Home / Rumah Tangga / IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU / Bab 8. Pura-pura Amnesia

Share

Bab 8. Pura-pura Amnesia

Author: Ananda Zhia
last update Huling Na-update: 2022-09-03 08:48:04

Mendadak kepalaku terasa pusing dengan mata berkunang-kunang. 

"Slamet!" seru ibu sambil memegangi tubuhku yang sempoyongan. 

Entahlah, tanpa sadar aku merasakan pandanganku menggelap. Mungkin karena tidak beristirahat seharian atau bisa juga karena baru saja menerima 2 tonjokan maut.

Satpam di sebelah segera memapahku. "Lihat perbuatan bapak pada anak saya. Saya bisa adukan bapak ke polisi atas dasar penganiayaan!" kata ibu menuding bapaknya Yana.

 

 

"Slamet nggak apa-apa, Bu," sahutku lirih.

 

 

"Nggak apa-apa gimana? Bibir kamu berdarah, pipi keunguan. Ibu tidak terima!"

 

 

"Silakan saja kalau mau lapor, saya juga bisa lapor polisi atas dasar percobaan pembunuhan atau KDRT, kita bisa lihat nanti siapa yang berhasil," tukas mas Ali menatapku tajam.

Hatiku berdebar. Benarkah gertakan mas Ali ini? 

"Lihat juga anak kamu. Tanya hati nuranimu. Kamu gak kasihan lihat anak kamu gak bisa nafas gara-gara perbuatan kalian? Kalau ada apa-apa sama adik dan ponakan saya, kalian akan tak hiiih!" Seru mbak Dina geram.

"Sudah Ali, Dina. Sekarang ayo pulang saja. Besok kita jenguk Yana lagi," kata ibu Yana sambil memandangiku.

"Bapak juga sudah muak melihat keluarga gil* ini. Nyesel sekali dulu merelakan Yana lulus SMA nikah sama dia," timpal bapak Yana.

Lalu satu persatu keluarga Yana berlalu meninggalkan aku dan ibu. 

"Pak," aku berseru lirih. Berusaha mengejar keluarga Yana. Ingin memohon pengampunan, tapi jujur saja aku gengsi.

"Mau kemana Met? Biar saja mereka pergi. Biar saja kalau memang harus berpisah dengan Yana. Nanti ibu carikan istri yang lebih subur,"

Kata-kata ibu menghentikan langkahku. Dan membiarkan keluarga Yana menghilang di belokan koridor.

 

 

"Bubar, bubar semua. Yang dikatakan keluarga tadi bohong.  Tolong jangan percaya," kata ibu menghalau kerumunan orang yang ada di sekitarnya.

Orang-orang yang mengerumuni kami bubar disertai gumaman-gumaman yang tak jelas.

"Pak, terimakasih telah datang tepat waktu, sekarang bapak bisa pergi untuk melanjutkan tugas lainnya," kata ibu seraya tersenyum pada satpam rumah sakit.

 

 

Aku berjalan ke arah dinding kaca tebal yang membatasi ruangan tempat Yana dirawat dengan tempatku.

Yana tampak terlelap dengan tenang dibawah transfusi darah yang mengalir di tangannya.

"Met, ibu takut kalau bapaknya Yana benar-benar lapor polisi," tukas ibu lirih sambil memegang pundakku.

Aku menoleh. "Slamet malah cemas kalau Yana tidak akan bangun lagi," tukasku lirih.

Ibu mendelik. "Kamu kok jadi lemah gini. Yana pasti sadar lah. Cuma minum air rumput fatimah aja. Liat nih ibu, dari awal hamil sampai brojol anak 3 tetap hidup kan. Kamu nggak usah cemas. Yang perlu kita khawatirkan sekarang gimana kalau mereka benar-benar ngadu ke polisi,"

Aku menghela nafas. "Mana mungkin mereka ngadu ke polisi, keluarga Yana juga sama dengan keluarga kita kan, penghasilan pas-pasan, mana mungkin mereka punya waktu untuk lapor polisi. Lagipula mereka juga memukuliku, ini bisa jadi laporan juga kan?" tanyaku menunjuk pipi.

"Kalau gitu sekarang kita foto aja ya pipimu untuk jaga-jaga," tukas ibu dan akupun mengangguk.

"Sebenarnya bisa sih divisum seperti di tivi tapi katanya butuh surat dari polisi."

