4 bulan sebelum kejadian ....
Zivanna, perempuan cantik, pintar dan mandiri. Semua tidak ia dapatkan dengan mudah, tempaan masa lalu yang berlatar belakang broken home membuat Zee menjadi pribadi yang lebih kuat dari gadis seusianya. "Aku masih menyiapkan beberapa dokumen untuk persiapan meeting nanti siang. Mas Kay bisa pergi dulu ke kantor, nggak perlu nungguin aku." Zivanna menjawab telepon dari calon suaminya, Kayvandra. Hari ini tepat dua bulan setelah mereka melakukan pesta pertunangan. Semuanya direncanakan dengan baik, meskipun acara digelar hanya mengundang keluarga serta kerabat terdekat saja. "Nggak apa-apa, Mas. Kita ketemu di kantor saja, setelah meeting kita bisa makan siang bareng di luar, gimana?" sahut Zivanna yang sepertinya sedang mencari alasan agar Kayvandra tidak menunggunya. "Iya, aku juga sayang sama, Mas. Sampai ketemu di kantor ya, Mas. Love you more, Mas Kay ...." Zivanna pun menutup teleponnya. "Fiuh ...." ia menghela napas panjang, lalu melihat ke arah meja di mana tumpukan berkas laporan inventaris masih belum sempat ia kerjakan. "Masih jam 7, harus cepat-cepat. Semoga bisa keburu buat bahan meeting nanti siang." Akhirnya Zivanna tenggelam dalam pekerjaannya, ia memiliki tanggung jawab besar agar semua yang dipercayakan kepadanya bisa selesai tepat waktu. *** Dirgantara Corporation, 09:00 tepat. "Syukurlah!" Zivanna bisa bernapas lega setelah turun dari taksi yang dipesannya. Ia bergegas masuk ke dalam gedung sebelum meeting dimulai. "Semua sudah beres, nunggu acc dari Kay terus ...." Zivanna tidak melanjutkan kalimatnya saat melihat beberapa karyawan berdiri di depan lift. "Ada apa? Kenapa semua berhenti di sini?" tanya Zivanna pada orang di sekitarnya. "Liftnya macet, Kak. Sudah 30 menit belum selesai masih dalam perbaikan." Jawab salah satu dari mereka. "Waduh," Zivanna terlihat panik, ia melihat jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Kurang 30 menit lagi meeting dilaksanakan, sudah tidak ada waktu untuk menunggu lebih lama. "Aku harus bergegas, kasihan Kay di atas yang sedang menunggu. Meeting tidak bisa dimulai kalau laporan ini belum aku serahkan ...." monolog Zivanna, bibirnya dilipat ke arah dalam. Gadis itu tampak berpikir keras, ia harus melakukan sesuatu. Saat ia mengedarkan pandangan, Zivanna melihat pintu darurat yang ada di salah satu sudut ruang lobi. Kepala Zee dimiringkan sedikit, tatapannya intens seolah telah menemukan sebuah ide cemerlang. "Nggak ada pilihan lain, aku harus lewat tangga." Gumam Zivanna yang kemudian berjalan tergesa ke arah pintu berwarna biru dongker. Ia melepas heels yang dikenakan, lalu berjalan menapaki anak tangga dengan setengah berlari. Di genggamnya berkas dokumen agar tidak terlepas, sedangkan macbook yang berisi file presentasi Zivanna amankan ke dalam tas selempang. "Huft .... kurang dikit lagi, Zee. Kamu pasti bisa!" Zivanna menyemangati dirinya sendiri. Lantai 3 sudah ia lewati, itu berarti kurang 2 lantai lagi untuk bisa sampai di kantornya Kayvandra. Namun langkah Zivanna terhenti saat baru saja menjejakkan kaki di lantai empat, ia membiarkan peluh menetes dari pelipisnya. Sayup ia mendengar percakapan seseorang, bukan percakapan biasa karena Zivanna mendengar suara isak tangis. 