"Suami bu Yana? Bisa ikut saya sebentar. Saya dokter Anak. Ada yang perlu saya bicarakan terkait dengan kondisi bayi Anda,"
Aku tercekat. "Anak saya kenapa Dok?" tanyaku berdebar.
"Mari kita bicara di ruangan saja,"
Pria yang berjas putih dan berkata sebagai dokter anak itu berjalan ke arah ruang bayi. Aku dan ibu berjalan mengikutinya.
"Silakan duduk dulu," tukas dokter anak itu padaku dan ibu.
Aku dan ibu saling berpandangan lalu menuruti perintah dokter itu untuk duduk.
"Anak bapak telah lahir laki-laki," suara dokter itu menjeda kalimatnya.
"Alhamdulillah," aku mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahku. 'Syukurlah anakku bisa hidup. Awas saja kalau karena Yana, anakku yang berharga menjadi kehilangan nyawa!' bisikku dalam hati. Sedikit lega karena anakku tidak apa-apa. Namun, kalimat dokter selanjutnya, membuat dadaku berdebar kencang.
"Tapi.., kondisinya belum stabil,"
Ucapan dokter anak itu serasa membuat jantungku tercabut paksa.
"Maksudnya belum stabil gimana Dok?" tanya ibuku.
"Belum bisa bernafas spontan, belum bisa menangis dengan nyaring, merintih karena kurang oksigen. Padahal sudah cukup bulan dan berat badannya pun bagus. Tapi karena tidak mendapat pasokan oksigen yang cukup, jadi harus diobservasi dulu,"
"Tapi bisa sembuh kan Dok?" tanyaku takut-takut.
"Insyallah bisa, bayi sementara dirawat di infant warmer terlebih dahulu dengan bantuan oksigen dan diinfus untuk memasukkan obat serta nutrisi selama bayi belum bisa minum susu,"
"Lakukan yang terbaik, Dok," pintaku.
"Pasti Pak, kalau mau lihat bayi bapak, bisa dari luar jendela ya. Sekalian kalau mau menanyakan ke suster tentang berat badan bayinya."
Aku mengangguk.
"Lalu bagaimana dengan kondisi istri saya?" tanyaku cemas. Bagaimana pun kalau dia semakin parah, pasti akan semakin banyak obat yang akan diperlukan oleh Yana. Iya kalau obatnya ditanggung BPJS, aku bisa lega. Kalau tidak ditanggung asuransi pasti membuat kepala pening! Haduh!
"Kalau tentang kondisi istri bapak, nunggu informasi dari dokter kandungan. Baik Pak, saya pamit dulu," Dokter anak itu berdiri lalu menyalamiku dan ibu bergantian.
Aku berdiri lalu berjalan keluar mengikuti dokter tersebut lalu berhenti di luar ruang bayi.
Memandang anakku yang tengah diinfus oleh para perawat tapi tak terdengar tangisannya sedikitpun.
Diam-diam terbersit rasa sesal di hati karena tidak menuruti saran bu Indah untuk periksa ke dokter kandungan.
Tapi boro-boro untuk periksa ke dokter kandungan, buat ngerokok saja masih kurang. Apalagi dibuat makan dan tambahan biaya untuk membayar BPJS perbulannya. Huft.
Padahal uang hasil nyupir lumayan banyak. Tapi kadang kalau tidak mendapat muatan untuk kembali ke kota itu yang membuat hasil nyupir tidak bisa maksimal. Apalagi kalau menunggu datangnya muatan di kota orang juga butuh makan. Jelas saja aku harus makan bergizi, kerja nyupir kan berat. Mana mungkin aku cuma makan dengan memakai kecap saja. Paling tidak ayam geprek atau baksolah agar selalu sehat. Makanya jadi susah nabung. Huft.
"Lihat itu anak kamu tersiksa. Makanya jangan milih istri yang engkrik-engkriken. Sekarang gak punya rahim lagi," sahut ibu keras membuyarkan lamunanku. Ibu menuding anakku yang terpasang selang kecil di hidungnya. Pasti itu tadi yang disebut selang oksigen oleh dokter anak.
Aku terdiam. Dua suara terdengar berperang dalam hati. Satu suara ingin membela Yana, tapi suara lain dan lebih keras selalu memilih mengiyakan apapun perkataan ibu.
Seorang suster keluar dari ruangan anakku untuk mengambil obat. Dan tanpa menunggu waktu, aku langsung meminta ijin untuk menengok anakku.
"Boleh saya masuk ke dalam ruangan anak saya? Uhm, anak saya yang baru saja lahir dan ibunya baru saja dioperasi," tanyaku memelas.
