“Nara, di mana kamu? Kenapa kopiku belum juga siap?” Suara Bang Galih menggema dengan nada tinggi, mengusik ketenangan pagi. Aku yang sedang mandi hanya mendengus kecil. Semalam dia seolah ingin mengusirku dan bersikap seakan-akan aku tak berarti. Tapi lihatlah sekarang. Baru sehari tak kubuatkan kopi saja dia sudah kalang kabut.
“Kamu budek atau memang sengaja nggak mau dengar Nara?” Suara kerasnya di susul ketukan keras di pintu kamar mandi. Namun aku tetap diam saja. Aku tahu betul tabiatnya. Sebentar lagi dia pasti akan berhenti sendiri kalau sudah lelah.
“Benar-benar kamu ya, Nara! Pagi-pagi sudah bikin orang naik darah!” Kali ini dia menendang pintu kamar mandi. Aku terkejut tapi rasa takut itu kutekan dalam-dalam. Aku tak lagi mau menjadi istri penurut. Toh sebaik apapun aku melayaninya, dia tetap saja mengkhianati ku.
“Galih, ada apa ini. Pagi-pagi sudah buat berisik. Ayahmu yang masih tidur sampai terbangun karena terkejut denger suara teriakanmu!" Suara ibu mertuaku menggema. Sepertinya keributan itu mulai mengganggunya.
“Nara, Bu. Dia belum juga buatkan kopi buat aku.Padahal aku harus ke toko sebentar lagi,” keluh Galih dengan nada penuh drama.
“Istrimu itu mungkin masih ngambek gara-gara semalam. Lihatlah, baju ibu dan ayah pun belum dia cucikan!” keluh ibu mertua menambah bahan bakar ke dalam api. Aku memang sengaja tak menyentuh pekerjaan rumah pagi ini. Untuk apa? Berusaha menyenangkan hati mereka hanya akan berakhir dengan tuduhan bahwa aku tetap istri dan menantu yang tak berguna. Sementara Adel si menantu pujaan hanya perlu memegang pisau dapur untuk mendapatkan pujian.
“Apa? Jadi dia dari tadi pagi nggak ngapa-ngapain?” Nada suara Bang Galih naik dua oktaf.
“Ya enggaklah. Mungkin dia mikir dengan cara tidak melakukan pekerjaan apapun akan membuat kita memohon dan mengemis bantuannya. Tak Sudi ibu melakukannya!"
Aku keluar dari kamar mandi dengan handuk yang masih meneteskan air. Mataku menatap mereka dingin. Ingin tahu sejauh mana mereka akan melampiaskan kemarahannya padaku.
“Dasar istri nggak berguna! Kamu kukasih makan bukan untuk santai-santai seperti ini! Kalau kamu terus begini jangan harap aku kasih makan lagi!” Bang Galih mengancam matanya menyala penuh kebencian.
Aku tertawa getir sebelum akhirnya menjawab, “Aku nggak butuh makanan darimu. Untuk sepiring nasi saja aku harus menelan hinaan dari keluargamu setiap hari.”
“Ini kamu yang bilang, ya! Awas kalau sampai kamu sentuh makanan di rumah ini!” ibu mertua menyambar. Suaranya lebih tajam dari pisau.
“Baik, Bu. Ibu makan sendiri saja bersama menantu kesayangan ibu.” Dengan malas aku berbalik ke kamar tak ingin membuang tenaga untuk adu mulut dengan mereka.
Setelah sarapan,Bang Galih pergi ke toko. Baru setelah rumah benar-benar sepi, aku berani keluar kamar. Aku menuju ruang makan untuk memastikan apakah mereka benar-benar tega tak menyisakan apa pun untukku? Dan ya, meja makan itu kosong. Tak ada sepiring nasi pun.
Hatiku sudah mati rasa. Setega ini mereka. Tapi aku tak akan membiarkan diriku kelaparan. Kuambil kartu ATM ku untuk mengambil sedikit uang yang kutabung dari nafkah Bang Galih yang masih cukup untuk bertahan beberapa minggu ke depan.
