Share

IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU
IBUKU MERENGGUT RAHIM ISTRIKU
Penulis: Ananda Zhia

Part 1. Syok Saat Bersalin

"Mas..., tolooong!" Yana berteriak saat mencuci piring di sumur.

"Duh, apaan sih Yan, gangguin saja," tukasku seraya sesekali membuang puntung rokok sembari melihat acara tivi.

Tak lupa di atas meja ruang tengah sudah tersaji berbagai kudapan khas desa, bakwan sayur dan pisang goreng serta kopi panas yang masih mengepulkan uap panasnya. Nikmat. Setelah sekitar lima hari hidup di jalanan dengan bekerja sebagai sopir truk sembako antar kota, memang enak kalau menikmati secangkir kopi di sore hari.

Kuraih cangkir berisi kopi panas dan kutuang di tatakan piring kecil. Ingin menyeruput kopi susu itu hangat-hangat.

"Maaas!"

"Aduh!"

Sialan! Teriakan perempuan buruk rupa itu membuatku kaget sehingga cairan hitam pekat itu menumpahi tanganku meninggalkan sensasi rasa panas dan terbakar. Aku langsung membersihkan jariku yang terkena kopi dengan kaos yang kukenakan.

"Haduh Yana! Apaan sih kamu, masak dimintai tolong cuci piring saja sudah teriak-teriak sih?!" seru ibuku sambil keluar kamar.

"Met, itu loh istrimu manja banget. Harusnya hamil tua itu banyak kerja, biar lancar dan gampang mbrojolnya!" tukas ibu lagi.

"Iya, bu. Biar saja Yana yang nyuci piring sama baju sendirian!"

Baru saja aku mensecroll hp saat Yana dengan langkah tertatih menghampiriku.

"Mas, aku sudah keluar lendir darahnya," ucapnya cemas.

Aku melihat di kedua kaki Yana. Tampak darah menetes perlahan  ke betisnya.

"Oh gitu aja gupuh! Ajak Yana ke kamar dulu Met. Yana harus minum air pelancar lahiran sebelum budhal nang bidan. Ben ra kesuwen ngelarani," tukas ibu.

(Gitu aja panik. Ajak ke kamar dulu. Yana harus minum air pelancar lahiran sebelum berangkat ke bidan. Supaya gak lama proses melahirkannya).

Aku mengangguk dan segera membimbing Yana ke kamar lalu merebahkannya di kasur

"Wetengmu wes loro opo durung?" Tanya ibu yang mengikuti ke dalam kamar.

(Perutmu sudah sakit apa belum?)

"Kadang sakit, kadang mboten, Bu,"

Ibu terlihat terlihat berpikir sejenak.

"Memang ini sudah waktunya melahirkan to?"

Yana mengangguk.

Ibu lalu menoleh padaku, "Met, kamu siapkan baju Yana sama calon anak kamu ya, setelah Yana minum air rendaman rumput fatimah, kita ke bidan," tukas ibuku.

Aku mengangguk lalu melakukan instruksi ibu.

Baru saja selesai menyiapkan tas dan baju Yana, tiba-tiba terdengar suara Yana memanggil.

"Mas,"

Aku menoleh. "Kenapa Yan?"

"Aku takut melahirkan, Mas. Ini pengalaman pertama,"

Belum sempat aku menyahut, ibu sudah masuk kembali ke dalam kamar sambil membawa mangkok di tangannya.

"Gak usah takut. Melahirkan itu hal yang lumrah bagi perempuan. Anaknya ibu 3 yo gangsar semua karena minum ini. Sekarang ayo kamu juga minum," Ibuku menyorongkan sebuah mangkok yang didalamnya terdapat sebentuk tanaman berwarna kecoklatan seperti akar yang direndam air.

"Ini apa Bu?"

"Rumput fatimah! Wes ojo kakean takon, ndang diminum!"

Yana mencium air dalam mangkok itu sekilas. Lalu diminumnya perlahan.

Seteguk telah ditelannya, lalu Yana menjauhkan mangkok itu dari mulutnya.

"Habisin!"

Yana dengan takut-takut meminumnya sampai habis.

"Wes, tiduran saja. Habis ini kalau perutmu sudah sakit banget, kita ke bidan. Biar tidak terlalu lama di bidannya, nunggu sekalian sakite seng nemen,"

Yana mengangguk lalu membaringkan diri di kasur dan memejamkan mata lagi.

Tiga puluh menit berselang, Yana berteriak-teriak mengagetkanku yang sedang tertidur di sebelahnya.