Suster itu memandang ke arahku. "Bapak ini orangtuanya bayi Yana?" tanya suster tersebut.
"Iya Sus. Bagaimana? Apa saya bisa masuk ke ruangan anak saya?" tanyaku memelas.
"Belum bisa Pak. Bayi bapak belum stabil kondisinya. Nanti kalau sudah stabil dan bisa pindah dari infant warmer ke boks bayi biasa, baru boleh dijenguk," sahut suster itu.
Aku hanya diam. Tak kupungkiri aku kecewa karena hanya bisa memandangi anakku dari balik kaca ruang bayi yang tebal.
"Boleh tanya berat badan anak saya Suster?" tanyaku.
"Beratnya 3,3 kilo dan panjangnya 49 senti," ucap suster tersebut.
"Lalu, obat apa yang dimasukkan ke dalam tubuh anak, Sus?" tanyaku penasaran dan ingin tahu.
Suster di hadapanku memandangku dengan serius. "Kami tadi memasang infus agar bayi Bapak mendapat asupan nutrisi, serta memudahkan pemberian obat suntik. Obat yang dimasukkan antara lain antibiotik. Dan nanti juga dilakukan pemberian vitamin untuk anak Bapak dan dipasang selang untuk minum susu dari hidung seperti advis Dokter."
Aku hanya mengangguk kan kepala. Antara paham dan tidak terhadap penjelasan suster tadi. "Baiklah. Kalau Bapak sudah mengerti, saya pamit dulu," ucap suster itu lalu masuk kembali ke ruangan tempat anakku dirawat.
***
Aku dan ibu kembali duduk di bangku panjang ruang operasi saat lampu tanda operasi berlangsung telah padam.
Lalu tak lama kemudian datanglah dua orang perawat mendorong tempat tidur beroda masuk kedalam ruang operasi.
Aku menunggu di depan pintu dengan cemas. Lalu tak lama kemudian keluarlah dua perawat tadi dari ruang operasi.
Tak lama berselang, datanglah seorang perawat yang mendorong tempat tidur dan diatasnya ada ibu hamil lain.
"Mungkin akan ada operasi lagi. Padahal ingin konsultasi pada dokter kandungannya tentang keadaan Yana," batinku.
"Keluarga pasien Yana?" tanya seorang perempuan bermasker dan berbaju hijau dari dalam ruang operasi.
"Ya Sus," aku mendekat.
"Ini ada tempat ari-ari dan ini tempat rahim bu Yana," jawab perempuan itu lirih.
Aku tercekat. Ya Tuhan, berarti benar rahim istriku sudah diangkat. Tidak bisa lagi memberikanku keturunan. Batinku meratap
"I-iya. Terimakasih Sus," jawabku lalu meraih dua kendil yang terbuat dari tanah liat yang diberikan oleh suster tersebut.
"Bagaimana tadi operasi istri saya Sus? Apa segalanya berjalan lancar?" tanyaku.
"Pasien memerlukan banyak darah Pak. Kami sudah pesan ke PMI tapi masih kosong. Tolong persiapkan keluarga yang mempunyai golongan darah B ya," sahut suster.
"Baiklah, Sus. Terimakasih banyak."
Suster itu mengangguk lalu masuk kembali ke ruang operasi.
Aku dan ibu lalu mengikuti Yana yang masih belum sadar dan sedang berbaring di tempat tidur beroda yang didorong oleh perawat.
Aku menoleh keheranan saat perawat tersebut tidak berbelok ke ruang nifas, tapi melanjutkan langkahnya dan tak lama kemudian perawat yang mendorong Yana memasuki ruang ICU!
"Astaga, kenapa istri kamu masuk ke ruang ICU? Bukankah tadi kata perawat setelah operasi, Yana akan dibawa ke ruang nifas seperti yang telah dikatakan suster di UGD tadi?" bisik Ibu dan aku hanya bisa mengedikkan bahu karena aku juga tidak tahu kenapa Yana dibawa ke ICU.
"Aku akan bertanya pada perawatnya, Bu," bisikku.
