Bab 7
"Mbak Niken, akhir-akhir ini, aku lihat kurusan, ya!" ucap Mak Sugiyem. Tetangga.
"Iya, Mbak Niken nampak kurusan," sahut Mak Gati. Penjual sayur keliling.
Ya, kami sedang membeli sayuran siang ini. Beli sayuran siang, untuk di masak besok pagi. Seperti itulah, kami amankan dulu sayur mayurnya di kulkas. Jadi pagi tak mikiri lagi, mau masak apa. Tinggal eksekusi.
Aku memilih diam. Males banget menanggapi ucapan tentang Mbak Niken. Lagian hati ini masih kesal tentang hal kemarin. Tapi, ikuti saja alurnya. Pura-pura akur. Hi hi hi hi.
"Aku ini sedot lemak. Diet! Biar nggak gemuk-gemuk banget!" ucap Mbak Niken dengan gaya kemayunya. Aku tetap memilih sayuran yang akan aku beli. Tapi, telinga tetal mendengarkan.
What? Sedot lemak? Sejak kapan? Seriusan? Entahlah, tapi hati ini tetap nggak percaya dia sedot lemak.
"Owh, sedot lemak?! Sakit nggak?" tanya Mak Giyem. Dia memang suka banget nanggapi ucapan Mbak Niken. Suka juga nanggapi ucapanku. Entahlah apa maksudnya.
"Sakit, Mak! Tapi, demi langsing dan cantik, nggak masalah! Tahan sedikit rasa sakitnya! Demi suamikan juga pahala!" jawab Mbak Niken.
Iyakah? kalau dia bisa sedot lemak, kenapa beli motor suaminya harus minjem kepada Mas Firman? Aneh.
"Udah Bagus, Mbak, badannya segitu saja! Jangan sedot lemak lagi. Ntar kurus kering!" ucap Mak Gati.
"Iya, ya? Kalau menurutku, sih, kurang kurus. Mau aku kurusin sedikit lagi," balas Mbak Niken. Matanya seolah melirikku.
Apa maksudnya? Menyindirkah, karena badan ini lumayan semok? Hemmm.
"Ka, nggak ikutan sedot lemak?" tanya Mak Giyem. Tuh kan, Mak Giyem memang seperti itu. Kalau menurutku, seolah ngompori.
Aku berusaha mengulas senyum saja. Kemudian menggeleng pelan.
"Iya, Mbak Eka, ikutan sedot lemak! Biar bisa langsing kayak iparnya!" ucap Mak Gati. Si penjual sayur.
"Nggak, Mak! Biarlah gemuk. Udah laku ini, duitnya dari pada untuk sedot lemak, mending buat sedot beras saja," balasku.
"Kayak nggak tahu Eka saja, Emak-emak ini! Eka kan perhitungan sekali sama duit!" ucap Mbak Niken. Entah apa maksudnya. Terdengar memuji, tapi juga terdengar menjatuhkan.
"Ha ha ha, iya, ya! Aku juga sama, mending sedot beras saja," balas Mak Gati.
"Masalahnya nggak ada duitnya untuk sedot lemak!" balas Mak Giyem.
"Ha ha ha ha," kami tertawa bersama. Mbak Niken juga tertawa. Entah apa maksudnya.
"Bersyukur sekali diriku, Mas Andra memberikan aku uang khusus untuk perawatan," ucap Mbak Niken, setelah tawa kami reda.
Kumat, deh, dia mulai merasa wanita paling beruntung di dunia. Mulai pamer dengan kondisi ekonominya, yang seolah paling waow.
Aih, nggak yakin Mas Andra memberikan uang khusus untuk perawatan. Paling juga Mbak Niken mengada-ngada. Mau beli motor aja, ngutang. Apalagi perawatan khusus untuk sedot lemak.
Lagian, kapanlah Mbak Niken ini tahu dokter kecantikan. Setahuku juga bedak dia, juga bedak pasaran. Bukan bedak ala-ala dokter.