Aku berjalan menuju warung bakso terdekat. Karena lapar kuhabiskan semangkuk bakso itu dalam waktu singkat. Namun baru saja berdiri hendak pulang tiba-tiba aku melihat Adel dan ibu mertua berdiri di depan pintu warung. Ternyata mereka mengikutiku dari tadi.
“Pantas saja sombong enggak mau makan dirumah. Ternyata kamu sudah ada rencana makan enak-enak di sini ya, Nara!” ucap ibu mertua dengan nada sinis.
“Mbak Nara benar-benar parah, Bu. Nggak kerja, enggak juga bawa sedikitpun warisan dari orangtuanya tapi suka banget foya-foya pakai uang suami buat makan enak. Kasihan banget Bang Galih punya istri model kayak gini. Bukan makin kaya malah bisa-bisa bangkrut dibuatnya!” Adel menambahkan. Terlihat sekali ingin mempermalukan ku di depan umum.
Aku menatap mereka dengan tenang meski darahku mendidih di dalam. Warung ini penuh pengunjung dan aku tak ingin membuat pertunjukan murahan.
“Dengar baik-baik. Aku hanya membeli semangkuk bakso dengan uang suamiku. Kalau kalian menyisakan sepiring nasi saja di rumah, aku tidak akan makan di luar seperti sekarang,” ucapku dengan nada dingin, tajam dan menusuk.
Suara bisik-bisik mulai terdengar di sekitar. Pengunjung yang tadinya salah paham kini menatap mereka dengan pandangan heran. Wajah ibu mertua dan Adel berubah merah padam.
Aku berbalik dan meninggalkan mereka sebelum mereka sempat melontarkan pembelaan. Dalam hati aku puas. Niat hati ingin mempermalukan ku tapi malah aku berhasil membalikan keadaan. Rasakan itu.
Saat tiba di rumah, ibu mertua langsung menyerang lagi. Sepertinya ingin balas dendam padaku atas kekalahannya tadi diwarung bakso. “Apa-apaan ini, habis makan enak malah langsung santai-santai nonton televisi. Matamu buta, enggak bisa lihat kalau rumah masih berantakan?"
Aku tak menoleh. Sebagai gantinya, aku memperbesar volume televisi,membiarkan suaranya menelan ocehan ibu mertua.
“Nara! Ibu sedang bicara, kamu malah keras-kerasin suara TV!” Dia merebut remot kemudianmematikan televisi dengan kasar.
“Sampai kapan kamu mau malas-malasan seperti ini? Lihat baju ibu dan ayah di kamar mandi juga sudah numpuk seperti gunung!” lanjut ibu mertua lagi.
Aku menoleh dengan malas, lalu berkata, “Menantu ibu kan bukan cuma aku. Suruh Adel bersih-bersih rumah dan cucikan baju ibu. Karena dia begitu disayang ibu, aku yakin dia takkan berani membantah perintah ibu. Tinggal ibu mau enggak nyuruh dia!"
“Adel sudah capek bantuin ibu masak dan belanja ke pasar. Sedangkan kamu dari bangun tidur belum ngelakuin apapun!" suaranya bergetar. Menahan amarah terhadapku.
“Capek gimana? Bantuin masak cuma iris-iris bawang dan sayur. Ke pasar juga cuma seminggu sekali.” Aku tersenyum miring. Tak sabar menunggu jawaban wanita tua di depanku.
“Adel itu beda dengan kamu. Dia nggak biasa kerja kasar. Orangtuanya yang kaya raya selalu manjain dia sedari kecil. Sedangkan kamu itu terlahir dari orangtua miskin. Kerjaan kasar seperti ini bukankah sudah jadi makananmu tiap hari!" Ucap ibu mertuaku dengan nada mengejek. Yang membuatku marah dan muak dengannya karena dia selalu membawa-bawa kedua orangtuaku saat menghinaku. Jujur, aku sangat benci itu!
“Kalau begitu ibu lakukan saja sendiri. Ibu masih sehat, masih punya tangan dan kaki juga.”
