Share

Chapter 4

MIB-4

Azkio memarkirkan mobilnya di pekarangan rumah kontrakan. Dia begitu tergesa turun dan mengetuk salah satu pintu.

“Siapa?” tanya penghuni dalam kontrakan saat Azkio mengetuk pintunya.

“Ini Kakak, Dek.”

Daun pintu lekas terbuka. Andai tak ingat bukan mahram, tentu Lily sudah menghambur ke pelukan Azkio.

“Kak, aku takut.” Lily merengek.

“Ada apa, Dek?”

“Tadi ada orang yang mau masuk lewat jendela. Untung saja dipasangin tralis. Kalau nggak, aku nggak bisa bayangin.”

Lily menuturkan dengan mimik ketakutan. Dia juga cerita kalau orang tersebut terus saja mengetuk-ngetuk pintu. Padahal ini sudah larut malam. Sudah mencoba berteriak, tetapi tak ada yang mendengar. Mungkin tetangga kontrakan sudah terlelap tidur. Sedangkan yang mengontrak tepat di samping kontrakan Lily, orangnya sedang tidak ada. Jadi rumah sebelah kosong.

Saking panik, tanpa pikir panjang Lily menelepon sembarang. Kebetulan nomer yang terhubung adalah milik Azkio. Begitulah pengakuannya. Dua bulan terakhir ini, Lily memang sengaja mengontrak agar dekat dengan kampus. Pasalnya dia sedang sibuk menyelesaikan tugas akhir, skipsi. Karena jarak dari panti asuhan ke kampus lumayan memakan waktu. Sementara dia harus bolak-balik setiap hari bisa sampai beberapa kali.

“Sekarang orangnya kemana?” tanya Azkio. Sedari tadi dia mengedarkan pandangan, tetapi tak menemukan satu pun sosok yang mencurigakan.

“Aku juga tidak tahu, Kak. Mungkin sudah melarikan diri saat mendengar ada mobil datang.”

“Tapi kamu tidak apa-apa, kan?”

“Tidak, Kak.”

“Kalau begitu sekarang Kakak antar kamu ke Panti saja, ya!” tawar Azkio.

“Baik, Kak. Aku juga jadi takut kalau harus tetap si sini.”

Lily segera berkemas seperlunya. Kemudian mereka pun berangkat ke Panti asuhan. Selama perjalanan mereka saling terdiam. Padahal biasanya Lily juga sangat bawel. Namun, setelah Azkio berganti status jadi suami orang lain, rasanya jadi canggung. Bahkan saat akad nikah berlangsung, dia tidak ikut menghadiri dengan dalih ada urusan urgent di kampus.

Setelah hampir satu jam, barulah mereka sampai. Biasanya bisa memakan waktu lebih lama. Mungkin karena ini sudah dini hari, jadi kondisi jalanan lenggang. Sehingga mobil bebas hambatan.

Sampailah di sebuah gerbang bertuliskan ‘selamat datang di Panti Asuhan Kasih Ummi’. Keduanya gegas turun dan membangunkan security yang tertidur agar membukakan pagar. Dari gerbang, mereka harus berjalan sekitar 500 meter. Sebab, bagian depan adalah gedung utama panti. Sedangkan Lily akan diantar ke rumah uminya tepat di belakang gedung itu.

“Ya Allah, Kio, Lily!” seru Fatimah setelah membuka pintu rumah.

“Ummi.” Lily mencium tangan Fatimah.

“Ayo, cepat masuk dulu.”

Lily dan Azkio pun duduk di ruangan depan. Lalu menjelaskan sebenarnya apa yang terjadi. Fatimah hanya menanggapi datar dan terkesan tidak begitu khawatir.

“Kio, mana istrimu?” Fatimah malah menanyakan sang menantu.

“Astaghfirullah.” Alih-alih menjawab, Azkio malah beristighfar.

“Kenapa, Kio?” Dahi Fatimah mengerut.

“Saya lupa. Tadi soalnya panik, takut Adek kenapa-kenapa.”

“Ya, Allah, Kio. Kamu juga Ly, kenapa telepon Kio? Kan bisa telepon Kak Anwar.”

“Tadi Lily ketakutan, Ummi. Jadi asal tekan saja nomer. Mana tahu nyambungnya ke Kak Kio.”

“Tidak apa, yang penting Adek tidak kenapa-kenapa, saya lega.”

“Gih, cepat pulang! Kasihan istrimu ditinggal begitu saja.”

“Baik, Ummi. Kalau begitu saya pamit.”

Seperti kebiasaan Azkio, kalau hendak pisah dengan Lily, dia suka memberinya uang saku. Namun, baru sadar kalau dompetnya tidak ada di saku celana. Azkio berubah panik lagi. Kali ini dia takut Zivanka membuka isi dompetnya yang tergeletak di atas meja.

