"Tidak ada pembagian harta Gono gini,"
"Tidak ada pembagian hak waris," "Dan tidak ada kewajiban menafkahi setiap bulannya." Jasmine Adrielle Zivanna, perempuan muda 22 tahun itu terlihat duduk tenang di depan meja pengadilan agama. Pandangannya lurus ke depan, seakan tidak memperdulikan kehadiran Kayvandra Shawn Dirgantara yang saat ini menatap tajam padanya. "Apakah Anda bersedia dengan keputusan ini?" tanya seorang hakim yustisial kepadanya. "Saya bersedia," tanpa ragu Zee menjawab. "Hem ... tidak ada proses mediasi? Apakah Anda sudah tidak berniat untuk memperbaiki hubungan Anda dengan suami?" hakim yustisial tersebut memastikan, mereka memandang heran pada Zee. "Tidak," jawab Zee singkat. Tampak hakim yustisial memeriksa beberapa surat dokumen, lalu berunding dengan hakim lainnya. Tanpa menunggu lama, surat dokumen yang masih berada di atas meja itu dirapikan kembali. "Baiklah!" "Gugatan dikabulkan!" "Huft ...." hembusan napas halus terdengar dari arah Zee bertepatan saat hakim yustisial menyatakan keputusannya dengan ketokan palu beberapa kali, ia lega. Berbeda dengan Kayvandra, ia terlihat tidak terima dengan keputusan yang dirasa masih timpang. Namun saat Kay hendak melangkah mendekat ke arah Zee, lengannya ditahan oleh seseorang. "Jangan sekarang!" bisiknya. "Kenapa?" Kay menyatukan kedua alisnya. "Malu, kamu sudah dibuang oleh perempuan gila itu." "Tapi ...." "Kita pikirkan saja langkah selanjutnya, tidak perlu mengurusi urusan yang sudah tidak penting lagi." Kayvandra menurut, ia mengepalkan tangannya. Kay tidak lepas menatap presensi Zivanna, perempuan yang baru dinikahinya selama 2 hari itu tidak menampakkan kesedihan sedikitpun. "Lihat baik-baik, bibirnya tidak berhenti tersenyum. Tidak lama lagi, dia pasti mendapatkan penggantimu." Kay menoleh cepat, rahangnya terlihat mengeras. Benar saja. Zee mengembangkan senyumnya, sangat manis. "Terima kasih banyak atas bantuannya," ia mendekat ke arah meja, lalu mengulurkan tangannya. "Sama-sama Nona Jasmine," ucap para hakim menjabat erat tangan Zee satu persatu. Lepas memberikan ucapan terima kasih, Zee melangkahkan kakinya menuju ke arah pintu keluar. Ruang persidangan terasa sesak bagi Zee dengan hadirnya Kayvandra beserta mantan ibu mertuanya, ia berhenti sebentar di depan mereka lalu mengangguk sebagai tanda penghormatan terakhir sebagai seorang menantu. "Sombong sekali, cuih ....!" nyonya Dirgantara menatap sinis pada mantan menantunya, bahkan tidak segan meludah di hadapan orang banyak. Zee acuh, ia melanjutkan langkahnya dengan santai. Digenggamnya dokumen perceraian yang baru saja ia dapatkan, "Aku bebas ...." monolog Zee setelah ia menyalakan mesin mobilnya, Zivanna meninggalkan gedung pengadilan agama dengan membawa sebaris dendam. *** Plak ....! "Bodoh! Dasar bodoh!" teriak tuan Anumerta Wijaya, ayah Zivanna. Suaranya menggema di seluruh ruang rumah mewah mereka, mengalahkan getaran gelombang ribuan skala richter. Zivanna memegang pipi kirinya, ia diam dan tidak membalas. "Bisa-bisanya kamu mengambil langkah perceraian tanpa alasan apapun, bikin malu keluarga saja!" Marah. Tuan Anumerta sangat marah dibuatnya .... "Keluarga Kay adalah keluarga terpandang, Zee. Mereka pengusaha yang merajai bisnis sampai ke benua Eropa. Tapi kenapa kamu malah menggugat cerai putranya setelah berhasil menikah dengan, Kay?" tuan Anumerta belum bisa mengendalikan emosinya, sengaja ia memanggil Zee untuk datang ke rumah dan bertanya tentang kebenarannya. Zee tetap diam, ia duduk tertegun