Aku menoleh keheranan saat perawat tersebut tidak berbelok ke ruang nifas, tapi melanjutkan langkahnya dan tak lama kemudian perawat yang mendorong Yana memasuki ruang ICU!"Tunggu, kenapa tidak dibawa ke ruang nifas? Kata perawat di UGD tadi di UGD istri saya harus dibawa ke ruang nifas?" tanyaku bingung.Perawat yang sedang mendorong tempat tidur beroda berhenti dan melihat sekilas ke arahku."Kondisi bu Yana masih belum stabil Pak. Masih butuh observasi ketat karena saturasi (kadar oksigen dalam darah) rendah, apalagi bu Yana mengalami anemia berat. Jadi harus dirawat di ruang ICU terlebih dahulu,"Penjelasan perawat membuatku tercenung. Seluruh lantai yang kupijak kurasakan goyah."Berarti tidak bisa dijenguk ya Sus?" tanyaku lirih."Belum bisa Pak. Nunggu kondisi pasien membaik terlebih dahulu kemudian pindah ke ruang nifas. Baru boleh dijenguk," tukas suster itu lanjut mendorong Yana dan masuk ke ruangan ICU.Aku hanya bisa terpekur di luar ruangan yang terpisah oleh dinding kac
Setelah mendengarkan dokter kandungan yang mengomel panjang kali lebar kali tinggi, aku dan ibu pun pamit melangkahkan kaki keluar dari ruang dokter dengan perasaan amburadul."Met, ibu capek. Kita istirahat di ruangan nifasnya si Yana saja ya," pinta ibu.Aku mengangguk. Aku juga merasakan kelelahan yang menyerbu leher dan pundak akibat terlalu tegang memikirkan nasib anak istri. Kami berjalan perlahan menuju ruang nifas. "Ibu tadi kok berani banget sih membantah dokternya?" tanyaku pada ibu.Ibu melirik galak padaku. "Ibu cuma mau cari dukungan, Met. Karena hal seperti itu yang ibu kenal selama ibu masih muda dulu.""Tapi kan justru ibu yang mendapat omelan dari dokter," tukasku cepat.Ibu hanya diam tanpa menjawab dengan sepotong kalimatpun."Slamet takut jika orang tua Yana sampai tahu soal rumput fatimah tersebut, terus menuntut kita gimana dong Bu?"Ibu juga tampak terkejut. "Lah, kamu jangan bilang kalau karena rumput fatimah dong. Lagian banyak yang minum tapi enggak apa-apa
Baru saja aku dan ibu pulang dari makan malam di kantin rumah sakit, saat di koridor kami bertemu dengan bapak Yana yang tiba-tiba merengsek maju ke arahku, mencengkeram krah baju lalu meninju wajahku.Buaaaaghhhh!Aku terpental dan terjatuh di ubin rumah sakit. Beberapa keluarga pasien yang sedang duduk di kursi tunggu serentak berdiri dan mengelilingi kami.Aku merasakan pipiku ngilu dan darah mengalir di ujung bibir. Dengan perlahan aku berusaha bangkit. Tapi sebelum sempat benar-benar berdiri, sebuah tangan sudah terkepal dan meninju wajah sebelah kiriku. "Aargggh!"Ibu menjerit. Sedangkan kedua pipiku memanas. Hendak membalas tapi tidak mungkin karena yang memukulku adalah mertuaku sendiri. "Apa salah Slamet Pak? Saya tidak terima kalau anak saya dipukuli oleh mertuanya sendiri!" Seru ibu sambil membantuku berdiri. "Saya cuma memukul pipi Slamet dan ibu berteriak-teriak seperti kesetanan? Terus gimana perasaan saya saat melihat anak saya terkapar tak berdaya di dalam ruang I
Mendadak kepalaku terasa pusing dengan mata berkunang-kunang. "Slamet!" seru ibu sambil memegangi tubuhku yang sempoyongan. Entahlah, tanpa sadar aku merasakan pandanganku menggelap. Mungkin karena tidak beristirahat seharian atau bisa juga karena baru saja menerima 2 tonjokan maut.Satpam di sebelah segera memapahku. "Lihat perbuatan bapak pada anak saya. Saya bisa adukan bapak ke polisi atas dasar penganiayaan!" kata ibu menuding bapaknya Yana."Slamet nggak apa-apa, Bu," sahutku lirih."Nggak apa-apa gimana? Bibir kamu berdarah, pipi keunguan. Ibu tidak terima!""Silakan saja kalau mau lapor, saya juga bisa lapor polisi atas dasar percobaan pembunuhan atau KDRT, kita bisa lihat nanti siapa yang berhasil," tukas mas Ali menatapku tajam.Hatiku berdebar. Benarkah gertakan mas Ali ini? "Lihat juga anak kamu. Tanya hati nuranimu. Kamu gak kasihan lihat anak kamu gak bisa nafas gara-gara perbuatan kalian? Kalau ada apa-apa sama adik dan ponakan saya, kalian akan tak hiiih!" Seru mbak