“Ada apa lagi, Kio?”

“Dompet saya ketinggalan.”

“Kio, mulai sekarang kamu tidak usah kasih Lily uang. Ingat kamu itu sudah punya istri.”

Azkio hanya terdiam tidak menyetujui. Bagaimana bisa dia berhenti peduli kepada wanita yang selalu dikhawatirkannya. Sebelum beranjak pergi, netranya sempat melirik Lily sejenak. Andai tak ada Fatimah, mungkin masih bisa menatap lebih lama. Beberapa hari tidak bertemu membuat satu ruang hati hampa.

“Ly,” panggil Fatimah kepada putrinya yang tergesa masuk kamar.

“Iya, Mi. Aku sudah ngantuk.” Lily berusaha mengelak. Dia tahu kalau Fatimah pasti akan mencecarnya.

“Duduk!”

Lily yang tidak terbiasa membantah langsung duduk. Wajahnya menunduk tak berani menatap kedua mata sang ummi.

“Iya, Ummi,” cicit Lily.

“Kamu keterlauan. Malam ini adalah malam penting bagi kakakmu. Bisa-bisanya kamu kepikiran untuk mengganggunya.”

“Maksud, Ummi?”

“Kamu pikir, Ummi tidak tahu. Tadi hanya akal-akalan kamu saja, kan? Kamu masih belum rela kalau kakakmu bersama wanita lain.”

“Dia bukan kakakku, sentak Lily membuat Fatimah terkesiap, “Ummi, aku harus bagaimana? Rasanya sakit,” lanjutnya sudah berurai air mata.

Bagi Lily semuanya tidak akan mudah. Dia tahu kakak angkatnya itu juga menyimpan rasa. Azkio selama ini selalu memerhatikannya lebih dari sekedar Saudara. Azkio-lah yang melindungi dan selalu menjaga jika ada orang lain yang melukainya. Masih terekam jelas bagaimana Azkio kecil sering berantem demi membelanya dari anak yang nakal.

Membagi makanannya jika Lily masih lapar. Membagi payungnya jika Lily kehujanan. Melakukan hal kocak jika Lily bersedih. Azkio terlalu sempurna untuk diserahkan begitu saja kepada wanita lain.

“Istighfar, Ly. Kalian ditakdirkan hanya untuk jadi saudara. Ikhlaskanlah!”

“Tidak, Ummi. Apa Ummi tahu? Kalau diam-diam aku dan kak Kio punya mimpi yang sama bertahun-tahun. Mimpi itu hampir terwujud. Lalu tiba-tiba wanita itu datang menghancurkan segalanya. Padahal tinggal selangkah lagi. Hanya menunggu sampai aku lulus.” Lily sungguh tidak terima.

“Maafkan, Ummi, maafkan Ummi, Ly.” Fatimah memeluk putrinya penuh penyesalan.

Bukannya dia tidak tahu bagaimana perasaan Lily dan Azkio. Namun, jika Azkio tidak menikahi Zivanka, lalu bagaimana nasib anak-anak panti. Kadang Fatimah menyesali diri yang begitu lemah dan merasa tak berguna.

Setelah melakukan sholat istikharah, Allah seolah menunjukkan bahwa Azkio-lah pemuda yang tepat untuk Zivanka. Di panti ada tiga pemuda yang seumuran Azkio dan sama-sama berakhlak baik. Bahkan salah satunya pendakwah aktif, baik onlen maupun offlen. Tidak seperti Azkio yang hanya sebatas di sosial media.

Allah lah yang Maha Tahu segalanya. Allah memberikan jodoh sesuai yang kita butuhkan, bukan yang kita inginkan. Azkio adalah jawaban untuk Zivanka. Fatimah yakin, mereka memang berjodoh. Terlepas dari caranya bagaimana mereka bersatu di pelaminan.

**

Zivanka mondar mandir kayak setrikaan di dalam kamar hotel. Cukup lama juga suaminya pergi. Bukannya mengantuk, matanya malah semakin lebar menatap pintu. Berharap di detik kemudian Azkio datang meminta maaf.

“Sial! Ini tidak bisa dibiarkan. Sudah jadi suamiku, masa di dompetnya ada foto cewek lain?” Sebagai seorang istri Zivanka merasa harga dirinya terinjak.

Dia kembali menghitung jumlah kancing piyama untuk memutuskan apakah nanti akan marah atau tidak sama Azkio.

“Marah-enggak, marah-enggak. Kok, enggak, sih? Ah, balik saja. Enggak-marah, enggak-marah. Tuh, kan aku harus marah.”

Tak lama bel kamar berbunyi. Bila diterawang itu pasti Azkio. Benar saja, dia muncul dengan wajah rasa bersalah. Zivanka yang sudah berniat marah, tiba-tiba berubah pikiran. Tak tega rasanya.