sambil memainkan buku-buku jarinya. "Mau jadi apa kamu setelah ini, hah? Apa kamu mau mengikuti jejak mama kamu yang tidak tahu diri itu?!" Zee mengangkat wajahnya, ia tercengang. Kenapa bisa ayahnya membandingkan dirinya dengan sang ibu yang memilih kabur dengan kekasih gelapnya saat Zee masih berusia 9 tahun? "Zee tidak akan merepotkan Papa, jadi tenang saja, Papa tidak perlu khawatir soal Zee. Lagi pula Zee kan sudah dewasa, Zee tahu langkah apa yang harus Zee ambil. Zee yakin, keputusan Zee tidaklah salah ...." ia meremat ujung dress flowy selutut yang dikenakan, Zee harus bisa menyuarakan isi hatinya meskipun saat ini tubuhnya menahan gemetar hebat. "Kau, sudah merasa pintar, hah?!" tunjuk tuan Anumerta dengan wajah marah. "Pa, kenapa takut hanya karena aku bercerai dengan Kay? Kita bisa kok memulai bisnis ini sendiri tanpa campur tangan mereka. Papa masih mampu, Papa masih punya aku yang akan mensupport penuh di bidang garmen ini." "Jadi kamu menyudutkan papa? Kamu berpikir kalau papa tidak becus mengurus perusahaan tanpa bantuan mereka? Dasar anak tidak tahu malu, sudah dibela malah bertingkah!" tuan Anumerta tidak berhenti membalas perkataan putrinya, ia merasa harga dirinya diinjak-injak. "Bukan begitu, Pa. Zee hanya ingin kita berdiri dengan kemampuan kita sendiri tanpa harus ...." "Alah! Jangan sok menceramahi papa soal ini, anak baru kemarin seperti kamu tahu apa soal bisnis?" tangan tuan Anumerta dikibaskan, ia menolak segala masukan dari Zee. "Papa salah paham, maksud Zee sebenarnya ...." Zee mencoba untuk menjelaskan, tapi kenyataannya adalah .... "Sudah! Papa capek sama kamu, Zee. Kalau kamu tidak bisa papa atur, mending sekarang kamu pergi dari rumah papa. Jangan pernah menginjakkan kaki di rumah ini lagi! Papa tidak sudi mengakui kamu sebagai anak papa," Deg! Jantung Zee seakan lepas dari bingkainya, kelopak mata hazel miliknya kini penuh dengan embun. "P-Papa ...." lirih Zee dengan suara bergetar. "Buktikan! Buktikan pada papa jika kamu tidak akan merepotkan koneksi papa lagi," kelopak matanya melebar, tuan Anumerta menuntut pembuktian dari putrinya. "Pa," lidah Zee kelu, lalu .... Zee bangkit dari tempat duduknya, ia menelan saliva yang terasa alot untuk ditelan. "Sampai kapanpun tidak ada yang namanya mantan anak, Pa. Zee minta maaf karena sudah bikin Papa kecewa. Zee pun tidak menginginkan status janda di usia muda, tapi Zee punya alasan sendiri kenapa Zee mengambil langkah perpisahan dengan Kay." "Jangan terlalu banyak mendramatisir!" bentak tuan Anumerta, hatinya tidak bisa luluh meskipun wajah putrinya sudah basah oleh air mata. Seperti mimpi saat tuan Anumerta mendengar pernikahan putrinya kandas hanya dalam waktu 2 hari, bahkan Zee sudah mempersiapkan segala sesuatunya jauh hari dari sebelum janji suci itu diikrarkan. "Tidak, Pa. Buat apa Zee mengada-ada? Maaf jika Zee tidak melibatkan Papa dalam keputusan yang Zee ambil kemarin," Zivanna mencoba untuk menjelaskan, tapi tetap saja diskusi mereka sore ini menemui jalan buntu. "Pergi! Papa muak melihatmu di sini, kamu sudah mencoreng muka papa." usir tuan Anumerta dengan jari telunjuk mengarah ke arah pintu keluar. "Papa ...." lunglai sudah Zivanna, semangatnya benar-benar -- patah. "Papa bilang pergi sekarang juga, Jasmine Adrielle Zivanna! Keluar kau dari rumahku!" bentakan tuan Anumerta seakan menyadarkan Zee dari lamunan. Zee, tanpa mengucapkan kalimat perpisahan pergi dari kediaman orang tuanya. Ia menggenggam banyak luka, tidak kentara, namun sangat berbekas