Bab 2
Pagi ini, aku masih berkutat di dapur. Menyiapkan sarapan untuk anak dan suami.
Dika, anak semata wayangku, masih senang dengan sofa baru itu. Dia duduk santai di sana dengan ayahnya. Sambil menikmati wedang hangat.
"Sopa baru, ya?" tetiba telinga ini mendengar suara Zaki. Anaknya Mbak Niken. Umur Zaki lebih tua setahun dari Dika.
"Iya, dong!" balas Dika. Nada suara Dika terdengar bangga. Aku menoleh ke arah ruang tamu. Aku lihat Zaki duduk di antara Mas Firman dan Dika.
"Empuk, ya!" ucap Zaki.
"Jangan di enjot-enjot kayak gitu, nanti rusak!" teriak Dika nggak terima. Aku menoleh lagi. Dan ternyata benar, Zaki lagi melonjak-lonjak di atas sofa.
"Zaki, duduk yang bagus, ya!" ucap Mas Firman. Tapi, aku lihat Zaki tetap nggak peduli. Dan terus asyik dengan kemauannya.
"Jangan di enjot-enjot! Nanti rusak!" teriak Dika lagi, suaranya semakin lantang dan terdengar nyaring.
Karena suara Dika terdengar sangat lantang, membuat Zaki mungkin terkejut. Kemudian, telinga ini mendengar, dia menangis.
"Pulang sana!" teriak Dika lagi.
"Dika, nggak boleh gitu, Nak, sama Mas Zaki," ucap Mas Firman.
"Biarin. Dasar gembeng!" ucap Dika lagi.
Ya, walau umurnya tua Zaki, tapi, Dika sangat berani. Karena Dika nggak gembengan. Beda memang dengan Zaki. Entahlah.
"Zaki, pulang!" teriak Mbak Niken dari teras rumahnya. Mungkin dia mendengar suara tangis anaknya. Tapi, Zaki bukannya pulang, dia semakin melantangkan suara tangisnya.
Karena hati ini sudah merasa nggak enak, segera aku matikan kompor dan mendekat ke ruang tamu.
Aku lihat Mas Firman sudah merayu, untuk menenangkan Zaki. Tapi, yang di tenangkan semakin lantang saja tangisnya. Seolah sedang mencari perhatian.
"Zaki!!! Pulang!!!" teriak Mbak Niken lagi. Suaranya juga semakin lantang.
"Zaki, Sayang! Diam, ya! Mamamu nyuruh pulang, tuh! Yok Tante antar pulang!" ucapku merayu. Agar Zaki tenang dan mau pulang.
"Nggak!" teriak Zaki.
Ya, seperti itulah Zaki. Nakal, gembeng tapi juga kaku hatinya. Dia meronta nangis, tapi susah untuk di diamkan.
Aku menoleh ke arah jendela. Aku lihat Mbak Niken sudah melangkah mendekat ke rumahku. Haduh ... bakal dengar cerocosannya di pagi hari ini.
"Zaki, ayok pulang!" ajak Mbak Niken. Nada suranya terdengar kasar.
"Aku masih ingin di sini! Main enjot-enjotan di sopa!" ucap Zaki, masih dengan nada menangis.
"Nggak boleh! Nanti rusak!" teriak Dika otomatis. Karena dia memang lagi senang-senangnya. Apalagi dia memang ikut waktu belinya.
"Dika, Sayang! Sopanya nggak akan rusak, kalau di enjot-enjot Mas Zaki," ucap Mas Firman.
"Nggak!" teriak Dika lagi.
"Ayok pulang! Baru punya sofa saja, bikin anakku nangis!" sungut Mbak Niken. Aku lihat dia memaksa anaknya untuk pulang.
Aku dan Mas Firman hanya saling pandang. Kemudian meneguk ludah.
"Nggak! Pokoknya aku nggak mau pulang! Di rumah nggak ada sopa!" teriak Zaki lagi, tapi Mbak Niken memaksa Zaki untuk turun dari sofa.
"Nanti minta suruh belikan Ayah, sofa yang jauh lebih bagus dari ini. Kalau udah punya sofa bagus, gantian nanti, Dika nggak boleh enjot-enjot," balas Mbak Niken.