"Aku juga beruntung sekali, selalu di berikan uang lebih. Jadi nggak nyampe hutang ke tetangga!" balasku. Seraya membayar sayuran yang aku beli.
Sengaja aku memandang ke arah Mbak Niken. Kami saling beradu pandang, dan saling melempar senyum. Seolah sangat baik-baik saja. Seolah tak terjadi peperangan hati.
"Kalau uang khusus perawatan badan saja tercukupi, apalagi uang khusus dapur, iya nggak?" ucap Mbak Niken.
Nah, ini kalau menurutku memang menyindir. Lagi, aku hanya tersenyum saja, menaggapi ucapan Mbak Niken.
"Iya, deh, Mbak! Semoga nggak kebablasan kurus, ya, Mbak! Kalau aku suka gemuk saja! Biar nggak terlihat tekanan batin!" ucapku.
Mbak Niken terlihat mencebikan mulut. Masih ada sedikit senyum yang tertinggal.
"Iya, Mbak Eka, sama! Setuju! Aku juga suka gemuk! Tapi, sayangnya aku susah gemuk! Ha ha ha," ucap Mak Gati.
"Iya, Mak," balasku.
"Ha ha ha ha," kami semua serentak tertawa. Pun Mbak Niken, dia juga ikut tertawa. Mungkin untuk pantas-pantas saja.
**********
"Eka!" teriak Mbak Niken. Padahal aku baru saja meletakan sayuran di dalam kulkas.
"Iya?" balasku. Kemudian aku segera melangkah mendekat ke arah asal suara yang memanggil.
Aku lihat Mbak Niken sudah duduk, di sofa tanpa aku persilahkan. Hemmm, ada apa kira-kira? Entahlah.
"Ada apa, Mbak?" tanyaku, seraya duduk tepat di hadapannya.
Mbak Niken menatapku tajam. Kemudian sedikit mencebikan mulut.
"Awas kalau kamu sampai bilang ke orang-orang, kalau Mas Andra hutang ke Firman!" ucap Mbak Niken. Nada suaranya terdengar mengancam.
Gantian, aku sedikit mencebikan bibir. Dan mengangkat alis.
"Hemmm," balasku sesantai mungkin.
"Lagian, Mas Andra itu hanya ngetes Firman saja. Punya uang apa nggak. Nyatanya zonk. Miris!" ucap Mbak Niken.
"Emmm, udah Mbak ngomongnya? Kalau udah, aku mau lanjut beberes," ucapku asal. Karena malas nanggapinya. Aku lihat keningnya mengerut.
"Kamu ini diajak ngomong nggak nanggapi banget, sih! Nggak sopan!" ucap Mbak Niken.
"Nggak sopan? Nggak kebalik?" tanyaku balik. Aku lihat matanya mendelik.
"Apa, sih, maksudmu?" tanya balik Mbak Niken.
"Sudahlah, Mbak! Aku malas ribut. Lagian kalau Mas Andra hanya ngetes Mas Firman juga terserah. Bersyukur malah kalau hanya ngetes. Kalaupun ada, dan nggak ngetes juga, nggak akan kami pinjamkan ke Mas Andra," ucapku.
"Benar-benar nggak bisa diajak saudaraan kamu itu!" sungut Mbak Niken. Matanya semakin mendelik.
Hah? Dia percaya diri banget ngomong seperti itu. Nggak kebalik kah?
"Kalau aku nggak bisa di ajak saudaraaan, ya udah terserah Mbak. Pokok jangan ganggu hidupku. Lagian selama ini, aku nggak pernah kan minjam uang ke Mbak!" ucapku.
"Dasar adik ipar nggak punya tata krama!" sungut Mbak Niken. Aku hanya bisa mengulas senyum.
"Mbak dari pada makin panjang, mendingan Mbak segera pulang! Lagian sofaku kan sofa murahan. Mbak Niken nggak pantas duduk di situ!" ucapku.
