Share

Bab 4 Kematian Dewangga

Pria itu menambah laju kecepatan mobilnya dalam beberapa menit saja mereka sudah sampai di depan kantor KUA daerah setempat.

Ia menuruni mobil itu dengan gagahnya, memperhatikan sekelilingnya memastikan jika tidak ada wartawan, kameramen atau reporter yang akan meliput acara ini.

Ia telah menyewa tempat dan penghulu untuk satu hari ini, tempatnya memang sangat tertutup. Ia sudah pastikan beberapa kali, tidak akan ada berita mengenai dirinya, jika tidak reputasi nya akan hancur. Dan ia tak segan untuk menghancurkan juga perusahaan yang membuat warta tersebut.

Ia berjalan sedikit lebih jauh dari Adam yang sudah berjalan mendahului. Pria itu berjalan saja dengan angkuhnya tanpa menunggunya.

Di dalam ruang tertutup, pria berpenampilan rapi itu duduk di sebuah kursi panjang yang sudah disiapkan.

Bola mata Aisyah, melihat beberapa orang yang tidak dikenalnya, duduk berbaris dengan rapi disana, mengelilingi kursi yang berhadapan langsung dengan pria berjas putih, dengan sorban menutupi pundak, tak lain dia adalah penghulu.

Setelah keduanya sudah siap, penghulu menjabat tangan Adam dan mengucapkan kalimat sakral yang biasa diucapkan oleh beberapa calon pengantin pria.

Terdapat satu pria paruh baya, dan Aisyah baru sadar jika ia adalah ketua dan ibu panti asuhannya, yang disuruh Adam untuk menjadi saksi.

Ia sudah mewanti-wanti Aisyah agar tidak memberikan informasi pernikahannya bersama Adam -- atau sebuah hukuman mematikan akan didapatkannya dan seluruh keluarga pantinya.

Setelah penghulu mengesahkan, keduanya sudah resmi menjadi suami istri.

"Silahkan Nyonya Aisyah Sarasvati, mencium tangan suaminya," titah penghulu.

Wanita itu patuh, ia menoleh kearah Adam dan menjulurkan tangannya.

Apa yang didapat? Pria itu malah memukul keras tangan Aisyah.

"Jangan harap kamu mendapat kebahagiaan dariku!" ucapnya dengan menggertakkan gigi-giginya.

Aisyah menyeka air mata yang tiba-tiba bergulir ke pipi. Ia malu melihat kejadian ini dihadapkan penghulu.

*****

Bug!

Tubuh wanita yang sedikit lemah itu dia dorong hingga terjatuh ke lantai.

"Apa yang kau lakukan? Bisa tidak kamu sedikit bersikap lemah lembut terhadapku? Padahal baru saja kau menikahi aku. Apakah tidak ada sedikit perasaan pun untuk berbaik hati pada seorang wanita?" ucap Aisyah, sedikit membela diri.

"Cih! Berbaik hati padamu? Sebaiknya kamu mengaca dulu! Sebelum berkata!"

Tubuhnya yang kekar dan berotot terlihat jelas setelah ia melepaskan jas hitam yang baru ia kenakannya dan membuang begitu saja ke atas ranjang.

Kali ini mereka tinggal di kediaman Adam yang jauh dari pemukiman penduduk, sedikit jauh dari kota.

Di tempat itu tidak ada siapapun yang tinggal bersama mereka, Aisyah pun saat memasuki pintu utama tidak melihat asisten atau siapapun yang bekerja di rumah ini menyambut mereka.

Aisyah bertanya dengan suara yang sudah terdengar serak, "Sebenarnya apa yang membuat kamu membenci diriku?"

"Oh, aku lupa. Padahal kau sudah bertanya kesekian kali, dengar telingamu baik-baik!"

Set!

Adam menarik paksa hijab yang wanita itu kenakan, hingga terlihat rambut panjangnya yang tergerai.

Wajahnya yang cantik terekspos sempurna. Setiap detail lekuk dari wajah cantik itu, terlihat menawan.

Pria itu terhenyak, ia terdiam dan memandang wajah Aisyah yang baru menjadi istrinya itu beberapa saat.

'Astaga! Lagi dan lagi! Memalukan sekali aku kepergok beberapa kali memandangnya seperti itu!' gumamnya tidak terima.

Ia yang tidak terbiasa membuka hijabnya di depan orang lain mengambil dan mengenakannya kembali.

Pria yang menyaksikan itu sedikit muak, dan bertanya, "Kenapa kamu pakai lagi? Bukannya aku sudah menjadi suamimu? Dan aku berhak atas dirimu! Cih!"

Tubuhnya yang lemas memandang ke arah dinding, sudah menunjukkan pukul 02.00 siang.

Ia baru mengingat jika belum mengerjakan shalat dhuhur. Gegas ia berdiri, dan bertanya kepada Adam, "Apakah di rumahmu ini ada mukena untukku?"

