Share

Bab 8. Pura-pura Amnesia

Mendadak kepalaku terasa pusing dengan mata berkunang-kunang. 

"Slamet!" seru ibu sambil memegangi tubuhku yang sempoyongan. 

Entahlah, tanpa sadar aku merasakan pandanganku menggelap. Mungkin karena tidak beristirahat seharian atau bisa juga karena baru saja menerima 2 tonjokan maut.

Satpam di sebelah segera memapahku. "Lihat perbuatan bapak pada anak saya. Saya bisa adukan bapak ke polisi atas dasar penganiayaan!" kata ibu menuding bapaknya Yana.

 

 

"Slamet nggak apa-apa, Bu," sahutku lirih.

 

 

"Nggak apa-apa gimana? Bibir kamu berdarah, pipi keunguan. Ibu tidak terima!"

 

 

"Silakan saja kalau mau lapor, saya juga bisa lapor polisi atas dasar percobaan pembunuhan atau KDRT, kita bisa lihat nanti siapa yang berhasil," tukas mas Ali menatapku tajam.

Hatiku berdebar. Benarkah gertakan mas Ali ini? 

"Lihat juga anak kamu. Tanya hati nuranimu. Kamu gak kasihan lihat anak kamu gak bisa nafas gara-gara perbuatan kalian? Kalau ada apa-apa sama adik dan ponakan saya, kalian akan tak hiiih!" Seru mbak Dina geram.

"Sudah Ali, Dina. Sekarang ayo pulang saja. Besok kita jenguk Yana lagi," kata ibu Yana sambil memandangiku.

"Bapak juga sudah muak melihat keluarga gil* ini. Nyesel sekali dulu merelakan Yana lulus SMA nikah sama dia," timpal bapak Yana.

Lalu satu persatu keluarga Yana berlalu meninggalkan aku dan ibu. 

"Pak," aku berseru lirih. Berusaha mengejar keluarga Yana. Ingin memohon pengampunan, tapi jujur saja aku gengsi.

"Mau kemana Met? Biar saja mereka pergi. Biar saja kalau memang harus berpisah dengan Yana. Nanti ibu carikan istri yang lebih subur,"

Kata-kata ibu menghentikan langkahku. Dan membiarkan keluarga Yana menghilang di belokan koridor.

 

 

"Bubar, bubar semua. Yang dikatakan keluarga tadi bohong.  Tolong jangan percaya," kata ibu menghalau kerumunan orang yang ada di sekitarnya.

Orang-orang yang mengerumuni kami bubar disertai gumaman-gumaman yang tak jelas.

"Pak, terimakasih telah datang tepat waktu, sekarang bapak bisa pergi untuk melanjutkan tugas lainnya," kata ibu seraya tersenyum pada satpam rumah sakit.

 

 

Aku berjalan ke arah dinding kaca tebal yang membatasi ruangan tempat Yana dirawat dengan tempatku.

Yana tampak terlelap dengan tenang dibawah transfusi darah yang mengalir di tangannya.

"Met, ibu takut kalau bapaknya Yana benar-benar lapor polisi," tukas ibu lirih sambil memegang pundakku.

Aku menoleh. "Slamet malah cemas kalau Yana tidak akan bangun lagi," tukasku lirih.

Ibu mendelik. "Kamu kok jadi lemah gini. Yana pasti sadar lah. Cuma minum air rumput fatimah aja. Liat nih ibu, dari awal hamil sampai brojol anak 3 tetap hidup kan. Kamu nggak usah cemas. Yang perlu kita khawatirkan sekarang gimana kalau mereka benar-benar ngadu ke polisi,"

Aku menghela nafas. "Mana mungkin mereka ngadu ke polisi, keluarga Yana juga sama dengan keluarga kita kan, penghasilan pas-pasan, mana mungkin mereka punya waktu untuk lapor polisi. Lagipula mereka juga memukuliku, ini bisa jadi laporan juga kan?" tanyaku menunjuk pipi.

"Kalau gitu sekarang kita foto aja ya pipimu untuk jaga-jaga," tukas ibu dan akupun mengangguk.

"Sebenarnya bisa sih divisum seperti di tivi tapi katanya butuh surat dari polisi."

"Haduh Bu, nggak tahulah. Ini sudah pusing dengan masalah Yana dan anakku yang tidak kunjung sadar, jangan ditambah masalah-masalah lain. Pening Bu!"

"Emang dikira kamu aja yang pusing, ibu itu lebih pening."