"Haduh Bu, nggak tahulah. Ini sudah pusing dengan masalah Yana dan anakku yang tidak kunjung sadar, jangan ditambah masalah-masalah lain. Pening Bu!"

"Emang dikira kamu aja yang pusing, ibu itu lebih pening."

Aku memandang ibu dengan heran. "Bu, mungkin kalau kita nurut sama bu Indah tentang USG dan tidak memberikan Yana rumput fatimah, mungkin tidak sampai seperti ini,"

Ibu mendelik dan menggertakku,"Heh, jadi kamu nyalahin ibu? Dulu ibu gak USG dan cuma minum rumput fatimah saja bisa lancar persalinannya. Ibu nggak mau kalau disalah-salahin."

Aku menghela nafas. Kepalaku rasanya seperti mau meledak dan aku butuh rokok, sayang sekali di rumah sakit tertulis 'no smoking area', nasib!

***

Aku terbangun di atas tempat tidur kelas tiga ruang nifas yang sudah kupesan untuk Yana. 

 

 

Karena Yana masih di ICU, kasur di ruang kelas tiga ini jadi bisa kutiduri.

Aku meraih ponsel dan melihat barangkali ada pesan dari ibu. Karena semalam ibu minta pulang dan tidak mau menemaniku di rumah sakit.

Hm, nihil. Ibu tidak mengirimiku pesan sama sekali. Aku memasukkan ponsel ke dalam saku lalu ke kamar mandi. 

Lebih baik cuci muka dan buang air besar lalu sarapan karena sudah jam 8 pagi. 

Setelah menuntaskan hajat di kloset, aku berdiri di depan cermin. Kuraba bekas pukulan dari bapak Yana. Terlihat ungu dan lebam.

"Duh, sakit. Benar-benar memusingkan bapaknya si Yana ini. Menyesal juga aku pernah berpikiran untuk meminta maaf tentang Yana, padahal bapak Yana juga membuat wajahku bonyok," gumamku kesal.

 

 

Setelah puas mengaca dan mengomel, akupun menuju kantin rumah sakit.

Semangkuk soto ayam dan segelas es teh mungkin akan meredakan nyeri dan lebam di pipi.

***

Aku berjalan perlahan di koridor rumah sakit menuju ruang ICU saat tiba-tiba aku melihat keluarga Yana berkerumun di depan pintunya.

Lalu perlahan pintu ICU terbuka dan keluarlah seorang perawat dengan mendorong ranjang beroda. 

Aku terkejut saat melihat Yana didorong oleh perawat keluar dari ICU. 

Aku segera mengejar ke arah Yana, tapi keluarga Yana menutupi jalan. 

"Sus, mau dibawa kemana istri saya?" tanyaku.

Tapi si*lnya suster itu terdiam sambil tetap mendorong ranjang Yana. 

"Mas Ali, Yana mau dibawa kemana? Apa dia sudah sadar?" tanyaku bingung pada mas Ali yang sekarang ada di depanku.

"Yana sudah sadar dan akan kami pindah ke ruang kelas satu. Kasihan sekali kalau adik kami dirawat di ruang kelas tiga," sahut mas Ali ketus.

Aku terdiam. Duh, siapa yang mau bayar selisih kelasnya? Batinku.

"Kamu pasti mikir kan bagaimana caranya membayar ruang kelas satu? Dasar suami pelit. Walaupun kami tidak kaya tapi kalau ada keluarga yang sakit, pasti kami akan berusaha sebaik mungkin untuk perawatannya," 

"Sial*n. Menyindirku rupanya mereka," batinku.

Aku terdiam dan mengikuti perawat tersebut mendorong ranjang Yana sampai memasuki ruang kelas 1. 

 

 

Aku bermaksud membantu memindahkan Yana dari ranjang beroda ke ranjang ruang kelas satu, saat bapak Yana dengan tegas menolakku.

"Ini putri saya! Biar saya dan putra saya yang memindahkannya. Tolong jangan sentuh putri saya. Karena saya tidak ingin dia terluka lagi."

Aku terdiam, merasa sangat terhina tapi aku tidak ingin membuat keributan di rumah sakit.

Akhirnya dengan terpaksa, aku melihat Yana yang telah dipindah dari ranjang beroda ke ranjang rawat inap.

"Yana, kamu sudah siuman akhirnya Nak?" tanya ibu Yana menciumi kening dan pipi Yana. 