'Siapa?' (tanya Zivanna pada dirinya sendiri). Samar ia menangkap nada suara seseorang yang sangat dikenalnya, namun siapa dan apa yang sedang mereka bicarakan hingga salah satu dari mereka -- menangis? "M-Mas Kay ...." Zivanna membekap mulutnya sendiri saat ia berhasil mengintip dari balik pintu darurat. "Siapa perempuan itu? Ada hubungan apa mereka berdua?" gumam Zivanna mencari tahu. Apa penyebab perempuan itu menangis di depan Kayvandra? "Kamu tenang, ya! Aku pasti nikahin kamu," kata Kayvandra seolah menenangkan. Reflek mata Zivanna membola, ia makin merapatkan kedua tangannya agar mulut Zee tidak bersuara. "Iya, tapi mau sampai kapan? Sampai perut aku membesar?" sahut perempuan itu dengan wajah frustasi. "Aku akan mencari cara untuk menceraikan Zee setelah menikah -- secepatnya." "Tapi gimana dengan nasib aku, Kay? Anak dalam perut aku nggak bisa nunggu lebih lama, aku malu!" pekiknya dengan menutup wajah yang berselemakan air mata. "Sementara ini kamu tinggal di salah satu apartemenku, aku akan mencukupi semua kebutuhan kamu dan juga calon anak kita. Jika senggang aku akan mengunjungimu, gimana?" Kayvandra meraih tangan perempuan muda itu, lalu membawa ke dalam genggamannya. "Janji kamu nggak akan ninggalin aku kan, Kay?" tanya sang perempuan dengan tatapan penuh harap. Kayvandra mengangguk pelan, lalu mengecup punggung tangan itu dengan penuh perasaan. Zivanna mundur perlahan agar tidak menimbulkan berisik, ia terduduk di anak tangga dengan hati tercabik-cabik. Tatapannya kosong, air matanya menetes tanpa ia sadari .... "Jadi selama ini kamu selingkuh di belakangku, Mas ...." ia memainkan cincin pertunangan yang ada di jari manisnya. "Aku pikir kita adalah pasangan yang sempurna, tapi ...." Zivanna terisak, ia tidak mampu meneruskan kalimatnya. "Lantas apa gunanya perjuangan aku selama ini? Ternyata aku bukan yang nomor satu di hatimu ya, Mas?" Zivanna menyeka air matanya dengan kasar. Bersamaan dengan itu, telepon genggam miliknya tiba-tiba saja bergetar. Zivanna meraih ponsel yang berada di dalam tas, ia melihat ke layarnya dan mendapati nama My Hubby di sana. "Pasti nyariin aku kan? Kamu masih butuh aku kan, Mas?" ucap Zivanna lirih dengan senyuman masam. Zivanna pun membalasnya dengan pesan singkat, [Bentar, lift macet] Tidak banyak yang ia ketik saat mengirim pesan. Siapapun pasti tahu, jika kalimat singkat itu tidak ada rasa di dalamnya. [Kamu sudah sampai, Sayang?] [Tumben nggak ada kata 'Mas' di text kamu?] Tapi sebagai pasangan kekasih selama 3 tahun, Kayvandra hafal betul jika Zivanna tidak pernah melewatkan panggilan 'Mas' untuknya. [Sorry, buru-buru] Balas Zivanna dingin, sedingin bongkahan es di Kutub Utara. [Ya udah. Mas tunggu di kantor, ya!] Zivanna hanya memandangi room chatnya tanpa membalas, lalu menutup ponsel dengan perasaan campur aduk. "Huft .... gini amat nasib kamu, Zee? Kenapa nggak dari dulu mata hati kamu terbuka lebar, jika masih ada dunia lain selain Kayvandra di luar sana? Kenapa selalu bergantung padanya? Sakit kan Zee setelah tahu kenyataannya begini ....?" Zivanna, gadis itu bertanya dengan sejuta kata penyesalan yang tidak berujung. Dan mulai detik itu juga, Zivanna mati rasa dengan semua yang bersangkutan dengan Kayvandra Shawn Dirgantara. *** Aksi menghindar yang dilakukan oleh Zivanna membuat Kayvandra sedikit protes. Kayvandra mencium kejanggalan yang ditunjukkan Zee akhir-akhir ini. "Kita harus bicara, Zee!" Kayvandra memanggilnya ke kantor. "Untuk?" Zee menjawab cepat, bahkan ia tidak sempat duduk. "Kamu berubah akhir-akhir ini," Kayvandra berkacak pinggang gelisah, lalu menyugar rambutnya yang semula tertata rapi. "Berubah? Aku? Tidak. Tidak ada yang berubah. Itu hanya perasaan Mas Kay saja, aku masih Zivanna yang Mas kenal." Sahut Zivanna dengan santainya. "Sebentar lagi kita menikah, Zee. Saat aku meminta pertimbangan darimu tentang wedding organizer, gaun serta cincin, kamu selalu bilang -- terserah!" Zee menyunggingkan senyuman di sudut bibirnya, "Mas Kay kenal aku sudah lama kan? Sejak kita masih di bangku kuliah lho. Mas Kay pasti paham betul kalau selera kita itu sama, jadi nggak ada salahnya kan kalau aku menyerahkan urusan itu sama Mas, bukankah sama