Flash back on :Aku tidak tahu minuman apa yang diberikan padaku karena tiba-tiba perutku terasa mulas. Rasanya seperti mau mati saja. Seolah ada tangan-tangan yang meremas perutku dengan sekuat tenaga. Aku mengerang-erang sampai sepertinya mas Slamet dan mertuaku marah. Tapi aku tidak peduli lagi dengan omelan mertua karena selama ini aku sangat menuruti kemauan mereka, padahal aku sudah tidak tahan lagi. Jadi sekarang aku tidak peduli jika aku berteriak keras-keras karena aku sungguh kesakitan.Hingga saat aku mulai naik ke atas bentor, aku tidak bisa menahan rasa mulas, hingga akhirnya aku merasakan ada yang meletus di dalam jalan lahir.Dan saat itu seolah sebuah tangan meremas perutku sekuat tenaga membuat seluruh pandanganku menggelap.***Aku tidak tahu berapa lama aku tidak sadar, tapi aku merasakan perutku sakit luar biasa dan badanku seakan tidak punya tulang. Sangat lemas dan tidak bertenaga. Mataku pun hendak terbuka tapi terasa sangat berat.Tapi telingaku seolah mend
Salah beli baju menyesal sehari, salah potong rambut menyesal seminggu. Tapi salah milih suami, menyesalnya semur hidup.***Yana dan keluarganya serentak menatap ke arah suster itu. "Apa kabarnya bayi saya Sus?" tanya Yana cemas.Suster itu lalu memandang Yana sejenak dan berkata, "Alhamdulillah, bayinya sudah mulai menangis keras. Dan sekarang rencana mulai dipasang selang untuk minum susu. Apa ada permintaan susu tertentu dari pihak keluarga?" Setelah mendapat keterangan dari suster tentang bayinya, Yana merasa energi luar biasa seolah merasuki tubuhnya.Ada semangat untuk sehat dan sembuh yang terpancar dari hati."Suster, berikan yang terbaik untuk cucu saya. Mahal tidak apa-apa. Petugas medis pasti lebih tahu kandungan susu yang terbaik untuk kondisi cucu saya. Karena anak saya baru keluar dari ICU, ASInya belum lancar," Ucap ibu Yana sambil mendekat ke arah suster tersebut."Oh, baiklah. Kalau gitu saya sampaikan ke ruang bayi dulu ya," suster itu hendak pamit meninggalkan rua
Jangan pernah membuat wanita yang mencintaimu menangis, karena akan sangat menyakitkan bila ada pria lain yang membantu menghapus air matanya.***Ibu Slamet ngeloyor pergi setelah mendapat ceramah gratis tentang bayi menangis dan pisang yang tidak boleh diberikan pada bayi kurang dari 6 bulan. "Bu, mau kemana?" tanya Slamet mengejar ibunya yang berjalan mendahului."Diam dulu Met. Ibu lagi berpikir," Ibu Slamet mempercepat langkah menuju kantin rumah sakit dan Slamet mengikutinya dengan bingung."Pak, bakso satu es teh satu," kata ibu Slamet sambil duduk di salah satu kursi."Bu, Slamet juga pesen bakso ya," pinta Slamet lalu duduk di depan ibunya. "Pesen ajah," sahut ibunya lalu membuka kulit pisang dan memakannya."Heran sama anak muda sekarang. Nggak ada sopan-sopannya sama orang tua," tukas ibunya Slamet kesal."Maksudnya apa, Bu?" tanya Slamet bingung. "Suster yang tadi lo Met. Masih bocah kok berani-beraninya ngasih tahu ibu. Padahal kalau lihat wajahnya, pasti dia belum ni
Pergilah dariku, maka kamu tidak akan menemukan pengganti yang terbaik dan mengerti kamu melebihi aku.***Saat suster itu hendak mendorong kursi roda Yana masuk kedalam ruang bayi, Slamet tiba-tiba berseru, "Yana, mas tahu kalau kamu hanya pura-pura lupa ingatan saja kan, maafkan Mas ya. Ayo kita mulai dari awal. Mas janji akan membantu semua pekerjaan rumah kamu," Yana masih duduk diatas kursi roda dan meminta pada suster untuk berhenti, lalu dia menoleh pada Slamet dan berkata, "Kamu bilang apa sih? Saya beneran nggak kenal sama kamu," tukas Yana ketus dan memberi tanda pada suster untuk mendorong kursi rodanya lagi."Yan...Yana! Tunggu!" Slamet terkejut dan meremas rambutnya frustasi."Met! Ora pantes wong lanang ngemis-ngemis nang wong wadon koyok ngono!" seru ibu Slamet sambil menarik tangan Slamet agar berdiri.Ali yang melihat pemandangan di hadapannya tersenyum geli.Slamet menurut pada ibunya. Dia berdiri perlahan tapi tidak mengikuti langkah sang ibu yang menjauh dari rua