Mbak Niken seketika berdiri. Kemudian raut wajahnya terlihat memerah, seraya menatapku tajam. Karena dia beranjak, aku juga ikut beranjak. Aku lihat tangannya mengepal. Seolah ingin sekali menerkamku.
"Dasar! Baru saja bisa beli sofa murahan sok belagu! Apalagi bisa sedot lemak kayak aku!" sungutnya.
"Astaga! Aku sama sekali, nggak ingin sedot lemak, Mbak! Mending buat beli motor baru. Jadi bisa jalan-jalan dan main-main ke sana sini, kalau Mas Firman kerja!" balasku asal. Dengan nada suara ringan.
"Halah, kamu itu nggak punya ide sendiri. Aku baru saja ngomong beli sofa, kamu duluin. Sekarang aku ngomong mau beli Motor, kayaknya kamu juga mau duluin! Dasar nggak kreatif!" sungut Mbak Niken.
"Hah? Suka-suka aku dong! Mau beli apa? Yang penting duit sendiri. Nggak ngutang!" balasku.
"Issshhh ...." Mbak Niken geram sendiri. Terlihat tangannya yang mengepal.
Braakkkk
Astagfirullah, Mbak Niken membanting pintung kemudian berlalu. Nggak suaminya, nggak istrinya, suka banget banting daun pintu rumahku. Ck ck ck ck.
Dasar! Orang yang ingin diakui kaya, katanya sedang sedot lemak. Percaya? Ha ha ha.
*******
Bab 8"Mbak Niken sedot lemak?" tanya Mas Firman, memastikan ucapanku. Karena aku baru saja selesai cerita, tentang pengakuan Mbak Niken tadi."Iya katanya, Mas," ucapku. Mas Firman terlihat mencebikan mulutnya. Raut wajahnya, seolah tak percaya. Sama, sih, aku sendiri juga tak percaya. Ha ha ha."Kalau bisa sedot lemak, berarti banyak duit," ucap Mas Firman. "Itulah, tapi nyatanya Mas Andra utang duit ke sini untuk beli motor," balasku.Mas Firman menyeruput kopinya. Aku sendiri, juga ikut menikmati teh manis. Dika aku lihat fokus dengan acara TV yang dia lihat."Biarlah, Dek! Kayak nggak ngerti lagunya Mbak Niken saja!" ucap Mas Firman, setelah meletakan gelas kopinya di atas meja."Iya, sih, Mas. Tapi kok segitunya banget, ingin diakui kaya!" ucapku. Mas Firman mengulas senyum."Biar saja! Yang penting kamu nggak," balas Mas Firman."Insyaallah, nggak Mas. Aku saja malu sendiri dengarnya!" ucapku. Mas Firman manggut-manggut. "Iya, Sayang! Buat pelajaran saja. Pelajaran hidup, buk
BAB 9Dua hari ini keadaan sepi. Mbak Niken yang biasanya banyak ngomong dan sering datang ke rumahku, kini dia tak menampakan diri.Zaki juga tak terlihat datang. Tapi, aku lihat mereka ada di rumah. Dan motor yang dibawa pick up itu, juga tak nampak kembali. Mas Firman juga sudah aku kasih tahu. Tapi, suami juga tak tahu kenapa motor itu di bawa pick up.Dua hari tak dengar suara mereka, alhamdulillah tenang. Tapi juga penasaran. Ada apa? Tumben! Berasa ada yang hilang. Hi hi hi."Dek, semoga hari ini gajian. Kamu mau di belikan apa?" tanya Mas Firman."Apa, ya?" tanyaku balik, dengan mengerutkan kening."Terserah kamu. Perabotan dapur misal," ucap Mas Firman. "Emmm, belikan Dika mainan baru. Sama blender, ya!" jawabku akhirnya."Sipp!" balas Mas Firman. Aku mengulas senyum. Ya, seperti itulah Mas Firman. Setiap gajian PT selalu menyisihkan beli sesuatu dulu. Biar perabotan rumah juga nambah. Jadi nggak habis untuk makan saja.Semoga akan selalu begini rumah tangga kami. Tenang d
