Share

Bab 4. Kondisi Anakku

"Suami bu Yana? Bisa ikut saya sebentar. Saya dokter Anak. Ada yang perlu saya bicarakan terkait  dengan kondisi bayi Anda," 

Aku tercekat. "Anak saya kenapa Dok?" tanyaku berdebar.

"Mari kita bicara di ruangan saja," 

Pria yang berjas putih dan berkata sebagai dokter anak itu berjalan ke arah ruang bayi. Aku dan ibu berjalan mengikutinya.

"Silakan duduk dulu," tukas dokter anak itu padaku dan ibu.

Aku dan ibu saling berpandangan lalu menuruti perintah dokter itu untuk duduk.

"Anak bapak telah lahir laki-laki," suara dokter itu menjeda kalimatnya.

"Alhamdulillah," aku mengusapkan kedua telapak tangan ke wajahku. 'Syukurlah anakku bisa hidup. Awas saja kalau karena Yana, anakku yang berharga menjadi kehilangan nyawa!' bisikku dalam hati. Sedikit lega karena anakku tidak apa-apa. Namun, kalimat dokter selanjutnya, membuat dadaku berdebar kencang. 

"Tapi.., kondisinya belum stabil,"

Ucapan dokter anak itu serasa membuat jantungku tercabut paksa.

"Maksudnya belum stabil gimana Dok?" tanya ibuku.

"Belum bisa bernafas spontan, belum bisa menangis dengan nyaring, merintih karena kurang oksigen. Padahal sudah cukup bulan dan berat badannya pun bagus. Tapi karena tidak mendapat pasokan oksigen yang cukup, jadi harus diobservasi dulu,"

"Tapi bisa sembuh kan Dok?" tanyaku takut-takut.

"Insyallah bisa, bayi sementara dirawat di infant warmer terlebih dahulu dengan bantuan oksigen dan diinfus untuk memasukkan obat serta nutrisi selama bayi belum bisa minum susu,"

"Lakukan yang terbaik, Dok," pintaku.

"Pasti Pak, kalau mau lihat bayi bapak, bisa dari luar jendela ya. Sekalian kalau mau menanyakan ke suster tentang berat badan bayinya."

Aku mengangguk.

"Lalu bagaimana dengan kondisi istri saya?" tanyaku cemas. Bagaimana pun kalau dia semakin parah, pasti akan semakin banyak obat yang akan diperlukan oleh Yana. Iya kalau obatnya ditanggung BPJS, aku bisa lega. Kalau tidak ditanggung asuransi pasti membuat kepala pening! Haduh!

"Kalau tentang kondisi istri bapak, nunggu informasi dari dokter kandungan. Baik Pak, saya pamit dulu," Dokter anak itu berdiri lalu menyalamiku dan ibu bergantian.

Aku berdiri lalu berjalan keluar mengikuti dokter tersebut lalu berhenti di luar ruang bayi. 

Memandang anakku yang tengah diinfus oleh para perawat tapi tak terdengar tangisannya sedikitpun.

Diam-diam terbersit rasa sesal di hati karena tidak menuruti saran bu Indah untuk periksa ke dokter kandungan.

Tapi boro-boro untuk periksa ke dokter kandungan, buat ngerokok saja masih kurang. Apalagi dibuat makan dan tambahan biaya untuk membayar BPJS perbulannya. Huft. 

Padahal uang hasil nyupir lumayan banyak. Tapi kadang kalau tidak mendapat muatan untuk kembali ke kota itu yang membuat hasil nyupir tidak bisa maksimal. Apalagi kalau menunggu datangnya muatan di kota orang juga butuh makan. Jelas saja aku harus makan bergizi, kerja nyupir kan berat. Mana mungkin aku cuma makan dengan memakai kecap saja. Paling tidak ayam geprek atau baksolah agar selalu sehat. Makanya jadi susah nabung. Huft.

"Lihat itu anak kamu tersiksa. Makanya jangan milih istri yang engkrik-engkriken. Sekarang gak punya rahim lagi," sahut ibu keras membuyarkan lamunanku. Ibu menuding anakku yang terpasang selang kecil di hidungnya. Pasti itu tadi yang disebut selang oksigen oleh dokter anak. 

Aku terdiam. Dua suara terdengar berperang dalam hati. Satu suara ingin membela Yana, tapi suara lain dan lebih keras selalu memilih mengiyakan apapun perkataan ibu.

Seorang suster keluar dari ruangan anakku untuk mengambil obat. Dan tanpa menunggu waktu, aku langsung meminta ijin untuk menengok anakku.

