dan mengambil beberapa peralatan.

Bu Indah tampak menghubungkan sebuah botol dengan semacam selang kecil lalu menyuntik Yana dengan jarum berukuran besar. 

"Ini infusnya harus dipasang di dua tangan untuk mengganti darah yang hilang. Setelah ini kita harus rujuk ke rumah sakit," seru bu Indah sambil memeras botol infus sampai habis lalu menggantinya dengan botol yang masih penuh seolah meruntuhkan duniaku.

'Aduh Yana! Sudah nggak cantik, dekil, kumal, sekarang malah merepotkan. Akan melahirkan malah jadi seperti ini! Benar-benar istri yang membuat sial! Padahal dulu dia kunikahi karena cantik dengan bodi aduhai, sekarang jadi kucel, jelek, nggak bisa dandan, nyusahin dan bikin boros lagi!' seruku dalam hati.

"Sebentar Bu! Saya menuntut penjelasan. Kenapa mantu saya harus dirujuk? Ada apa dengan rumput fatimah?" tanya ibuku bingung.

"Duh, saya juga belum siap biaya kalau harus ke rumah sakit, Bu," tukasku keberatan.

Bu Indah tampak mendelik memandang aku dan ibu bergantian.

"Masalah biaya nanti bisa menyusul. Kalau punya BPJS, bisa dipersiapkan. Sekarang nyawa Yana dan calon cucu Ibu kritis, harus mendapat penanganan segera," tukas bu Indah. Lalu melepas sarung tangan dan meninggalkan kami begitu saja di dalam ruang praktiknya.

Aku memandang ibu dan Yana yang masih tidak sadarkan diri dengan wajah tidak puas.

"Aduh, Yana bikin boros saja, Bu. Benar-benar istri yang enggak berguna. Bikin sial dan apes saja. Menyebalkan!" seruku dengan wajah kesal. "Mana tabungan yang kusiapkan untuk biaya Yana nggak banyak. Duh, bagaimana kalau uang tabunganku kurang, Bu?" sambungku lagi. Antara bingung dan kesal bercampur aduk menjadi satu.

Ibu memandangku dengan tatapan yang kesal juga. "Memang berapa tabungan kamu, Met?" tanya Ibu.

Aku berpikir sejenak. "Harga rokok akhir-akhir ini naik, Bu. Jadi saya hanya bisa menabung satu juta lima ratus ribu selama Yana hamil. Karena aku kalau enggak merokok sehari saja pasti pusing dan nggak fokus kerja. Bagaimana kalau kurang, Bu? Kita cari kurangnya darimana?"

Ibu terlihat berpikir keras. Dahi dan keningnya sampai berkerut-kerut. 'Kasihan sekali Ibuku. Aku anak tunggal, sekalinya membawakan mantu, eh, malah mantu yang menyusahkan dan membuat bangkrut saja!' batinku kesal.

"Kamu sih, nggak kenapa merokok saja. Mungkin juga selama Yana hamil, kalian pasti jajan terus! Sekarang bingung kan?!" sahut ibu balik bertanya dan terkesan menyalahkanku.

"Loh, kok jadi Slamet yang disalahkan? Yana tuh, selama hamil nyidamnya bakso terus. Enggak bersyukur makan dengan lauk timun dan sambal terasi saja!" tukasku cepat seraya melihat ke arah Yana yang masih pingsan.

Ibu diam saja dan mendengus kesal.

"Tapi, ada apa sih? Padahal dulu ibu minum rendaman rumput fatimah juga gak masalah. Kenapa Yana sekarang menurut bu bidan malah kritis?" gumam ibu.

Aku hanya mengangkat bahu. Bingung memikirkan biaya persalinan ke tempat rujukan.

"Duh, Yana ini merepotkan saja. Sudah tahu kondisi suami nggak punya uang, malah kritis," sungutku.

"Pak Slamet bisa nyetir?" tanya bu Indah sambil mengulurkan kunci mobil padaku.

"Bisa Bu, kita berangkat sekarang?" tanyaku sambil menerima kunci mobil dari bu Indah.

"Bu tunggu! Apa tidak bisa dilahirkan disini?" pinta ibu.

Dan aku mengangguk. "Saya belum siap uangnya," tukasku memelas. 

Bu Indah mendelik. "Apa nyawa bu Yana tidak penting? Bu Yana dan calon anak bapak kalau bisa hidup saja sudah beruntung. Apa tidak ada BPJS?"

"Ada bu."

"Sudah dibawa?"

"Sudah. Tapi saya takut kalau nanti nambah banyak jika dirujuk," sahutku lirih.

Bu Indah menghela nafas kasar. "Sekarang yang penting nyawa bu Yana selamat dulu. Nanti saya bantu meminta keringanan pada rumah sakit,"

Bu Indah melangkah menuju ke Yana lalu mengganti tabung oksigen menjadi lebih kecil.

"Gendong dulu bu Yana ke mobil, lalu kita langsung ke RSUD," titahnya dan aku mengangguk.

Aku lalu menggendong Yana dan bu Indah mendorong tabung oksigen.

Saat di mobil, bu Indah memandang ibuku dengan serius dan berkata,"Bu, asal ibu tahu ya, tidak semua perempuan melahirkan bisa meminum rendaman rumput fatimah.

Seperti obat yang bisa bermanfaat bagi sebagian orang, rumput fatimahpun juga mempunyai kontraindikasi. Karena rumput fatimah mengandung hormon yang dapat membuat rahim berkontraksi secara terus menerus justru bahaya bagi bayi dan ibu yang hamil pertama kali,"

"Loh, kok bisa bahaya? Dulu saat saya hamil pertama juga minum ini masih selamat kok," ibu terdengar membela diri.

"Bu, rumput fatimah itu mengandung hormon yang bisa meningkatkan kontraksi rahim tanpa bisa diatur dosisnya. Rahim sebelum bersalin baiknya kontraksinya itu hilang timbul-hilang timbul. Kalau ibu bersalin meminum rumput fatimah, kontraksinya terusan. Tidak ada jeda untuk rahim beristirahat. Dan itu bahaya untuk janin. Karena pasokan oksigen untuk bayi berkurang.

Bayi bisa stres bahkan meninggal kalau kontraksi rahim terjadi terus menerus seperti itu. Memang ada janin yang kuat, tapi ada pula janin yang tidak kuat dengan kenceng-kenceng yang terus menerus seperti itu. Karena kita tidak tahu mana bayi yang kuat dengan kontraksi yang terus menerus atau tidak, sebaiknya untuk semua ibu hamil tidak meminum rumput fatimah. Karena sekali overdosis, kita tidak dapat mengobatinya. Dan apa ibu tahu yang lebih buruk dari itu?"

Ibu terlihat bengong dan menggeleng saat mendengar kata-kata bu Indah. Sedangkan aku hanya bisa fokus menyetir sambil sesekali melirik ke arah spion tengah.

"Yang lebih buruk dari kondisi bayi yang stres dan tidak cukup oksigen saat kontraksi yang terus menerus akibat rumput fatimah adalah rahim ibu bersalin bisa robek dan perdarahan sehingga harus menjalani operasi angkat rahim. Ini bisa terjadi pada kasus panggul sempit, bayi besar, maupun hamil kembar. Jadi jangan main-main dengan rumput fatimah lagi apalagi saat tidak tahu kondisi pasien sebenarnya. Karena bila rahim diangkat, bisa-bisa tidak punya anak selamanya,"

Ciiittttt! 

"Hah, apa?!!" Aku berseru kaget sampai tanpa sengaja mengerem mobil mendadak.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status