“Ziv, maaf membangunkan tidurnya,” sesal Azkio.

Duh, nggak mikir nih, laki. Dia pikir aku bisa ngorok gitu, sedangkan lakinya lagi menemui cewek lain. Jahat banget guys. Zivanka komat-kamit sendiri.

Azkio lekas ke kamar mandi untuk cuci muka, cuci kaki dan berganti celana.

“Woy, ganti celananya di sini emang nggak bisa?” tanya Zivanka yang hanya direspon datar oleh Azkio.

“Sudah larut malam, yuk kita istirahat.”

“Udah mau pagi kali,” sindir Zivanka sambil menoleh jam dingding yang menunjukan hampir pukul 3 dini hari.

Seharusnya di jam ini Azkio sholat malam dan bermunajat kepada Allah. Meminta petunjuk terkait istrinya yang Absurb. Akan tetapi, rasa kantuk benar-benar tak dapat ditunda. Azkio segera menarik selimut.

Dalam hitungan detik, dengkur halus sudah terdengar. Zivanka mendumbel betapa pelornya sang suami. Nempel, langsung molor. Mana tidurnya mepet ke pinggir bed lagi. Padahal ini ukuran bed bisa muat satu RT. Kayaknya takut banget disergap dirinya.

Apa boleh buat, Zivanka pun ikut terlelap. Karena sedikit jual mahal, dia pun memilih tidur di sisi bed satunya lagi. Jadi tidur mereka berjarak selapangan bola.

Semenit.

Dua menit.

Tiga menit.

Jangan harap Zivanka masih bisa tidur elegan. Kalau hanya luas lapangan bola, selama tidur semua kejelajah olehnya. Kaki di kepala, kepala di kaki, jungkir balik, koprol sambil ngayang dengan mata terpejam. Mungkin di mimpinya dia sedang berebut bola di lapangan. Tak segan apapun di depannya di tendang. Tahu-tahu Azkio terguling ke lantai.

“Astaghfirullah.” Azkio terperanjat sambil memegang bokongnya yang terjun lebih dulu.

Dia bangkit dan seketika mata yang mengantuk terbuka lebar.

Dari mulut Zivanka yang menganga, mengalir ences yang membentuk pulau-pulau. Wajahnya tertutup rambut sebahu yang acak-acakan dan disempurnakan oleh kedua kaki yang merenggang lebar.

Merasa ngeri, Azkio memutuskan untuk tidur di sofa saja. Meski sebetulnya tidur di sofa itu kurang nyaman. Karena ukuran sofa yang tidak sepanjang badannya. Terpaksa kedua kaki pun harus ditekuk.

Kurang lebih 2 jam sudah pasangan suami-istri ini terlelap. Adzan shubuh dari ponsel Azkio membangunkan. Apa Zivanka ikut terbangun? Tentu tidak. Gentongan dipukul sekampung juga, dia tidak akan terbangun jika sudah tertidur pulas. Mira saja dulu sampai suka cek ujung hidungnya untuk memastikan masih bernapas atau tidak.

Niat Azkio membangunkan urung. Dia baru lagi mengingat dompetnya. Semalam begitu sampai entah kenapa bisa lupa. Dilihat ke atas meja, dompet yang dimaksud sudah tidak di tempat. Artinya Zivanka sudah memindahkan. Kemungkinan besar dia juga pasti sudah melihat isian dompet.

Azkio mengusap wajah kasar. Sungguh dia tidak bermaksud untuk melukai hati istrinya di malam pertama. Prinsip lelaki sholeh itu, jika tidak mencintai, maka tidak juga menyakiti. Hanya saja dalam soal ini, justru Azkio lupa. Lupa cara melupakan Lily Anisyah. Wanita yang sudah lama bersemayam di hati dan hampir dihalalkan.

Celakanya, Azkio juga ikut lupa membuang foto wanita itu. Bukan dibuang, minimal dipindahkan ke tempat lain yang tak diketahui siapapun. Dia menggigit jari sambil terus mencari. Tak sulit juga, akhirnya mata Azkio menemukan dompet tersebut.

Tergesa Azkio mengambil dan segera mengecek isiannya. Foto seorang wanita sedang memanyunkan bibir menyapa. Sebelah matanya dikedipkan dengan pose dua jari. Apakah ini foto Lily Anisyah? Tentu bukan. Lily difoto tidak se-alay atau secentil itu.

“Haha.” Spontan Azkio tertawa.

Namun, detik kemudian matanya melotot saat menyadari pakaian yang dikenakan si wanita di foto.

Glek. Azkio menelan saliva.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Isnia Tun
Ga suka sama Lily mau sealim dan se sholeha apapun dia...tetap saja caranya salah menelpon Azkio disaat malam pertamanya,situ waras
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status