di dalam lubuk hatinya. "Jangan pernah kembali kalau kamu belum bisa sesukses papa!" Zee menoleh, "Papa, jangan pernah menyepelekan kemampuan seseorang. Siapa tahu, sekarang aku memang ada di posisi bawah. Tapi suatu saat nanti, aku pasti bisa lebih sukses dari kalian semua ...." "Sombong kamu!" teriak tuan Anumerta dengan wajahnya yang bengis. "Cepat pergi! Keluar!" sambung tuan Anumerta tanpa memikirkan perasaan putrinya. "Zee pergi Pa, jaga kesehatan Papa ...." Tuan Anumerta membuang muka, ia membiarkan Zee pergi meninggalkan rumahnya. Namun saat Zivanna baru melangkahkan kakinya, ponsel miliknya berbunyi. Ia mengangkat panggilan telepon yang berdering beberapa kali tanpa menunggu lama. "Halo, Ra," [Ibu Zivanna, ada beberapa investor menawarkan kerjasama pada kita] "Oke, bagus! Kamu siapkan saja semua dokumennya. Lima belas menit lagi aku akan datang, tolong kamu urus persiapan meeting malam ini sebaik mungkin." [Siap Ibu CEO] Zee, menarik smirk devilnya. Dari sini ia bisa melihat jelas, jika semua orang disekelilingnya tidak benar-benar tulus mencintainya.Zivanna terduduk lemas di tepi bathtub, alat uji kehamilan masih tergenggam erat di tangannya yang dingin. Pikirannya berputar kacau, mencoba mencari logika dari kenyataan yang baru saja ia terima. “Aku sudah bercerai… aku sudah pergi jauh… tapi kenapa sekarang?” bisiknya lirih, suaranya nyaris tak terdengar, tenggelam dalam gemuruh emosinya sendiri. Air matanya mengalir pelan, kali ini bukan karena sakit hati pada Kayvandra, tapi karena ketakutan. Takut akan masa depan yang tak pasti, takut harus membesarkan anak sendirian, takut jika jejak lelaki itu tetap akan melekat di hidupnya, bahkan setelah ia pergi sejauh ini. Zivanna memeluk lututnya, menggigil dalam sepi dini hari yang begitu membekukan. *** Pagi harinya, ia tetap pergi ke galeri meski wajahnya tampak jauh lebih pucat dari biasanya. Seorang karyawan kepercayaannya, Alma, menghampiri dengan wajah cemas. “Bu Zee, Anda yakin nggak mau ke dokter? Wajah Ibu pucat banget dari kemarin.” Zivanna tersenyum kecil. “Aku baik-ba
Zivanna, menjelang sore hari terlihat turun di salah satu gang sempit. Sebuah minivan mengantarnya hanya sampai separuh perjalanan menuju apartemen miliknya. "Maafkan saya Nyonya," ucap sopir yang masih berdiam di belakang kemudi, tega ataupun tidak, ia hanya menjalankan perintah. Zivanna tidak menjawab, ia turun dengan kondisi menyedihkan. Tangan kirinya menggenggam erat kerah baju yang terkoyak, sengaja ia tidak menyentuh barang pemberian dari Kayvandra, Zee tidak sudi. Ia berjongkok di sudut gang gelap setelah minivan itu meninggalkannya. Zivanna merogoh tasnya untuk mengambil telepon genggam, tangannya gemetar saat menekan nomor Maureen. "R-Ryn, bisa jemput aku di simpang tiga Moonville? Mobilku tertinggal di gedung Dirgantara." "Iya .... nanti aku jelasin, Ryn. Aku baik-baik aja, kamu jangan marah gitu dong ...." tiba-tiba saja ia terisak, wajah Zivanna kembali basah dengan air mata. Rasa sakit di seluruh tubuhnya tidak sebanding dengan hancurnya hati karena perbuatan
