MIB-6
"Aduh Umm, aku kebelet pipis.""Ya sudah, cepat ke kamar mandi. Nanti Ummi dan Lily tunggu di mushola, ya!""Baik, Umm."Zivanka merasa lega. Karena akhirnya terbebas dari wudhu yang dia lupa urutannya. Nanti sepertinya harus belajar lagi wudhu dengan benar. Karena mau sampai kapan harus pura-pura melakukannya.Sekarang Zivanka sudah berada di mushola, tepat di depan rumah Fatimah. Mushola khusus sholat perempuan. Sedangkan laki-laki melaksanakannya di masjid dekat aula Panti.Wah, mayan banyak juga ya, pasukan Ummi Fatimah.Zivanka mengedarkan pandangan kepada yang sudah berbaris rapi. Jumlah yang akan sholat berjamaah sekitar 25 orang. Terdiri dari anak-anak usia SD hingga SMA dan ada 3 orang sudah kuliah."Ziv, sini!" panggil Fatimah.OMG, jangan bilang suruh jadi imam.Seketika Zivanka pucat pasi. Salah besar sudah mau diajak Azkio tinggal di panti. Belum sehari jantungnya sudah terus dag dig dug tak menentu. Semacam sedang diuji nyali saja."Ayo, Kak Ziva. Kita mau mulai," timpal Lily.Syalan, tuh cewek! rutuk Zivanka dalam hati.Sekarang anak-anak rupanya memerhatikan Zivanka yang masih diam di barisan paling belakang. Mau tidak mau akhirnya dia maju ke barisan paling depan. Soalnya mereka kompak semacam memberi jalan."Assalamualaikum, anak-anak.""Waalaikumsalam, Ummi." Serempak menjawab."Mungkin kalian sudah pada tahu ya, siapa wanita cantik di samping ummi ini?""Tahu, Ummi.""Tidak, Ummi."Ternyata masih ada juga yang ketinggalan informasi. Hati Zivanka kembali plong. Karena Fatimah hanya ingin mengenalkannya kepada semua. Sedangkan yang menjadi imam, tetap dirinya. Tentu saja Fatimah paham, wanita yang katanya badung ini takut mengkhawatirkan jika jadi imam.Alhamdulillah, Zivanka pun tampak lebih khusyu dalam menunaikan sholat berjamaah kali ini. Mungkin juga dia berusaha keras untuk terlihat seperti itu. Sebab, jika melakukan kesalahan, maka dia akan jadi bahan gunjingan puluhan orang. Memalukan bukan?"Ly, pimpin doanya," pinta Fatimah begitu sholat selesai."Ummi, bagaimana kalau yang pimpin doa kali ini kak Ziva saja?" usul Lily.Deuh, nih cewek, keknya mau aku gibang,Zivanka kesal bukan main."Kamu saja, Ly." Fatimah paham kalau menantunya mungkin tidak bisa juga pimpin doa."Iya, kamu saja, Ly." Zivanka cepat menimpali."Anak-anak, gimana mau nggak dipimpin doa sama kak Ziva?" Lily sengaja kerahkan kekuatan masa untuk mempermalukan istri kakak angkatnya."Setuju, ayo-ayo!" Mereka antusias sudah macam suporter bola."Sstt, ini mushola," tegur Fatimah."Aku belum biasa pimpin doa, jadi kamu saja, Ly," tolak Zivanka."Justru karena itu, biar terbiasa. Masa istri kak Kio disuruh pimpin doa, nolak?"Zivanka semakin tersudutkan. Fatimah membela lagi seakan paham keresahan si menantu badung."Sudah Ly, Ziva 'kan baru pertama kali ikut berjamaah bareng kita. Mungkin grogi. Ayo, kamu saja. Sebentar lagi kita harus siapkan makan siang, nih." Fatimah mengingatkan."Gini saja, doa tetap kak Ziva yang pimpin, nanti aku pimpin dzikirnya saja. Kita bagi tugas," putus Lily, "ayo silahkan kak Ziva," sambungnya.Kalau sudah tersudut begini, tidak bisa berkutik lagi. Menolak juga percuma, Lily akan terus mendesak."Ya, sudah kalau begitu. Doa apa saja boleh, tidak perlu panjang-panjang karena kita juga harus segera siapkan makan siang," ujar Fatimah yang paham kalau Zivanka tidak mungkin bisa doa yang panjang. Akan tetapi, Fatimah tidak paham kalau menantunya itu bahkan doa pendek pun tak hapal."Umm, boleh doa pendek apa saja