saja?" "Tapi ada yang kurang kalau cuma aku saja yang terjun mengurusi persiapan pernikahan kita, Zee." sanggah Kayvandra putus asa. "Di sini banyak tender yang belum gol, Mas. Katanya harus tembus target sebelum kita married? Aku ngejar semua itu agar di acara nikahan kita nanti nggak ada kendala, Mas." Ujar Zivanna memberikan opini dari sisinya. Nampak Kayvandra berpikir keras. Memang urusan klien, investor atau mencari data pengembang, Zivanna lah jagonya. Ya. Hampir separuh dari urusan perusahaan, semua bergantung di pundak, Jasmine Adrielle Zivanna. Kayvandra menghela napas panjang, "Sorry ...." ucapnya tiba-tiba sambil menurunkan bahunya. "Nggak masalah, Mas. Maaf Zee nggak ngasih penjelasan. Mas tahu kan, Zee tidur sehari cuma satu sampai tiga jam saja sehari?" Zivanna melihat Kayvandra berjalan menghampirinya. Kayvandra mengangguk kecil, "Iya, kita harus kerja sama untuk mewujudkan semua mimpi-mimpi kita ...." diraihnya bahu Zivanna, lalu membawanya ke dalam pelukan. Zivanna membeku, ia tidak sempat menghindar saat Kayvandra mengecup pucuk keningnya. "Aku sayaang banget sama kamu, Zee. Aku nggak bisa bayangin kalau tanpa kamu, perusahaan ini jadi apa? Kita harus bekerjasama untuk mendapatkan banyak tender proyek, demi mewujudkan mimpi kita, masa depan kita ...." Kayvandra mengusap lembut surai Zivanna yang sudah muak dengan bualan pria berengsek itu. 'Mimpi kamu mungkin, Mas. Bukan mimpi aku ....' (monolog Zivanna dalam hatinya)."Zee...." panggil Kay setelah terkulai di samping perempuan itu."Hm...?" jawab Zivanna dengan suara gumamam, ia masih sibuk menetralkan perasaannya yang kacau akibat khilaf yang disengaja kali ini."Kita rujuk, yuk!" kalimat singkat yang barusan terucap dari bibir Kayvandra membuat Zivanna menoleh.Ia menelan saliva, Zivanna hanya memandang pria lelah di sampingnya dengan raut sulit ditebak. “Huft…” kedua manik mata indahnya menatap ke atas langit-langit kamar.Tangannya meraih selimut dan membungkus tubuhnya lalu turun dari atas ranjang dan mengambil air putih hangat yang disediakan di atas meja kecil. Sedangkan Kay, ia mengenakan boxer miliknya kembali. Kayvandra berjalan mendekat ke arah meja dan meraih bungkus rokok, “1402,” kata Kay saat mengambil satu batang rokok dan menyalakannya dengan pemantik.Dahi Zivanna berkerut samar, “Apa?” ia tidak mengerti. Diletakkannya gelas yang sudah kosong ke tempatnya. “14… apa?” ulang Zivanna meminta penjelasan.“Kamu bisa menggunakannya. Di
“Akh! Mas….” Zivanna terkejut saat Kayvandra menarik tangannya dengan tiba-tiba.Bruk…Tubuh ramping itu jatuh di atas kasur yang empuk. Tanpa memberi kesempatan pada Zivanna, Kay segera menindih tubuhnya. “Apa maksudnya ini?” kedua tangannya mengunci pergelangan tangan, Zivanna. Raut wajahnya terlihat dingin tanpa senyuman.“A-Aku nggak sengaja, Mas….” kata Zivanna seolah terlambat untuk menyesali perbuatannya yang ceroboh itu.Ia melihat pria di atasnya begitu marah atas kelancangannya. Otak kecil Zivanna tiba-tiba membeku, hingga tarikan napasnya tersengal karena menahan segala emosi dalam dada. “A-Aku boleh pergi ‘kan, Mas?” tanya Zivanna dengan sangat hati-hati, ada ketakutan saat pria itu menampakkan sisi garangnya.“Setelah apa yang kamu lakukan padaku?” hembusan napasnya membelai lembut di wajah, Zivanna. “Kamu akan pergi begitu saja?” aroma khas rokok mint bercampur minuman anggur tercium dan membangkitkan gairah yang mulai terserap di setiap inci pori-pori kulitnya.Zivanna
