Share

BAB 5_SIAPA KAMU SEBENARNYA

"Janji ya, Mas," ucap Luna lembut. Matanya menyipit sayu, bersama dengan pipi mulusnya yang ikut mengembang. Yudha mencoba mengambil kesadarannya kembali.

"Kalau begitu, aa-aaku ke kamar dulu. Terimakasih untuk makanannya," ucap Yudha terbata.

Luna mengangguk. Tatapan itu! Oh Tuhan, Yudha tidak mampu berlama-lama. Laki-laki itu memegang jantungnya. Ia harus mengajak jantungnya itu bicara. Kenapa tiba-tiba berdegup kencang?

Esok harinya, Yudha terlihat segar dan bersemangat. Ia membuka tudung saji, bersiap untuk sarapan. Laki-laki itu kaget, sebab hanya menemukan tempe goreng. Sambil mengunyah, Yudha mengomel dalam hati.

'Akan kuajar istriku itu! Masak kok cuma tempe goreng?! Lidahku bukan ditakdirkan untuk menikmati tempe ini saja!'

Tiba-tiba Luna hadir di depannya, membuat tempe yang sedang dikunyah hampir keluar lagi.

"Kenapa, Mas?" sapa Yudha membuka kulkas, mengambil buah.

Yudha gelagapan. Mulutnya masih penuh. Luna hanya tersenyum, lebih tepatnya menyeringai seperti mengejek.

"Mas suka lauk apa?" tanya Luna sambil menyodorkan jeruk yang sudah dia kupas.

"Ayam," jawab Yudha singkat.

"Kalau begitu, berikan aku uang dapur dong, Mas. Bukannya sudah kewajiban suami memberikan istrinya nafkah? Tak apa-apakan?" tanya Luna dengan mata menyipit. Gadis itu tersenyum di antara pipi bak pualam itu.

"Ooh tidak apa-apa dong. Adek mau berapa? Mingguan atau bulanan? Kutransfer sekarang!" seru Yudha antusias.

Yudha berjalan ke kamarnya, membuka brankas. Ia membawakan Luna seikat uang lembaran merah.

"Sepuluh juta? Untuk berapa bulan ini, Mas?"

Yudha tersenyum bergaya.

"Satu minggu, cukup?"

Luna menaikkan alisnya kaget.

'Aah cantik,' puji hati Yudha.

"Terlalu banyak, Mas. Aku tak bisa menghabiskan uang segini banyak hanya untuk memasak ayam," jawab Luna polos.

Yudha tersenyum senang. Ia merasa bangga bisa membuat wanita dingin itu kebingungan. Hatinya makin bersemangat dan percaya diri.

"Kalau ada sisa, untuk kamu saja, Dek," ucapnya santai.

Luna masih melongo seperti tak percaya.

'Ah ... kamu hanya belum tahu saja, siapa Sayudha Wistara. Pemuda tampan dan berduit' kekeh hati Yudha kegirangan.

Yudha melangkah menuju wastafel. Senyum-senyum merasa menang.

"Habiskan ya, Dek! Kamu bisa beli apa saja. Kalau kurang, katakan," ucap Yudha lagi sambil memutar keran di depannya.

"Mas, pelan-pelan putar keran wastafel itu. Sepertinya agak rusak!" seru Luna.

Yudha hanya tersenyum. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Tak kenapa-kenapa, kok!" ucap Yudha santai.

"Iya, hati-hati," ucap Luna namun tangan laki-laki itu usil menghentakan putaran keran itu dengan kuat.

Belum selesai Luna berbicara, air sudah menyembur kencang.

"Goooooosssssttttt!!!!" teriak Yudha memukul air yang menghantam wajahnya.

Yudha berusaha menutup semburan air itu dengan tangannya. Napasnya memburu. Dia tidak mau dianggap lemah dengan menghindar dari air. Itu hanya air dan yang barusan itu, dia hanya kaget.

"Jangan khawatir, Dek. Sudah selesai!" ucap Yudha tersenyum dengan tangan masih menutupi keran yang jebol itu. Basah seluruh tubuhnya. Dingin, tapi tidak ingin dia rasa.

Luna masih melongo, mungkin dia kagum pada suaminya atau justru merasa aneh? Wanita itu menggigit bibir bawahnya lalu menengok kiri kanan seperti memikirkan sesuatu.

"Sudahlah, Adek tidur saja sana!" perintah Yudha mulai panik.