kan?" Zivanka memastikan."Iya, boleh. Yuk, untuk mempersingkat waktu.""Ekhm," deham Zivanka yang sudah berkeringat dingin.Mendadak suara terasa tercekat di kerongkongan. Susah sekali keluarnya."Jangan tegang, santai saja," bisik Lily.Zivanka pun ambil napas dalam dan mengembus perlahan. Kemudian memberanikan diri untuk memimpin doa."Bismillahirrohmanirrohim ... Allahumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa wa qinaa 'adzaa bannaar."Seketika gelak tawa pecah di mushola. Zivanka mengernyitkan dahi tak mengerti di mana letak lucunya.Lah, napa mereka tertawa? Katanya tadi suruh pimpin doa. Katanya lagi boleh doa pendek dan apa saja. Wah, nggak bener ini. Mereka sudah menertawakan sebuah doa. Zivanka mendumbel dalam hati."Sudah-sudah, ini musholla." Fatimah menegur kembali, lalu melirik sengit kepada Lily.Lily pun segera memimpin doa sesungguhnya. Amalan doa usai sholat pada umumnya. Tidak ketinggalan melapalkan dzikir juga.Menit selanjutnya selesai. Mereka membubarkan diri dan bersiap untuk makan siang. Meski masih ada saja yang kasak kusuk menggunjing Zivanka. Entah kenapa Lily merasa senang atas apa yang sudah terjadi barusan.Kabar ini telah sampai ke Azkio. Mungkin setelah Fatimah, dia adalah orang kedua yang justru merasa sedih mendengar Zivanka malu-maluin."Ziv, mau kemana?" tanya Azkio menahan istrinya di ambang pintu."Mau makan." Zivanka bersiap ke sana. Di mana orang-orang akan kumpul untuk makan siang."Hmm, kita makan di rumah saja, ya! Sebentar, biar saya ambilkan.""Nggak mau. Aku mau makan bareng anak-anak, biar seru." Zivanka memang suka keramaian."Tidak, kita makan di sini saja," putus Azkio bukan tanpa alasan. Sebetulnya dia tidak mau istrinya terus jadi bahan guyonan pasca kejadian di mushola. Bagaimanapun, Azkio peduli dan ingin menjaga kehormatan Zivanka di panti asuhan ini."Ekhm, nggak nyangka." Zivanka senyum-senyum."Nggak nyangka apa?" Azkio bingung."Kamu cuma mau makan berdua sama aku, kan? Mau romantis gitu," terkanya kesenangan."Iya," jawab Azkio tergagap. Tak apalah berbohong demi kebaikan."Ih, Ustaz so' sweet!" Zivanka pukul-pukul manja dada suaminya.Tak sadar Azkio terbitkan senyuman yang selalu bikin meleleh. Lalu dia gegas ke ruang makan umum. Sedangkan Zivanka diminta tetap menunggu di rumah.Sesampainya di sana tentu bertemu dengan Lily tak bisa dihindari lagi."Hey, Kak. Istrinya mana?""Ada di rumah.""Oya Kak, ini makanan kesukaan kamu, loh!" seru Lily menunjuk menu tumis cumi asin yang dicampur cabe ijo."Eh, iya." Azkio semangat mengambil."Kak, tumben ambilnya banyak?" tanya Lily saat melihat isian piring Azkio dengan beberapa menu."Ini untuk makan berdua sama Ziva.""Oh."Azkio beralih ke meja menu penutup. Ia mengambil satu buah apel. Lily seketika teringat akan kebersamaannya. Azkio sering mengupaskan buah juga. Sungguh tak rela jika kini melakukan hal sama untuk wanita lain."Dek, kamu kenapa?" Azkio panik saat melihat Lily mendadak kesakitan memegang perut."Aku tidak tahu, rasanya sakit banget." Lily terus meringis seraya luruh ke lantai."Kak Lily, kenapa?" tanya yang lain juga."Sakit banget," sahut Lily."Kak Kio, cepat bawa kak Lily ke dokter!" Salah satu anak panti ikut cemas."Iya-iya." Spontan saja Azkio mengiyakan.Lily segera dibawa ke klinik terdekat. Sementara Zivanka masih setia menunggu suami yang berjanji akan bawakan makan."Duh, kemana sih, si Ustaz?" Zivanka mulai kesal.Ingin rasanya dia menyusul, tetapi ingat pesan Azkio yang mewanti-wanti agar