Aku memandang ibu dengan heran. "Bu, mungkin kalau kita nurut sama bu Indah tentang USG dan tidak memberikan Yana rumput fatimah, mungkin tidak sampai seperti ini,"

Ibu mendelik dan menggertakku,"Heh, jadi kamu nyalahin ibu? Dulu ibu gak USG dan cuma minum rumput fatimah saja bisa lancar persalinannya. Ibu nggak mau kalau disalah-salahin."

Aku menghela nafas. Kepalaku rasanya seperti mau meledak dan aku butuh rokok, sayang sekali di rumah sakit tertulis 'no smoking area', nasib!

***

Aku terbangun di atas tempat tidur kelas tiga ruang nifas yang sudah kupesan untuk Yana. 

 

 

Karena Yana masih di ICU, kasur di ruang kelas tiga ini jadi bisa kutiduri.

Aku meraih ponsel dan melihat barangkali ada pesan dari ibu. Karena semalam ibu minta pulang dan tidak mau menemaniku di rumah sakit.

Hm, nihil. Ibu tidak mengirimiku pesan sama sekali. Aku memasukkan ponsel ke dalam saku lalu ke kamar mandi. 

Lebih baik cuci muka dan buang air besar lalu sarapan karena sudah jam 8 pagi. 

Setelah menuntaskan hajat di kloset, aku berdiri di depan cermin. Kuraba bekas pukulan dari bapak Yana. Terlihat ungu dan lebam.

"Duh, sakit. Benar-benar memusingkan bapaknya si Yana ini. Menyesal juga aku pernah berpikiran untuk meminta maaf tentang Yana, padahal bapak Yana juga membuat wajahku bonyok," gumamku kesal.

 

 

Setelah puas mengaca dan mengomel, akupun menuju kantin rumah sakit.

Semangkuk soto ayam dan segelas es teh mungkin akan meredakan nyeri dan lebam di pipi.

***

Aku berjalan perlahan di koridor rumah sakit menuju ruang ICU saat tiba-tiba aku melihat keluarga Yana berkerumun di depan pintunya.

Lalu perlahan pintu ICU terbuka dan keluarlah seorang perawat dengan mendorong ranjang beroda. 

Aku terkejut saat melihat Yana didorong oleh perawat keluar dari ICU. 

Aku segera mengejar ke arah Yana, tapi keluarga Yana menutupi jalan. 

"Sus, mau dibawa kemana istri saya?" tanyaku.

Tapi si*lnya suster itu terdiam sambil tetap mendorong ranjang Yana. 

"Mas Ali, Yana mau dibawa kemana? Apa dia sudah sadar?" tanyaku bingung pada mas Ali yang sekarang ada di depanku.

"Yana sudah sadar dan akan kami pindah ke ruang kelas satu. Kasihan sekali kalau adik kami dirawat di ruang kelas tiga," sahut mas Ali ketus.

Aku terdiam. Duh, siapa yang mau bayar selisih kelasnya? Batinku.

"Kamu pasti mikir kan bagaimana caranya membayar ruang kelas satu? Dasar suami pelit. Walaupun kami tidak kaya tapi kalau ada keluarga yang sakit, pasti kami akan berusaha sebaik mungkin untuk perawatannya," 

"Sial*n. Menyindirku rupanya mereka," batinku.

Aku terdiam dan mengikuti perawat tersebut mendorong ranjang Yana sampai memasuki ruang kelas 1. 

 

 

Aku bermaksud membantu memindahkan Yana dari ranjang beroda ke ranjang ruang kelas satu, saat bapak Yana dengan tegas menolakku.

"Ini putri saya! Biar saya dan putra saya yang memindahkannya. Tolong jangan sentuh putri saya. Karena saya tidak ingin dia terluka lagi."

Aku terdiam, merasa sangat terhina tapi aku tidak ingin membuat keributan di rumah sakit.

Akhirnya dengan terpaksa, aku melihat Yana yang telah dipindah dari ranjang beroda ke ranjang rawat inap.

"Yana, kamu sudah siuman akhirnya Nak?" tanya ibu Yana menciumi kening dan pipi Yana. 

Yana tersenyum lalu satu persatu keluarga dan iparnya menyalaminya.

Hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk maju ke arah Yana.

"Yana, kamu sudah sehat ya?" sapaku hendak meraih tangannya.

Tapi alangkah terkejutnya aku saat dengan tegas Yana mengibaskan tangannya dan memandangku dengan tatapan aneh.

 

 

Dan selanjutnya sebuah kalimat yang mengejutkan meluncur dari bibir mungilnya. 

"Kamu siapa?" tanya Yana sambil memandang kearahku.

 

 

Apa? Yana lupa padaku?

 

 

 

 

 

 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status