Lagi, aku hanya bisa meneguk ludah. Kemudian menghela napas sejenak. Sesak mendengar omongan Mbak Niken. Seperti itu cara dia ngajari anak? Pendendam?
"Sana pulang!" teriak Dika lagi. Mungkin dia geram.
"Nak, nggak boleh kayak gitu!" ucap Mas Firman. Aku lihat mata Mas Firman melotot ke arah Dika.
Dika memang paling takut saat melihat ayahnya melotot. Dika kemudian menunduk.
"Marahin aja Dika itu, Om! Biar nggak pelit!" teriak Zaki.
Astaga! Makin hari, Zaki ini semakin ngelunjak. Tapi prinsipku sama Mas Firman, selalu memarahi anak sendiri. Bukan anak orang lain. Walau hanya melotot. Pokok jangan sampai main fisik.
"Halah ... pelit mah bawaan! Yok pulang! Nggak usah kawanan sama anak yang pelit!" ucap Mbak Niken.
"Mbak, jangan ngomong kayak gitu, ke anak! Nggak baik," ucapku.
"Nggak usah nyeramahin aku! Aku ini lebih tua dari kamu!" balas Mbak Niken.
"Bukan nyeramahin Mbak, hanya mengingatkan!" ucapku.
"Halah ... kayak udah paling bener aja kamu itu!" sungutnya.
"Tapi ...."
"Dek!" potong Mas Firman. Aku lihat matanya memandangku tajam. Aku faham, dia menginginkan aku diam.
Kemudian, mau tak mau, aku diam dan mengangguk pelan.
"Baru saja punya sofa! Sudah sok ngingetin orang! Nggak kebayang kalau bisa beli motor baru! Sok paling kaya mungkin!" sungut Mbak Niken.
Sumpah, kalau nggak ada Mas Firman, ingin aku balas pedas ucapannya. Tapi, aku melihat ekspresi Mas Firman, dia seolah menginginkan aku diam. Ok lah, dari pada ribut sama Mas Firman. Mendingan diam saja.
Karena aku dan Mas Firman diam, akhirnya Mbak Niken merasa di cuekin. Akhirnya pulang sendiri, dengan nyerocos panjang nggak jelas.
"Sabar! Kalau di turuti, dia akan senang. Karena memang itu tujuan dia!" ucap Mas Firman. Aku hanya bisa menghela napas panjang. Sesak dada ini. Seolah tak terima, menerima ucapan pedas dari Mbak Niken. Gini amat, sarapan pagi ini. Sarapan pagi, dengan omelan nggak jelas.
Kenyang? Sangat kenyang makan hati.
**********
Aku duduk santai di teras. Dika aku lihat sedang mainan mobil-mobilan. Mas Firman sudah berangkat kerja.
Aku menoleh ke arah rumah Mbak Niken. Aku lihat Mas Andra ada di rumah. Karena motor yang biasa di pakai kerja Mas Andra, masih nangkring di teras mereka. Mungkin Mas Andra libur kerja.
"Mas pokoknya bulan depan harus beli motor!" telinga ini mendengar samar-sama suara Mbak Niken ngobrol dengan suaminya.
"Bulan depan belum bisa kayaknya, Dek! Kita harus menyisihkan uang untuk perawatan kebun. Beli pupuk dan gaji orang untuk bersih-bersih kebun dan upah mupuknya," jawab Mas Andra.
"Halaaah ... aku nggak mau tahu, itu urusanmu! Malu aku kalau nggak sampai beli motor. Beli sofa udah nggak jadi! Malah keduluan Eka," sungut Mbak Niken. Suaranya semakin lantang.
"Sabar, Dek!" ucap Mas Andra.
"Sabar mulu! Firman saja bisa beliin istrinya sofa. Padahal kita ini sama-sama punya kebun, gaji sama-sama," ucap Mbak Niken.
"Iya, kita memang sama-sama punya kebun. Tapi kamu lihat sendiri, Eka berhemat. Dia selalu masak, jarang beli di warung makan," ucap Mas Andra.
What? Telinga ini nggak salah dengarkan? Mas Andra muji aku? Biasanya dia nampak kompak meledek sama istrinya kalau pas ada aku.
"Jadi kamu banding-bandingin aku sama Eka?" teriak Mbak Niken semakin lantang.