Tangannya terangkat hendak menamparku. Tapi aku menangkapnya kemudian memelintirnya perlahan lalu melepaskannya.
“Jangan pernah coba-coba sakiti aku lagi ya, Bu. Aku bukan lagi menantu lemah yang bisa ibu perlakukan sesuka hati. Aku selama ini sudah cukup sabar. Tapi mulai sekarang aku tidak akan tinggal diam.” Aku menatap matanya tajam sebelum melangkah pergi meninggalkannya membeku dalam amarahnya sendiri.
Mobil melaju perlahan menyusuri kota yang di padati oleh kendaraan. Di dalam mobil tersebut, Nara duduk kaku di kursi penumpang. Matanya menatap kosong ke luar jendela. Hening menyelimuti keduanya, hanya sesekali terdengar suara mesin dan klakson dari luar.Erryl sempat beberapa kali melirik gelisah ke arah wanita di sampingnya, tapi wanita itu sama sekali tak menggubris, tetap membisu seperti patung.Dan akhirnya Erryl memberanikan diri memulai percakapan, meski dia tahu resiko tindakan nekadnya akan membuat Nara marah."Nar, aku ingin jujur. Sebenarnya selama ini kamu sudah di bohongi oleh Lusi. Aku sama sekali tidak--""Pak, bukankah Anda sudah berjanji tidak akan membahas hal di luar pekerjaan?" Potong Nara cepat. Suaranya datar namun penuh penekanan."Sampai kapan kamu akan seperti ini, Nar? Kalau kita terus menghindar, kamu akan terus salah paham padaku. Dan saat itu terjadi, orang yang paling diuntungkan adalah Lusi.""Salah paham?"Nara mendengus kecil."Jelas-jelas Anda dan L
"Hey, kalian udah dengar belum. Katanya Pak Justin di jodohkan sama anak pemilik salah satu perusahaan besar di kota ini. Dan kabarnya mereka akan segera bertunangan!" ujar Dara memecah suasana pagi di kantor dengan suara nyaring yang sengaja di buat agar semua mendengar, terutama Nara.Nara ingin berpura-pura tak mendengar tapi jarak meja yang berdekatan membuat ucapan itu terasa menamparnya secara langsung."Ya, aku juga denger kok. Waduh, siap-siap ada yang patah hati nih!" timpal Lani sambil melirik ke arah Nara.Nara tetap diam. Tak ada senyum, tak ada bantahan. Hanya nafasnya yang mendadak berat."Rasain! Salah sendiri ngarep sama atasan. Dia pikir siapa dia? Pak Justin itu enggak akan mungkin jatuh cinta sama cewek kelas bawah. Ngaca makanya!" Lusi ikut membuka suara. Suaranya penuh racun. Kalimatnya sengaja di tembakan ke arah Nara seperti anak panah beracun yang siap menghancurkan sisa ketenangannya.Pandangan Nara langsung menusuk Lusi. Ia kenal baik wajah itu. Wajah seorang
Tok...tok...!Sebuah ketukan terdengar jelas di pintu rumah Nara. Nara yang hampir terlelap sontak terbangun dengan dahi berkerut. Ia yakin, pintu gerbang sudah dikunci rapat. Lalu, bagaimana mungkin ada orang yang bisa sampai ke pintu rumah?Dengan langkah hati-hati dan nafas sedikit memburu Nara menggenggam sebilah pisau kecil untuk berjaga-jaga. Dalam hati ia mengumpat pelan siapa yang berani datang bertamu di jam selarut ini."Nara, buka pintunya cepat!"Suara berat dan terburu-buru terdengar dari balik pintu. Nara mengenal suara itu yakni suara Justin, atasannya."Nara tolong Nara, cepat buka pintunya!" seru Justin lagi sambil terus mengetuk pintu. Tanpa pikir panjang, Nara buru-buru membuka pintu.Begitu pintu terbuka Justin terbelalak. Matanya langsung tertuju pada benda tajam yang tergenggam di tangan Nara."Nara, ngapain kamu bawa pisau segala?" tanyanya kaget dan nyaris mundur selangkah."Aku kira yang ngetuk tadi orang jahat, Pak. Tengah malam begini ada yang mengetuk pintu