“Bukankah kamu senang kalau melihatku celaka? Atau… aku mati sekalian?” Kay, dengan wajah datarnya mengatakan apa yang ia rasakan selama ini. Ketika Zivanna tidak pernah menunjukkan perasaannya setelah mereka bercerai 7 tahun yang lalu.“M-Mas, kamu ngomong apa sih?” ia terlihat salah tingkah di hadapan, Kay. Zivanna menarik mundur kedua tangannya dan menggeser posisi duduknya agar sedikit berjarak.Kalimat yang diucapkan Kay adalah penafsiran terhadap keadaannya di masa lalu. ketika ia merasa tersakiti dengan kehadiran Jessica dan pengkhianatan Kayvandra padanya. Saat ini... Zivanna hanya takut kehilangan Sovia dan Ethan, untuk masalah yang lain, Zivanna tidak peduli.“Huft….” Kayvandra menghembuskan napas perlahan. Rasa sakit itu masih dirasakan, tapi ada yang lebih sakit daripada luka bekas timah panas yang menghujam di bagian dadanya. “Aku memang salah, dari segi manapun aku memang bersalah. Waktu itu, aku bersama tim manajemen melakukan meeting di luar kota. Cerobohnya aku yang t
“Kita sudah makan malam ‘kan? Ayo! Antar aku pulang ke New Archadia sekarang. Tugasku sudah selesai, aku sudah membayar lunas. Jadi jangan menagihku lagi dengan urusan-urusan yang tidak masuk akal begini.” Zivanna berdiri dari duduknya, ia meletakkan jas milik Kay di atas sandaran kursi.“Kenapa buru-buru sekali?” kedua alis Kay menyatu, ditatapnya Zivanna dengan raut wajah yang rumit. “Oh… aku tahu,” ujar Kay menebak sendiri, “Kamu ingin segera bertemu dengan pria bernama David-David itu ‘kan?” “....” Zivanna mencoba menelaah kalimat yang barusan terlontar dari mulut mantan suaminya. Kedua alisnya menukik tajam, pria itu mulai lagi dengan argumentasinya. Padahal beberapa detik yang lalu mereka menikmati makan malam dengan tenang.“Ternyata benar dugaanku,” gumam Kay yang masih bisa didengar jelas oleh, Zivanna.“Kalau Mas masih ingin di sini, silahkan. Yang jelas malam ini juga aku akan kembali ke New Archadia.” Zivanna meraih tas pestanya, gurat kekesalan jelas terlihat di wajah ca
“Kau,” langkah Zivanna maju setapak. Wajah murkanya tidak dapat ia sembunyikan lagi.“Kenapa? Bukankah itu kenyataannya? Mereka adalah anak-anakku. Sovia dan Ethan adalah keturunan Dirgantara.” Kay meletakkan gelas di atas meja, lalu memandang tenang pada Zivanna yang berapi-api.“Beraninya kamu bilang kalau mereka darah dagingmu, setelah Mas terang-terangan menghina ibunya ini.” Zivanna menunjuk dirinya sendiri.“Kita cari tempat lain untuk bicara?” Kay mengajaknya pergi dari keramaian Galeri Investasi BEI. Ia berniat untuk membicarakan soal putra putri mereka yang belum jelas siapa yang pantas menyandang predikat ‘ayahnya.’“Kenapa nggak di sini aja, Mas? Nggak ada yang curi dengar pembicaraan kita di tempat ini kok. Mereka sibuk sendiri dengan visi misi masing-masing. Mas nggak perlu takut ketahuan kalau Mas pernah menjadi suami aku 7 tahun yang lalu.” Zivanna mencoba meredam emosinya sendiri. Ia tidak ingin memancing keributan di tempat umum seperti ini, apalagi di hadapan para in
Setelah beberapa bulan berlalu, Kayvandra akhirnya pulih dari cedera yang dialaminya. Ia terlihat lebih kuat dan sehat, meskipun masih ada sedikit bekas luka yang membekas. “Kita akan hadir di sini? Sungguh? Membosankan, ck....” kay membaca kertas undangan yang ada di tangannya. “Harus,” jawab Alvaro yang berjalan mendekat ke arahnya dengan membawa dua gelas wine. Dalam undangan tersebut, Kayvandra menerima undangan untuk menghadiri sebuah perkumpulan investor di Galeri Investasi BEI dan Komunitas Pasar Modal. Mereka belum memutuskan untuk hadir, masih ada beberapa jadwal meeting yang harus diselesaikan. “Bisa nggak kamu aja yang pergi?” Kay berharap Alvaro bisa menggantinya. “Di situ akan berkumpul banyak investor kaya, Kay. Akan lebih baik kalau kamu bisa ikut dan merayu mereka.” Alvaro meletakkan gelas wine di meja yang berada tepat di hadapan, Kayvandra. “Aku? Merayu mereka?” Kay menunjuk dirinya sendiri, bola matanya melebar sempurna. “Kenapa harus aku?” lanjutnya. “Kare