"Bukan banding-bandingin, tapi setidaknya kamu bisa belajar sedikit berhemat. Biar aku nggak pusing, nuruti semua keinganmu!" jawab Mas Andra.
Aku hanya bisa meneguk ludah mendengarnya. Sungguh aku nggak nyangka, ternyata Mas Andra masih mau menilai sisi baikku. Aku kira mereka sama-sama kompak.
Mungkin hanya terlihat kompak saja kali, ya? Entahlah.
"Aku nggak mau tahu, pokok gajian bulan depan, harus ambil motor baru. Aku nggak peduli. Mau kredit kek, mau kontan kek, aku nggak peduli!" sungut Mbak Niken.
Braaakkkk ....
Terdengar suara pintu di banting. Aku malah yang terkejut sendiri. Kemudian mengelus dada, mengontrol napas.
Astagfirullah, segitunya ingin diakuin kaya?
**********
Part 66POV ANDRAApa yang aku bilang, kedatangan Mertua semakin membuat hati ini sesak. Gimana nggak sesak? Dia itu sudah minjam dua juta, aku di suruh ganti katanya, tapi travel nggak mau bayar.Itu artinya, dia menyayangkan uang dua juta itu. Semua dia bebankan ke aku. Ya Allah ... mungkin Ibu terlalu di 'lulu' sama Niken dulu itu. Berapapun jumlah nominal yang ibunya mau, selalu Niken turuti, bagaimanapun caranya.Ingin pecah rasanya kepala ini. Emosi luar biasa. Ingin aku terkam perempuan paruh baya bergelar mertuaku itu.Dulu, saat aku masih berduit, tak seperti inilah, rasa kesalku padanya. Karena Niken sendiri juga selalu menutupi sifat yang kurang pas ibunya itu. Sehingga aku gampang juga di perdaya."Ibu bayar saja! Andra nggak ada uang!" ucapku. Ibu terlihat nyengir tak suka."Kok gitu, sih, Ndra? Ibu ini udah jauh-jauh datang ke sini! Cuma ongkos travel saja kamu masalahin? Kalau Ibu punya uang, Ibu nggak minta kamu bayari. Ibu ini memang punya uang, tapi kan uang pinjama
Part 65POV ANDRA"Bu, Bapak," sapaku, saat aku sampai rumah sakit. Mata ini telah melihat kedatangan Bapak dan Ibu. Eka dan Dika juga.Mereka sering mendapatkan perlakuan tak enak dari Niken. Tapi, mereka tetap saja perhatian. Sedangkan keluarga Niken? Seolah menganggap penyakit Niken hanya penyakit sepele. Dan segera sembuh dengan sekali berobat."Ndra," balas Bapak. Aku lihat Ibu diam. Seolah terpaksa datang ke sini. Mungkin Bapak atau Eka yang memaksa. Aku mengulas senyum. Kemudian mencium punggung tangan Bapak dan Ibu. Aku merasakan ada yang berbeda dengan Ibu. Ibu seolah bersikap dingin denganku. Kutarik napas ini. Menghembuskannya perlahan. Menata hati yang terasa bergemuruh hebat.Ibu biasanya orang yang paling care denganku. Tapi semenjak kejadian Niken secara halus mengusir itu, kurasakan Ibu berbeda.Bapak pun juga berbeda. Tapi seolah masih ia tutupi. Eka pun sama. Tapi, seolah mereka masih menutupi. Mungkin tak enak hati denganku. "Ibu ke sini hanya untuk Zaki! Bukan u
PART 64POV ANDRAAku lihat kening Adista melipat, saat aku mengutarakan isi hati untuk meminjam uang. Apakah aku tidak malu? Sungguh aku malu luar biasa. Tapi di tempat yang baru seperti ini, aku mau minjam ke siapa? Hanya Adista dalam pikiranku. Dan menahan rasa malu.Wito? Ah, aku juga tahu kondisi dia. Mau minjam ke toke pasir pun aku tak berani. Karena belum lama kenal juga.Mau minjam Firman, aku juga tak berani. Karena uang dia dulu pernah aku pinjam, dan sampai sekarang belum aku kembalikan.Dulu aku memang punya uang, tapi setiap aku berpikir untuk mengembalikan, selalu didahului Niken untuk belanja baju dan lain sebagainya.Sungguh, entah kenapa aku dulu terlalu nurut dengan Niken. Selalu menuruti keinginannya walau diluar batas mampuku. Kini aku menyesal. Penyesalan memang selalu datang diakhir cerita. Kalau tahu akan seperti ini, tak akan aku mau menuruti, semua keinginan Niken kala itu.Aku lihat Adista masih terdiam. Kemudian merebahkan badannya di sandaran sofa. Entah