tidak datang ke tempat makan."Ah, napa juga aku harus nurut?" Zivanka bicara sendiri.Dia memutuskan untuk menyusul saja. Begitu masuk ruangan, anak-anak mulai berbisik-bisik. Ada juga yang malah merasa iba kepadanya. Dua kubu di panti sepertinya mulai tercipta."Kak, cari kak Kio, ya?" tanya salah satu anak."Iya, lihat nggak?""Kak Kio tadi antar kak Lily berobat."Tiba-tiba darah mendesir menghantarkan emosi. Tega sekali membiarkan istri kelaparan, eh, tahunya malah sedang bersama wanita lain."Emang Lily kenapa?" Zivanka sedikit jutek."Tadi tiba-tiba perutnya sakit banget, hampir pingsan."Zivanka tidak mau menanggapi lagi. Takutnya yang keluar dari mulut malah temannya si kucing. Eh, musuh bebuyutan kali.Marah juga butuh amunisi, jadi Zivanka segera mengambil makan yang hampir pada habis itu. Yang tersisa hanya sosis bakar dan beberapa menu sayur. Sebab, tak suka sayur, jadi yang masuk piring cuma sosis tanpa nasi.Anak-anak masih saja saling berbisik. Sadar jadi pusat perhatian, Zivanka membawa makannya ke rumah.Piring berisi lima sosis langsung dilahapnya. Bahkan Zivanka tak baca doa makan. Saat sosis sisa satu, datanglah Azkio bersama Lily."Astagfirullahaladzim." Baru ingat kalau istrinya tadi belum makan.Diam-diam Lily tersenyum di balik wajah yang seolah-olah sangat lesu."Maaf ya, Kak Ziva. Kak Kio tadi antar aku berobat dulu." Lily pura-pura tak enak hati."Lagi makan, ya?" Azkio basa-basi, padahal dalam hati firasatnya sudah tak enak.Zivanka enggan menjawab. Garpu dalam genggaman tangan yang mengepal diangkat tinggi-tinggi. Kemudian ditancapkan pada sosis yang masih tersisa di piring. Sedangkan matanya melotot seperti ingin menelan hidup-hidup."Awasss!" desisnya.*****MIB-7Azkio bergedik ngeri saat melihat istrinya begitu bern4fsu menusuk-nusuk sosis dengan garpu. Tenang, tenang! Tidak boleh terlihat kalah depan cewek so’ alim itu, batin Zivanka.“Ekhm," dehamnya.Setelah menghela napas sepanjang jalan kenangan, akhirnya gejolak amarah di dada bisa dikendalikan. Sungguh ini adalah sebuah prestasi luar biasa karena jarang-jarang bisa meredam emosi.“Kak Ziva nggak marah kan?” tanya Lily.“Oh, nggak. Santai saja. Lagian wajar kok, jika kakak antar adiknya. Cuma lain kali harus izin kepada pemilik sahnya.” Akhir kata penuh penekanan.“Maksud, kak Ziva?” Lily berlaga polos.“Kamu nanya? Kamu bertanya-tanya?” Zivanka mengejek.“Kalau begitu, aku ke kamar dulu, ya,” pamit Lily dengan nada lemas.“Ly,” jangan lupa nanti diminum lagi obatnya,” pesan Azkio.“Baik, Kak.” Lily berlalu dengan senyum menyungging.Sebetulnya Lily adalah gadis yang baik
Zivanka masih keliling panti tanpa tujuan. Dia melihat anak laki-laki seumuran SMA sedang duduk di bawah pohon."Dek, lagi pain sendirian di sini?""Eh, kak Ziva. Lagi santai aja, kak.""Kamu nggak ikutan hapalan surat?"Kebetulan pas lewat tadi, Zivanka melihat anak laki-laki sedang pada hapalan surat di masjid."Saya non muslim, Kak.""What?! Kok, bisa ada di sini?""Emang kenapa, Kak? Kan ini panti asuhan, bukan pesantren.""Iya, sih. Tapi ....""Ummi Fatimah itu orang baik. Dia tidak pilih kasih, walau saya bukan muslim. Beliau juga tidak memaksa saya untuk ikut agamanya."Hanya saja anak-anak beragama Islam, Fatimah memang ketat dalam mendidik agamanya. Apalagi mereka semua kan sekolah di Negeri bukan sekolah islam, swasta. Karena keterbatasan biaya. Jadi untuk menjaga mereka dari kontaminasi pergaulan luar yang tidak baik, Fatimah menanamkan pondasi kuat dengan sholat dan mengaji.