"Boleh saya masuk ke dalam ruangan anak saya? Uhm, anak saya yang baru saja lahir dan ibunya baru saja dioperasi," tanyaku memelas.

Suster itu memandang ke arahku. "Bapak ini orangtuanya bayi Yana?" tanya suster tersebut.

"Iya Sus. Bagaimana? Apa saya bisa masuk ke ruangan anak saya?" tanyaku memelas.

"Belum bisa Pak. Bayi bapak belum stabil kondisinya. Nanti kalau sudah stabil dan bisa pindah dari infant warmer ke boks bayi biasa, baru boleh dijenguk," sahut suster itu.

Aku hanya diam. Tak kupungkiri aku kecewa karena hanya bisa memandangi anakku dari balik kaca ruang bayi yang tebal.

"Boleh tanya berat badan anak saya Suster?" tanyaku.

"Beratnya 3,3 kilo dan panjangnya 49 senti," ucap suster tersebut.

"Lalu, obat apa yang dimasukkan ke dalam tubuh anak, Sus?" tanyaku penasaran dan ingin tahu. 

Suster di hadapanku memandangku dengan serius. "Kami tadi memasang infus agar bayi Bapak mendapat asupan nutrisi, serta memudahkan pemberian obat suntik. Obat yang dimasukkan antara lain antibiotik. Dan nanti juga dilakukan pemberian vitamin untuk anak Bapak dan dipasang selang untuk minum susu dari hidung seperti advis Dokter."

Aku hanya mengangguk kan kepala. Antara paham dan tidak terhadap penjelasan suster tadi. "Baiklah. Kalau Bapak sudah mengerti, saya pamit dulu," ucap suster itu lalu masuk kembali ke ruangan tempat anakku dirawat.

***

Aku dan ibu kembali duduk di bangku panjang ruang operasi saat lampu tanda operasi berlangsung telah padam.

Lalu tak lama kemudian datanglah dua orang perawat mendorong tempat tidur beroda masuk kedalam ruang operasi.

Aku menunggu di depan pintu dengan cemas. Lalu tak lama kemudian keluarlah dua perawat tadi dari ruang operasi. 

Tak lama berselang, datanglah seorang perawat yang mendorong tempat tidur dan diatasnya ada ibu hamil lain. 

"Mungkin akan ada operasi lagi. Padahal ingin konsultasi pada dokter kandungannya tentang keadaan Yana," batinku.

"Keluarga pasien Yana?" tanya seorang perempuan bermasker dan berbaju hijau dari dalam ruang operasi.

"Ya Sus," aku mendekat. 

"Ini ada tempat ari-ari dan ini tempat rahim bu Yana," jawab perempuan itu lirih. 

Aku tercekat. Ya Tuhan, berarti benar rahim istriku sudah diangkat. Tidak bisa lagi memberikanku keturunan. Batinku meratap

"I-iya. Terimakasih Sus," jawabku lalu meraih dua kendil yang terbuat dari tanah liat yang diberikan oleh suster tersebut.

"Bagaimana tadi operasi istri saya Sus? Apa segalanya berjalan lancar?" tanyaku.

"Pasien memerlukan banyak darah Pak. Kami sudah pesan ke PMI tapi masih kosong. Tolong persiapkan keluarga yang mempunyai golongan darah B ya," sahut suster.

"Baiklah, Sus. Terimakasih banyak."

Suster itu mengangguk lalu masuk kembali ke ruang operasi.

Aku dan ibu lalu mengikuti Yana yang masih belum sadar dan sedang berbaring di tempat tidur beroda yang didorong oleh perawat.

Aku menoleh keheranan saat perawat tersebut tidak berbelok ke ruang nifas, tapi melanjutkan langkahnya dan tak lama kemudian perawat yang mendorong Yana memasuki ruang ICU!

"Astaga, kenapa istri kamu masuk ke ruang ICU? Bukankah tadi kata perawat setelah operasi, Yana akan dibawa ke ruang nifas seperti yang telah dikatakan suster di UGD tadi?" bisik Ibu dan aku hanya bisa mengedikkan bahu karena aku juga tidak tahu kenapa Yana dibawa ke ICU.

"Aku akan bertanya pada perawatnya, Bu," bisikku.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Udah tau bini hamil bakalan butuh biaya buat melahirkan msh aj tetep ngerokok buang2 duit aj. Eh mertua setan cucu lu jd gitu kan gara2 lu ndiri malah nyalain mantu mulu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status