"Mas, perut Yana mulas," Yana mengerang-erang sambil memegangi perutnya.

"Bentar ya, aku panggilin ibu," sahutku pendek lalu bergegas keluar kamar.

Aku kembali ke kamar diikuti oleh ibu. Ibu memandang Yana yang masih mengerang kesakitan.

"Halah, gak usah manja. Bikinnya aja diem, giliran mengeluarkannya teriak-teriak. Gak isin!" seru ibu.

"Beneran bu, perut Yana sakit. Ya Allah..," Yana berguling kekanan dan kekiri.

"Langsung saja ke bidan, Met. Sepertinya si rumput fatimah sudah muncul efeknya," seru ibu.

"Yan, duduk ya. Biar ibu bantu pakai pembalut," tukas ibu sesaat sebelum aku keluar dari kamar Yana.

Aku segera membawa tas berisi baju bayi dan baju Yana lalu menghidupkan bentorku.*

Untung saja, rumah bidan terdekat hanya 1,5 kilo dari rumah.

Di sepanjang jalan, Yana berteriak-teriak kesakitan sambil memegangi tangan ibu.

"Haduh, lebai sekali dia saat ini. Apa tidak malu kalau diliat orang lain," aku bergumam gusar.

Tiba-tiba terdengar suara ibu berteriak panik. "Met, agak cepat ya. Ini ketubannya pecah. Wedi mbrojol nang dalan,"

"Iya Bu,"

Aku pun semakin mempercepat laju becak montorku.

Sesampainya di rumah bu bidan Indah, aku segera melompat turun dari bentor.

"Met, istrimu pingsan lagi!" Teriak ibu.

Aku bergegas ke depan bentor dan terkejut saat melihat darah berceceran dari kaki Yana.

"Hoeekkk..hoeekk," Aku nyaris mengeluarkan isi perut saat melihat darah itu.

"Lah cemen! Kamu cepet gendong Yana saja biar ibu yang membuka pintu pagar rumah bu Indah," tukas ibuku.

Aku menguatkan hati menggendong Yana. Sementara ibu segera membuka pinta pagar rumah bu Indah. Lalu menggedor pintunya.

"Astaga," darah rupanya telah membasahi daster Yana.

Tanganku gemetar. "Benarkah ini normal. Ini pengalaman pertama menjadi seorang bapak. Aku bingung bagaimana harus menghadapi hal ini," batinku.

"Astaghfirullah, kenapa ini?" Bu Indah terkejut saat di tengah hari bolong membuka pintu rumahnya dan mendapati Yana yang tengah perdarahan dan sedang kubopong.

"Ayo bawa masuk," seru bu Indah seraya membuka pintu salah satu kamar di tempat praktiknya.

"Tidurkan di kasur Pak. Saya minta buku KIA ya, yang warna merah muda,"

Aku mengangguk lalu membaringkan Yana ke kasur yang sudah dialasi oleh perlak warna hitam.

Lalu berlari keluar dan mengambil tas di bentor.

"Ya Allah, ini kan kemarin sudah saya pinta USG sekaligus memeriksa panggul karena takutnya panggul ibu sempit?" tanya bu Indah dengan wajah pucat.

Aku dan ibu berpandangan. "Pak Slamet, sudah sebulan yang lalu kan pak saya minta bapak dan ibu untuk membawa bu Yana ke dokter. Untuk memastikan panggul ibu bisa dilewati bayi atau tidak?" tanya bu Indah lagi.

"Duh, mana bisa menyisihkan uang untuk USG Bu. Untuk merokok saja kurang uangnya," gumamku.

Bu Indah lalu memakai sarung tangan dan mendekati Yana lalu memakaikan semacam korset di lengan Yana.

"Ya Allah, tensinya 80. Drop banget ini!" seru bu Indah panik.

Aku menelan ludah. Parahkah keadaan Yana?

Bu Indah lalu menuangkan semacam gel diatas perut Yana lalu mengambil sebuah alat, menempelkan ujungnya pada perut Yana. Lantas menggeser-geserkan alat itu dengan wajah cemas.

"Ya Allah, jantung janinnya melambat! Sebenarnya apa yang terjadi sebelum pasien kesini? Apa bapak dan ibu meminumkan sesuatu pada pasien?" tanya bu Indah dengan wajah memerah dan mata mendelik seperti hendak menelan kami bulat-bulat.

Ibuku nampak memucat. Dengan perlahan ibu memandangiku dan bu Indah bergantian lalu menjawab,...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status