MIB-8“Yang pasti doa setelah sholat.” Zivanka mencoba percaya diri.Azkio menggeleng, “bukan. Itu doa sesudah makan.”Seketika Zivanka pengen ngilang gitu saja. Dia merutuki Nia yang sudah mengiriminya doa. Bagaimana bisa sepasang bestie ini sama-sama bloonnya. Hadeuh.Setelah berpikir sedari tadi, akhirnya Azkio memutuskan untuk memanfaatkan misi istrinya. Dia akan mengimingi Zivanka dengan nafkah batin jika patuh dan mau belajar agama. Meski artinya dia juga harus menahan diri untuk tidak dulu menyentuh. Walau bagaimanapun sebagai pria normal keinginan lebih dari melihat itu selalu terlintas. Terlebih sudah dihalalkan.Namun, istri model Zivanka tidak akan benar-benar tunduk kalau keinginan dan rasa penasarannya terwujud dengan mudah. Tipe dia senang akan tantangan dan sesuatu yang baru. Semoga meski awalnya mungkin perubahan bukan karena Allah, setidaknya setelah mengenal diharapkan hidayah benar-benar turun. “Ya ampun, dili
“Woy, itu si Ziva!” teriak Juno.“Kirain, lu nggak jadi datang,” timpal Nia."Kan udah gue bilang, pasti telat dikit."Zivanka langsung bergabung ke kerumunan gang motor yang hobbi balapan liar di tengah malam. Tempat yang mereka pilih bukan sembarang jalan. Terlebih dahulu dipastikan kalau jalanan yang akan jadi rute balap lumayan sepi dan jauh dari warga. Meski kadang tetap saja terciduk polisi yang sedang patroli.Mereka yang baru menyadari penampilan Zivanka langsung ngakak. Pasalnya dia masih mengenakan rok dan dengan santuynya mau ikut balapan.“Eh, lu salah minum obat?” ejek teman-temannya.“Bacot, lu! Buruan, kita taruhan berapa malam ini?" Zivanka tidak menggubris ejekan mereka.“Lima juta.”“Ok. Ambil uangnya nanti di si Juno! Kalau gue kalah.""Loh, kok, jadi di gue, sih?" protes Juno."Tenang aja, gue pasti menang, Juno!""Serah lu, deh."Zivanka dan temannya yang
MIB-9“Astaghfirullah.” Azkio terkejut sudah tak mendapati Zivanka di dalam kamar. Ponselnya pun tidak ada.Dia sudah bisa menebak kalau istrinya kabur untuk ikuti balapan. Segera berganti pakaian dan langsung menuju rumah mertua. Karena tempat pertama yang didatangi Zivanka pasti kediaman orang tuanya untuk ambil motor.Walau tidak enak hati, Azkio terpaksa membangunkan Baskara malam-malam lewat telepon. Tak lama mertuanya keluar menemui di teras.“Ada apa Ustaz mantu, malam-malam ke sini?” tanyanya sambil mengucek mata."Ziva … kabur, Pi.""Apa? Duh, kenapa nggak dirantai saja tuh anak." Baskara garuk-garuk kepala.Azkio menceritakan bahwa istrinya itu pasti ikut balap liar. Segera dicek motor di garasi, benar saja, milik Zivanka tidak ada.“Pasti Zivanka yang bawa kan, Pi?”“Iya, siapa lagi. Tuh, anak bener-bener, ya! Padahal baru kemarin ini gembok garasi diperbaiki, eh, udah dibobol lagi,” keluh Baskara.Sebelum akad digelar, malam sebelumnya, Zivanka juga sempat ikut balap liar.