Bab 10Dengan rasa penasaran, aku masuk ke rumah Mbak Niken. Dua hari tak jumpa. Tak mendengar celotehan ngeselinnya. Ada yang hilang rasanya, ha ha ha.Kata Mas Andra, dia sakit, bisa jadi sakit karena kesakitan gegara sedot lemak. Kalau nggak, mungkin demam karena shok, motornya di tarik leasing. Atau bisa saja perasaan sendiri, karena malu. Sudah kowar-kowar mau beli motor baru, malah motor lama melayang tarik leasing. Menyedihkan sekali Bude. "Duduk dulu!" perintah Mas Andra. Kami mengangguk. Kemudian duduk di atas karpet ruang tamunya. Mas Andra terlihat melangkah menuju kamarnya. Aku mengedarkan pandang. Walau bersebelahan, aku jarang masuk ke rumah Mbak Niken. Yang ada hampir tiap hari, Mbak Niken ke rumahku. Apalagi kalau ada barang baru. Hemmm, sehari bisa dua sampai tiga kali, datang ke rumah."Ka, kamu ikut antar ke rumah sakit, ya! Naik belakang. Mbakmu lemes," pinta Mas Andra."Iya, Mas!" balasku. Setelah Mas Firman mengangguk seraya menatapku."Yaudah. Bantu mbakmu ke
Bab 11Malam semakin dingin. Pulang dari rumah Mbak Niken, kami lansung berbaring di kamar. Dika sudah berada di kamarnya. Mas Firman aku lihat dia belum tidur. Matanya masih menatap langit-langit. "Mas.""Hemm.""Mikirin apa?""Mikirin Mas Andra," jawabnya, dengan sorot mata yang masih menatap langit-langit.Aku menggeserkan badan, mendekat. Mas Firman menyambutku, dia mengelus pelan kepalaku. "Nggak nyangka aku kalau Mbak Niken sakit," ucapku. Mas Firman mengangguk."Iya, Dek, sama!" balasnya. Aku menghela napas sejenak. "Semoga Mas Andra kuat," ucapku."Iya, aamiin. Kalau menurut, Mas, Mbak Niken itu memaksakan keadaan. Jadi seperti itulah jadinya," ucap Mas Firman."Entahlah, Mas. Aku juga nggak habis pikir," balasku."Iya, dan Mas Andra selalu menuruti keinginan istrinya. Bagus sih, tapi kalau nggak mikir keadaan dan kemampuannya, kan rusak sendiri," ucap Mas Firman. "Iya, Mas. Semoga saja setelah mendapat penyakit itu, Mbak Niken bisa intropeksi diri, dan bisa sedikit menge
Bab12Kopi untuk suami tercinta sudah tersedia. Mas Firman masih berada di dalam kamar mandi. Terdengar suara guyuran air menyentuh lantai.Dika sudah aku panggil masuk. Karena sudah sore. Zaki sudah pulang juga. Masih ngantri dulu sama ayahnya. Karena Dika memang seperti itu. Kalau lagi susah di suruh mandi, maka payah juga nyuruh dia mandi.Tapi, kalau lagi senang mandi, tanpa di suruh, sebelum ayahnya pulang kerja, dia sudah bersih."Tuh, Ayah sudah selesai mandi. Sana buruan mandi!" titahku. Karena mata ini melihat Mas Firman, baru saja keluar dari kamar mandi."Iya, Ma!" balas Dika. Kemudian dia segera beranjak. Dan berlalu menuju ke kamar mandi."Bajunya sudah aku siapkan, Mas. Aku letakan diatas ranjang!" ucapku."Iya," balas Mas Firman seraya masuk ke dalam kamar. Aku sendiri juga belum mandi. Biarkan Dika dulu. Habis Dika barulah aku. Emak belakangan saja. Yang penting semuanya sudah beres semua.********"Assalamualaikum!" terdengar suara salam. Suara yang tak asing juga di