Tangannya sudah tak kuat menahan air itu. Luna tidak bergeming. Ia justru memegang serbet yang di atas meja.

"Lepaskan, Mas!" serunya mendekat.

Yudha menggeleng, tapi tangannya sudah pegal. Terpaksa dia lepaskan. Air mengucur semakin deras. Badannya sempoyongan menahan semburan air itu. Luna melompat ke atas meja dapur lalu menyumpal pipa itu dengan serbet dengan cepat. Matanya awas memperhatikan. Air masih mengucur walau tidak sederas tadi. Tapi sayang, pertahanan serbet itu hanya sementara. Air itu kembali mengalir deras.

Luna kembali menyumpal semburan air itu dengan serbet. Tidak hanya itu, dia melakukan hal yang di luar dugaan suaminya. Mata Yudha membeliak kaget. Luna membuka hijabnya. Gadis itu melilitkan kain hitam itu dengan erat. Tangannya keras menekan kain sedangkan kakinya dinaikkan, mendorong kencang, mencari keseimbangan dan kekuatan. Simpulan itu menggumpal tebal. Sempurna, hanya sedikit tetesan yang keluar.

"Carikan aku plastik!"

Duuaarr!!!

Yudha menoleh. Wanita itu membuka lemari kayu di bawah meja dapur dengan kaki kanannya. Yudha benar-benar terkesiap.

"Coba cari di sini, kemarin aku melihat Mamamu menyimpan sabun cuci masih dengan plastiknya!"

Yudha bergegas. Ia membungkuk tepat di depan kaki istrinya. Laki-laki itu melihat betis mulus Luna yang basah. Sekian detik, Yudha tertegun.

"Cepat!" seru Luna kembali.

Yudha merogoh lemari itu dengan sigap. Benar, ada plastik hitam di sana. Segera Yudha memberikan Luna plastik hitam itu dengan cepat.

"Ambilkan aku tali. Kalau tak ada, ambil tali sepatumu!" perintah Luna lagi sambil melilitkan plastik di simpulan yang ia buat.

Yudha menurut. Dia mengambil tali sepatunya lalu memberikannya pada Luna. Gadis itu mengikatnya dengan kencang. Kali ini tak ada tetesan air lagi yang jatuh.

Luna berhenti. Napasnya terengah-engah. Yudha melihat pipinya memerah karena kelelahan.

Yudha memperhatikan seluruh tubuh istrinya yang basah. Walau tertutup, tapi mampu mencubit gairah Yudha. Rambut wanita bercadar itu ternyata panjang dan ikal di bagian bawah. Hitam dan sedikit blonde di ujung. Luna memeras rambutnya pelan dan dipindahkan ke belakang. Pemandangan itu begitu sempurna di mata Yudha.

Bukankah Yudha berhak untuk menyentuh istrinya? Kakinya melangkah mendekat.

'Diandra Safaluna, kau milikku!' pekik batinnya.

"Mas, tolong ambilkan handuk!" perintah Luna yang menghentikan langkah Yudha.

"Oooh iya," jawab Yudha membalik badan.

Yudha memukul kepalanya sendiri, mengumpat dirinya yang bodoh. Bagaimana bisa dia turunkan gengsinya mendekati gadis itu lebih dulu?

'Aku ini pemimpin perusahaan, sering bertemu wanita cantik. Yudha! Yudha! Ambil kewarasanmu kembali!' cerocos hati Yudha.

Setelah menyerahkan handuk pada Luna, Yudha beringsut mundur. Wanita itu juga seolah cuek mengelap seluruh tubuhnya.

"Segera hubungi tukang ledeng, pastilah ART yang di sini tahu!" seru Luna sambil memutar-mutar rambutnya, berjalan dan memasuki kamarnya.

Yudha tidak berkedip melihat lekukan tubuh istrinya itu. Laki-laki itu mengambil air mineral di sampingnya lalu meneguk dengan cepat. Ia haus. Sangat haus. Walau tubuhnya basah. Pikirannya berputar bersama dengan batinnya yang berbicara.

'Siapa Luna? Mengapa dia mau menikahiku? Untuk menolongnya? Dari apa? Bagaimana gadis bercadar itu mampu melakukan hal yang tidak bisa aku lakukan sebagai laki-laki? Lentik jarinya tak memberikan tanda ia lemah. Luna pasti bukan wanita biasa saja. Dalam diri wanita itu, pasti ada sesuatu. Sesuatu yang harus aku gali. Sebuah rahasia. Apa itu?'

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status