Masih dengan Celana dalam di tangan, Azkio berusaha menetralkan kembali pikirannya.“Kenapa?” tanya Zivanka mendadak sudah ada di belakangnya juga.Seketika Azkio menoleh dan detik itu juga membeku dengan mulut menganga. Dengan santainya Zivanka yang berlilitkan handuk mengambil alih celana serta baju dari tangan suami.“Mau tahu dalamnya?” bisik Zivanka menggoda.Seolah terhipnotis, Azkio yang bergeming justru menganggukkan kepala. Mata Zivanka langsung berbinar-binar.Apa artinya misi tuing-tuing akan segera terlaksana? Batinnya bersorak senang.“Kak Ziva, kak Ziva!” Tiba-tiba suara Lily memanggil sambil mengetuk pintu."Aish, syalan!” umpat Zivanka.Azkio seolah baru saja tersadar. Dia hanya menelan saliva, kemudian meminta Zivanka gegas mengganti baju. Dia sendiri menyambar sarung serta peci yang menggantung di belakang pintu.“Eh, Kak Kio. Kak Ziva-nya lagi apa?” tanya Lily begitu daun pintu terbuk
MIB-10"Ehm ... pulang yuk!" ajak Azkio kepada Zivanka yang masih mematung sambil memegang bibirnya sendiri."Tunggu! Barusan kita ... anu bukan?" Zivanka tergagap."Oh, itu. Eh, iya." Azkio mengusap tengkuk.Keduanya cengar-cengir salah tingkah. Lalu mengayun langkah menuju rumah Fatimah.Karena jalanan masih sepi, jadi Azkio menggandeng tangan Zivanka.“Kok, dipegang?”“Siapa tahu kamu kabur lagi. Saya kan jadi repot.”“Kirain.”“Apa?”“Nggak,” ketus Zivanka sebal. Kirain gandeng tangan karena romantis saja.Saya juga tidak tahu alasannya apa, Ziv. Yang pasti saya takut kamu hilang dari pandangan. Azkio bermonolog dalam hati.Setiba di rumah, rupanya Lily sedang duduk santai di teras. Matanya mendadak terasa sangat panas ketika melihat sepasang suami istri bergandengan.Sadar kalau Lily memerhatikan gandengannya, Azkio refleks melepaskan. Namun, Zivanka meraih kembali. Sengaja dengan bangga memperlihatkannya kepada wanita yang tengah cemburu.“Kita masuk dulu, ya!” pamit Zivanka ria
Lily penuh selidik, berharap terkaannya benar.“Oh, bukan begitu,” sangkal Azkio tergagap.“Terus?” Lily mendesak jawaban.“Ini Ziva kan sudah terbiasa ada sofa di dalam kamarnya. Jadi dia yang minta dibelikan.""Nah, bener tuh. Enak saja ngatain kita tidur terpisah." Zivanka menimpali.“Oh, maaf,” sesal Lily bukan karena sudah lancang, tetapi menyesal karena jadi mendengar pengakuan mereka secara tidak langsung.Atas kejadian ini, terbersitlah ide jail di kepala Zivanka. Apa itu? Nantikan saja.**Malam kembali tiba. Azkio senang karena bisa tidur lelap di sofa baru tanpa gangguan istrinya. Hal ini tentu membuat Zivanka bete. Diliriknya jam dingding menunjukkan pukul 22.00. Dia memutuskan keluar kamar untuk mengambil air minum. Namun, tak sengaja melihat Lily keluar rumah. Diam-diam Zivanka mengikutinya dan betapa dia terkejut. Rupanya Lily mengendap ke balik jendela kamar yang di dalamnya ada Azkio.