Yana tersenyum lalu satu persatu keluarga dan iparnya menyalaminya.

Hingga akhirnya aku memberanikan diri untuk maju ke arah Yana.

"Yana, kamu sudah sehat ya?" sapaku hendak meraih tangannya.

Tapi alangkah terkejutnya aku saat dengan tegas Yana mengibaskan tangannya dan memandangku dengan tatapan aneh.

 

 

Dan selanjutnya sebuah kalimat yang mengejutkan meluncur dari bibir mungilnya. 

"Kamu siapa?" tanya Yana sambil memandang kearahku.

 

 

Apa? Yana lupa padaku?

 

 

 

 

 

 

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
vivia sari anggraeni
ya karna ente bukan manusia wahai mertua
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU    71. Ending

    Tita berdiri sambil menyeringai di depan restoran milik Bagas. Kondisi restoran Bagas yang menurun dari bulan ke bulan menyebabkan dia harus memberhentikan beberapa karyawan termasuk satpam yang biasanya berjaga di pintu keluar.Tita segera menyalakan korek api dan melemparkannya ke arah restoran milik Bagas. Api menjalar dengan cepat membakar bagian depan restoran Bagas. Tita dengan rasa puas pun masuk lagi ke dalam mobilnya. "Mampus kamu, Yana. Aku baru bisa mati dengan tenang kalau kalian bangkrut. Aku tidak peduli lagi jika aku harus ditangkap polisi setelah ini. Yang penting aku bisa melihatmu apes," tukas Tita sambil melaju ke arah rumah sakit. ***Bagas terjaga dari tidur saat mendengar dering ponselnya berbunyi nyaring. Tanpa melihat nama penelepon, Bagas mendekatkan benda itu ke telinga."Halo.""Halo, Pak. Restoran Bapak kebakaran!"Mata Bagas langsung terbelalak. "Hah, tidak mungkin! Kamu siapa, jangan mengajak bercanda saya!""Demi Tuhan, Pak. Saya Doni, pemilik fotoko

  • IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU    70. Positif HIV

    Tiiin!"Aaarghhh!"Slamet menjerit saat motor itu menabraknya. Lelaki itu terjatuh dan mengerang kesakitan. Sementara itu, pengendara motor yang menabraknya juga terjatuh. "Aaargh, tolong!"Slamet berteriak kesakitan sementara pengendara motor yang ikut terjatuh, sudah tidak sadarkan diri. Darah bercucuran dari kepala pengendara motor tersebut. Beberapa orang yang mendengar suara tabrakan motor dan suara erangan Slamet mengerumuninya. "Astaga, Slamet! Tulang kamu sampai terlihat!" jerit Tita kaget seraya menuding siku Slamet. "Aduh Mbak, sakit banget! Rasanya kayak mau mati! Bawa aku ke rumah sakit atau panggil ambulance mbak!!!" seru Slamet di tengah erangan kesakitan nya. "O-oke. Baiklah. Kamu tenang dulu. Aku akan segera menelepon ambulance."Slamet dan kedua kakak nya terkejut saat mendengar dokter mengatakan vonis yang begitu meruntuhkan hatinya. "Bapak mengalami patah tulang luar. Jadi harus operasi hari ini. Masalah utamanya adalah Bapak mengalami positif HIV."Slamet me

  • IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU    69. Rencana Slamet

    "Wah, mbak Eva berubah banyak ya sejak aku pergi!" seru Slamet sambil menenteng mobilnya. "Iya dong. Aku udah perawatan salon dan ke klub fitness. Bodiku sudah mulai oke. Aku tinggal cari mangsa," tukas Eva yakin. Tita dengan santainya memakan apel di depannya. "Aku juga semakin intens dengan pak Suryo. Tidak ada lagi keinginan ku untuk merayu Bagas lagi. Aku sudah menemukan sumber uang dan aku tidak ingin kehilangan nya.""Wah, bagus deh kalau begitu. Gimana kalau Mbak Eva juga dikenalkan pada teman-teman pak Suryo? Kali aja ada yang berminat?" usul Slamet."Nantilah. Baru dua minggu juga perawatan nya. Belum maksimal nih.""Ngomong-ngomong kamu apa kabar? Gila bener kamu udah nggak pulang dua minggu."Slamet hanya nyengir saja. Lalu menunjukkan layar ponsel nya. Kedua kakaknya mendelik. "Seratus juta? Gila, Met. Kita bisa bikin kafe mungil lalu dengan perlahan-lahan kita perluas kafenya," tukas Tita dengan mata berbinar. "Yah, itu dia. Awalnya arisan brondong nya hanya seminggu

  • IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU    68. Arisan Brondong

    Slamet baru saja menuntaskan hasratnya pada Sasa, saat mendadak ponsel Sasa berbunyi nyaring. Dengan setengah hati, Sasa meraih ponselnya. Sesaat setelah bercakap-cakap, Sasa mengakhiri panggilan dan memeluk erat tubuh Slamet. "Ada apa nih? Kamu kok kelihatan nya seneng banget, Yang?" tanya Slamet penasaran. Dibelainya rambut Sasa dan diciumnya kening Sasa dengan lembut. "Aku berhasil, Yang. Bisnisku deal!" tukas Salsa bangga dan bahagia."Hm, syukurlah kalau begitu. Kamu itu sebenarnya kerja apa sih?" tanya Slamet akhirnya. Sasa menatap wajah Slamet dengan serius. "Bisnis ku banyak. Apa benar kamu ingin tahu? Tapi ada syaratnya."Slamet mengerutkan keningnya. "Pakai syarat segala. Emang bisnis apa sih?" tanya Slamet. Rasa penasaran kini berbalut rasa curiga.'Jangan-jangan Sasa bisnis organ manusia atau narkoba? Dia kan kayak enggak kekurangan uang?' tanya Slamet dalam hati. Sasa menyeringai. "Jadi kuberitahu pekerjaan ku, tapi jika kamu menjauh, aku akan membunuhmu. Kalau ka

  • IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU    67. Pekerjaan Haram

    "Oke. Deal!"Tanpa berpikir panjang, Slamet mengiyakan ajakan Sasa. Sasa tersenyum penuh kemenangan. "Baiklah. Tapi aku juga ingin meminta tolong padamu."Slamet mengernyitkan dahinya. "Menolong apa? Aku nggak punya uang untuk menolong mu, Sa."Sasa tertawa. "Bukan uang yang kupinta. Tapi kesediaan kamu untuk keperkenalkan pada teman-teman ku.""Hm, oke. Tidak masalah kalau kamu butuh pencitraan, Sa. Aku bersedia diperkenalkan pada teman-teman kamu."Sasa pun mengangguk dan menggenggam telapak tangan Slamet. Ada senyum aneh terukir di bibir Sasa. "Apa kita harus melakukannya sekarang?" tanya Slamet saat mereka sudah berada di kamar hotel. Sasa mendekat ke arah Slamet tanpa ragu. Bahkan perempuan itu mulai membuka kaos hitam yang dikenakan Slamet. "Apa kamu tidak ingin melakukan nya? Saya sudah mengamati kamu di tempat fitnes beberapa minggu. Dan sekarang baru berani mengajakmu check in," tukas Sasa sambil berbisik di telinga Slamet.Slamet menelan ludah. Hatinya penuh keraguan, ta

  • IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU    66. Tawaran Menggiurkan

    "Ada apa, Dek?" tanya Ani panik. Takut terjadi sesuatu pada adik-adik di panti asuhan nya. Adik-adik dari panti asuhannya terengah-engah di hadapan Ani. "Ada apa, Dek? Apa ada yang terluka?" tanya Ani sekali lagi. Adik-adik pantinya menggeleng. "Justru tidak Mbak, kami membawa berita bagus. Tapi kami takut Mbak ini tidak dapat melakukan nya."Ani mengerutkan keningnya. "Ada apa sih?""Tujuh puluh lima bungkus keripik debog pisang abis, Mbak!"Mata Ani berbinar mendengarnya. "Wah benarkah? Alhamdulillah dong!""Bahkan ada yang pesan lagi. Ini sudah ada yang pesan sekitar 200 bungkus. Dan minta selesai dalam waktu dua hari."Ani mendelik tapi senyumnya terkembang. Bahagia walau kaget."Wah, kalau begitu kalian harus membantu Mbak dong!""Tentu saja, Mbak. Apapun akan kami lakukan demi kemajuan panti asuhan kita. Apalagi kalau nanti kita punya toko sendiri. Kita bisa memperkerjakan anak-anak yang sudah lulus SMA. Seperti aku, misalnya," sahut salah seorang adik panti asuhan Ani. Ani

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status