PART 63POV EKAKami segera berangkat ke tempat Mas Andra. Dengan perasaan yang tak bisa dijelaskan. Mbak Niken memang menyebalkan. Tapi, kami masih punya hati nurani. Walau hati kesal luar biasa karena tingkah lakunya kala itu, tapi hati ini tak menaruh rasa dendam.Ibu akhirnya juga ikut menuju ke rumah Mas Andra. Karena aku yakin, mulut bisa berkata kasar dan tega, tapi isi hati berbeda. Tak ada orang tua yang tega kepada anaknya. Termasuk Ibu mertuaku."Ibu ke sana demi Andra dan Zaki dan Firman pun sudah terlanjur di sana. Juga karena paksaan kalian. Bukan karena Niken." ucap Ibu akhirnya. Walau nada suara itu terdengar berat dan terpaksa. Tapi, aku yakin Ibu memang ingin menemui anak dan menantunya.Pesan singkat yang dikirimkan Mas Firman, mengirimkan foto yang mana keadaan Mbak Niken semakin sekarat. Bahkan terlihat Mbak Niken dibawa ke rumah sakit sudah ditusuk infus. Mungkin Mas Firman yang memaksa membawa Mbak Niken ke rumah sakit. Ya Allah ... Engkau Maha Kaya. Aku yakin
PART 62POV EKAKeadaan Mbak Niken dan Mas Andra benar adanya. Yang dikatakan Mak Giyem tak bohong. Aku telah telponan dengan Mas Firman. Dan sudah mendengar dari Mas Firman bagaimana keadaan mereka sekarang.Dan sekarang, kata Mas Firman kondisi Mbak Niken semakin kritis. Dia pingsan lagi.Jujur saja, ini membuat hatiku tak tenang. Bagaimana mau tenang, mendengar ceritanya saja, hati ini terasa tersayat. Walau aku tahu, dulu Mbak Niken memang sangat menyebalkan.Walau Mbak Niken dulu menyebalkan, tapi tak ada dendam didalam sini. Karena sejatinya Mbak Niken sudah di balas oleh Allah. Mbak Niken sudah mendapatkan karmanya. Ya, tak perlu dibalas, tapi karma memang nyata adanya. Cepat atau lambat.Aku mondar mandir layaknya setrikaan. Karena aku bingung sendiri. Sumpah aku bingung. Mau ke rumah Mertua, aku malas jalan kaki. Karena motor dibawa Mas Firman.Astaga ... kenapa aku tak menelpon Ibu saja? Dalam keadaan bingung, rasanya memang tak bisa berpikir tenang. Tak bisa berpikir jerni
Part 61POV ANDRANiken sudah aku letakan didalam kamar. Kondisinya masih pingsan. Zaki menangis seolah ketakutan. Dalam kondisi seperti ini aku sangat amat kebingungan.Kuraih gawai. Kuutak atik dan sebenarnya tak tahu mau menelpon siapa. Karena pikiran terasa sangat amat kacau.Gawai terus aku scroll, sambil mikir pada siapa aku harus meminta tolong. Akhirnya mata ini tertuju pada nomor kontak Firman.Ya, reflek saja langsung menekan nomor Firman. Dan terhubung.Ya, dalam kondisi seperti ini, tetap lari ke saudara. Malu tak malu. Lebih tepatnya menahan malu.***********Akhirnya Firman bersedia untuk datang. Dan pagi ini, katanya dia sudah berangkat. Firman memang adik yang baik. Aku jadi menyesal dulu aku sering memperlakukan dia hal yang tak pantas antara kakak ke adik.Ya Allah ... karmaMu nyata adanya. Bahkan tak sampai ke anak cucu. Seolah langsung di balas tunai kepada diriku sendiri. Sungguh aku malu dengan perlakuanku dulu. Firman maafkan aku!Niken sudah sadar. Dia pingsan