"Ayah, aku enggak mau di jodohin. Aku udah punya seseorang yang aku sukai!" tegas Justin menatap ayahnya tanpa ragu.Ali menghela nafas panjang. Sorot matanya melirik tak nyaman ke arah Andika dan Zaskia. Meski ia tahu sejak awal bahwa Justin tidak pernah menyukai Zaskia tapi tetap saja ia merasa canggung karena anaknya terlalu berterus terang di depan keluarga calon besan."Pak Andika, mohon maaf. Bolehkah saya bicara secara pribadi dengan anak saya?" ucap Ali dengan nada sopan"Tentu saja kau harus bicara dengannya Pak Ali!" jawab Andika dengan nada dingin."Dan jangan lupa, ingatkan anakmu agar tidak berlaku tak sopan seperti tadi pada anakku. Kalau tidak, kau akan kehilangan kesempatan emas untuk mendapatkan investasi dariku. Kau paham maksudku, kan? Investasi ini bukan angka kecil. Perjodohan ini akan memguntungkan kedua pihak!"Ali menelan ludah, lalu mengangguk. "Baik, Pak Andika."Ia pun segera menarik lengan Justin lalu membawanya ke ruang keluarga agar bisa berbicara lebih l
Hampir satu jam berlalu. Nara masih setia berdiri di depan restoran yang ia pilih untuk mentraktir Justin. Namun sayangnya Justin tak kunjung datang. Hatinya mulai di liputi rasa kesal. Ia pun segera mencoba menghubungi Justin. Namun sayangnya tidak satupun panggilannya di jawab oleh Justin."Tadi siang ngencem enggak boleh sampai enggak jadi. Tapi dia sendiri malah yang ngilang enggak jelas gini!" gumam Nara. Kesabarannya akhirnya runtuh. Ia merasa seperti orang bodoh yang sedang di permainkan. Dengan nafas berat dan hati kecewa ia memutuskan untuk pulang.Namun, saat melihat jam di ponselnya yang baru menunjukan pukul 19.30 malam, Nara mengurungkan niatnya untuk langsung kembali ke rumah. Ia tidak ingin kepergiannya malam ini menjadi sia-sia. Sebuah ide tiba-tiba terlintas. Ia ingin menemui Sofia untuk menanyakan sesuatu. Ada rasa penasaran yang sejak siang tadi mengusik pikirannya. Itu tentang Surti, mantan ibu mertuanya yang tiba-tiba muncul dan membuatnya terlambat menemui klien
"Sekarang kamu kembali ke ruang kerjamu. Ingat, masalah tadi jangan kamu pusingkan lagi. Aku akan lapor ke Abang sepupuku dan bertanggungjawab penuh!" ucap Justin begitu mereka kembali ke kantor. Nara menunduk merasa bersalah. "Tapi saya rasa saya juga harus menghadap ke Pak Erryl untuk ikut bertanggungjawab, Pak. Biar bagaimanapun, semua salah saya. Kalau bukan karena mantan ibu mertua saya mengacau, ini tidak akan terjadi!" ucap Nara. "Kamu enggak boleh bilang apa-apa, Nara! Jika sampai abang sepupuku tahu soal tadi, dia akan mencari orang-orang yang tadi mengganggumu dan menghajarnya tanpa ampun. Kamu mau keadaannya makin rumit jika itu terjadi?" "Tapi, pak--" "Percaya padaku, Nara. Dia bisa berbuat lebih gila dariku jika sudah merasa orang yang ingin dia lindungi di ganggu. Ini demi kebaikan semua pihak." ucap Justin penuh kekhawatiran. Nara menghela nafas dalam. Wajahnya terlihat lelah dan penuh tekanan. Ia tahu ucapan Justin ada benarnya juga, namun membiarkan seseorang