Satu bulan setelah mereka berpisah, Kayvandra menerima satu email dari mantan istrinya. Email tersebut berisi surat pengunduran diri Zivanna dari perusahaan Dirgantara, "Berani-beraninya dia ...." gumam Kayvandra setelah membuka email tersebut. Ia membuka ponsel yang diletakkan tak jauh dari tempat duduknya. Kayvandra mencari nomor kontak Zivanna yang sudah tidak pernah lagi ia hubungi sejak perceraian kemarin. Jari Kayvandra menekan tombol panggil, "Sialan! Apa dia mengabaikan aku sekarang?" gerutu Kayvandra setelah telepon darinya tidak ada jawaban. Ia mencoba kembali untuk yang kedua kalinya, "Sedang apa kau?!" teriak pria itu begitu emosi. Zivanna mematung, ia memegang erat ponselnya agar tidak terjatuh. Baru saja ia hendak menyapa, namun suara lantang di seberang membuatnya terkejut dan membeku. [Aku? Aku sedikit .... sibuk] Jawab Zivanna dengan tenang, ia berhasil menstabilkan keadaan. "Sibuk? Sok banget kamu sekarang? Ini apalagi? Kenapa tidak datang langsung ke kan
Dua bulan setelah terungkapnya perselingkuhan Kayvandra dengan perempuan yang belakangan ini diketahui sebagai sekretaris di Divisi keuangan. Mereka tetap melakukan pernikahan seperti yang sudah direncanakan sejak lama, pernikahan sandiwara tentunya bagi Zivanna. "Lihat Sayang, mereka sangat bahagia karena keluarga kita sudah bersatu. Kerajaan Dirgantara akan semakin melebarkan sayapnya bersama Anumerta Garmen Corp." Dengan bangganya Kayvandra merangkul pundak Zivana dengan segelas wine di tangan kirinya. Zivanna tersenyum masam, ia menatap ke arah depan segerombolan orang-orang munafik sedang berpesta di atas harga dirinya yang terinjak-injak. "Kamu sangat cantik, aku sudah tidak sabar menunggu malam pertama kita." Kayvandra mencium pipi Zivanna yang terasa dingin, sedingin hatinya saat ini. "Kamu kedinginan, Sayang? Kita masuk sekarang aja gimana? Nggak usah ikut party sama mereka, lagipula ...." "Nggak apa-apa, aku baik-baik saya, Mas ...." jawab Zivanna datar, ia mengu
4 bulan sebelum kejadian .... Zivanna, perempuan cantik, pintar dan mandiri. Semua tidak ia dapatkan dengan mudah, tempaan masa lalu yang berlatar belakang broken home membuat Zee menjadi pribadi yang lebih kuat dari gadis seusianya. "Aku masih menyiapkan beberapa dokumen untuk persiapan meeting nanti siang. Mas Kay bisa pergi dulu ke kantor, nggak perlu nungguin aku." Zivanna menjawab telepon dari calon suaminya, Kayvandra. Hari ini tepat dua bulan setelah mereka melakukan pesta pertunangan. Semuanya direncanakan dengan baik, meskipun acara digelar hanya mengundang keluarga serta kerabat terdekat saja. "Nggak apa-apa, Mas. Kita ketemu di kantor saja, setelah meeting kita bisa makan siang bareng di luar, gimana?" sahut Zivanna yang sepertinya sedang mencari alasan agar Kayvandra tidak menunggunya. "Iya, aku juga sayang sama, Mas. Sampai ketemu di kantor ya, Mas. Love you more, Mas Kay ...." Zivanna pun menutup teleponnya. "Fiuh ...." ia menghela napas panjang, lalu melihat
"Tidak ada pembagian harta Gono gini," "Tidak ada pembagian hak waris," "Dan tidak ada kewajiban menafkahi setiap bulannya." Jasmine Adrielle Zivanna, perempuan muda 22 tahun itu terlihat duduk tenang di depan meja pengadilan agama. Pandangannya lurus ke depan, seakan tidak memperdulikan kehadiran Kayvandra Shawn Dirgantara yang saat ini menatap tajam padanya. "Apakah Anda bersedia dengan keputusan ini?" tanya seorang hakim yustisial kepadanya. "Saya bersedia," tanpa ragu Zee menjawab. "Hem ... tidak ada proses mediasi? Apakah Anda sudah tidak berniat untuk memperbaiki hubungan Anda dengan suami?" hakim yustisial tersebut memastikan, mereka memandang heran pada Zee. "Tidak," jawab Zee singkat. Tampak hakim yustisial memeriksa beberapa surat dokumen, lalu berunding dengan hakim lainnya. Tanpa menunggu lama, surat dokumen yang masih berada di atas meja itu dirapikan kembali. "Baiklah!" "Gugatan dikabulkan!" "Huft ...." hembusan napas halus terdengar dari arah Ze