PART 13"Maaf, Mas, aku nggak sanggup jika harus mengambil alih masalah Mas Andra," ucapku, setelah Mertua pulang. Karena aku memang tahu betul, bagaimana perekonomian kami.Mas Firman terlihat mengangguk. Kemudian mengusap wajahnya pelan."Iya, Dek. Mas juga merasa nggak sanggup," balas Mas Firman."Punya sangkutan sama Bank itu, hidup kita nggak akan tenang, Mas. Apalagi segitu banyak! Sebulan itu cepat, tahu-tahu udah jatuh tempo saja," ucapku yang mana dada ini masih terasa sesak. Tangan kanan berkali-kali menekan dada."Iya, dan kita selama ini nggak pernah berurusan sama Bank. Tapi, kasihan Bapak dan Ibu," jelas Mas Firman. Aku mengangguk pelan. Menyetujui ucapan yang bilang, kasihan dengan mertua."Aku juga kasihan sama Bapak dan Ibu. Tapi, kita bisa apa?" tanyaku balik. Mas Firman mengangguk."Iya, kita bisa apa? Dengan gaji Mas yang hanya segitu," balas Mas Firman. "Yaudahlah, kita istiahat dulu! Kita pikirkan lagi besok! Karena ini sudah waktunya tidur," pintaku. Mas Firman
PART 14"Ka! Ada apa? Pagi-pagi, kok, udah adu mulut sama ipar?" tanya Mak Giyem. Mulai kepo dia.Jelas saja suara ribut kami tadi terdengar. Karena memang saling ngegas. Apalagi rumahku dan Mak Giyem, berdekatan."Nggak apa-apa, Mak. Olah raga mulut saja!" jawabku asal. Mak Giyem terlihat mencebikan mulut. Seolah tak percaya."Mosok olah raga mulut? Olah raga pita suara nggak? Ha ha ha," tanya balik Mak Giyem, seraya melapas tawa. Dianggap lelucon saja."Iya, Mak! Pita suaranya minta diasah. Jadi nanti kalau lomba tujuh belasan bisa menang," balasku."Ha ha ha," Mak Giyem semakin menggelegarkan tawa.Hemm ... jawab santai saja. Mak Giyem ini ratunya gosip. Nggak di tanggapi saja dia akan tahu dengan sendirinya. Kalau di tanggapi, malah akan sampai kemana-mana nantinya. Sudah meluber kemana-kamana, masih di tambah-tambahin lagi. Seperti itulah, ngeri sekali PakLek!"Eh, tadi Mak dengar-dengar, bahas hutang Bank gitu. Emang iparmu hutang Bank?" tanya Mak Giyem. Dia ingin mengorek info
Part 15Aku aman dulu Teh yang aku buatkan untuk Ibu Mertua. Biar nggak di kerubuti semut. Aku masukan dulu ke dalam kulkas. Kalau dingin biar menjadi es teh.Entahlah, apa reaksi Mbak Niken tentang permintaan Ibu. Masih kekeuh atas gengsinya yang haqiqi, atau akan luluh? Demi rumah dan tanah biar tak tersita Bank.Susah memang kalau punya hati, yang selalu ingin dituruti apapun keinginannya. Sebenarnya bukan hanya Mbak Niken saja, yang ingin apa-apa harus di turuti. Kayaknya memang semua orang ada sifat seperti itu, tapi tergantung bisa mengontrolnya atau tidak. Kalau tak bisa mengontrol, ya ujung-ujungnya seperti Mbak Niken itu. Merepotkan.Aku sendiri, juga mempunyai keinginan menggebu dan ini itu. Manusiawi. Tapi, masih memikirkan kemampuan diri kita. Kalau tak mampu, kenapa dipaksakan? Sesuatu yang dipaksakan, hanya akan membuat sakit. Baik sakit fisik, sakit hati dan sakit pikiran. Ya, seperti itulah kalau menurutku. Nggak tahu kalau menurut yang lainnya. Terutama menurut Mbak