Share

Chapter 5 B

Zivanka membelalak tak percaya.

“Bukan.” Azkio kembali menjitak.

“Ish,” desis Zivanka. Kali ini jitakan suaminya sedikit keras.

Azkio meminta ia agar meninggalkan kebiasaannya selama ini. Seperti ke klub malam, nongkrong tidak jelas, bergaul dengan lawan jenis dan gaya hidup lainnya yang unfaedah. Azkio juga meminta mulai sekarang ia harus benar-benar belajar sholat, ngaji serta berpakian menutup aurat. Untuk saat ini, segitu saja dulu. Takutnya kepala Zivanka meledak tiba-tiba.

Busyet, kalau begini aturannya, aku jadi tobat beneran, nih.

“Ziv, kamu siap?”

“Hmm … siap.” Akhirnya ia jawab siap saja dulu.

Nanti kalau misi tuing-tuing sudah tercapai, badung kembali kan bisa. Ditalak juga rasanya tak masalah. Mana mau Zivanka hidup terikat penuh aturan.

“Baiklah, sekarang kita berkemas.”

“Kok, berkemas?”

“Karena kita akan ke panti asuhan.”

“Lah, kenapa?”

“Ziva, saya belum memiliki rumah. Nikah kita kan dadakan, jadi saya belum sempat cari rumah.”

“Oh, iya.”

Selama ini Azkio sengaja lebih memilih tinggal di Panti karena selalu ingin melihat Lily. Sebetulnya dia sudah mampu untuk membeli sebuah rumah sederhana. Penghasilannya dari konten dan bisnis fashion muslim sudah lumayan besar. Sebagian penghasilan itu dia juga dedikasikan untuk keperluan panti asuhan.

“Tenang, kita tinggal di panti hanya untuk sementara. Sampai nemu rumah yang cocok.”

“Ok.”

**

Begitu sampai di panti asuhan, banyak sekali anak-anak yang menyambut. Rupanya Azkio cukup dekat dengan mereka semua. Terlihat kalau sosok suami Zivanka itu sangat dirindukan. Sebelum sampai ke rumah Fatimah di belakang panti, terlebih dahulu ia mengenalkan istrinya kepada beberapa bangunan lain.

Paling depan ada aula panti tempat berkumpul dan melakukan kegiatan. Di sampingnya ada dapur luas berikut tempat makannya. Sementara di sebelah lagi ada dua rumah yang bersebelahan.

“Nah, ini rumah khusus Nisa dan yang itu Rijal.”

“Nisa dan Rizal itu siapa? Anaknya ummi Fatimah?"

Azkio tersenyum dan lagi-lagi sangat manis.

"Bukan, Ziva. Rumah Nisa itu maksudnya untuk anak-anak perempuan, sedangkan Rizal untuk anak laki-laki."

"Oh. Pasti bahasa arab, kan?"

Anak-anak yang sedari tadi mengikuti pun cekikikan mendengarkan omongan Zivanka. Setelah sedikit berjalan-jalan, akhirnya sampailah di rumah utama.

Fatimah menyambut hangat dan Zivanka juga dapat merasakan ketulusan wanita setengah abad tersebut.

Azkio juga sedikit tercengang dengan perubahan sikap Zivanka. Istrinya itu berubah lemah lembut dan manis sekali. Meski terkesan sekali kalau lembutnya itu dibuat-buat, dipaksakan. Namun, manisnya asli sekali tanpa bahan pengawet.

Cantik, gumam Azkio saat tak sadar memandang istrinya yang sedang mengobrol itu.

“Oh, masya allah, cantiknya. Ini ya, istrinya kak Kio?” Tiba-tiba Lily baru muncul dari kamar.

Lily pun menyalami Zivanka sambil cium pipi kanan-kiri, meski sekedar menempel seidkit.

“Oya, kenalkan. Ini Lily, anak bungsu Ummi,” ucap Fatimah.

Degh! Zivanka merasa terbakar. Wanita di depannya ini benar-benar terlihat anggun dan elegan.

"Iya, aku Zivanka, istrinya ustaz."

“Loh, kok, manggilnya masih ustaz?” komentar Lily.

“Mungkin karena masih baru, Ly. Sudah biarkan saja,” sela Fatimah.

Azkio yang merasa terjebak di antara wanita, mendadak ingin melarikan diri.

“Ziv, saya harus ke ruamh Rijal dulu, ya!” pamit Azkio, “Ummi, titip Ziva, ya,” sambungnya.

“Kak Kio tenang saja, kak Ziva aman sama Lily.” Lily sengaja menyahut karena kakak angkatnya itu sama sekali tidak menyapa.

Setelah Azkio berlalu, mereka kembali ngobrol-ngobrol. Lily begitu aktif bertanya dan bercerita. Sementara Fatimah pergi ke dapur dulu.

“Oya, maaf yang semalam. Aku tidak bermaksud mengganggu malam pertama kalian. Aku juga tidak sangka kalau kak Kio akan datang. Dari dulu, kak Kio emang selalu khawatirkan aku. Dia sangat perhatian sekali. Malam juga dia sangat panik, pas tahu ada orang yang menggangguku." Lily menuturkan dengan bangga. Betapa dirinya penting bagi Azkio.

"Wajar kalau kakak khawatirkan adiknya," komentar Zivanka yang sebetulnya sudah tahu dari Azkio kalau Lily bukan adik kandungnya.

"Emang Kak Ziva tidak tahu, kalau kami tuh sebenarnya bukan saudara. Kak Kio hanya anak angkat Ummi."

Dih, bau-baunya si Lily ini bibit pelakor deh.

“Tahu, kok. Tapi tetap saja kalian ini kakak-adik.”

“Orang-orang malah ngiranya kita ini suami-istri, loh. Mungkin karena sering jalan berdua.”

Awas, darah mulai tersirap ke kepala. Hati-hati jika ubun-ubun Zivanka sudah mulai berasap.

“Nanti orang-orang juga bakal tahu, kok, yang sebenarnya.”

“Tapi kak Kio itu emang selalu bersikap layaknya seorang suami sama aku. Uang bulanan juga, dia suka ngasih, loh.” Lily tidak pantang padam mumpung umminya tak ada.

“Azkio itu tulang punggung gue dan gue tulang rusuknya. Lah, kalau lu tulang apa?" sinis Zivanka, "tulang ekor? Enakan juga tulang seblak," lanjutannya mengejek.

Tuh kan jadi keluar watak aslinya si Zivanka. Lily pun dibuat tercengang olehnya.

Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Adzan dzuhur mengakhiri persaingan mereka. Fatimah datang memanggil untuk melaksakan sholat berjamaah.

"Yuk, Kita ambil wudhu dulu," ajaknya.

"Umm, wudhunya di sini?" tanya Zivanka setelah sampai di depan keran khusus ambil air wudhu.

"Iya, Ziv. Emangnya kenapa?"

"Umm, aku mau di kamar mandi saja."

"Lebih afdol di sini. Di kamar mandi hanya Ada keran shower."

Duh, mampus!

Lily Dan Fatimah berdiri menunggu giliran wudhu. Sementara Zivanka di depannya masih berdiri mematung. Ragu-ragu untuk memulai.

Kalau nggak salah habis cuci muka, cuci tangan deh. Eh, apa cuci tangan dulu? Hati Zivanka bimbang.

"Ziv, hayo! Kenapa kerannya dilihatin terus?"

"Kerannya ngajak gelut, Ummi," ceplos Zivanka kesal.

"Apa, Ziv?"

OMG, ujian apa lagi ini. Napa rem mulut aku blong, sih?

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status