"Tidak ada, untuk apa kamu mengerjakan shalat? Apakah shalat bisa membuatmu menjadi kaya? Yang aku lihat saat ini, kau adalah seorang yatim piatu yang hidup dengan segala kekurangan," kata Adam, ia melangkahkan kaki dan duduk ditepi ranjang.

"Aku harus shalat, sebelum waktunya habis," jawabnya. Ia bergegas menuju kamar mandi dan menyalakan shower atau apapun yang bisa ia pakai untuk bersuci.

Berapa saat kemudian ia keluar, berjalan menuju lemari dan mencari sesuatu di sana. Beberapa kain bisa ia gunakan untuk menutupi bagian tubuhnya yang terbuka.

"Maaf, aku sholat dulu. Kamu tidak mau mengimani-ku?" tanya Aisyah dengan wajahnya masih datar dan kaku.

Meski ia sendiri tahu akan jawaban dari tipe pria seperti Adam ini.

"Cih! Gak ada gunanya! Buang-buang waktu!" Ia berjalan keluar saja, tanpa pedulikan Aisyah.

"Astaghfirullah ..." Ucapnya dengan menundukkan kepala.

"Ya Allah, semoga Engkau lekas memberikan hidayah pada pria yang sudah menghalalkan hamba ini," lagi, ucapnya dengan menengadahkan kedua tangan ke atas menghadap arah kiblat.

Dengan kain seadanya yang ia anggap suci ia jadikan untuk sajadah-nya.

Setelah selesai menjalankan shalat, seperti biasa, beberapa doa ia panjatkan pada Yang Maha Agung, ia mengharapkan agar dibukanya pintu taubat untuk Adam.

Brak!

Seketika ia terkejut melihat pintu dibuka dengan gebrakan yang keras. Mulai saat ini -- ia harus terbiasa menghadapi sikap pria itu.

"Bisa tidak kamu lebih hati-hati, bukannya kamu bisa lebih pelan saja. Tidak perlu membanting pintu!"

Adam menghampiri istrinya yang masih duduk menghadap kiblat, sekali lagi ia menarik hijab sampai rambutnya ikut tertarik.

"Aduh! Sakit, Mas!"

"Rasakan! Sakitnya sama seperti yang adikku rasakan!" Jawab Adam membuat Aisyah bingung.

"Adik? Kau memiliki saudara?" tanya Aisyah tidak mengerti.

"Kau tidak perlu pura-pura, Aisyah! Di balik wajahmu yang polos itu, menyimpan banyak kemunafikan!" oloknya, membuatnya semakin tidak mengerti.

Ia merasakan ada sesuatu rahasia besar yang menjadi latar belakang pria itu memperlakukannya seperti ini.

"Jika kau tidak menceritakan, bagaimana aku bisa mengetahuinya?"

Plak!

"Aku membenci wanita sok suci sepertimu! Kau sama biadabnya seperti wanita-wanita lain! Apa perlu aku terangkan kembali akan kesalahanmu wahai wanita nista!"

Adam menarik rambut Aisyah ke atas, hingga tubuhnya pun ikut terangkat. Ia meringis kesakitan, memohon untuk pria itu menghentikannya.

"Aduh sakit, Mas! Hentikanlah semua ini! Saat ini aku adalah istrimu, jadi cukup kau melukai aku. Perlakukan aku seperti wanita lainnya," pinta Aisyah dengan menitihkan air mata.

Cih!

Adam meludah tepat di wajah Aisyah, segera wanita itu bersihkan dengan telapak tangannya.

"Astaghfirullahaladzim ... Ternyata kamu benar-benar kejam!"

"Kamu tahu apa yang menyebabkan aku memperlakukanmu seperti ini? Hah!" tanya Adam dengan tatapan kebencian.

Aisyah hanya bisa menggelengkan kepala, dan menitihkan air mata. Merasakan sakit teramat sangat oleh perlakuan pria itu.

Tidak sekali dua kali, ia membenturkan kepala Aisyah ke tembok, sebelum menjelaskan kesalahan wanita itu.

Tangannya yang kekar dan berotot menarik kepala Aisyah ke belakang dan menarik wajahnya untuk melihat gerak bibirnya dan mengatakan, "Kesalahan terbesar kamu adalah, kamu penyebab kematian Dewangga!"

Deg!

Aisyah terkejut mendengar nama itu disebutkan oleh Adam. Ia bertanya dengan terbata,

"De-Dewangga?Apa yang kau katakan? Apa kamu mengenal-nya?"

Comments (3)
goodnovel comment avatar
Iin Romita
astaghfirullah..hahaha
goodnovel comment avatar
Noor Sukabumi
sini aq jedotin kepalamu Adam biar km tuh mikir yg Jernih.tanya dulu baik2 n pikir pk otak jg cuma denger Dr sepihak muka j jangar tp otak kyk otak udang oon
goodnovel comment avatar
Goresan Pena Bersyair
sangat kejam
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status